PEMIKIRAN St. ANSELMUS
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
pada
awal abad ke-6 filsafat berhenti untuk waktu yang lama. Segala perkembangan
ilmu pada waktu itu terhambat. Hal itu disebabkan karena abad ke-6 dan ke-7
dalah abad-abad kacau. Pada waktu itu terjadi peperangan antara bangsa-bangsa
yang tak baradab dengan kerajaan Romawi, yang mana kerajaan Romawi mengalami
keruntuhan akibat dari peperangan tersebut. Bersamaan dengan runtuhnya kerajaan
itu, maka peradaban serta dunia pengetahuan pun mengalami keruntuhan.
Filsafat
pada abad pertengahan ialah suatu arah pemikiran yang berbeda sekali dengan
arah pemikiran pada filsafat kuno. Filsafat yang baru ini disebut dengan
skolastik. Dikatakan demikian karena ilmu pengetahuan di abad pertengahan telah
diajarkan di sekolah-sekolah. Semula skolastik itu timbul di biara-biara tertua
di Gallia selatan, namun lambat laun terus merembet di Irlandia, Jerman.
Sekolah ini sering dikaitkan dengan gereja.
Masa-masa
ini faktor religius yang mempengaruhi corak filsafatnya. maksudnya yakni faktor
religius kristiani. Setelah mengalami kemunduran dalam bidang pengetahuan,
lambat laun dari abad-abad mulai mengalami perubahan. Dari abad-keabad lahir
filosof yang mempengarui dalam dunia pemikiran. Masa skolastik terbagi menjadi
tiga periode, yaitu: skolastik awal, skolastik puncak, skolastik akhir.
Pada fase skolastik puncak ini
yakni pada abad ke-12 dalah pertumbuhan yang cepat dalam abad pertengahan. Pada
waktu itu ada ketentraman dalam hal politik dan sosial. Hal ini tak luput dari
peran St. Anselmus sebagai seorang pemikir dari Canterbury. Pemikirannya
menghiasi pada waktu itu sehingga terjadi perubahan yang signifikan dari abad
tersebut, sehingga dikatakan periode skolastik puncak.
B. Rumusan masalah
1.
Bagaimana latar
belakang pemikiran St. Anselmus?
2.
Apa sajakah
karya-karya St. Anselmus?
3.
Bagaimana konsep
pemikiran St. Anselmus pada masa Skolastik puncak ini?
C. Tujuan penulisan
1.
Mengetahui latar
belakang pemikiran dari St. Anselmus
2.
Mengetahui
krya-karya St. Anselmus yang mempengaruhi dalam dunia Skolastik.
3.
Mengetahui konsep-konsep
Pemikiran St. Anselmus serta hal-hal yang berkaitan dengan itu.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Latar belakang
pemikiran St. Anselmus
Anselmus dilahirkan di
Italia utara pada tahun 1033. Dari rumahnya ia dapat melihat pegunungan Alpen.
Ketika usianya lima belas tahun, Anselmus mencoba masuk biara di Italia.
Tetapi, ayahnya menentangnya. Kemudian Anselmus jatuh sakit. Tak lama sesudah ia
sembuh, ibunya meninggal dunia. Anselmus masih muda, ia juga kaya dan pandai.
Segera saja ia melupakan niatnya untuk melayani Tuhan. Ia mulai hanya berpikir
untuk bersenang-senang.
Tetapi, beberapa waktu
kemudian, Anselmus menjadi bosan dengan cara hidupnya. Ia ingin sesuatu yang
lebih baik, sesuatu yang lebih berguna. Ia pergi ke Perancis mengunjungi Abbas
(= pemimpin biara) Lanfranc yang kudus dari biara Bec yang terkenal. Anselmus
menjadi sahabat karib Lanfranc dan sang abbas menghantarnya kepada Tuhan. Ia
juga membantu Anselmus dalam mengambil keputusan menjadi seorang biarawan
Benediktin. Pada waktu itu Anselmus berusia dua puluh tujuh tahun.
Anselmus adalah seorang yang
sangat pandai. Karena hubungannya dengan Lanfranc maka Anselmus berkali-kali
mengunjungi Inggris atas undangan raja Inggris, William Rufus.
Perkunjungan-perkunjungan tersebut menyebabkan Anselmus menjadi sangat terkenal
di Inggris.
Pada tahun 1093 dia diundang
untuk menjadi uskup Canterbury (Inggris). Dia terus memimpin gereja Canterbury
hingga ia meninggal pada tahun 1109. Dia menjadi masyhur usahanya memperkuat
pengaruh paus di Inggris.
Latar belakang
filosofis dari seorang St. Anselmus yakni dipengaruhi oleh pemikiran plato. Ia
lebih condong kepada pemikiran platonik ketimbang arestotelian. Meskipun ia
telah membaca pemikiran Aristoteles dan menggunakan logikannya. Anselmus
rupanya telah sampai ke karya-karya Plato dari tangan kedua atau ketiga, karena
bahasa Yunani tidak dipelajari pada masa hidupnya dan banyak karya Plato yang
tidak ia ketemukan. Di dunia abad pertengahan, Plato dilihat sebagai filsuf
yang religius.
Pemikiran neoplatonisme juga
turut mempengaruhi pemikiran St. Anselmus. Ia menggunakan pemikiran plotinus
untuk mencapai sebuah teori trinitas dalam kristen. Neoplatonisme mempunyai
konsep sendiri trinitas-Nya, yakni akal budi dan jiwa. Mengingat plotinus
sebagai filosof yang dalam konsepnya bernuansa religius di masanya.
St. Agustinus pun tak luput
yang mempengaruhi pemikiran St. Anselmus. Ia mengambil konsep tentang iman (kepercayaan)
dan akal. Adapun pengaruh Agustine terhadap Anselmus ada 3 ,
yaitu pertama, dalam hal hubungan antara iman dan akal, Anselm beranggapan
bahwa aman dan akal itu sesuai dan saling mendukung. Kedua, bahwa Tuhan
memberikan landasan bagi eksistensi dan kerangka dasar makna yang membuat hidup
dapat dimengerti dan berarti. Ketiga, kebebasan manusia dan pengalaman mengenai
kejahatan.
Pemikiran filosofis dari
Anselmus bernuansa theologi dan filosofis. Ia berpandangan seperti itu karena
menurutnya bahwa iman kedudukannya lebih tinggi dari pada logika atau nalar.
Selain itu pada abad pertengahan agama kristen menjadi dasar dari corak
pemikiran kala itu. Ditambah lagi pada era patristik (bapak-bapak gereja)
mempunyai peran sentral mengenai segala hal, terlebih lagi dalam bidang
pengetahuan filosofis. Dari pengaruh pemikir-pemikir tersebut membuat St.
Anselmus mentransformasikan pemikirannya pada filsafat dan teologi, atau dengan
kata lain iman dan nalar.
St. Anselmu termasuk filosof yang hidup pada era
skolastik, mana pada saat itu sebuah ilmu pengetahuan mulai diajarkan di
sekolah-sekolah, dan bahwa ilmu itu terikat pada tuntutan pengajaran di
sekolah-sekolah.[1]
Sifat filsafat skolastik yakni pengetahuan yang digali dari buku-buku kemudian
diberi tekanan. Pemikiran filsafat dan teologi berkambang pesat pada era ini.
B.
Karya-karya St. Anselmus
Mengenai
karya-karya St. Anselmus, ia meninggalkan beberapa karya yang mana karya-karya
tersebut adalah hasil buah pikirannya dalam mengisi pemikiran dunia pertengahan
dan bahkan juga bisa dikatakan karya tersebut mempengaruhi pemikiran dunia
kontemporer. Karya-karya tersebut antara
lain :
1. Monologion.
Karya Anselmus
ini mengulas tentang bukti-bukti eksistensi Allah. Karya Monologion ini juga
sering disebut dengan argumen tunggal (soliloque).
Monologion ini lebih bersifat
teologis karena merupakan sebuah rincian doktrinal tentang Trinitas. Artinya
bahwa apa yang dipercayai tidak berarti tidak masuk akal. Anselmus dalam
monologion ini hendak menunjukkan eksistensi Allah hanya dengan melalui akal
budi, membedakan dari wahyu dan akhirnya sampai kepada Allah Tritunggal.
Dalam monologion, Anselmus telah menunjukkan
bagaimana refleksi rasional dapat menemukan kebenaran-kebenaran iman. Anselmus
mengembangkan bukti adanya atau eksistensi Allah dari tingkat-tingkat
kesempurnaan yang ditemukan dalam ciptaan-ciptaan. Jadi argumennya pertama-tama
bersifat aposteriori, yakni dari
akibat menuju sebab[2].
Namun demikian tidak semua filosof abad pertengahan sependapat dengan apa yang
telah direnungkan oleh Anselmus dalam kaitan dengan eksistensi dalam pikiran ke eksistensi dalam realitas.
Dalam karya ini, St. Anselmus berusaha membuktikan
tentang eksistensi Tuhan melalui dialektikanya dengan berlandaskan iman dan
logika nalar. St. Anselmus mengajak pembacanya untuk berfikir secara mendalam
mengenai eksistensi Tuhan. Dalam karyanya ini, St. Anselmus mengemukakan
pemikirannya bahwa Tuhan itu hakekatnya Being
(ada). Ke-eksistensian dan kekekalan-Nya itu timbul dari diri-Nya sendiri, jadi
Tuhan tidak membutuhkan eksistansi selain diri-Nya sendiri.
2. Proslogion
Dalam pembukaan
karyanya ini, Anselmus memulainya dengan sebuah baris-baris doa. Mungkin karena
alasan inilah maka buku ini disebut dengan Proslogion
atau dialog dengan Allah lewat doa. Menurut beberapa catatan yang memberikan
argumen tentang proslogion, hampir
semuanya mengatakan bahwa buku ini merupakan buku yang sangat berat, sehingga
Anselmus sendiri hampir mengalami keputusasaan, kehilangan semangat dan hampir
meninggalkan usahanya serta tidak lagi berniat untuk memikirkannya. Namun entah
mengapa, ide itu kemudian muncul kembali lagi ditengah keputusasaan yang
dialaminya.
Ide pokok yang disampaikan
Anselmus dalam Proslogion ini ialah tentang Allah kepada Allah sebagai suatu
realitas, yakni sebagai realitas yang ada. Dalam Proslogion ini, Anselmus mengemukakan beberapa pemikiran yang cukup
logis mengenai eksistensi sebuah realitas.
Tentu yang ingin ditekankan St. Anselmus lewat Proslogion ini ialah bahwa akal budi
manusia tidak bisa tidak memikirkan atau mengerti Allah sebagai yang tidak ada.
Akal budi memiliki struktur yang memastikan adanya Allah. Allah ada, ada dalam
akal budi. Eksistensi Allah ada dalam struktur akal budi. Jadi bisa dikatakan
bahwa St. Anselmus mengansumsikan bahwa Tuhan (Allah) itu harus ada.
3. Cur deus homo (Mengapa Allah menjadi manusia)
Karya ini diterbitkan pada tahun 1908.
Disini St. Anselmus mengemukakan teori tentang kematian kristus di kayu salib,
yang mendamaikan manusia dengan Allah. Dalam karyanya ini dikatakan bahwa
kedatangan kristus harus diakui oleh pikiran biasa. Hal ini dijelaskannya
sebagai berikut : Kemuliaan Tuhan telah digelapkan oleh kejatuhan
malaikat-malaikat. Manusia yang seyogyanya diciptakan Tuhan untuk menggantikan
malaikat-malaikat itu jatuh juga dalam dosa, sehingga keagungan Tuhan dihinakan
pula. Keadilan Tuhan menurut hukuman dan penebusan karena kedurhakaan itu.
Sebenarnya
manusia harus dihukum menurut dosanya. Dia harus mati dan binasa
selama-lamanya. Hal itu tidak disukai tuhan, sebab Dia juga Maha Pengasih
disamping Maha Adil itu. Tuhan tidak mau Makhluk-Nya yang terindah itu binasa.
Dan pula dosa manusia dapat ditebus oleh sesuatu yang lebih suci dari dirinya
sendiri. Kesimpulanya menurutnya Anselmus, tidak ada jalan lain terkecuali
Tuhan sendiri turun dari surga dan menjelma dalam anak-Nya Yesus kristus supaya
hukuman manusia ditanggungnya sendiri dan supaya tidak dapat membayar hutang
dosa manusia itu. Dengan jalan itu baik keadilan, baik rahmat atau pun kasih
Allah telah digenapi dan dipenuhi.[3]
C. Konsep pemikiran
St. Anselmus
Mengenai konsep pikirannya St. Anselmus,
terdapat beberapa pemikiran yang mana beberapa pemikiran tersebut merupakan
hasil dari perenungan yang mendalam. Hal itu dilakukannya untuk menyelasaikan
masalah yang terjadi pada abad pertengahan, masalah itu berkaitan erat dengan
filsafat dan dunia kristen (iman). Beberapa pemikirannya tersebut antara lain :
1. Hubungan
akal dan iman.
Dalam membicarakan filsafat abad pertengahan Anselmus tidak dapat
dilewatkan begitu saja. Tokoh inilah yang mengeluarkan pernyataan “Credo ut intelligam” (Aku percaya agar
aku mengerti), yang dapat dianggap merupakan ciri utama Filsafat Abad
Pertengahan. Sekalipun pada umumnya filosof abad pertengahan berpendapat
seperti itu mengenai hubungan akal dan iman, Anselmuslah yang diketahaui yang
mengeluarkan pernyataan itu. Pernyataan Anselmus ini maksudnya yang utama ialah
membetulkan perbandingan yang kala itu sudah kacau antara kepercayaan dan
pikiran. Menurutnya kepercayaan itu digunakan untuk mencari pengertian, bukan
percaya saja secara tidak mengerti atau percaya secara membabi-buta. Menurutnya
juga, perbedaan formil antara kepercayaan dan pikiran itu tidaka ada. Perbedaan
itu hanya mengisi isi, yaitu filsafat sebagai alat pikiran dan teologi sebagai
alat kepercayaan.
Di dalam filsafat St. Anselmus, kelihatanya iman merupakan tema central
pemikirannya. Iman kepada kristus adalah yang peling penting sebelum yang lain.
Dari sini dapatlah dipahami pernyataannya “Credo
ut intelligam”. Ungkapan ini menggambarkan bahwa ia mendahulukan iman dari
pada akal. Ia mengatakan bahwa wahyu harus diterima lebih dahulu sebelum
memulai untuk berpikir. Jadi akal hanyalah pembantu wahyu.[4]
Tampaknya pangkal pemikirannya itu hampir sama dengan pemikiran St.
Agustinus dan Johanes Scotus Eriugena, yaitu bahwa kebenaran-kebenaran yang
diwahyukan harus dipercaya terlebih dahulu, sebab akal tidak memiliki kekuatan
pada dirinya sendiri, guna menyelidiki kebenaran-kebenaran yang termasuk wahyu.
Iman adalah bebas merdeka, tidak memerlukan dasar-dasar akali. Sekalipun orang
memperoleh kepastian karena imannya, akal dengan sendirinya akan mendorong oleh
iman untuk menyelami kebenatan-kebenaran imani lebih lanjut. Kebenaran kitab
suci dapat dijelaskan secara rasional dengan pemikiran yang mendalam. Dari iman
seseorang naik sampai kepada pengetahuan, yaitu pengetahuan yang dilengkapi
dengan pembuktian. Akan tetapi hal ini tidak boleh diartikan seolah-olah dengan
pembuktian itu iman akan bertambah. Kepastian iman tetap sama tanpa dengan
pembuktian akal. Sebab kepastian iman diperoleh dari wahyu. Iman dan
pengetahuan akali, keduanya berasal dari Allah. Perbedaannya terletak pada iman
diberikan dengan perantaraan wahyu, sedang pengetahuan akali diberikan dengan
perantaraan penerangan ilahi. [5]
Pandangan yang seperti itu ternyata juga turut
menguasai pandangan orang-orang abad berikutnya, terlebih-lebih para pemikir
yang bergerak kejurusan pemikiran Neo-Platonisme dan dunia mistik. Namun juga
para pemikir yang menjurus ke Aristoteles tidak menolak pandangan tersebut,
sekalipunn terdapat sebuah perbedaan sedikit.
2. Eksistensi Tuhan
Menurut Anselmus, pengertian-pengertian umum atau universalia bukan hanya
sebutan saja, akan tetapi juga memiliki realitas. Universalia benar-benar ada
kenyataannya, bebas dari pada segala yang individual, yaitu berada sebagai
idea-idea di dalam Allah. Baik pandangannya tentang pemikiran akali, maupun
pandangannya tetang universalia itu dikaitkan dengan pandangnnya tentang
bukti-bukti akan adanya Tuhan. Iman mengandalkan, bahwa Allah pasti ada
(eksist). Baru setelah adanya hal ini, maka pengetahuan berusaha untuk
membuktikannya.
Menurut Anselmus ada dua cara yang dapat membuktikan
adanya Allah. Kedua cara tersebut adalah dengan mengandaikan bahwa hal-hal yang
terbatas ada untuk hal-hal yang tidak terbatas dan penguraian, yaitu bahwa apa
yang kita sebut Allah adalah suatu ”ada” yang lebih besar daripada apa saja
yang dapat kita pikirkan.
Pertama, ketika Anselmus melihat adanya hal-hal yang
terbatas, serentak ia juga mengandaikan adanya hal-hal yang tidak terbatas.
Dengan begitu ia hendak mengatakan bahwa, akal manusia hanya mampu untuk sampai
kepada pemahaman yang biasa-biasa saja, tidak sepenuhnya mendalam dan
sungguh-sungguh mendasar. Ada banyak hal yang tidak mampu kita jelaskan begitu
saja dengan pengetahuan yang kita miliki, karena itu ia mendasarkan adanya
hal-hal yang tidak terbatas.
Cara kedua, yang digunakan oleh Anselmus untuk
membuktikan adanya Allah ialah penguraian. Menurut Anselmus, apa yang kita
sebut Allah memiliki suatu pengertian yang lebih besar dari segala sesuatu yang
bisa kita pikirkan. Cara kedua yang dipaparkan oleh Anselmus ini tidak
sepenuhnya bisa digunakan untuk semua tingkat pemikiran. Teori ini ingin
mengutarakan bahwa Allah yang dipahami berbeda dengan pengertian-pengertian
ataupun pemahaman yang lain. Tidak dipahami seperti suatu pemahaman yang semu,
seperti pulau yang terindah yang dipikirkan orang atau dikhayalkan, belum tentu
benar-benar ada dalam kenyataan. Hanya pengertian tentang Allah sebagai tokoh
yang jauh lebih besar daripada segala sesuatu itulah yang menurut adanya
realitas yang sesuai dengan pengertian itu.
Dalam pembuktiannya yang lain mengenai eksistensi Allah, Anselmus membahas
juga mengenai nama “Allah”. Anselmus mengatakan bahwa “Allah ada” dan
kehadiran-Nya tidak dapat dipikirkan. Mengenai nama Allah lebih jelas
diungkapkannya setelah memulai doanya yang amat kusuk. Anselmus memberi nama
dengan menyebutkan; “ Aliquid quo nihil malus cogitari possit”(sesuatu
yang dari pada-Nya tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan sesuatu yang lebih
besar lagi). Jika kita menyebut nama Allah, maka kita sedang membicarakan
sesuatu yang paling besar dan tidak ada yang lebih besar lagi dari
padanya. Maka kebesaran-Nya tidak dapat dibayangkan dan dipikirkan lagi. Karena
tidak ada apapun yang lebih besar dan agung lagi dari Dia sendiri.[6]
Jalan pikiran Anselmus dalam
bukti ini dirumuskan secara singkat sebagai berikut:
1.
Kita semua satu bahwa dengan nama
“Allah” dimaksudkan hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi“ Aliquid quo nihil malus cogitari possit”. Dengan perkataan lain, dengan
nama “Allah” kita maksudkan hal yang lebih besar dari hal lain yang dapat
dipikirkan.
2.
Tidak mungkin hal yang tidak
dapat dipikirkan lebih besar lagi, hanya berada dalam pemikiran saja, karena
hal yang ada dalam pemikiran saja bukanlah hal yang terbesar, sebab lebih besar
lagi ialah berada dalam kenyataan.
3.
Pada suatu kesimpulan bahwa Allah
tidak hanya berada dalam pemikiran manusia, tetapi juga dalam kenyataan. Jadi, Allah sungguh ada
Seperti yang
telah dikemukakan didepan pengaruh anselmus besar sekali atas perkembangan
teologi pada zaman kemudian. Pemikiran Agustinus atas pemikiran abad
pertengahan makin dikuatkan oleh St. Anselmus. Pada zaman setelah Anselmus
diakui betapa penting dialektika(berikir dengan akal) bagi ilmu teologia.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mengenai St.
Anselmus, ia merupakan tokoh filosof atau pemikir pada abad pertengahan yang
tidak dapat dilewatkan begitu saja. Pemikirannya sangat berpengaruh pada
abad-abad berikutnya. Bahkan refleksi pemikirannya yang mendalam telah
menguatkan pemikirannya filosof terdahulunya yakni St. Agustinus.
Iman merupakan
corak pemikiran central pada Anselmus. Karena menurutnya iman merupakan hal
yang pokok dari segala hal. Untuk dapat memahami sesuatu maka terlebih dahulu
haruslah percaya (iman) barulah dapat mengerti. Dengan kata lain bahwa iman
mendahului logika nalar.
Selain itu ia
juga mengemukakan tentang eksistensi Allah. Hal ini merupakan hasil pemikiran
yang mendalam dari St. Anselmus. Sehingga pada zaman setelah Anselmus diakui
betapa penting dialektika(berikir dengan akal) bagi ilmu teologia.
B.
Kritik
dan Saran
Kami
menghimbau kepada teman-teman seperjuangan untuk mencari lebih luas lagi tentang
pemikiran St. Anselmus yang belum dapat kami bahas pada makalah ini. Demikian
yang kami uraikan pada makalah ini, mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi
kami dan yang mengkaji makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini pasti banyak
kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pada penulisan karya ilmiah mendatang.
[1] Tasmuji, Sejarah
Filsafat Aliran. (Surabaya: Alpha Grafika, 2005), 88.
[2] http://ratadiajo.blogspot.com/2012/05/dialog-filsafat-teologi-dalam.html
[3] Tasmuji, Sejarah
Filsafat Aliran. (Surabaya: Alpha Grafika, 2005), 93.
[4]
Ibid, 92.
[5] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1.(Yogyakarta: Kanisius, 1980), 94.
[6] http://fontedivita-fontedivita.blogspot.com.
[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1.(Yogyakarta: Kanisius, 1980), 95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar