Senin, 15 Desember 2014

HUBUNGAN FILSAFAT DAN AGAMA DALAM DUNIA ISLAM



A.    Pendahuluan
Di dalam dunia Islam saat ini, istilah filsafat sering dikonotasikan negatif. Sejak serangan yang dilancarkan oleh al-Ghazali (w.505) terhadap filsafat yakni pada pertengahan abad ke 10M dengan kitabnya yakni Tahafut al-Falasifah. Maka bisa dikatakan filsafat Islam di dunia timur mengalami kematian. Namun itu tidak terjadi pada dunia Islam di Barat. Hingga saat ini umat Islam masih banyak yang tidak mau menggunakan filsafat sebagai cara berpikir.
Sebenarnya apa yang dikritik oleh al-Ghazali terhadap filsafat sebenarnya bukan terletak pada kesalahan filsafat, namun  para filosof muslim yang dianggapnya keliru dalam menyimpulkan sebuah problem. Seperti qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui masalah partikular, dan lain sebagainya. Inilah yang cukup mengusik pikiran al-Ghazali karena hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran al-Quran. Sehingga menggugahnya untuk mengkritik filsafat secara pedas. Namun menariknya bahwa al-Ghazali dalam melakukan kritikannya juga menggunakan filsafat. Ini menandakan bahwa filsafat sebenarnya tetap boleh untuk digunakan oleh umat Islam namun haruslah sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan al-Quran dan sunnah.
Namun yang terjadi saat ini adalah dimana para pengikutnya kemudian mensalahtafsirkan apa yang dilakukan oleh al-Ghazali sehingga filsafat dilarang untuk dilakukan oleh umat Islam, hingga sekarang. Mereka umumnya menganggap bahwa filsafat dan agama Islam memiliki landasan yang berbeda dan ini sangat fundamental. Oleh karenanya dunia Islam saat ini banyak yang tidak berfilsafat dalam kehidupan. Ini tentunya berbeda dengan dunia Barat yang maju karena mereka berfilsafat dari apa yang telah ditinggalkan oleh umat Islam di belahan Barat saat itu.
Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang saat ini. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat membahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.  
Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini.
Oleh karenanya disini penulis berusaha untuk menjelaskan hubungan filsafat dan agama dalam lingkup Islam sehingga perbedaan pandangan tentang filsafat dan agama dapat diminimalisir. Dengan menjelaskan filsafat dan agama disertai karakteristiknya maka diharapakan dapat diketahui relasi antar keduanya. Tentunya yang dimaksud dalam masalah ini adalah filsafat di dunia Islam.
B.     Filsafat dan Berbagai Aspeknya.
Filsafat datang memadamkan mitos. Filsafat tiba membawa penawaran berbeda kepada manusia tentang bagaimana mestinya teknik melihat Dunia. Filsafat menginsyafi potensi rasional manusia, memanfaatkannya untuk kemudian melembagakannya bagi masa depan pengetahuan. Pada mulanya, filsafat adalah pencerahan bagi mitos, irrasionalitas atau bagi suprarasionalitas.
Filsafat tidak melihat setiap kejadian secara deskriptif, atau memandang hanya di permukaan. Filsafat merenungkan setiap kejadian secara mendalam, dasariah dan menguak apa yang ada dibalik penjelasan fisik.
Filsafat itu perangkat lunak pemikiran yang berhubungan dengan pembahasan mengenai segala hal baik yang lunak maupun yang keras. Jika sebelum era Yunani Kuno, pemikiran dan kebudayaan manusia dibuktikan dengan keberhasilan pembangunan fisik dan kemampuan mengendalikan alam, maka sejak di jaman Yunani Kuno, pemikiran diretas menjadi pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai hakikat pembangunan dan penguasaan itu sendiri. Filsafat itu radikal, tidak mudah ikut-ikutan secara teknis pada pengetahuan yang tengah trend dan berkembang.
Filsafat itu tidak menyediakan jawaban yang berakhir, filsafat justru mempersoalkan dasar dan prinsip jawaban-jawaban yang ada. Filsafat adalah simbol peningkatan martabat dari hidup manusia yang tidak melulu ditentukan oleh indikasi fisik, tetapi ditentukan oleh pertimbangan yang komperehensif dan holistik. Mendiskusikan seluruh aspek kehidupan manusia secara integral dan tidak partial.
Adapun definisi mengenai filsafat sangatlah luas dan bervariasi. Secara etomologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Yunani. Dalam bahasa Inggris, yaitu “philosophy”, sedangkan dalam bahasa Yunani “philein” dan “shofein”. Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu “falsafah” yang artinya hikmah. Akan tetapi, kata tersebut pada awalnya berasal dari bahasa Yunani. “philos” artinya cinta, sedangkan “shopia” artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat dapat diartikan dengan cinta kebijaksanaan yang dalam bahasa Arab disitilahkan dengan al-Hikmah. Para ahli filsafat disebut dengan filosof, yakni orang yang mencintai atau mencari kebijaksaan atau kebenaran. Filosof bukan orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran atau kebijaksanaan.[1]
Sementara itu pengertian filsafat menurut terminologi yang mana penulis nukil dari beberapa pakar yakni menurut Jujun  S Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.[2] Sedangkan Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka
Pencarian kebijaksanaan bermakna menelusuri hakikat dan sumber kebenaran. Alat untuk menemukan kebijaksanaan adalah akal yang merupakan sumber primer dalam berpikir. Oleh karenanya, kebenaran filosofis tidak lebih dari kebeneran berpikir yang rasional dan radikal.
Filsafat adalah pencarian kebenaran melalui alur berpikir yang sistematis, artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berpikir sistematis tentu tidaklah meloncat-loncat melainkan mengikuti aturan main yang benar (logika).
Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.[3]
Umumnya dalam suatu ilmu pengetahuan terdapat dua objek kajian. Begitu juga dengan filsafat pun mempunyai dua objek kajian, yakni objek material dan objek formal. Objek material yaitu objek atau lapangan yang dilihat secara keseluruhannya (manusia, hewan, alam, dan sebagainya). Sedangkan objek formal yaitu objek jika dipandang dari suatu sudut tertentu saja atau hakekat terdalam.
 Masing-masing akan diulas seperti berikut ini:
1.      Objek Material
Isi filsafat ditentukan oleh obyek apa yang dipikirkan. Obyek mengenai penyelidikan terhadap segala yang ada dan mungkin ada disebut obyek material filsafat.
Menurut para filsuf, objek material dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
a)        Tipikal atau sungguh ada dalam kenyataan (misal: meja yang tampak nyata, sekarang ada).
b)        Ada dalam kemungkinan (misal: ayam dari telur, keuntungan dari investasi).
c)        Dalam pikiran atau konsep (misal: angka).
Sebenarnya  obyek material filsafat mempunyai banyak kesamaan dengan obyek material sains, namun obyek material filsafat lebih luas karena obyek ini menyelidiki hal-hal yang bersifat abstrak dan ini tidak dapat diteliti oleh obyek material sains yang bersifat empiris. Obyek material filsafat mencakup tiga masalah pokok yaitu, Tuhan, alam semesta dan manusia. “Keluasan” ini hanya dibatasi oleh cakrawala pemikiran terhadap permasalahan yang tampak.
2.      Objek Formal
Adalah penyelidikan yang mendalam mengenai hakikat terdalam substansi, esensi dan intisari. Arti mendalam di sini ialah ingin tahu tentang obyek yang tidak empiris. Penelitian filsafat terletak pada daerah tidak dapat diriset, tetapi dapat dipikirkan secara logis. Jadi, sains menyelidiki dengan riset, filsafat meneliti dengan memikirkannya.
Dari kedua obyek di atas, filsafat dapat diartikan sebagai hasil pemikiran manusia untuk memahami dan mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat yang ada, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari pemahaman ini. Filsafat mengkaji segala sesuatu yang ada. Sedangkan tujuan berfilsafat adalah menemukan kebenaran yang sebenarnya yang disusun secara sistematis mulai dari mengumpulkan pengetahuan, mengajukan kritik, menilai pengetahuan tersebut, menemukan hakikat kebenarannya, menerbitkan dan mengaturnya.
Obyek-obyek ini juga berkaitan dengan fakta-fakta yang ada. Dan cara untuk membicarkan fakta-fakta tersebut yaitu :
a)        Mengajukan kritik terhadap makna suatu fakta.
b)        Menarik kesimpulan umum dari fakta tersebut.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa filsafat adalah jenis berpikir yang memiliki ciri-ciri bersifat sistemati, kritis, radikal, refleksif dan intgral. Dengan kata lain berfikir filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan karena pendekatnnya bersifat integral, yakni tidak mengkaji suatu problem dari satu sisi saja namun secara menyeluruh. Filsafat juga kritis dalam mengkaji obyeknya, dalam arti ia tidak pernah berhenti pada penampakan, asumsi, dogmatisme, melainkan terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan demi mencapai hakekat.[4]
Sebagai induk ilmu pengetahuan maka filsafat mencakup semua ilmu khusus, namun dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus tersebut memisahkan diri dari induknya, yakni filsafat. Meskipun banyak disiplin ilmu yang memisahkan diri dari filsafat, manariknya bahwa filsafat tetap eksis hingga sekarang, bahkan kemudian mendapatkan predikat “ilmu istimewa”, yang memcahkan masalah-maslah yang tidak terjawabkan oleh ilmu khusus. Lantas, sebagai ilmu yang istimewa, filsafat tentunya memiliki cakupan dan cabang-cabangnya tersendiri sebagai wilayah kerjanya.
Adapun cabang-cabang dari filsafat adalah terdiri dari 3 hal, yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Untuk memperjelas ketiga cabang tersebut maka akan sdikit diuraikan.
·         Cabang ontologi
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan kajian kefilsafat yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan dibidang ontologi. Objek telaah ontologi adalah yang ada (being). Studi tentang yang ada, pada tataran studi filsafat umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahsa yang ada (being).
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas yang ada dan bersifat universal (universal being), menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat didalam setiap kenyataannya (hakekat).
Ontologi merupakan bagian dari metafisika. Metafisika mengkaji mengenai realitas atau kenyatan yang bersifat supranatural, mengkaji alam dibalik realitas, menyelidiki hakekat dibalik realitas. Metafisika dapat berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada diluar pengalaman atau menyelidiki suatu hakikat yang berada di balik realitas. Objek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh yang ada.
·         Cabang epistemologi
Epistemologi adalah objek kajian yang menarik karena disinilah dasar-dasar pengetahuan mupun teori pengetahuan manusia bermula. Konsep-konsep ilmu pngetahuan yang berkembang pasat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akranya pada struktur pengetahuan yang membentunkya.
 Secara etimologis, istilah “epistemologi” merupakan gabungan kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos berarti pengetahuan sistematik atau ilmu. Dengan demikian, epsitemologi dapat diartikan sebagai suatu pemikiran mendasar dan sistematik mengenai pengetahuan.[5]
Persamaan arti epsiteme adalah istilah gnosis atau pengetahuan. Secara umum di dalam epistemologi dibicaran tentang sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods, and validity of knowledge. Namun demikian, Pranarka berpendapat bahwa epsitemologi lebih dekat dengan istilah critica atau criteriologia yang cenderung menjadikannya sebagai sarana untuk mengadili, memutuskan dan menempatkan sebuah pengetahuan tertentu.[6]
Espistemologi disebut pula dengan istilah filsafat pengetahuan, istilah epistimologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh JF. Ferrier pada tahun 1854. Pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat dan pengetahuan mistik. Ada beberapa aliran yang berbicara tentang ini.
Berdaarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan tiga cara yaitu cara sains, cara filsafat (logika, akal) dan cara latihan rasa (intuisi, kasyf). Namun secara umum semua pengetahuan itu sebenarnya diperoleh dengan cara berfikir benar, sains dan filsafat jelas dari berfikir benar, mistik sekurang-kurangnya berawal dari berfikir benar juga, norma-norma atau aturan berfikir benar itulah yang dibicarakan oleh logika.
·         Cabang Aksiologi
Akisologi adalah salah satu cabang filsafat yang memiliki kedudukan sangat penting karena akan menentukan ke arah mana ilmu pengetahuan itu ditujukan. Akisologi dalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu, axios yang berarti sesuai atau wajar sedangkan logos berarti ilmu. Aksiologin disebut sebagai teori nilai.
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmun pengetahuan itu sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. jadi yang ingin dicapai leh aksiologi adalah hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu pengetahuan. Jadi objek kajian aksiologi adalah menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu karena ilmu dalam konteks filsafat tidak bebas nilai.
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethic) atau moral (moral), tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakain dalam dialog filosofis. Jadi aksiologi bisa disebut sebagai the theory of  value atau teori nilai. [7] 

C.    Agama  Islam dan Berbagai Aspeknya.
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari aspek-aspek budaya yang dipelajari oleh para antropolog dan para ilmuwan sosial lainnya. Sangat penting bukan saja yang dijumpai pada setiap masyarakat, tetapi juga karena penting saling pengaruh-mempeharuhi antara lembaga budaya satu dengan lembaga budaya lainnya. Di dalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral dan etika.
Kata term “agama” meskipun keberadaanya dimasyarakat sudah begitu populer, namun secara ontologis ia masih sulit untuk dirumuskan pengertiannya. M. Quraish Shihab mengatakan bahwa agama sebagai sebuah term yang relatif mudah diucapkan tetapi sangat sulit didefinisikan secara tepat.[8]  Bahkan Mukti Ali menyebut agama sebagai kata yang paling sulit dirumuskan pengertiannya atau definisinya.
Jika ditinjau dari historisnya Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja religare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Definisi lain menyebutkan bahwa kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia.[9] Dalam hal ini agama memang memiliki sifat tersebut.
Sementara kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama me-mang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia.[10]
Analisis etimologis diatas hanya merupakan sebuah usaha untuk memberikan gambaran atau pengertian umum dan sederhana tentang agama. sementara itu para ahli juga telah berupaya untuk memberikan penegertian yang lebih bersifat definitif mengenai agama. dintaranya yakni menurut Sidi Gazalba bahwa definisi agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu[11]
Sementara dalam kepuastakaan Arab ada ungkapan yang berbeda dalam memberikan pengertian din (agama). agama ialah suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal memegang peraturan Tuhan itu dengan kehendak sendiri, untuk mencapai kebaikan hidup dan kebahagiaan kelak di akherat.[12]
Agama dalam makalah ini akan dikrucutkan kepada agama Islam. Hal ini penulis lakukan karena pada sub-bab berikutnya akan dijelaskan mengenai hubungan agama Islam dengan filsafat. Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pakar ilmu sosial bahwa agama tentunya memiliki landasan normatif dalam ajaran-ajarannya. Ini juga berlaku pada agama Islam. Islam sebagai pedoman hidup maka tentu memiliki landasan normatif dan terdapat nilai-nilai hidup.
Landasan normatif dari agama Islam yakni adalah al-Quran dan Sunnah. Kedua hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pijakan atau pedoman hidup umat Islam. Wahyu dalam hal ini adalah al-Quran merupakan sebuah otoritas kebenaran dari Dzat yang Maha Benar yakni Allah Swt. Ajaran-ajaran yang dikembangkan leh agama Islam tentunya bersumber dari kedua hal tersebut yakni al-Quran dan Sunnah .
Didalam ajaran Islam pun terdapat beberapa pokok ajaran yakni akidah, syariah, dan akhlak. Akidah yakni bertautan dengan Tauhid atau keimanan seseorang muslim. Dimana keimanan merupakan unsur pokok dalam ajaran Islam. Ibarat sebuah bangunan maka iman merupakan sebuah pondasi yang menadasari atas berdiri tegaknya suatu bagunan. Keimanan dalam Islam yakni termanisfestasikan dalam bentuk dua kalimat syahadat (persaksian) yakni bahwa bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Syariah adalah merupakan bentuk ajaran islam yang bergerak padan ranah aturan atau norma-norma. Sebagai aturan maka tentunya syariah haruslah menjadi pedoman hidup untuk orang muslim. Syariah juga sering diidentikkan sebagai hukum. Dalam ajaran Islam hukum terbagi menjadi dua garis besar yakni hukum ubudiyyah yakni mencakup hubungan antara manusia dengan Allah. dan hukum muamalahn yaknin mencakup hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Sehingga ajaran Islam dalam hal syariat bisa dikatakan sangatlah komprehensif pembahasannya mualai hubungan manusia terhadap Tuhannya hingga manusia dengan manusia lainnya.
Akhlak adalah merupakan ajaran pokok ketiga dari Islam. Akhlak secara etimologis berarti budi pekerti, tingkah laku atu tabiat. Namun jika ditinjau dari segi terminologisnya yakni akhlak adalah tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan  secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Tingkah laku dalam Islam sangatlah penting karena tingkah laku dipandang sebagai manifestasi dari akidah dan syariah, maka tolok ukur keshalehan seseorang muslim terletak pada tingkah lakunya. Oleh karenanya maka ketiga pokok ajaran dari Islam tersebut saling terintegrasi satu sama lain.

D.    Hubungan Antara Filsafat Dengan Agama Islam
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa filsafat dan agama adalah dua pokok persoalan yang berbeda, namun memiliki hubungan. Agama banyak berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa, sedangkan filsafat seperti yang dikemukakan di atas bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya itu mempunyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Masuknya dunia filsafat dalam dunia Islam sebenarnya telah ada pada abad pertengahan hijriah, yaitu melalui dua madzhab, Neo Platonisme yang masuk kepada dunia tasawuf, dan madzhab Paripatetik yang kelihatan lebih banyak masuk kedalam bentuk skalastisisme ortodoks (kalam)[13]. Sehingga ilmu kalam tersebut oleh para pakar dikategorikan bagian dari filsafat Islam.
Hubungan filsafat dan dunia Islam sesungguhnya terjadi permasalahan-permasalahan dengan tanggapan yang berbeda. Seiring dengan tingkat pemahamannyan. Di di dalam makalah ini akan dibedakan menjadi tiga kelompok yakni Pertama, kelompok yang memegang  teguh agama dan menolak filsafat secara ekstrem (Fuqaha). kedua, kelompok yang menerima filsafat secara moderat (para tokoh Teologi atau Kalam). Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan antara filsafat dan agama menurut cara tertentu dan cara inilah yang ditempuh oleh para filosof yang mukmin dan memegang teguh akidah-akidah agama.[14]
Akhirnya dengan adanya filsafat dalam dunia Islam atau yang lebih dikenal dengan filsafat Islam bisa memadukan antara wahyu dan akal, antara akidah dan hikmah, antara agama dan filsafat, dan berupaya menjelaskan bahwa:
·         Wahyu tidak bertentangan dengan akal
·         Akidah dengan diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di dalam jiwa dan kokoh di hadapan lawan.
·         Agama jika bersaudara dengan filsafat akan menjadi filosofis sebagaimana filsafat menjadi religius.[15]
Pada hakikatnya terdapat persamaan antara tujujan filsafat dan agama, sebagaimana para filosof Islam berpendirian bahwa keduanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan-perbuatan  yang baik. Adapun menurut mereka pembahasan agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Hal ini seperti dalam pengertian filsafat yaitu ilmu tentang wujud-wujud melalui sebab-sebabnya yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin dan sampai pada sebab-sebabnya sesuatu.[16]
Diantara para filosof  diatas, Al-Farabi yang dikenal dengan tokoh besar Islam, juga mengungkapkan bahwa tujuan filsafat dan agama ialah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat-filsafat memakai dalil-dalil yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama memakai cara Iqna’i (pemuasan perasaan) yang kiasan-kiasan serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa dan negara.
Selain itu menurut beliau, bahwa tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat adalah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan,  kebijaksanaan dan keadilan.[17]
Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan agamanya.
Bahkan dalam pandangan al-Kindi seorang filosof muslim pertama berusaha memadukan antara agama dengan filsafat. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Quran yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran filsafat. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang tersebut menurut al-Kindi telah mengingkari kebenaran, dan karena itu ia dapat dikelompokkan menjadi orang “kafir”.[18]
Adapun ibnu Hazm yang dalam kitabnya al-Fishal fi al-milal wa al-nihal bahwa tidak ada perbedaanpun antara satu filosof dan para ahli Syariat (ulama fiqih) terkait dengan tujuan filsafat. Maka menutrut Ibnu Hazm adalah bahwa tujuan filsafat dan syariat adalah tujuan praktis dan bukan termasuk salah satu aliran filsafat dan  juga bukan termasuk mazhab aliran kaum agamawan (ulama fiqih). Ini memnadakan bahwa secara tujuanpun sama antara filsafat dan agama yakni untuk tujuan praktis.
Ditegaskan juga oleh al-Syahrastani dalam kitabnya al-milal wa al-nihal bahwa Para filsuf berkata : “Ketika kebahagiaan adalah yang dicari, maka semestinya manusia akan bekerja keras untuk memperoleh dan mencapainya. Dan hal ini tidak akan didapat tanpa hikmah yakni filsafat. Dan hikmah sendiri dicari terkadang untuk diamalkan / dipraktikkan (praktis dan terkadang sekedar untuk diketahu / dipelajari (teoritis). Maka dari itu, Hikmah terbagi menjadi dua : Hikmah teoritis dan praktis. Adapun bagian yang praktis adalah praktik / mempraktikkan kebaikan. Sedangkan yang teoritis adalah mengetahui kebenaran”.[19]
Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.
Agama adalah salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan filsafat. Dengan demikian, agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengetahuan juga mempunyai objek materia yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia filsafat adalah bagian yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek yang berbeda yaitu aspek pisik dan aspek metefisik. Aspek metafisik adalah hal-hal yang berkaitan dengan yang gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan manusia dengan-Nya, sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi, maupun sebagai anggota masyarakat.
Kedua aspek ini (pisik dan metafisik) menjadi objek materia filsafat. Namun demikian objek filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek fisik. Aspek fisik itu sebenarnya sudah menjadi pembahasan ilmu seperti ilmu sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah memi-sahkan diri dari filsafat.  Dengan demikian, agama ternyata termasuk objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek material filsafat jelas lebih luas dari objek materi sains. Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidikan. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat dalam agama Islam adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri. 

E.     Kesimpulan
Filsafat adalah sebuah kerangka berfikir yang mana mempunyai metode tersendiri tentunya berbeda dengan metode ilmu pengetahuan. Karakteristik filsafat yakni radikal, rasional, sistematis dann universeal. Filsafat merupakan bentuk refleksi terhadap segala hal yang ada dan yang mungkin ada, cakupan kajian filsafat sangatlah luas dengan objek forma atau sudut pandang yang komprehensif. Filsafat bersifat rasionalis sehingga untuk mencapai kebenaran maka para filosof menggunkan akal atau rasionya sebagai instrumen.
Sementara agama Islam merupakan sebuah ajaran yang berdasarkan wahyu Tuhan yang tentunya memiliki otoritas kebenaran mutlak. Islam sendiri sebenarnya memerintahkan umatnya untuk mendayagunakan potensi akal. Sehingga terjadi sebuah sinergitas anatara filsafat yang merupakan represntasi dari akal dengan agama Islam yang merupakan sumber kebenaran.
Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.

Daftar Pustaka
Abdurraziq, Mustafa. 2010. Tamhid li Tarikh al-Falsafat ila Islamiyyah.
Anwar, Rasihan. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Dardiri, H.A. 1986. Humaniora Filsafat dan logika. Jakarta: Rajawali Press.
Gazalba, Sidi. 1978. Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Hakim, Abdul Atang. 2008. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Hanafi, Ahmad. 1982. Pengantar Filsafat Islam. Yogyakarta: Bulan Bintang.
Madkaour, Ibrahim. 1987. Filsafat Islam Metode dan Penerapan. Jakarta: Rajawali Pers.
MKDU, Tim. 2011. Pengantar Filsafat. Surabaya: IAIN SA Press.
Mu’in, M. Tohir Abdul. 1986. Ilmu Kalam. Jakarta: Wijaya.
Nasution, Harun. 1979. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan.
Suriasumantri, Jujun S. 1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.



[1] Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 14.
[2] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995),  25.
[3] H.A. Dardiri, Humaniora Filsafat dan Logika, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), 9.
[4] Tim MKDU, Pengantar Filsafat, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), 14.
[5] Ibid, 79.
[6] Pranarka dalam Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 26.

[7] Tim MKDU, Pengantar Filsafat, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), 92-93.
[8] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992), 209.
[9] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), 9.
[10] Ibid, 10.
[11] Sidi Gazalba,  Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 103.
[12] M. Tohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), 121.
[13] Rasihan Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),36.
[14] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1982), 87.
[15] Ibrahim Madkaour, filsafat islam metode dan penerapan, (jakarta:Rajawali Pers, 1987), 8
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Yogakarta: Bulan Bintang, 1986), 11-16.
[17] Ibid,17-18.
[18] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 17-18.
[19] Mustafa Abduraziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafat ila Islamiyyah, 93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate