A.
Pendahuluan
Di dalam dunia Islam saat ini, istilah filsafat
sering dikonotasikan negatif. Sejak serangan yang dilancarkan oleh al-Ghazali
(w.505) terhadap filsafat yakni pada pertengahan abad ke 10M dengan kitabnya
yakni Tahafut al-Falasifah. Maka bisa
dikatakan filsafat Islam di dunia timur mengalami kematian. Namun itu tidak
terjadi pada dunia Islam di Barat. Hingga saat ini umat Islam masih banyak yang
tidak mau menggunakan filsafat sebagai cara berpikir.
Sebenarnya apa yang dikritik oleh al-Ghazali
terhadap filsafat sebenarnya bukan terletak pada kesalahan filsafat, namun para filosof muslim yang dianggapnya keliru
dalam menyimpulkan sebuah problem. Seperti qadimnya alam, Tuhan tidak
mengetahui masalah partikular, dan lain sebagainya. Inilah yang cukup mengusik
pikiran al-Ghazali karena hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran al-Quran.
Sehingga menggugahnya untuk mengkritik filsafat secara pedas. Namun menariknya
bahwa al-Ghazali dalam melakukan kritikannya juga menggunakan filsafat. Ini
menandakan bahwa filsafat sebenarnya tetap boleh untuk digunakan oleh umat
Islam namun haruslah sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan al-Quran
dan sunnah.
Namun yang terjadi saat ini adalah dimana para
pengikutnya kemudian mensalahtafsirkan apa yang dilakukan oleh al-Ghazali
sehingga filsafat dilarang untuk dilakukan oleh umat Islam, hingga sekarang.
Mereka umumnya menganggap bahwa filsafat dan agama Islam memiliki landasan yang
berbeda dan ini sangat fundamental. Oleh karenanya dunia Islam saat ini banyak
yang tidak berfilsafat dalam kehidupan. Ini tentunya berbeda dengan dunia Barat
yang maju karena mereka berfilsafat dari apa yang telah ditinggalkan oleh umat
Islam di belahan Barat saat itu.
Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian
yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang saat ini. Filsafat dalam cara
kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab
itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan
pengalaman. Filsafat membahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang
diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur
kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu
memperhatikan aspek logisnya.
Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan
fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui
secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara
benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara
keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya.
Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan
para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan
kesesuaian dua mainstream disiplin ini.
Oleh karenanya disini penulis berusaha untuk
menjelaskan hubungan filsafat dan agama dalam lingkup Islam sehingga perbedaan
pandangan tentang filsafat dan agama dapat diminimalisir. Dengan menjelaskan
filsafat dan agama disertai karakteristiknya maka diharapakan dapat diketahui
relasi antar keduanya. Tentunya yang dimaksud dalam masalah ini adalah filsafat
di dunia Islam.
B.
Filsafat
dan Berbagai Aspeknya.
Filsafat datang memadamkan mitos.
Filsafat tiba membawa penawaran berbeda kepada manusia tentang bagaimana
mestinya teknik melihat Dunia. Filsafat menginsyafi potensi rasional manusia,
memanfaatkannya untuk kemudian melembagakannya bagi masa depan pengetahuan.
Pada mulanya, filsafat adalah pencerahan bagi mitos, irrasionalitas atau bagi suprarasionalitas.
Filsafat tidak melihat setiap
kejadian secara deskriptif, atau memandang hanya di permukaan. Filsafat
merenungkan setiap kejadian secara mendalam, dasariah dan menguak apa yang ada
dibalik penjelasan fisik.
Filsafat itu perangkat lunak
pemikiran yang berhubungan dengan pembahasan mengenai segala hal baik yang
lunak maupun yang keras. Jika sebelum era Yunani Kuno, pemikiran dan kebudayaan
manusia dibuktikan dengan keberhasilan pembangunan fisik dan kemampuan
mengendalikan alam, maka sejak di jaman Yunani Kuno, pemikiran diretas menjadi
pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai hakikat pembangunan dan penguasaan itu
sendiri. Filsafat itu radikal, tidak mudah ikut-ikutan secara teknis pada
pengetahuan yang tengah trend dan berkembang.
Filsafat itu tidak menyediakan
jawaban yang berakhir, filsafat justru mempersoalkan dasar dan prinsip
jawaban-jawaban yang ada. Filsafat adalah simbol peningkatan martabat dari hidup
manusia yang tidak melulu ditentukan oleh indikasi fisik, tetapi ditentukan
oleh pertimbangan yang komperehensif dan holistik. Mendiskusikan seluruh aspek
kehidupan manusia secara integral dan tidak partial.
Adapun definisi mengenai filsafat
sangatlah luas dan bervariasi. Secara etomologis, filsafat berasal dari
beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Yunani. Dalam bahasa Inggris,
yaitu “philosophy”, sedangkan dalam
bahasa Yunani “philein” dan “shofein”. Ada pula yang mengatakan bahwa
filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu “falsafah”
yang artinya hikmah. Akan tetapi, kata tersebut pada awalnya berasal dari
bahasa Yunani. “philos” artinya
cinta, sedangkan “shopia” artinya
kebijaksanaan atau pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat dapat diartikan
dengan cinta kebijaksanaan yang dalam bahasa Arab disitilahkan dengan al-Hikmah. Para ahli filsafat disebut
dengan filosof, yakni orang yang mencintai atau mencari kebijaksaan atau
kebenaran. Filosof bukan orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar,
melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran atau kebijaksanaan.[1]
Sementara itu pengertian filsafat menurut
terminologi yang mana penulis nukil dari beberapa pakar yakni menurut
Jujun S Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan
yang mungkin dapat dipikirkan manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir,
filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat
mulai merambah pertanyaan lain.[2]
Sedangkan Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha
mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran
belaka
Pencarian kebijaksanaan bermakna
menelusuri hakikat dan sumber kebenaran. Alat untuk menemukan kebijaksanaan
adalah akal yang merupakan sumber primer dalam berpikir. Oleh karenanya,
kebenaran filosofis tidak lebih dari kebeneran berpikir yang rasional dan
radikal.
Filsafat adalah pencarian kebenaran
melalui alur berpikir yang sistematis, artinya perbincangan mengenai segala
sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga
tahapan-tahapannya mudah diikuti. Berpikir sistematis tentu tidaklah
meloncat-loncat melainkan mengikuti aturan main yang benar (logika).
Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi
terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana,
orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat
orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan
tercapai oleh manusia.[3]
Umumnya dalam suatu ilmu pengetahuan terdapat dua objek kajian. Begitu juga
dengan filsafat pun mempunyai dua objek kajian, yakni objek material dan objek
formal. Objek material yaitu objek atau lapangan yang dilihat secara
keseluruhannya (manusia, hewan, alam, dan sebagainya). Sedangkan objek formal
yaitu objek jika dipandang dari suatu sudut tertentu saja atau hakekat
terdalam.
Masing-masing akan diulas seperti
berikut ini:
1.
Objek Material
Isi
filsafat ditentukan oleh obyek apa yang dipikirkan. Obyek mengenai penyelidikan
terhadap segala yang ada dan mungkin ada disebut obyek material filsafat.
Menurut para
filsuf, objek material dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
a)
Tipikal atau sungguh
ada dalam kenyataan (misal: meja yang tampak nyata, sekarang ada).
b)
Ada dalam kemungkinan
(misal: ayam dari telur, keuntungan dari investasi).
c)
Dalam pikiran atau
konsep (misal: angka).
Sebenarnya obyek material filsafat mempunyai banyak
kesamaan dengan obyek material sains, namun obyek material filsafat lebih luas
karena obyek ini menyelidiki hal-hal yang bersifat abstrak dan ini tidak dapat
diteliti oleh obyek material sains yang bersifat empiris. Obyek material
filsafat mencakup tiga masalah pokok yaitu, Tuhan, alam semesta dan manusia.
“Keluasan” ini hanya dibatasi oleh cakrawala pemikiran terhadap permasalahan
yang tampak.
2.
Objek Formal
Adalah
penyelidikan yang mendalam mengenai hakikat terdalam substansi, esensi dan
intisari. Arti mendalam di sini ialah ingin tahu tentang obyek yang tidak
empiris. Penelitian filsafat terletak pada daerah tidak dapat diriset, tetapi
dapat dipikirkan secara logis. Jadi, sains menyelidiki dengan riset, filsafat
meneliti dengan memikirkannya.
Dari
kedua obyek di atas, filsafat dapat diartikan sebagai hasil pemikiran manusia
untuk memahami dan mendalami secara radikal dan integral serta sistematis
hakikat yang ada, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari pemahaman ini.
Filsafat mengkaji segala sesuatu yang ada. Sedangkan tujuan berfilsafat adalah
menemukan kebenaran yang sebenarnya yang disusun secara sistematis mulai dari
mengumpulkan pengetahuan, mengajukan kritik, menilai pengetahuan tersebut,
menemukan hakikat kebenarannya, menerbitkan dan mengaturnya.
Obyek-obyek
ini juga berkaitan dengan fakta-fakta yang ada. Dan cara untuk membicarkan
fakta-fakta tersebut yaitu :
a)
Mengajukan kritik
terhadap makna suatu fakta.
b)
Menarik kesimpulan umum
dari fakta tersebut.
Secara umum dapat
dikemukakan bahwa filsafat adalah jenis berpikir yang memiliki ciri-ciri
bersifat sistemati, kritis, radikal, refleksif dan intgral. Dengan kata lain
berfikir filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan karena pendekatnnya bersifat
integral, yakni tidak mengkaji suatu problem dari satu sisi saja namun secara
menyeluruh. Filsafat juga kritis dalam mengkaji obyeknya, dalam arti ia tidak
pernah berhenti pada penampakan, asumsi, dogmatisme, melainkan terus mengajukan
pertanyaan-pertanyaan demi mencapai hakekat.[4]
Sebagai induk ilmu
pengetahuan maka filsafat mencakup semua ilmu khusus, namun dalam perkembangan
selanjutnya ilmu-ilmu khusus tersebut memisahkan diri dari induknya, yakni
filsafat. Meskipun banyak disiplin ilmu yang memisahkan diri dari filsafat,
manariknya bahwa filsafat tetap eksis hingga sekarang, bahkan kemudian
mendapatkan predikat “ilmu istimewa”, yang memcahkan masalah-maslah yang tidak
terjawabkan oleh ilmu khusus. Lantas, sebagai ilmu yang istimewa, filsafat
tentunya memiliki cakupan dan cabang-cabangnya tersendiri sebagai wilayah
kerjanya.
Adapun cabang-cabang
dari filsafat adalah terdiri dari 3 hal, yakni ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Untuk memperjelas ketiga cabang tersebut maka akan sdikit diuraikan.
·
Cabang ontologi
Ontologi merupakan
salah satu di antara lapangan kajian kefilsafat yang paling kuno. Awal mula
alam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan dibidang ontologi.
Objek telaah ontologi adalah yang ada (being).
Studi tentang yang ada, pada tataran studi filsafat umumnya dilakukan oleh
filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahsa
yang ada (being).
Ontologi membahas
tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi
membahas yang ada dan bersifat universal (universal
being), menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari
inti yang termuat didalam setiap kenyataannya (hakekat).
Ontologi merupakan
bagian dari metafisika. Metafisika mengkaji mengenai realitas atau kenyatan
yang bersifat supranatural, mengkaji alam dibalik realitas, menyelidiki hakekat
dibalik realitas. Metafisika dapat berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam
yang berada diluar pengalaman atau menyelidiki suatu hakikat yang berada di
balik realitas. Objek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh yang ada.
·
Cabang epistemologi
Epistemologi adalah
objek kajian yang menarik karena disinilah dasar-dasar pengetahuan mupun teori
pengetahuan manusia bermula. Konsep-konsep ilmu pngetahuan yang berkembang
pasat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak
akranya pada struktur pengetahuan yang membentunkya.
Secara etimologis, istilah “epistemologi” merupakan gabungan kata
dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan
logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos berarti pengetahuan sistematik atau ilmu. Dengan demikian,
epsitemologi dapat diartikan sebagai suatu pemikiran mendasar dan sistematik
mengenai pengetahuan.[5]
Persamaan arti epsiteme
adalah istilah gnosis atau
pengetahuan. Secara umum di dalam epistemologi dibicaran tentang sumber-sumber
pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Epistemology is the
branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods, and
validity of knowledge. Namun
demikian, Pranarka berpendapat bahwa epsitemologi lebih dekat dengan istilah critica
atau criteriologia yang cenderung menjadikannya sebagai sarana untuk
mengadili, memutuskan dan menempatkan sebuah pengetahuan tertentu.[6]
Espistemologi disebut
pula dengan istilah filsafat pengetahuan, istilah epistimologi untuk pertama
kalinya muncul dan digunakan oleh JF. Ferrier pada tahun 1854. Pengetahuan
manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat dan
pengetahuan mistik. Ada beberapa aliran yang berbicara tentang ini.
Berdaarkan uraian di
atas, maka dapat diketahui bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan tiga
cara yaitu cara sains, cara filsafat (logika, akal) dan cara latihan rasa
(intuisi, kasyf). Namun secara umum
semua pengetahuan itu sebenarnya diperoleh dengan cara berfikir benar, sains
dan filsafat jelas dari berfikir benar, mistik sekurang-kurangnya berawal dari
berfikir benar juga, norma-norma atau aturan berfikir benar itulah yang
dibicarakan oleh logika.
·
Cabang Aksiologi
Akisologi adalah salah
satu cabang filsafat yang memiliki kedudukan sangat penting karena akan
menentukan ke arah mana ilmu pengetahuan itu ditujukan. Akisologi dalah istilah
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu, axios
yang berarti sesuai atau wajar sedangkan logos berarti ilmu.
Aksiologin disebut sebagai teori nilai.
Aksiologi merupakan
cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmun pengetahuan itu
sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. jadi yang ingin
dicapai leh aksiologi adalah hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu
pengetahuan. Jadi objek kajian aksiologi adalah menyangkut masalah nilai
kegunaan ilmu karena ilmu dalam konteks filsafat tidak bebas nilai.
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethic) atau moral (moral), tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori)
lebih akrab dipakain dalam dialog filosofis. Jadi aksiologi bisa disebut
sebagai the theory of value atau teori nilai. [7]
C.
Agama Islam dan
Berbagai Aspeknya.
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari aspek-aspek
budaya yang dipelajari oleh para antropolog dan para ilmuwan sosial lainnya.
Sangat penting bukan saja yang dijumpai pada setiap masyarakat, tetapi juga
karena penting saling pengaruh-mempeharuhi antara lembaga budaya satu dengan
lembaga budaya lainnya. Di dalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya
dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral dan etika.
Kata term “agama” meskipun keberadaanya dimasyarakat sudah begitu populer,
namun secara ontologis ia masih sulit untuk dirumuskan pengertiannya. M.
Quraish Shihab mengatakan bahwa agama sebagai sebuah term yang relatif mudah
diucapkan tetapi sangat sulit didefinisikan secara tepat.[8] Bahkan Mukti Ali menyebut agama sebagai kata
yang paling sulit dirumuskan pengertiannya atau definisinya.
Jika ditinjau dari historisnya Kata "agama" berasal dari
bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata
lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio
dan berakar pada kata kerja religare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada
Tuhan. Definisi lain menyebutkan bahwa kata “agama” berasal dari bahasa
Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti pergi,
tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia.[9]
Dalam hal ini agama memang memiliki sifat tersebut.
Sementara kata religi
berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca.
Agama me-mang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi
kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca.
Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat.
Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia.[10]
Analisis etimologis diatas hanya merupakan sebuah usaha untuk memberikan
gambaran atau pengertian umum dan sederhana tentang agama. sementara itu para
ahli juga telah berupaya untuk memberikan penegertian yang lebih bersifat
definitif mengenai agama. dintaranya yakni menurut Sidi
Gazalba bahwa definisi agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan
diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan
membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu[11]
Sementara dalam
kepuastakaan Arab ada ungkapan yang berbeda dalam memberikan pengertian din (agama). agama ialah suatu peraturan
Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal memegang peraturan
Tuhan itu dengan kehendak sendiri, untuk mencapai kebaikan hidup dan
kebahagiaan kelak di akherat.[12]
Agama dalam
makalah ini akan dikrucutkan kepada agama Islam. Hal ini penulis lakukan karena
pada sub-bab berikutnya akan dijelaskan mengenai hubungan agama Islam dengan
filsafat. Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pakar ilmu sosial bahwa
agama tentunya memiliki landasan normatif dalam ajaran-ajarannya. Ini juga
berlaku pada agama Islam. Islam sebagai pedoman hidup maka tentu memiliki
landasan normatif dan terdapat nilai-nilai hidup.
Landasan normatif dari agama Islam yakni adalah al-Quran dan Sunnah. Kedua
hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pijakan atau pedoman hidup umat Islam.
Wahyu dalam hal ini adalah al-Quran merupakan sebuah otoritas kebenaran dari
Dzat yang Maha Benar yakni Allah Swt. Ajaran-ajaran yang dikembangkan leh agama
Islam tentunya bersumber dari kedua hal tersebut yakni al-Quran dan Sunnah .
Didalam ajaran Islam pun terdapat beberapa pokok ajaran yakni akidah,
syariah, dan akhlak. Akidah yakni bertautan dengan Tauhid atau keimanan
seseorang muslim. Dimana keimanan merupakan unsur pokok dalam ajaran Islam.
Ibarat sebuah bangunan maka iman merupakan sebuah pondasi yang menadasari atas
berdiri tegaknya suatu bagunan. Keimanan dalam Islam yakni termanisfestasikan
dalam bentuk dua kalimat syahadat
(persaksian) yakni bahwa bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa
nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Syariah adalah merupakan bentuk ajaran islam yang bergerak padan ranah
aturan atau norma-norma. Sebagai aturan maka tentunya syariah haruslah menjadi
pedoman hidup untuk orang muslim. Syariah juga sering diidentikkan sebagai
hukum. Dalam ajaran Islam hukum terbagi menjadi dua garis besar yakni hukum ubudiyyah yakni mencakup hubungan antara
manusia dengan Allah. dan hukum muamalahn
yaknin mencakup hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Sehingga ajaran
Islam dalam hal syariat bisa dikatakan sangatlah komprehensif pembahasannya
mualai hubungan manusia terhadap Tuhannya hingga manusia dengan manusia
lainnya.
Akhlak adalah merupakan ajaran pokok ketiga dari Islam. Akhlak secara
etimologis berarti budi pekerti, tingkah laku atu tabiat. Namun jika ditinjau
dari segi terminologisnya yakni akhlak adalah tingkah laku seseorang yang
didorong oleh suatu keinginan secara
sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Tingkah laku dalam Islam
sangatlah penting karena tingkah laku dipandang sebagai manifestasi dari akidah
dan syariah, maka tolok ukur keshalehan seseorang muslim terletak pada tingkah
lakunya. Oleh karenanya maka ketiga pokok ajaran dari Islam tersebut saling
terintegrasi satu sama lain.
D.
Hubungan Antara Filsafat Dengan Agama Islam
Dari uraian di
atas dapat diketahui bahwa filsafat dan agama adalah dua pokok persoalan yang
berbeda, namun memiliki hubungan. Agama banyak berbicara tentang hubungan
antara manusia dengan Yang Maha Kuasa, sedangkan filsafat seperti yang
dikemukakan di atas bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu mempunyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Masuknya dunia filsafat dalam dunia Islam sebenarnya telah ada pada abad pertengahan
hijriah, yaitu melalui dua madzhab, Neo Platonisme yang masuk kepada dunia
tasawuf, dan madzhab Paripatetik yang kelihatan lebih banyak masuk kedalam
bentuk skalastisisme ortodoks (kalam)[13].
Sehingga ilmu kalam tersebut oleh para pakar dikategorikan bagian dari filsafat
Islam.
Hubungan filsafat dan dunia Islam sesungguhnya terjadi
permasalahan-permasalahan dengan tanggapan yang berbeda.
Seiring dengan tingkat pemahamannyan. Di di dalam makalah ini akan dibedakan
menjadi tiga kelompok yakni Pertama,
kelompok yang memegang teguh agama dan
menolak filsafat secara ekstrem (Fuqaha). kedua,
kelompok yang menerima filsafat secara moderat (para tokoh Teologi atau Kalam).
Ketiga, kelompok yang berusaha
memadukan antara filsafat dan agama menurut cara tertentu dan cara inilah yang
ditempuh oleh para filosof yang mukmin dan memegang teguh akidah-akidah agama.[14]
Akhirnya dengan adanya filsafat dalam dunia Islam atau
yang lebih dikenal dengan filsafat Islam bisa memadukan antara wahyu dan akal, antara akidah dan hikmah, antara agama dan filsafat, dan
berupaya menjelaskan bahwa:
·
Wahyu
tidak bertentangan dengan akal
·
Akidah
dengan diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di dalam jiwa dan kokoh di
hadapan lawan.
·
Agama
jika bersaudara dengan filsafat akan menjadi filosofis sebagaimana filsafat
menjadi religius.[15]
Pada hakikatnya terdapat persamaan antara tujujan filsafat
dan agama, sebagaimana para filosof Islam berpendirian bahwa keduanya bertujuan
untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan
perbuatan-perbuatan yang baik. Adapun
menurut mereka pembahasan agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya
membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Hal ini
seperti dalam pengertian filsafat yaitu ilmu tentang wujud-wujud melalui
sebab-sebabnya yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin dan sampai pada
sebab-sebabnya sesuatu.[16]
Diantara para filosof
diatas, Al-Farabi yang dikenal dengan tokoh besar Islam, juga
mengungkapkan bahwa tujuan filsafat dan agama ialah sama, yaitu mengetahui
semua wujud. Hanya saja filsafat-filsafat memakai dalil-dalil yang diyakini dan
ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama memakai cara Iqna’i (pemuasan
perasaan) yang kiasan-kiasan serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang,
bangsa dan negara.
Selain itu menurut beliau, bahwa tujuan terpenting dalam
mempelajari filsafat adalah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak,
bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur
alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan
dan keadilan.[17]
Jika
agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir
perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan
filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek
penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat
berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan
sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya
untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin,
keimanan dan kepercayaan agamanya.
Bahkan
dalam pandangan al-Kindi seorang filosof muslim pertama berusaha memadukan antara
agama dengan filsafat. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Quran yang
membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran filsafat. Karena itu, mempelajari filsafat dan
berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat,
sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Dengan demikian, orang
yang menolak filsafat maka orang tersebut menurut al-Kindi telah mengingkari
kebenaran, dan karena itu ia dapat dikelompokkan menjadi orang “kafir”.[18]
Adapun
ibnu Hazm yang dalam kitabnya al-Fishal
fi al-milal wa al-nihal bahwa tidak ada perbedaanpun antara satu filosof
dan para ahli Syariat (ulama fiqih) terkait dengan tujuan filsafat. Maka menutrut Ibnu Hazm adalah bahwa tujuan
filsafat dan syariat adalah tujuan praktis dan bukan termasuk salah satu aliran
filsafat dan juga bukan termasuk mazhab
aliran kaum agamawan (ulama fiqih). Ini memnadakan bahwa secara tujuanpun sama
antara filsafat dan agama yakni untuk tujuan praktis.
Ditegaskan juga oleh al-Syahrastani dalam kitabnya al-milal wa al-nihal bahwa Para filsuf
berkata : “Ketika kebahagiaan adalah yang dicari, maka semestinya manusia akan
bekerja keras untuk memperoleh dan mencapainya. Dan hal ini tidak akan didapat
tanpa hikmah yakni filsafat. Dan hikmah sendiri dicari terkadang untuk diamalkan
/ dipraktikkan (praktis dan terkadang sekedar untuk diketahu / dipelajari
(teoritis). Maka dari itu, Hikmah terbagi menjadi dua : Hikmah teoritis dan
praktis. Adapun bagian yang praktis adalah praktik / mempraktikkan kebaikan.
Sedangkan yang teoritis adalah mengetahui kebenaran”.[19]
Dengan
demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu
faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat
untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia
doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan
apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.
Agama adalah
salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan filsafat. Dengan demikian,
agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengetahuan juga mempunyai objek
materia yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia filsafat adalah bagian
yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek yang berbeda yaitu aspek pisik
dan aspek metefisik. Aspek metafisik adalah hal-hal yang berkaitan dengan yang
gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan manusia dengan-Nya,
sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi, maupun sebagai anggota
masyarakat.
Kedua aspek
ini (pisik dan metafisik) menjadi objek materia filsafat. Namun demikian objek
filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek fisik.
Aspek fisik itu sebenarnya sudah menjadi pembahasan ilmu seperti ilmu
sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah
memi-sahkan diri dari filsafat. Dengan demikian, agama ternyata termasuk
objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek material
filsafat jelas lebih luas dari objek materi sains. Perbedaan itu sebenarnya
disebabkan oleh sifat penyelidikan. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini
adalah penyelidikan yang mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian
yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat dalam agama Islam adalah
aspek yang terdalam dari agama itu sendiri.
E.
Kesimpulan
Filsafat
adalah sebuah kerangka berfikir yang mana mempunyai metode tersendiri tentunya
berbeda dengan metode ilmu pengetahuan. Karakteristik filsafat yakni radikal,
rasional, sistematis dann universeal. Filsafat merupakan bentuk refleksi
terhadap segala hal yang ada dan yang mungkin ada, cakupan kajian filsafat
sangatlah luas dengan objek forma atau sudut pandang yang komprehensif.
Filsafat bersifat rasionalis sehingga untuk mencapai kebenaran maka para
filosof menggunkan akal atau rasionya sebagai instrumen.
Sementara
agama Islam merupakan sebuah ajaran yang berdasarkan wahyu Tuhan yang tentunya
memiliki otoritas kebenaran mutlak. Islam sendiri sebenarnya memerintahkan
umatnya untuk mendayagunakan potensi akal. Sehingga terjadi sebuah sinergitas
anatara filsafat yang merupakan represntasi dari akal dengan agama Islam yang
merupakan sumber kebenaran.
Dengan demikian, filsafat tidak
lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan,
bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan
dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama,
dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap
kebenaran ajaran agama.
Daftar
Pustaka
Abdurraziq, Mustafa.
2010. Tamhid li Tarikh al-Falsafat ila Islamiyyah.
Anwar, Rasihan. 2000.
Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Dardiri, H.A. 1986.
Humaniora Filsafat dan logika. Jakarta: Rajawali Press.
Gazalba, Sidi. 1978.
Ilmu Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Hakim, Abdul Atang. 2008. Filsafat Umum. Bandung:
Pustaka Setia.
Hanafi, Ahmad. 1982.
Pengantar Filsafat Islam. Yogyakarta: Bulan Bintang.
Madkaour, Ibrahim.
1987. Filsafat Islam Metode dan Penerapan. Jakarta: Rajawali Pers.
MKDU, Tim. 2011.
Pengantar Filsafat. Surabaya: IAIN SA Press.
Mu’in, M. Tohir Abdul.
1986. Ilmu Kalam. Jakarta: Wijaya.
Nasution, Harun. 1979.
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Nasution, Hasyimsyah.
1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Shihab, M. Quraish.
1992. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan.
Suriasumantri, Jujun S.
1995. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung
Jawab Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
[1]
Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), 14.
[2]
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1995), 25.
[3]
H.A. Dardiri, Humaniora Filsafat dan Logika, (Jakarta: Rajawali Press,
1986), 9.
[4]
Tim MKDU, Pengantar Filsafat, (Surabaya:
IAIN SA Press, 2011), 14.
[5]
Ibid, 79.
[6]
Pranarka dalam Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 26.
[7]
Tim MKDU, Pengantar Filsafat, (Surabaya:
IAIN SA Press, 2011), 92-93.
[8]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran,
(Bandung: Mizan, 1992), 209.
[9]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1979), 9.
[10]
Ibid, 10.
[11]
Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 103.
[12]
M. Tohir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam,
(Jakarta: Wijaya, 1986), 121.
[15]
Ibrahim Madkaour, filsafat islam metode dan penerapan,
(jakarta:Rajawali Pers, 1987), 8
[17]
Ibid,17-18.
[18]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 17-18.
[19]
Mustafa Abduraziq, Tamhid li Tarikh
al-Falsafat ila Islamiyyah, 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar