Senin, 05 November 2012

Pemikiran St. Anselmus


PEMIKIRAN St. ANSELMUS


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang
pada awal abad ke-6 filsafat berhenti untuk waktu yang lama. Segala perkembangan ilmu pada waktu itu terhambat. Hal itu disebabkan karena abad ke-6 dan ke-7 dalah abad-abad kacau. Pada waktu itu terjadi peperangan antara bangsa-bangsa yang tak baradab dengan kerajaan Romawi, yang mana kerajaan Romawi mengalami keruntuhan akibat dari peperangan tersebut. Bersamaan dengan runtuhnya kerajaan itu, maka peradaban serta dunia pengetahuan pun mengalami keruntuhan.
Filsafat pada abad pertengahan ialah suatu arah pemikiran yang berbeda sekali dengan arah pemikiran pada filsafat kuno. Filsafat yang baru ini disebut dengan skolastik. Dikatakan demikian karena ilmu pengetahuan di abad pertengahan telah diajarkan di sekolah-sekolah. Semula skolastik itu timbul di biara-biara tertua di Gallia selatan, namun lambat laun terus merembet di Irlandia, Jerman. Sekolah ini sering dikaitkan dengan gereja.
Masa-masa ini faktor religius yang mempengaruhi corak filsafatnya. maksudnya yakni faktor religius kristiani. Setelah mengalami kemunduran dalam bidang pengetahuan, lambat laun dari abad-abad mulai mengalami perubahan. Dari abad-keabad lahir filosof yang mempengarui dalam dunia pemikiran. Masa skolastik terbagi menjadi tiga periode, yaitu: skolastik awal, skolastik puncak, skolastik akhir.
Pada fase skolastik puncak ini yakni pada abad ke-12 dalah pertumbuhan yang cepat dalam abad pertengahan. Pada waktu itu ada ketentraman dalam hal politik dan sosial. Hal ini tak luput dari peran St. Anselmus sebagai seorang pemikir dari Canterbury. Pemikirannya menghiasi pada waktu itu sehingga terjadi perubahan yang signifikan dari abad tersebut, sehingga dikatakan periode skolastik puncak.
B.       Rumusan masalah
1.      Bagaimana latar belakang pemikiran St. Anselmus?
2.      Apa sajakah karya-karya St. Anselmus?
3.      Bagaimana konsep pemikiran St. Anselmus pada masa Skolastik puncak ini?
C.      Tujuan penulisan
1.      Mengetahui latar belakang pemikiran dari St. Anselmus
2.      Mengetahui krya-karya St. Anselmus yang mempengaruhi dalam dunia Skolastik.
3.      Mengetahui konsep-konsep Pemikiran St. Anselmus serta hal-hal yang berkaitan dengan itu.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Latar belakang pemikiran St. Anselmus
Anselmus dilahirkan di Italia utara pada tahun 1033. Dari rumahnya ia dapat melihat pegunungan Alpen. Ketika usianya lima belas tahun, Anselmus mencoba masuk biara di Italia. Tetapi, ayahnya menentangnya. Kemudian Anselmus jatuh sakit. Tak lama sesudah ia sembuh, ibunya meninggal dunia. Anselmus masih muda, ia juga kaya dan pandai. Segera saja ia melupakan niatnya untuk melayani Tuhan. Ia mulai hanya berpikir untuk bersenang-senang.
Tetapi, beberapa waktu kemudian, Anselmus menjadi bosan dengan cara hidupnya. Ia ingin sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih berguna. Ia pergi ke Perancis mengunjungi Abbas (= pemimpin biara) Lanfranc yang kudus dari biara Bec yang terkenal. Anselmus menjadi sahabat karib Lanfranc dan sang abbas menghantarnya kepada Tuhan. Ia juga membantu Anselmus dalam mengambil keputusan menjadi seorang biarawan Benediktin. Pada waktu itu Anselmus berusia dua puluh tujuh tahun.
Anselmus adalah seorang yang sangat pandai. Karena hubungannya dengan Lanfranc maka Anselmus berkali-kali mengunjungi Inggris atas undangan raja Inggris, William Rufus. Perkunjungan-perkunjungan tersebut menyebabkan Anselmus menjadi sangat terkenal di Inggris.
Pada tahun 1093 dia diundang untuk menjadi uskup Canterbury (Inggris). Dia terus memimpin gereja Canterbury hingga ia meninggal pada tahun 1109. Dia menjadi masyhur usahanya memperkuat pengaruh paus di Inggris.
Latar belakang filosofis dari seorang St. Anselmus yakni dipengaruhi oleh pemikiran plato. Ia lebih condong kepada pemikiran platonik ketimbang arestotelian. Meskipun ia telah membaca pemikiran Aristoteles dan menggunakan logikannya. Anselmus rupanya telah sampai ke karya-karya Plato dari tangan kedua atau ketiga, karena bahasa Yunani tidak dipelajari pada masa hidupnya dan banyak karya Plato yang tidak ia ketemukan. Di dunia abad pertengahan, Plato dilihat sebagai filsuf yang religius.
Pemikiran neoplatonisme juga turut mempengaruhi pemikiran St. Anselmus. Ia menggunakan pemikiran plotinus untuk mencapai sebuah teori trinitas dalam kristen. Neoplatonisme mempunyai konsep sendiri trinitas-Nya, yakni akal budi dan jiwa. Mengingat plotinus sebagai filosof yang dalam konsepnya bernuansa religius di masanya.
St. Agustinus pun tak luput yang mempengaruhi pemikiran St. Anselmus. Ia mengambil konsep tentang iman (kepercayaan) dan akal. Adapun pengaruh Agustine terhadap Anselmus ada 3 , yaitu pertama, dalam hal hubungan antara iman dan akal, Anselm beranggapan bahwa aman dan akal itu sesuai dan saling mendukung. Kedua, bahwa Tuhan memberikan landasan bagi eksistensi dan kerangka dasar makna yang membuat hidup dapat dimengerti dan berarti. Ketiga, kebebasan manusia dan pengalaman mengenai kejahatan.
Pemikiran filosofis dari Anselmus bernuansa theologi dan filosofis. Ia berpandangan seperti itu karena menurutnya bahwa iman kedudukannya lebih tinggi dari pada logika atau nalar. Selain itu pada abad pertengahan agama kristen menjadi dasar dari corak pemikiran kala itu. Ditambah lagi pada era patristik (bapak-bapak gereja) mempunyai peran sentral mengenai segala hal, terlebih lagi dalam bidang pengetahuan filosofis. Dari pengaruh pemikir-pemikir tersebut membuat St. Anselmus mentransformasikan pemikirannya pada filsafat dan teologi, atau dengan kata lain iman dan nalar.
St. Anselmu termasuk filosof yang hidup pada era skolastik, mana pada saat itu sebuah ilmu pengetahuan mulai diajarkan di sekolah-sekolah, dan bahwa ilmu itu terikat pada tuntutan pengajaran di sekolah-sekolah.[1] Sifat filsafat skolastik yakni pengetahuan yang digali dari buku-buku kemudian diberi tekanan. Pemikiran filsafat dan teologi berkambang pesat pada era ini.
B.       Karya-karya St. Anselmus
Mengenai karya-karya St. Anselmus, ia meninggalkan beberapa karya yang mana karya-karya tersebut adalah hasil buah pikirannya dalam mengisi pemikiran dunia pertengahan dan bahkan juga bisa dikatakan karya tersebut mempengaruhi pemikiran dunia kontemporer.  Karya-karya tersebut antara lain :
1.    Monologion.
Karya Anselmus ini mengulas tentang bukti-bukti eksistensi Allah. Karya Monologion ini juga sering disebut dengan argumen tunggal (soliloque). Monologion ini lebih bersifat teologis karena merupakan sebuah rincian doktrinal tentang Trinitas. Artinya bahwa apa yang dipercayai tidak berarti tidak masuk akal. Anselmus dalam monologion ini hendak menunjukkan eksistensi Allah hanya dengan melalui akal budi, membedakan dari wahyu dan akhirnya sampai kepada Allah Tritunggal.
Dalam monologion, Anselmus telah menunjukkan bagaimana refleksi rasional dapat menemukan kebenaran-kebenaran iman. Anselmus mengembangkan bukti adanya atau eksistensi Allah dari tingkat-tingkat kesempurnaan yang ditemukan dalam ciptaan-ciptaan. Jadi argumennya pertama-tama bersifat aposteriori, yakni dari akibat menuju sebab[2]. Namun demikian tidak semua filosof abad pertengahan sependapat dengan apa yang telah direnungkan oleh Anselmus dalam kaitan dengan eksistensi dalam pikiran ke eksistensi dalam realitas.
Dalam karya ini, St. Anselmus berusaha membuktikan tentang eksistensi Tuhan melalui dialektikanya dengan berlandaskan iman dan logika nalar. St. Anselmus mengajak pembacanya untuk berfikir secara mendalam mengenai eksistensi Tuhan. Dalam karyanya ini, St. Anselmus mengemukakan pemikirannya bahwa Tuhan itu hakekatnya Being (ada). Ke-eksistensian dan kekekalan-Nya itu timbul dari diri-Nya sendiri, jadi Tuhan tidak membutuhkan eksistansi selain diri-Nya sendiri.
2.    Proslogion
Dalam pembukaan karyanya ini, Anselmus memulainya dengan sebuah baris-baris doa. Mungkin karena alasan inilah maka buku ini disebut dengan Proslogion atau dialog dengan Allah lewat doa. Menurut beberapa catatan yang memberikan argumen tentang proslogion, hampir semuanya mengatakan bahwa buku ini merupakan buku yang sangat berat, sehingga Anselmus sendiri hampir mengalami keputusasaan, kehilangan semangat dan hampir meninggalkan usahanya serta tidak lagi berniat untuk memikirkannya. Namun entah mengapa, ide itu kemudian muncul kembali lagi ditengah keputusasaan yang dialaminya.
Ide pokok yang disampaikan Anselmus dalam Proslogion ini  ialah tentang Allah kepada Allah sebagai suatu realitas, yakni sebagai realitas yang ada. Dalam Proslogion ini, Anselmus mengemukakan beberapa pemikiran yang cukup logis mengenai eksistensi sebuah realitas.
Tentu yang ingin ditekankan St. Anselmus lewat Proslogion ini ialah bahwa akal budi manusia tidak bisa tidak memikirkan atau mengerti Allah sebagai yang tidak ada. Akal budi memiliki struktur yang memastikan adanya Allah. Allah ada, ada dalam akal budi. Eksistensi Allah ada dalam struktur akal budi. Jadi bisa dikatakan bahwa St. Anselmus mengansumsikan bahwa Tuhan (Allah) itu harus ada.
3.    Cur deus homo (Mengapa Allah menjadi manusia)
Karya ini diterbitkan pada tahun 1908. Disini St. Anselmus mengemukakan teori tentang kematian kristus di kayu salib, yang mendamaikan manusia dengan Allah. Dalam karyanya ini dikatakan bahwa kedatangan kristus harus diakui oleh pikiran biasa. Hal ini dijelaskannya sebagai berikut : Kemuliaan Tuhan telah digelapkan oleh kejatuhan malaikat-malaikat. Manusia yang seyogyanya diciptakan Tuhan untuk menggantikan malaikat-malaikat itu jatuh juga dalam dosa, sehingga keagungan Tuhan dihinakan pula. Keadilan Tuhan menurut hukuman dan penebusan karena kedurhakaan itu.
Sebenarnya manusia harus dihukum menurut dosanya. Dia harus mati dan binasa selama-lamanya. Hal itu tidak disukai tuhan, sebab Dia juga Maha Pengasih disamping Maha Adil itu. Tuhan tidak mau Makhluk-Nya yang terindah itu binasa. Dan pula dosa manusia dapat ditebus oleh sesuatu yang lebih suci dari dirinya sendiri. Kesimpulanya menurutnya Anselmus, tidak ada jalan lain terkecuali Tuhan sendiri turun dari surga dan menjelma dalam anak-Nya Yesus kristus supaya hukuman manusia ditanggungnya sendiri dan supaya tidak dapat membayar hutang dosa manusia itu. Dengan jalan itu baik keadilan, baik rahmat atau pun kasih Allah telah digenapi dan dipenuhi.[3]
C.  Konsep pemikiran St. Anselmus
Mengenai konsep pikirannya St. Anselmus, terdapat beberapa pemikiran yang mana beberapa pemikiran tersebut merupakan hasil dari perenungan yang mendalam. Hal itu dilakukannya untuk menyelasaikan masalah yang terjadi pada abad pertengahan, masalah itu berkaitan erat dengan filsafat dan dunia kristen (iman). Beberapa pemikirannya tersebut antara lain :
1.    Hubungan akal dan iman.
Dalam membicarakan filsafat abad pertengahan Anselmus tidak dapat dilewatkan begitu saja. Tokoh inilah yang mengeluarkan pernyataan “Credo ut intelligam” (Aku percaya agar aku mengerti), yang dapat dianggap merupakan ciri utama Filsafat Abad Pertengahan. Sekalipun pada umumnya filosof abad pertengahan berpendapat seperti itu mengenai hubungan akal dan iman, Anselmuslah yang diketahaui yang mengeluarkan pernyataan itu. Pernyataan Anselmus ini maksudnya yang utama ialah membetulkan perbandingan yang kala itu sudah kacau antara kepercayaan dan pikiran. Menurutnya kepercayaan itu digunakan untuk mencari pengertian, bukan percaya saja secara tidak mengerti atau percaya secara membabi-buta. Menurutnya juga, perbedaan formil antara kepercayaan dan pikiran itu tidaka ada. Perbedaan itu hanya mengisi isi, yaitu filsafat sebagai alat pikiran dan teologi sebagai alat kepercayaan.
Di dalam filsafat St. Anselmus, kelihatanya iman merupakan tema central pemikirannya. Iman kepada kristus adalah yang peling penting sebelum yang lain. Dari sini dapatlah dipahami pernyataannya “Credo ut intelligam”. Ungkapan ini menggambarkan bahwa ia mendahulukan iman dari pada akal. Ia mengatakan bahwa wahyu harus diterima lebih dahulu sebelum memulai untuk berpikir. Jadi akal hanyalah pembantu wahyu.[4]
Tampaknya pangkal pemikirannya itu hampir sama dengan pemikiran St. Agustinus dan Johanes Scotus Eriugena, yaitu bahwa kebenaran-kebenaran yang diwahyukan harus dipercaya terlebih dahulu, sebab akal tidak memiliki kekuatan pada dirinya sendiri, guna menyelidiki kebenaran-kebenaran yang termasuk wahyu. Iman adalah bebas merdeka, tidak memerlukan dasar-dasar akali. Sekalipun orang memperoleh kepastian karena imannya, akal dengan sendirinya akan mendorong oleh iman untuk menyelami kebenatan-kebenaran imani lebih lanjut. Kebenaran kitab suci dapat dijelaskan secara rasional dengan pemikiran yang mendalam. Dari iman seseorang naik sampai kepada pengetahuan, yaitu pengetahuan yang dilengkapi dengan pembuktian. Akan tetapi hal ini tidak boleh diartikan seolah-olah dengan pembuktian itu iman akan bertambah. Kepastian iman tetap sama tanpa dengan pembuktian akal. Sebab kepastian iman diperoleh dari wahyu. Iman dan pengetahuan akali, keduanya berasal dari Allah. Perbedaannya terletak pada iman diberikan dengan perantaraan wahyu, sedang pengetahuan akali diberikan dengan perantaraan penerangan ilahi. [5]
Pandangan yang seperti itu ternyata juga turut menguasai pandangan orang-orang abad berikutnya, terlebih-lebih para pemikir yang bergerak kejurusan pemikiran Neo-Platonisme dan dunia mistik. Namun juga para pemikir yang menjurus ke Aristoteles tidak menolak pandangan tersebut, sekalipunn terdapat sebuah perbedaan sedikit.
2.    Eksistensi Tuhan
Menurut Anselmus, pengertian-pengertian umum atau universalia bukan hanya sebutan saja, akan tetapi juga memiliki realitas. Universalia benar-benar ada kenyataannya, bebas dari pada segala yang individual, yaitu berada sebagai idea-idea di dalam Allah. Baik pandangannya tentang pemikiran akali, maupun pandangannya tetang universalia itu dikaitkan dengan pandangnnya tentang bukti-bukti akan adanya Tuhan. Iman mengandalkan, bahwa Allah pasti ada (eksist). Baru setelah adanya hal ini, maka pengetahuan berusaha untuk membuktikannya.
Menurut Anselmus ada dua cara yang dapat membuktikan adanya Allah. Kedua cara tersebut adalah dengan mengandaikan bahwa hal-hal yang terbatas ada untuk hal-hal yang tidak terbatas dan penguraian, yaitu bahwa apa yang kita sebut Allah adalah suatu ”ada” yang lebih besar daripada apa saja yang dapat kita pikirkan.
Pertama, ketika Anselmus melihat adanya hal-hal yang terbatas, serentak ia juga mengandaikan adanya hal-hal yang tidak terbatas. Dengan begitu ia hendak mengatakan bahwa, akal manusia hanya mampu untuk sampai kepada pemahaman yang biasa-biasa saja, tidak sepenuhnya mendalam dan sungguh-sungguh mendasar. Ada banyak hal yang tidak mampu kita jelaskan begitu saja dengan pengetahuan yang kita miliki, karena itu ia mendasarkan adanya hal-hal yang tidak terbatas.
Cara kedua, yang digunakan oleh Anselmus untuk membuktikan adanya Allah ialah penguraian. Menurut Anselmus, apa yang kita sebut Allah memiliki suatu pengertian yang lebih besar dari segala sesuatu yang bisa kita pikirkan. Cara kedua yang dipaparkan oleh Anselmus ini tidak sepenuhnya bisa digunakan untuk semua tingkat pemikiran. Teori ini ingin mengutarakan bahwa Allah yang dipahami berbeda dengan pengertian-pengertian ataupun pemahaman yang lain. Tidak dipahami seperti suatu pemahaman yang semu, seperti pulau yang terindah yang dipikirkan orang atau dikhayalkan, belum tentu benar-benar ada dalam kenyataan. Hanya pengertian tentang Allah sebagai tokoh yang jauh lebih besar daripada segala sesuatu itulah yang menurut adanya realitas yang sesuai dengan pengertian itu.
Dalam pembuktiannya yang lain mengenai eksistensi Allah, Anselmus membahas juga mengenai nama “Allah”. Anselmus mengatakan bahwa “Allah ada” dan kehadiran-Nya tidak dapat dipikirkan.  Mengenai nama Allah lebih jelas diungkapkannya setelah memulai doanya yang amat kusuk. Anselmus memberi nama dengan menyebutkan; “ Aliquid quo nihil malus cogitari possit”(sesuatu yang dari pada-Nya tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan sesuatu yang lebih besar lagi). Jika kita menyebut nama Allah, maka kita sedang membicarakan sesuatu yang paling besar dan tidak ada yang lebih  besar lagi dari padanya. Maka kebesaran-Nya tidak dapat dibayangkan dan dipikirkan lagi. Karena tidak ada apapun  yang lebih besar dan agung lagi dari Dia sendiri.[6]
Jalan pikiran Anselmus dalam bukti ini dirumuskan secara singkat sebagai berikut:
1.         Kita semua satu bahwa dengan nama “Allah” dimaksudkan hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagiAliquid quo nihil malus cogitari possit”. Dengan perkataan lain, dengan nama “Allah” kita maksudkan hal yang lebih besar dari hal lain yang dapat dipikirkan.
2.         Tidak mungkin hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi, hanya berada dalam pemikiran saja, karena hal yang ada dalam pemikiran saja bukanlah hal yang terbesar, sebab lebih besar lagi ialah berada dalam kenyataan.
3.         Pada suatu kesimpulan bahwa Allah tidak hanya berada dalam pemikiran manusia, tetapi juga dalam kenyataan. Jadi, Allah sungguh ada
Seperti yang telah dikemukakan didepan pengaruh anselmus besar sekali atas perkembangan teologi pada zaman kemudian. Pemikiran Agustinus atas pemikiran abad pertengahan makin dikuatkan oleh St. Anselmus. Pada zaman setelah Anselmus diakui betapa penting dialektika(berikir dengan akal) bagi ilmu teologia.[7]  

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Mengenai St. Anselmus, ia merupakan tokoh filosof atau pemikir pada abad pertengahan yang tidak dapat dilewatkan begitu saja. Pemikirannya sangat berpengaruh pada abad-abad berikutnya. Bahkan refleksi pemikirannya yang mendalam telah menguatkan pemikirannya filosof terdahulunya yakni St. Agustinus.
Iman merupakan corak pemikiran central pada Anselmus. Karena menurutnya iman merupakan hal yang pokok dari segala hal. Untuk dapat memahami sesuatu maka terlebih dahulu haruslah percaya (iman) barulah dapat mengerti. Dengan kata lain bahwa iman mendahului logika nalar.
Selain itu ia juga mengemukakan tentang eksistensi Allah. Hal ini merupakan hasil pemikiran yang mendalam dari St. Anselmus. Sehingga pada zaman setelah Anselmus diakui betapa penting dialektika(berikir dengan akal) bagi ilmu teologia.
B.                 Kritik dan Saran
Kami menghimbau kepada teman-teman seperjuangan untuk mencari lebih luas lagi tentang pemikiran St. Anselmus yang belum dapat kami bahas pada makalah ini. Demikian yang kami uraikan pada makalah ini, mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini pasti banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan pada penulisan karya ilmiah mendatang.





[1]  Tasmuji, Sejarah Filsafat Aliran. (Surabaya: Alpha Grafika, 2005), 88.
[2] http://ratadiajo.blogspot.com/2012/05/dialog-filsafat-teologi-dalam.html

[3]  Tasmuji, Sejarah Filsafat Aliran. (Surabaya: Alpha Grafika, 2005), 93.

[4] Ibid, 92.
[5]  Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1.(Yogyakarta: Kanisius, 1980), 94.
[6] http://fontedivita-fontedivita.blogspot.com.
[7]  Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1.(Yogyakarta: Kanisius, 1980), 95.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate