Senin, 23 April 2012

Neo-Platonisme

-->
      Aliran Neo-Platonisme.
Kata neoplatonisme terdiri dari beberapa rangkaian kata yaitu, neo, plato dan isme. Kata neo memiliki arti baru, sedangkan Plato merujuk pada seorang filosof yang mencetuskan konsep realitas idea dalam teori filsafatnya, isme memiliki arti faham. Jadi apabila dirangkai memiliki pengertian ide-ide baru yang muncul dari ide-ide filsafat yang telah dimunculkan oleh Plato. . Faham ini bertujuan menghidupkan kembali filsafat yang dikemukakan oleh Plato. Meskipun begitu tidak berarti bahwa pengikut-pengikutnya tidak terpengaruh dengan aliran yang dibawa oleh para filsuf selain Plato. Dapat disimpulkan juga bahwa aliran neoplatonisme merupakan sintesa dari semua aliran filsafat sampai saat itu, dimana Plato diberi tempat istimewa. Faham ini dicetuskan pertama kali oleh Plotinus dari Mesir. Faham neoplatonisme memiliki ciri-ciri umum, diantaranya :
a. Aliran ini menggabungkan filsafat Platonis dengan tren-tren utama lain dari pemikiran kuno, kecuali epikuarisme. Bahkan sistem ini mencakup unsur-unsur relegius dan mistik.
b. Menggunakan filsafat Plato dan menafsirkannya dengan cara khusus. Cara interpretasi itu cenderung mengaitkan Allah dengan prinsip kesatuan seperti yang tampak dalam proses emanasi.
Plotinus adalah filosof pertama pada abad pertengahan yang mengajukan teori penciptaan alam semesta. Teori yang terkenal ialah teori emanasi. Teori ini banyak dikutip oleh para filosof islam. Teori itu merupakan jawaban terhadap pertanyaan Thales kira-kira delapan abad sebelumnya, apa bahan alam semesta ini. Plotinus menjawab, bahannya adalah Tuhan. Filsafat plotinus lebih bernafaskan mistik, bahkan tujuan utama filsafat menurut pendapatnya ialah mencapai pemahaman mistik, karena ia terpengaruh agam kristen.
Tentang sejarah riwayat hidupnya, Plotinus dilahirkan pad tahun 204 di Lycopolis Mesir. Padatahun 232 ia pergi ke Alexandria untuk belajat filsafat, pada seorang guru yang bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Ada yang mengatakan ia mulai tertarik filsafat pada usia 28 tahun.[1] Pada usia 40 tahun ia pergi ke Roma. Di sana ia menjadi pemikir terkenal pada zaman itu. Ia meninggal di Minturnea pada 270 M di Minturnae, Campania, Italia.
Ia bermula mempelajari filosofi dari ajaran Yunani, terutama dari buah tangan Plato. Pada usia 50 tahun ia mulai menulis karangan-karangan filosofisnya. Muridnya yang bernama Porphyry mulai menerbitkan karangan-karangan Ployinus yang berjumlah 54 karangan. Karangan itu di kelompokkan menjadi 6 set, dan setiap setnya terdiri atas 9 karangan, masing-masing set itu disebut enned, seluruhnya ada 6 enned. Diantara isi enned tersebut antara lain :
1. Enned pertama berisi tentang masalah etika, kebajikan, kebahagiaan, bentuk-     bentuk kebaikan, kejahatan, dan masalah penacabutan dari kehidupan.
2. Enned kedua berisi tentang fisik alam semesta, bintang-bintang, potensialitas dan aktualitas, sirkulasi gerakan, kualitas dan bentuk, dan kritik terhadap gnostisisme.
3. Enned ketiga berisi tentang implikasi filsafat tentang dunia, seperti masalah iman, kuasa Tuhan, kekekalan, waktu, dan tatanan alam.
4.  Enned keempat berisi tentang sifat dan fungsi jiwa.
5.  Enned kelima berisi tentang roh Ketuhanan (alam idea).
6.  Enned keenam berisi tentang free will dan ada yang menjadi realitas.
Seperti yang telah disinggung diatas, bahwa secara umum ajaran Plotinus disebut Neo-Platonisme. Jadi ajarannya itu tentu ada keterkaitan dengan filsafat plato. Dalam berbagai hal Plotinus memang bersandar pada doktrin-doktrin Plato. Sama dengan Plato, ia menganut ralitas idea. Akan tetapi ada sebuah perbedaan antara ide yang di tuangkan oleh Plato dengan Plotinus. Perbedaannya ialah, pada Plato idea itu bersifat umum ; artinya setiap jenis objek hanya ada satu ideanya, akan tetapi Plotinus mengatakan bahwa idea itu bersifat partikular, sama dengan dunia yang partikular. Pebedan mereka yang pokok ialah pada titik tekan ajaran mereka masing-masing. Plotinus kurang memperhatikan masalah-masalah sosial seperti halnya Plato.[2] Ada beberapa ajaran filsafat Plotinus yang perlu dikaji lebih lanjut, yakni antara lain :
·      Teori Metafisika Plotinus
Sistem metafisik Plotinus ditandai dengan konsep transenden. Menurut pendapatnya, di dalam alam pikiran terdapat tiga realitas : The One, The Mind, dan The Soul.
Realitas yang pertama The One(Yang Esa) adalah Tuhan: yaitu realitas yang tidak dapat dipahami dengan metode sains dan logika. Ia berada di luar eksistensi, di luar segala nilai. Keberadaannya bersifat transenden dan hanya dapat dihayati. Ia dapat didekati dengan tanda-tanda dalam alam.
Realitas yang kedua The Mind atau Nous. Ini adalah gambaran tentang Yang Esa dan di didalamnya mengandung idea-idea Plato. Idea-idea itu merupakan bentuk asli obyek-obyek. Kandungan Nous adalah benar-benar sebuah kesatuan. Untuk menghayatinya kita haruslah melalui proses perenungan.[3]
Realitas yang ketiga The Soul adalah sebagai arsitek semua fenomena yang ada di alam ini, Soul itu mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, ia adalah energi di belakang dunia, dan pada waktu yang ia adalah bentuk-bentuk alam semesta. Jiwa manusia juga mempunyai dua aspek: yang pertama intelektualitas yang tunduk pada reinkarnasi, dan yang kedua adalah irasional.  
Penyatuan bentuk dan benda menyebakan terciptanya dunia. Dengan demikian jagat raya mewujudkan suatu gambaran idea. Seluruh jagat raya ini adalah suatu kesatuan organis. Di dalamnya jiwa dunia menjadi asas segala fungsi sehingga segala kekuatan dihubungkan yang satu dengan yang lain.
Di dalam diri manusia terdapat tiga substansi, yaitu roh, jiwa, dan tubuh. Ketiganya mewujudkan suatu kesatuan, yang mana jiwa sebagai tempat kesadaran mengambil tempat yang pusat. Tubuh mewujudkan suatu alat benda. Sedangkan roh tetap senatiasa dipersatukan dengan nous tertinggi, yaitu Yang Esa. Tujuan hidup menurut Plotinus ialah kembali dipersatukannya manusia dengan Yang Esa.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa corak filsafat Plotinus berkisar pada konsep Yang Satu. Artinya, semua yang ada bersumber dan akan kembali kepada Yang Satu. Oleh karenanya dalam realitas seluruhnya terdapat dua gerakan, yaitu:
a. Dari atas ke bawah.
Teori yang pertama ini dapat digambarkan sebagaimana dalam emanasi. Pancaran dari Yang Satu memancar menjadi budi (nus). Akal Budi ini sama dengan ide-ide Plato yang dianggap Plotinus sebagai intelek yang memikirkan dirinya. Jadi akal budi sudah tidak satu lagi. Hal ini karena dalam akal budi terdapat dualisme (pemikiran dan yang difikirkan). Dari akal budi itu muncullah Jiwa Dunia (psykhe). Akhirnya dari jiwa dunia ini mengeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan jiwa dunia merupakan jagat raya. Karena materi memiliki tingkatan paling rendah, maka ia berupa makhluk yang paling kurang sempurna dan sumber-sumber kejahatan.
b. Dari bawah ke atas
Terma kedua ini dapat pula dikatakan dengan kebersatuan dengan Yang Satu. Inilah yang menjadi tujuan dari filsafat yang dikonsep oleh Plotinus. Pada bagian kedua ini jiwa manusia harus memusatkan diri kepada diri sendiri terlebih dahulu, meninggalkan kesenangan obyek-obyek panca indera serta menaikkan alam pemikirannya kepada alam pemikiran ke-Tuhan-nan. Dengan demikian jiwa bisa mencapai alam jiwa-akal Mutlak (spirit-Nous). Fase terakhir dari perjalanan menuju ketuhanan hanya bisa dicapai dengan mistik atau semedi (estatic-mystical experience) yang oleh Plotinus disebut dengan istilah terbang dari pribadi ke Pribadi (the flight of the alone to Alone) artinya menuju kepada Tuhan. Demikian corak mistik dan agama pemikiran Plotinus. Pemikiran tersebut kemudian oleh St. Agustinus dan Dyonisius ke dalam ajaran agama Masehi, dan dengan demikian Plotinus dianggap sebagai bapak mistik barat.
Dalam ajaran Plotinus, jiwa tidak bergantung pada materi, atau dengan kata lain jiwa aktif dan materi bersifat pasif. Oleh karena itu jiwa merupakan esensi tubuh material. Tubuh dengan segala keterbatasannya ini berisi prinsip-prinsip ketiadaan dan penuh kejahatan. Ia mempunyai jarak yang jauh dari yang Maha Esa. Meskipun Plotinus berpendapat demikian bukan lantas mengabaikan jasad seperti orang-orang gnostik. Tentang penciptaan, Plotinus berpendapat bahwa Yang Paling Awal merupakan Sebab yang Pertama. Disini mulailah Plotinus memulai teori emanasinya yang belum pernah diajukan oleh filosof lainnya. Tujuan dari teori ini untuk meniadakan anggapan keberadaan Tuhan sebanyak makhlukNya.
Alam ini diciptakan melalui proses emanasi yang berlangsung tidak dalam waktu. Sebab ruang dan waktu terletak pada tingkat terbawah dari emanasi, ruang dan waktu adalah pengertian dalam dunia yang lahir. Dalam emanasi The One (Yang Esa) tidak mengalami perubahan. Yang Esa adalah semuanya, tetapi tidak mengandung di dalamnya satu pun dari barang yang banyak (makhluk). Dasar makhluk tidak mungkin kalau makhluk itu sendiri, akan tetapi Yang Esalah yang menjadi dasar semua makhluk.
Di dalam filsafat klasik Yang Esa itu dikatakan sebagai penggerak yang pertama (al-muharrik al-awwal), yang berakibat Yang Esa didiskripsikan berada di luar alam nyata. Dalam emanasi Plotinus alam ini terjadi dari Yang Melimpah, yang mengalir itu tetap menjadi bagian Yang Melimpah. Sehingga dapat disimpulkan dari teori Plotinus bahwa alam berada dalam Tuhan. Hubungannya sama dengan hubungan suatu benda dengan bayangannya. Makin jauh yang mengalir dari Yang Asal, maka makin tidak sempurna ia. Alam ini merupakan bayangan yang asal akan tetapi tidak sempurna seperti halnya Yang Asal.
Menurut Plotinus jalan untuk menuju kembali atau remanasi ini bertahap, sama dengan apa yang diajarkan tentang emanasi atau pengaliran keluar. Jalan kembali terdiri atas 3 tahap, yakni melakukan kebajikan umum, berfilsafat, dan mistik.[4]
·      Ajaran tentang Jiwa
Untuki memahami pemikiran plotinus, maka haruslah memahami filsafatnya tentang jiwa. Menurutnya jiwa adalah suatu kekuatan ilahiyah dan merupakan sumber kekekalan. Alam semesta berada dalam satu jiwa dunia. Jiwa tidak dapat dibagi secara kuantitatif karena jiwa adalah sesuatu yang satu. Satu disini dapat diartikan dalam setiap individu terdapat jiwa, sehingga jiwa berjumlah sangat banyak. Dari jiwa dengan jumlah yang sangat banyak tadi, antara jiwa yang satu dan lainnya memiliki kesatuan.  
Dalam filsafat Plotinus dikemukakan pula adanya reinkarnasi sebagaimana dalam teori filsafat Plato. Selain itu jiwa telah ada sebelum keberadaan jasmani, sehingga jiwa bersifat kekal. Reinkarnasi ditentukan oleh perilaku manusia pada saat hidupnya dan hanya jiwa yang kotor sajalah yang mengalami reinkarnasi. hal ini dikarenakan
jiwa yang bersih dan tidak ada ikatan dengan dunia ia akan bersatu dengan Tuhan. Menurutnya jiwa yang tinggi adalah jiwa yang tidak mengingat apa-apa kecuali Yang Tinggi.
·      Ajaran tentang ilmu
Idea keilmuan tidak begitu maju pada masa Plotinus, ia menganggap sains lebih rendah daripada metafisika, metafisika lebih rendah daripada keimanan. Hal ini plotinus terpengaruh pada jarn kristen yang juga berkembang pada saat itu. Dari pendapatnya ini Plotinus mengekang kebebasan akal dengan doktrin-doktrin agamanya ini. Tidak hanya Plotinus, pengikutnya Simplicius bahkan tidak memberi ruang gerak kepada filsafat rasional. Menurutnya orang yang mempelajari filsafat rasional sama halnya melakukan kesia-siaan belaka bahkan mereka harus dimusuhi. Dari doktrin inilah akhirnya kaisar Justianus melarang pengajaran filsafat (apapun) di Athena dan menghukum berat orang-orang yang mempelajarinya.
Begitu pula Agustinus yang mengganti akal dengan iman sehingga potensi rasional yang diakui pada zaman Yunani digantikan dengan kuasa Tuhan. Menurutnya tidak perlu dipimpin oleh pendapat yang memiliki kebenaran relatif, karena agama memiliki kebenaran yang mutlak.
Plotinus dapat disebut musuh dari naturalisme. Ia membedakan dengan tegas tubuh dan jiwa. Jiwa tidak dapat diterjemahkan ke dalam ukuran-ukuran badaniah, fakta alam haruslah difahami sesuai dengan tendensi spiritualnya.
·      Ajaran tentang etika, dan estetika
Dalam pembahasan etika, Plotinus mengawalinya dengan membahas kebebasan berkehendak yang dimiliki manusia. Pada dasarnya manusia memiliki kebebasan, akan tetapi kebebasan tidak dapat diartikan secara lahiriyah. Kebebasan yang dimaksud disini adalah manusia bebas memilih kepada kebaikan ataukah keburukan. Menurutnya jiwa manusia berada dalam jiwa ilahi (cenderung untuk baik) sehingga Plotinus menyimpulkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh jiwa manusia dikarenakan jiwa manusia sebagian dari jiwa Ilahi. Meskipun begitu manusiapun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena ia telah diberi pikiran untuk memilih dan kebebasan untuk menentukan piihan. Kemampuan dalam memilih hal yang baik ini digerakkan oleh cinta yang disandarkan kepada Yang Esa.
Menurut Plotinus esensi keindahan tidak terletak dalam bentuk yang kasat mata, akan tetapi esensinya terletak pada keintiman seorang hamba dengan Tuhannya Yang Maha Sempurna. Dari pernyataannya ini timbul semacam sekala menarik tentang keindahan, mulai dari keindahan yang inderawi naik ke emosi kemudian ke susunan alam semesta yang bersifat immaterial. Jadi keindahan itu bertingkat mulai dari keindahan inderawi hingga keindahan Ilahiah.
Konsep keindahan pada Plotinus berhubungan juga dengan pandangannya tentang kejahatan. Kejahatan, menurut Plotinus tidak mempunyai realitas metafisis. Perbuatan jahad adalah perbuatan yang rendah. Kejahatan itu diadakan sebagai syarat kesempurnaan alam. Karena di alam ini ditemukan hal-hal yang bertentangan seperti, hitam-putih, panas-dingin, suka-duka, baik-buruk. Semuanya ini merupakan anggota suatu kehidupan.
B.      Pengaruh masa-masa setelah Plotinus.
Setelah Plotinus, filsafat boleh dikatakan benar-benar mulai memasuki situasi abad pertengahan, di mana filsafat didominasi agama kristen. Agama kristen adalah simbul sejarah revolusi. Sekurang-kurangnya pada awal pertumbuhan benar-benar mengalami revolusi dalam bidang filsafat, politik, ekonomi, dan moral. Hal ini dimulai dari penentangan terhadap formalisme keagaman dan didukung oleh masyarakat kelas rendah yang menginginkan dunia bru dan harapann baru.
Ide-ide moral abad pertengahan jelas tidak di bimbing oleh semangat eksperimen dalam bidang sains. Karena semuanya berasal dari Tuhan, maka semuanya juga dikembalikan pada aturan Tuhan. Pada awal perkembangan agama kristen tidaklah ruwet. Agama didominasi oleh harapan turunnya kembali yesus kristus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya memerlukan teori-teori teologi yang rumit, yaitu tatkala agama mulai meluas pemeluknya di berbagai negara dan dipengaruhi oleh pemikiran yunani.
Zaman setelah masa Plotinus juga bisa disebut zaman patristik. Yang mana pada masa itu filsafatnya mengandung nilai-nilai religi yakni agama kristen. Periode ini ditandai dengan oleh Bapak-bapak Gereja (patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet para pengarang Gereja. Para Apologet memiliki tugas utama menjawab berbagai persoalan dan keberatan mengenai ajaran-ajaran iman Gereja terhadap berbagai ajaran atau paham-paham filosofis yang mengancam ajaran keimanan yang benar.   
Pada zaman abad pertengahan ini, juga lahir filosof-filosof yang sangat berpengaruh. Antara lain ialah : Agustinus (354-430), Anselmus (1033-1109), Thomas Aquinas (1225-1274M).
1.        Agustinus (354-430).
       Augustinus lahir di Tagasta, Numidia (sekarang Algeria). Pada 13 Nopember 354. Tatkala berumur sebelas tahun ia dikirim kesekolah Madaurus. Lingkungan itu telah mempengaruhi perkembangan moral dan agamanya. Tahun 369-370 dihabiskannya dirumah sebagai penganggur, tetapi suatu bacaan tentang Cicero pada bukunya Hortensius, telah membimbingnya kefilsafat.

       Pada Tahun 388 ia mengabdikan seluruh dirinya kepada Tuhan dan melayani pengikut-pengikutnya, kemudian ia menjual seluruh warisan dan uang hasil penjualannya tersebut dikasihkan kepada fakir-miskin. Pada tahun 395-396 ia ditahbiskan menjadi seorang Uskup di Hippo. Tahun terakhir hidup-hidupnya adalah tahun-tahun peperangan bagi imperium Romawi. Pada bulan 28 Agustus 430 ia meninggal dunia dalam kesucian dan kemiskinan yang memang sudah lama dijalaninya.

       Filsafat Augustinus merupakan sumber atau reformasi yang dilakukan oleh Protestan, khususnya kepada Luther, Zwingli, dan Calvin. Kutukannya kepada seks, pujianya kepada kehidupa pertapa, pandangannya tentang dosa asal, semuanya ini merupakan faktor yang memberikan kondisi untuk wujud pandangan-pandangan Abad Pertengahan.

Filsafatnya tentang sejarah berpengaruh terhadap gerakan-gerakan agama dan pada pemikiran sekular. Dalam pertarungan berbagai ideologi politik sekarang, ada kesamaan dalam keabsolutan, dalam dogmatisme, dan juga dalam fanatisme. Paham toesentris pada Augustinus menghasilkan suatu revolusi dalam pemikiran orang Barat. Anggapannya yang meremehkan kepentingan duniawi, kebenciannya terhadap teori-teori kealaman, imannya kepada Tuhan tetap merupakan bagaian peradaban modern. Sejak zaman Augustinuslah orang Barat lebih memiliki sifat introspektif.
       Augustinus tidak mempercayai bahwa sejarah adalah suatu siklus sejarah lebih dari itu; ia merupakan kejadian yang diatur oleh Tuhan. Jadi sebenarnya sejarah juga mempunyai suatu permulaan dan suatu akhir. Permualaannya adalah saat kejatuhan manusia, dan akhirnya adalah kemenangan Tuhan mengatasi kejahatan. Filsafat sejarah seperti ini adalah Dilsafat Sejarah dibimbing oleh Toelogi. Sejarah tidak dapat dijelaskan dengan memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, sejarah dapat dipahami melaluihukum-hukum Tuhan.
2.        Anselmus (1033-1109).
       Dalam membicarakan Filsafat Abad Pertengahan St. Anselmus tidak dapat dilewatkan begitu saja. Tokoh inilah yang mengeluarkan Credo Ut Intelligam yang dapat dianggap merupakan cirri utama Filsafat pada Abad Pertengahan. Ia berasal dari Bangsawan di Aosta, Italia. Seluruh kehidupannya penuhi oleh kepatuhannya kepada Gereja. Tahun 1093 ia menjadi Uskup Agung Canterbury. Dalam dirinya mengalir arus Mistisime, dan iman merupakan masalah utama baginya. Ada tiga karyanya yaitu Monologium yang membicarakan keadaan Tuhan, Proslogium yang berisi tentang dalil-dalil adanya Tuhan, dan Cur Deus Homo yang berisi ajarannya tentang tobat dan petunjuk mengenai penyelamatan melalui Kristus.
       Ia berpendapat semua makhluk memiliki sejumlah kebaikan itu menunjukkan adanya kebaikan Mahatinggi yang disana semua makhluk berpartisipasi. Tuhan itu kebesarannya tidak terpikirkan (kebesarannya Mahabesar). Itu tidak mungkin hanya ada dalam pikiran. Ia juga ada dalam kenyataan (jadi benar-benar diluar pikiran). Tuhan Mahabesar ada dalam pikiran dan ada juga diluar pikiran. Secara kasar argument ini mengajarkan bahwa apa yang dipikirkan, berarti objek ini benar-benar ada tidak mungkin ada sesuatu yang hanya ada didalam pikiran, tetapi diluar pikiran objek itu tidak ada.

       Tentang penyelamatan, ajarannya sama dengan Filsuf Abad Pertengahan lainnya:manusia celaka karena jatuhnya Adam, jatuhnya Adam memang karena dikehendaki oleh Tuhan, penyelamatan hanya diperoleh melalui Kristus.
3.        Thomas Aquinas (1225-1274).
       Thomas Aquinas lahir di Roccasecca, Italia, pada tahun 1225 dari keluarga Bangsawan baik Bapakanya maupun Ibunya. Melalui Gurunya, Albertinus Magnus, Aquinas belajar tentang alam, ia berfilsafat lebih empiris daripada orang-orang yang diikutinya. Dikatakan demikian karena ia lebih banyak menggunakan observasi terhadap alam dalam menopang argument-argumennya. Sekalipun demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa Aquinas menganggap bahwa penjelasan Naturalis lebih tinggi dari pada atau setingkat dengan penjelasan Metafisika. Dalam hal Kosmologi ia masih menganut Hipotesis Geosentris.
Dalam seluruh teorinya mengenai pengetahuan, Aquinas dibimbing oleh pandangannya bahwa pikir (reson)dan iman adalah tidak bertentangan. Akan tetapi, dimana batas kedua-duanya? Menurut pendapatnya, semua objek yang tidak dapat diindera tidak akan dapat diketahui secara pasti oleh akal. Oleh karena itu, kebenaran ajaran Tuhan tidak mungkin dapat diketahui dan diukur dengan akal. Kebenaran ajaran  Tuhan diterima dengan iman. Sesuatu yang tidak dapat diteliti dengan akal adalah objek iman. Pengetahuan yang diterima atas dasar iman tidaklah lebih rendah daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Paling tidak, kebenaran yang diterima oleh akal tidak akan bertentangan dengan ajaran wahyu.

       Selanjutnya Aquinas mengajarkan seharusnya kita menyeimbangkan akal dan iman, akal membantu membangun dasar-dasar filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa hal itu tidak selalu dapat dilakukan karena kanl terbatas. Akal tidak dapat memberikan penjelasan tentang kehidupan kembali (resurrection) dan penebusan dosa. Akal juga tidak mampu membuktikan kenyataan esensisal tentang keimanan Kristen. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa dogma-dogma Kristen itu tepat sebagaimana telah disebutkan dalam firman-firman Tuhan.

       Berdasarkan uraian itu kita dapat mengetahui adanya dua jalur pengetahuan dalam filsafat Aquinas. Jalur itu ialah jalur akal yang dimulai dari manusia dan berakhir pada Tuhan. Dan yang kedua adalah jalur Tuhan ialah jalur iman yang dimulai dari Tuhan (wahyu), didukung oleh akal.



[1] Prof Dr Ahmad Tafsir, Filsafat Umum(Bandung: PT. Rosdakarya) hal 67.
[2] Ibid Hal 68.

[3] Drs. Tasmuji M.Ag, SejarahFilsafat Aliran, ( Surabaya: alpha grafika) hal 65.
[4] Ibid hal 66.                                       

Sejarah Periodesasi Penulisan Hadits

-->
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Dalam sejarah penghimpunan dan pengkodifikasian hadis mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan pengkodifikasian Al-Qur’an. Hal itu dikarenakan pada masa nabi dan para sahabat Al-Qur’an mendapatkan perhatian yang penuh. Selain itu rasul mengharapkan para sahabat untuk untuk menghafal Al-Qur’an dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, dibebatuan, dan lain sebagainya.
Katika rasul wafat, Al-Qur’an telah dihafalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci Al-Qur’an seluruhnya telah lengkap ditulis hanya hanya saja masih belum terkumpul. Barulah pada masa Khalifah Abu Bakar mulai dikumpulkan dan kemudian disempurnakan pada masa khalifah Utsman bin Afwan. Sedangkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadis masih kurang memperoleh perhatian. Hal itu karena pada masa nabi, rasul tidak memerintahkan untuk menulis hadis karena takut akan tercampur dengan Al-Qur’an. Sedangkan pada masa Khullafaur rasyidin perhatiannya masih tertuju pada pembukuan Al-qur’an. Barulah pada abad kedua hijriyah hadis mulai di bukukan dan pada abad ketiga hijriyah penyempurnaan hadis mulai dilakukan.
Usaha mempelajari sejarah tentang pembinaan dan penghimpunan hadis sangatlah bermanfaat untuk mengetahui studi hadis, dan khususnya para ulama ahli hadis. Seiring dengan perkembangannya, studi hadis makin menarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan nalar manusia yang makin kritis. Apalagi yang terlibat dalam wacana ini tidak hanya orang-orang muslim saja yang mengkaji akan tetapi melibatkan juga para orientalis.
B.      Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Analisalah periodesasi sejarah penulisan hadis?
2.      Bagaimana penghafalan hadis?
3.      Kapan penghimpunan hadis? Dan analisalah!
4.      Apakah penyabab timbulnya pemalsuan hadis? Dan bagaimana upaya penyelamatannya?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Periodesasi sejarah penulisan hadis
Periodesasi tentang penulisan hadis dan perkembangannya dibagi menjadi 4 periode, yaitu periode Nabi Muhammad SAW , Periode sahabat, periode tabi’in, periode tabi’tabi’in.
1.         Periode Nabi Muhammad SAW (13SH-11H)
Seperti yang telah diulas diatas, penulisan hadis pada masa rasulullah perkembangannya masih sangatlah lambat. Hal itu dikarenakan rasulullah dan para sahabat perhatiannya masih tertuju pada pengembangan Al-Qur’an. Selain itu rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghafal Al-Qur’an dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu seperti, pelepah kurma, keping-keping tulang, dan di batu-batu.
Setelah rasul wafat, Al-Qur’an telah dihafalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu ayat-ayat suci Al-Qur’an telah ditulis dengan lengkap, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk mushaf. Barulah pada masa Khalifah Abu Bakar Al-Qur’ann mulai dikumpulkan dan disempurnakan pada masa khalifah Utsman bin Afwan. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu masih kurang memperoleh perhatian sebagaimana Al-Qur’an. bahkan secara resmi nabi melarang menulis bagi umum karena takut tercampur antara Al-Qur’an . bagaimana tidak khawatir, Al-Qur’an dan hadis sama-sama berbahasa arab dan sama-sama disampaikan melalui lisan rasul bagi hadis qauli.[1]
Hadis pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal saja, oleh mereka tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan nabi, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Dr Mushthafa As-Siba’i menyampaikan beberap alasan diantaranya :
·      Al-Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sagat sederhana dan masih belum dibukukan.
·      Kemampuan tulis menulis para sahabat pada awal islam masih sangat sedikit dan meraka sudah difungsikan sebagai penyulis wahyu Al-Qur’an.
·      Ingatan orang arab ang dikenal bersifat Ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuaddan diandalkan rasul untuk mengingat dan menghafal hadis saja.[2]


Dirawatkan bahwa beberapa sahabat yang memiliki catatan hadis-hadis rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasullullah SAW. Diantara sahabat-sahabat rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.[3]
Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh(dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian. Mengingat terjadinya pro dan kontra seputar masalah penulisan hadis. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa rasullulah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis sara tidak resmi. Mereka memahami  hal itu mengingat bahwa pada saat itu rasul mengkhawatirkan tercampurnya Al-Qur’an dengan hadis. Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mempercampuradukkan hadis dengan Al-Qur’an. oleh karena itu, setelah Al-Qur’an ditulis ditulis dengan sempurna dan lengkap pula turunnya, maka dari itu tidak ada larangan untuk menuliskannya.
 Dalam pemeliharaan hadis mengandalkan hapalan saja. Yang pada umumnya para sahabat memiliki penghafalan yang kuat dan daya ingat yang tajam. Hadis cukup diingat dan di simpan didalam dada sedangkan Al-Qur’an disimpan dalam tulisan dan disimpan didalam dada. Kecuali begi mereka yang hafalannya sangat kuad dan memiliki kecakapan dalam menulis sehingga tidak ada kekhawatiran tercampurnya antara tulisan Al-Qur’an dengan hadis. Penulisan disini bersifat pribadi bukanlah bersifat umum dan berfungsi untuk membantu hapalannya, karena intinya adalah dihafal.
2.         Periode sahabat ( 12-98H)
Setelah rasul wafat para sahabat masih belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifiksian hadis, karena banyak problema yang terjadi, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur dan konsentari bersama Abu Bakar dalam membukukan Al-Qur’an. Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan hadis tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Umar bin Khathab juga pernah berkeinginan dan mencoba untuk menghimpunya tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan Umar timbul kekhawatiran. Kekhawatirannya dalam membukukan hadis hal itu dikarenakan hadis dianggap menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nashrani yang mana mereka meninggalkan kitab Allah dan menggantinya dengan kalam mereka dan menempatkan bioghrafi nabi mereka menjadi kitab mereka.
Pada masa Khulafaur Ar-Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan periwayatan. Hukum kebolehan menulis hadis pada masa ini terjadi secara berangsur-angsur. Pada saat wahyu turun, umat islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan menulisnya. Hadis hanya disimpan dalam dada mereka, lalu disampaikan dari lisan ke lisan. Kemudian setelah Al-Qur’an dapat terpelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakan antara Al-Qur’an dan hadis maka para ulama sepakat boleh  menulis dan pengkodifikas hadis.[4]
Banyak sekali pada masa awal islam penulisan hadis sebagai catatn pribadi bukan penulisan resmi dari Khalifah. Banyak bukti yang menunjukkan hal itu, misalnya surat-surat dakwah yang ditunjukkan kepada para tokoh bangsa dan para raja, kesepakan perdamaian, Ash-Shadiqah tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ash-Shahifah ‘Ali tulisan yang nabi perintahkan kepada Abi Syah pada masa Fath mekkah. Shahifah jabir tulisan Jabir bin ‘Abdullah Al-Anshary.
Selain itu terjadi perbedaan para sahabat dalam menguasai hadis. Diantara para sahabat tidaklah sama dalam kadar meriwayatkan dan penguasan hadis. Ada yang memiliki  lebih banyak, tetapi ada pula yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bertemu dengan rasul. Kedua, perbedaan mereka dalam bertanya kepada sahabat nabi lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal mereka dengan rasul.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dari nabi dengan beberapa penyebabnya. Antara lain :
·           Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqunal Al-Awwalun (yang mula-     mula masuk islam).
·           Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW) mereka secara pribadi lebih dekat dengan rasul jika dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
·           Para sababat yang dekat dan selalu disamping nabi.
·           Sahabat yang meskipun tidak lama bertemu dengan nabi akan tetapi banyak bertanya kepada sahabat nabi yang lain.
Ada 6 orang diantara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadis ialah :
·           Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis
·           Abdullah bin Umar bin Khathab sebanyak 2.635 buah hadis.
·           Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis.
·           Aisyah Ummi Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis.
·           Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis.
·           Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis.

Pada masa sahabat ini sebenarnya penulisan dan periwayatan dari hadis telah banyak terjadi, namun masih belum ada pengkodifikasian secara resmi berdasarkan intruksi dari khalifah.
3.         Periode Tabi’in
Pada masa ini disebut sebagain masa pengkodifikasian hadis. Khalifah Umar bin Abdul Aziz yakni yang hidup pada abad 1 H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadis, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran –ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Maka beliau mengintruksikan kepada gubernur di seluruh wilayah negeri islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis.
Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri atau yang lebih terkenal dengan Az-Zuhri dinilai orang yang pertama kali dalam melaksanakan tugas pengkodifikasian hadis dari khalifah. Penkodifikasian ini terjadi pada tahun 100 H dibawah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Maksudnya awal pengkodifikasian secara resmi atas perintah Khalifah karena melihat sejak zaman rasul pun sebenarnya sudah pernah terjadi akan tetapi tidak formal.
Kemudian pengkodifikasian hadis tersebar di berbagai negeri islam pada abad ke 2 H. Tokohnya diantaranya ialah Abdullah bin Abdul Aziz bin Juraij di Mekah, Ibnu Ishak di Mekah, Abdurrahmab Abu Amr Al-Auza’i di Syria, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Imam Malik bin Anas di Madinah.[5]
Penghimpunan hadis pada abad ini masih tercampur denag perkatan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan masa sebelumya yang masih berbentuk lembaran-lembaran (shuhuf). Yang hanya dikumpulkan tanpa adanya klasifikasi ke dalam beberapa bab atau materi secara tertib. Akan tetapi pada masa tabi’ain ini hadis sudah terhimpun dalam perbab.
Tulisan-tulisan hadis pada awal masa islam sangatlah penting untuk bukti sejarah serta dokumentasi ilmiah. Selain itu untuk membuktikan bahwa pada masa Rasulullah SAW sudah ada penulisan hadis walaupun masih belum formal seperti masa tabi’in ini.
4.         Periode Tabi’ Tabi’in
Periode  ini adalah pngikut Tabi’in yakni pada abad ke 3 H yang disebut ulama dahulu atau salaf. Sedangkan ulama pada abad berikutnya abad ke 4 H dan setelahnya disebut ulama belakangan atau kalaf. Pada periode ini disebut sebagai masa kejayaan hadis karena pada masa ini kegiatn rihla  mencari ilmu dan sunah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang pesat. Seolah-olah pada periode ini semua hadis telah terhimpun semua.
Dari latar belakang tersebut maka lahirlah buku induk enam. Maksud buku induk hadis enam ialah buku-buku hadis yang dijadikan pedoman oleh para ulama ahli hadis, enam kitab itu antara lain :
1.        Al-jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-256 H).
2.        Al-jami’ Ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri (204-261 H).
3.        Sunan An-Nasa’i (215-276 H).
4.        Sunan Abu Dawud (202-276 H).
5.        Jami’ At-Tirmidzin (209-269 H).
6.        Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-276 H)[6].
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa ini ulama hadis telah berhasil memisahkan hadis nabi dari yang hadis atau dari hadis nabi dari perkataan sahabat atau fatwanya dan dapat terfilterisasi antara hadis yang shahih dengan yang bukan hadis. Seolah-olah pada masa ini hampir seluruh hadis terhimpun dalam 1 buku, hanya sebagian kecil saja dari hadis yang belum terhimpun. Dan pada masa berikutnya mulai diadakan tindak lanjud dengan penghimpunan dan penertiban agar ilmu hadis menjadi lebih sempurna.
B.      Penghafalan hadis
Para sahabat dalam menerima hadis dari nabi SAW berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni dengan menerimanya dengan jalan dihafalkan, bukan dengan jalan menulis hdis dalm buku (mushaf). Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang telah disabdakan oleh nabi. Selanjutnya dari apa yang telah di sabdakan oleh nabi tersebut kemudian disampaikan kepada orang lain secara menghafal pula.
Ada beberapa faktor dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghfl hadis ini. Faktor tersebut antara lain : Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwariskan sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya, kedua Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya, ketiga seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyanpaikan kepada orang lain.[7]
Diantara sahabat yang paling banyak mengafal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan ibnu Jauzi jumlah bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah :
•        Abdullah bin Umar bin Khathab sebanyak 2.635 buah hadis.
•        Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis.
•        Aisyah Ummi Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis.
•        Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis.
•        Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis.
C.       Penghimpunan Hadis
Seperti apa yang telah diulas diatas, pada abad pertama hijriyah yakni pada masa Rasulullah SAW, masa khulafaur rasyidin dan sebagian besar masa dinasti bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijriyah, hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut-kemulut. Masing-masing perawi pada masa itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hafalannya saja. Memang hafalan mereka sangat kuad sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah disampaikan nabi dalam ingatannya.
Sebenarnya ide tentang penghimpunan hadis sudah ada sejak masa khalifah pertama yakni Abu Bakar. Akn tetapi abu bakar masih khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Selain itu umat islam masih tertuju perhatiaannya dengan pembukuan AlQur’an dan pengembangannya. Sehingga takud perhatian umat islam terpecah konsentrasinya untuk membukukan dan mempelajari Al-Qur’an, mengingat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber pedoman pertama umat islam.
Begitu juga pada saat dalam kepemimpinan Umar bin Khathab, bahwa ide tentang penghimpunan tentang hadis pernah di fikirkan oleh Umar akan tetapi setelah istkaharah dan bermusyawarah timbulah kekhawatiran untuk membukukan hadis hal itu dikarenakan hadis dianggap menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nashrani yang mana mereka meninggalkan kitab Allah dan menggantinya dengan kalam mereka dan menempatkan bioghrafi nabi mereka menjadi kitab mereka.
Barulah pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijriyah, yakni tahun 99 hijriyah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Beliau sadar bahwa para perawi hadis yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Sehingga hal itu yang membuat hatinya tergerak untuk menghimpun dan membukukan hadis karena khawatir apabila tidak segera dihimpun dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap dan hilang bersamaan dengan meninggalnya para penghafalnya.
Maka dari itu khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur-gubernur di seluruh penjuru wilayah islam untuk mengkodifikasikan dan membukukan hadis. Selain itu khlifah juga secara khusus menginstuksikan kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri atau yang lebih dikenal dikenal dengan Az-Zuhri untuk melaksankan perintah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Dari Syihab Az-Zuhri ini kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang disamping pembukuan hadis sekaligus usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.[8]
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber perawi (pembawa berita hadis) dengan mengetahui keadaan perawi, riwayat hidupnya, kapan dan dimana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya.
Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Dinasti umayyah, akan tetapi belum ada penempurnaan karena masih tercampurnya antara hadis nabu dengan fatwa sahabat nabi. Barulah pada masa pemerinthan Dinasti Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II hijriyah mulai dilakukan upaya penyempurnaan hadis.
D.      Timbu Pemalsuan Hadis dan Upaya Penyelamatannya
Sejak terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan yang terkenal dengan fitnah al-kubra dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan kekhalifahan, maka umat islam berseteru dan terpecah menjadi tiga golongan yakni Syi’ah, Khawarij, dan jumhur. Masing-masing golongan mengaku dalam pihak yang benar dan menuduh golongan lain salah. Untuk menguatkan argumentasi mereka membuat hadis-hadis palsu. Tentunya hal ini terjadi pada masa sahabat. Golongan orang-orang yang pertama kali membuat hadis palsu adalah dari golongan Syi’ah kemudian golongan Khawarij dan jumhur. Tempat berkembangnya hadis palsu pertama kali di daerah Irak, karena disana tempat orang-orang Syi’ah  berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Mu’awiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh pihak oposisi. Selain itu muncul pula golongan Zindiq, yaitu tukang kish yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.[9]
Menurut imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya, yaitu antara lain :
1.      Orang yang kurang akal.
2.      Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
3.      Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
4.      Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila oarang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.
Untuk itu ulama kemudian meneliti dan mempelajari keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi yang lemah diantara perawi-perawi itu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapt diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima periwayatannya.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukkan nama-nama golongan yang memalsukan hadis berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Kemudian mengadakan pemilahan antara hadis yang palsu dengan hadis dari Rasulullah SAW.
Disamping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu antara lain :
1.         Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas  rasanya disabdakan oleh Nabi.
2.         Isi/maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal.
3.         Isi/maksud bertentangan dengan nas Al-Qur’an dan hadis mutawatir.
BAB III
KESIMPULAN
Sebenarnya pada masa rasulullah penulisan hadis sudah mulai terjadi akan tetapi hal tersebut masih bersifat pribadi karena ada kekhawatiran tercampurnya Al-Qur’an dengan hadis. Hadis pada masa rasul dan sahabat hanyalah dihafal saja. Barulah pada masa tabi’in yaitu dalam pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz mulailah ada penulisan dan pengkodifikasian hadis secara formal. Karena melihat banyak para ulama penghafal hadis yang meninggal dunia maka takud akan lenyap pula hadis tersebut seiring kepergian ulama penghafal hadis.
Tentang timbulnya pemalsuan hadis itu terjadi akibat dari perpecahan umat islam ada masa akhir kepemimpinan Khalifah Utsman hingga perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah yang mana pada masa itu umat islam terpecah belah menjadi tiga golongan. Untuk memperkuat argumentasinya maka masing-masing golongan membuat hadis palsu. Dan berkembang pesat pada masa itu.
                                                 


DAFTAR PUSTAKA

Drs. Ahmad,Muhammad. 1998. Ulumul Hadis. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Majid, Abdul. 2005. Ulumul Hadis. Yogyakarta : Pusat Studi Wanita.
Drs. Fatchurrahman. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung : PT Al Ma’arif.
Dr. Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Drs. Almanar,Abduh. 2011. Studi Ilmu Hadis. Jakarta : Gaung Persada Press.
MKD, Tim Penyusun. 2011. Studi Hadis. Surabaya : IAIN SA Press
















 




[1]Abdul Majid,ulumul hadis(yogyakarta:pusat studi wanita) hal 41.
[2]Mustafa As-Siba’i, As-sunah hal 66-67.                                                
[3] Drs. Muhamad Ahmad,ulumul hadist(bandung:CV pustaka setia) hal 29
[4] Abdul Majid,ulumul hadis(yogyakarta:pusat studi wanita) hal 48.
[5] Abdul Majid,ulumul hadis(yogyakarta:pusat studi wanita) hal 54.
[6] Abdul Majid,ulumul hadis(yogyakarta:pusat studi wanita) hal 56.
[7] Dr. H Munzier suparta M.A, ilmu hadis(jakarta:PT. Raja grafindo persada) hal 75-76
[8] Drs. Muhammad Ahmad, ulumul hadis( bandung:CV pustaka setia) hal 34
[9] Drs. Muhammad Ahmad, ulumul hadis( bandung:CV pustaka setia) hal 35

Translate