BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam sejarah penghimpunan dan
pengkodifikasian hadis mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap
dibandingkan perkembangan pengkodifikasian Al-Qur’an. Hal itu dikarenakan pada
masa nabi dan para sahabat Al-Qur’an mendapatkan perhatian yang penuh. Selain
itu rasul mengharapkan para sahabat untuk untuk menghafal Al-Qur’an dan
menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah
kurma, dibebatuan, dan lain sebagainya.
Katika rasul wafat, Al-Qur’an telah
dihafalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci
Al-Qur’an seluruhnya telah lengkap ditulis hanya hanya saja masih belum
terkumpul. Barulah pada masa Khalifah Abu Bakar mulai dikumpulkan dan kemudian
disempurnakan pada masa khalifah Utsman bin Afwan. Sedangkan penghimpunan dan
pengkodifikasian hadis masih kurang memperoleh perhatian. Hal itu karena pada
masa nabi, rasul tidak memerintahkan untuk menulis hadis karena takut akan
tercampur dengan Al-Qur’an. Sedangkan pada masa Khullafaur rasyidin perhatiannya
masih tertuju pada pembukuan Al-qur’an. Barulah pada abad kedua hijriyah hadis
mulai di bukukan dan pada abad ketiga hijriyah penyempurnaan hadis mulai
dilakukan.
Usaha mempelajari sejarah tentang
pembinaan dan penghimpunan hadis sangatlah bermanfaat untuk mengetahui studi
hadis, dan khususnya para ulama ahli hadis. Seiring dengan perkembangannya,
studi hadis makin menarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan nalar
manusia yang makin kritis. Apalagi yang terlibat dalam wacana ini tidak hanya
orang-orang muslim saja yang mengkaji akan tetapi melibatkan juga para
orientalis.
B. Rumusan
masalah
Dari latar belakang di atas maka
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Analisalah
periodesasi sejarah penulisan hadis?
2.
Bagaimana
penghafalan hadis?
3.
Kapan
penghimpunan hadis? Dan analisalah!
4.
Apakah
penyabab timbulnya pemalsuan hadis? Dan bagaimana upaya penyelamatannya?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Periodesasi
sejarah penulisan hadis
Periodesasi
tentang penulisan hadis dan perkembangannya dibagi menjadi 4 periode, yaitu
periode Nabi Muhammad SAW , Periode sahabat, periode tabi’in, periode
tabi’tabi’in.
1.
Periode Nabi Muhammad SAW (13SH-11H)
Seperti
yang telah diulas diatas, penulisan hadis pada masa rasulullah perkembangannya
masih sangatlah lambat. Hal itu dikarenakan rasulullah dan para sahabat
perhatiannya masih tertuju pada pengembangan Al-Qur’an. Selain itu rasul
mengharapkan para sahabatnya untuk menghafal Al-Qur’an dan menuliskannya di
tempat-tempat tertentu seperti, pelepah kurma, keping-keping tulang, dan di
batu-batu.
Setelah
rasul wafat, Al-Qur’an telah dihafalkan dengan sempurna oleh para sahabat.
Selain itu ayat-ayat suci Al-Qur’an telah ditulis dengan lengkap, hanya saja
belum terkumpul dalam bentuk mushaf. Barulah pada masa Khalifah Abu Bakar
Al-Qur’ann mulai dikumpulkan dan disempurnakan pada masa khalifah Utsman bin
Afwan. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu masih kurang
memperoleh perhatian sebagaimana Al-Qur’an. bahkan secara resmi nabi melarang
menulis bagi umum karena takut tercampur antara Al-Qur’an . bagaimana tidak
khawatir, Al-Qur’an dan hadis sama-sama berbahasa arab dan sama-sama
disampaikan melalui lisan rasul bagi hadis qauli.[1]
Hadis pada
waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal saja, oleh mereka tidak
ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan nabi, karena situasi dan kondisi
yang tidak memungkinkan. Dr Mushthafa As-Siba’i menyampaikan beberap alasan diantaranya
:
· Al-Qur’an masih turun kepada Nabi
Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sagat sederhana dan masih belum
dibukukan.
· Kemampuan tulis menulis para sahabat
pada awal islam masih sangat sedikit dan meraka sudah difungsikan sebagai
penyulis wahyu Al-Qur’an.
· Ingatan orang arab ang dikenal
bersifat Ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuaddan diandalkan rasul untuk
mengingat dan menghafal hadis saja.[2]
Dirawatkan
bahwa beberapa sahabat yang memiliki catatan hadis-hadis rasulullah SAW. Mereka
mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasullullah SAW.
Diantara sahabat-sahabat rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis
rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang
dinamai As-Sadiqah.[3]
Sebagian
ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh(dimansukh) dengan hadis
yang memberi izin yang datang kemudian. Mengingat terjadinya pro dan kontra
seputar masalah penulisan hadis. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa
rasullulah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis sara tidak resmi.
Mereka memahami hal itu mengingat bahwa
pada saat itu rasul mengkhawatirkan tercampurnya Al-Qur’an dengan hadis.
Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan
mempercampuradukkan hadis dengan Al-Qur’an. oleh karena itu, setelah Al-Qur’an
ditulis ditulis dengan sempurna dan lengkap pula turunnya, maka dari itu tidak
ada larangan untuk menuliskannya.
Dalam pemeliharaan hadis mengandalkan hapalan
saja. Yang pada umumnya para sahabat memiliki penghafalan yang kuat dan daya
ingat yang tajam. Hadis cukup diingat dan di simpan didalam dada sedangkan
Al-Qur’an disimpan dalam tulisan dan disimpan didalam dada. Kecuali begi mereka
yang hafalannya sangat kuad dan memiliki kecakapan dalam menulis sehingga tidak
ada kekhawatiran tercampurnya antara tulisan Al-Qur’an dengan hadis. Penulisan
disini bersifat pribadi bukanlah bersifat umum dan berfungsi untuk membantu
hapalannya, karena intinya adalah dihafal.
2.
Periode sahabat ( 12-98H)
Setelah
rasul wafat para sahabat masih belum memikirkan penghimpunan dan
pengkodifiksian hadis, karena banyak problema yang terjadi, diantaranya
timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak para
penghafal Al-Qur’an yang gugur dan konsentari bersama Abu Bakar dalam
membukukan Al-Qur’an. Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan hadis tetapi
digagalkan karena khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat
dipercaya. Umar bin Khathab juga pernah berkeinginan dan mencoba untuk
menghimpunya tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan
Umar timbul kekhawatiran. Kekhawatirannya dalam membukukan hadis hal itu
dikarenakan hadis dianggap menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan
Nashrani yang mana mereka meninggalkan kitab Allah dan menggantinya dengan
kalam mereka dan menempatkan bioghrafi nabi mereka menjadi kitab mereka.
Pada masa
Khulafaur Ar-Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan periwayatan. Hukum
kebolehan menulis hadis pada masa ini terjadi secara berangsur-angsur. Pada
saat wahyu turun, umat islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan
menulisnya. Hadis hanya disimpan dalam dada mereka, lalu disampaikan dari lisan
ke lisan. Kemudian setelah Al-Qur’an dapat terpelihara dengan baik, mereka
telah mampu membedakan antara Al-Qur’an dan hadis maka para ulama sepakat
boleh menulis dan pengkodifikas hadis.[4]
Banyak
sekali pada masa awal islam penulisan hadis sebagai catatn pribadi bukan
penulisan resmi dari Khalifah. Banyak bukti yang menunjukkan hal itu, misalnya
surat-surat dakwah yang ditunjukkan kepada para tokoh bangsa dan para raja,
kesepakan perdamaian, Ash-Shadiqah tulisan Abdullah bin Amr bin Ash,
Ash-Shahifah ‘Ali tulisan yang nabi perintahkan kepada Abi Syah pada masa Fath
mekkah. Shahifah jabir tulisan Jabir bin ‘Abdullah Al-Anshary.
Selain itu terjadi perbedaan para sahabat dalam menguasai
hadis. Diantara para sahabat tidaklah sama dalam kadar meriwayatkan dan penguasan
hadis. Ada yang memiliki lebih banyak,
tetapi ada pula yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal.
Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bertemu dengan rasul. Kedua,
perbedaan mereka dalam bertanya kepada sahabat nabi lain. Ketiga, perbedaan
mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal mereka
dengan rasul.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang
banyak meriwayatkan hadis dari nabi dengan beberapa penyebabnya. Antara lain :
·
Para
sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqunal Al-Awwalun (yang mula- mula masuk islam).
·
Al-Mukminin
(istri-istri Rasul SAW) mereka secara pribadi lebih dekat dengan rasul jika
dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
·
Para
sababat yang dekat dan selalu disamping nabi.
·
Sahabat
yang meskipun tidak lama bertemu dengan nabi akan tetapi banyak bertanya kepada
sahabat nabi yang lain.
Ada 6 orang diantara sahabat yang tergolong banyak
meriwayatkan hadis ialah :
·
Abu
Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis
·
Abdullah
bin Umar bin Khathab sebanyak 2.635 buah hadis.
·
Anas
bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis.
·
Aisyah
Ummi Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis.
·
Abdullah
bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis.
·
Jabir
bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis.
Pada masa
sahabat ini sebenarnya penulisan dan periwayatan dari hadis telah banyak
terjadi, namun masih belum ada pengkodifikasian secara resmi berdasarkan
intruksi dari khalifah.
3.
Periode Tabi’in
Pada masa
ini disebut sebagain masa pengkodifikasian hadis. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
yakni yang hidup pada abad 1 H menganggap perlu adanya penghimpunan dan
pembukuan hadis, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran –ajaran Nabi setelah
wafatnya para ulama baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Maka beliau
mengintruksikan kepada gubernur di seluruh wilayah negeri islam agar para ulama
dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis.
Muhammad
bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri atau yang lebih terkenal dengan Az-Zuhri
dinilai orang yang pertama kali dalam melaksanakan tugas pengkodifikasian hadis
dari khalifah. Penkodifikasian ini terjadi pada tahun 100 H dibawah khalifah
Umar bin Abdul Aziz. Maksudnya awal pengkodifikasian secara resmi atas perintah
Khalifah karena melihat sejak zaman rasul pun sebenarnya sudah pernah terjadi
akan tetapi tidak formal.
Kemudian
pengkodifikasian hadis tersebar di berbagai negeri islam pada abad ke 2 H.
Tokohnya diantaranya ialah Abdullah bin Abdul Aziz bin Juraij di Mekah, Ibnu
Ishak di Mekah, Abdurrahmab Abu Amr Al-Auza’i di Syria, Sufyan Ats-Tsauri di
Kufah, Imam Malik bin Anas di Madinah.[5]
Penghimpunan
hadis pada abad ini masih tercampur denag perkatan sahabat dan fatwanya.
Berbeda dengan masa sebelumya yang masih berbentuk lembaran-lembaran (shuhuf).
Yang hanya dikumpulkan tanpa adanya klasifikasi ke dalam beberapa bab atau
materi secara tertib. Akan tetapi pada masa tabi’ain ini hadis sudah terhimpun
dalam perbab.
Tulisan-tulisan
hadis pada awal masa islam sangatlah penting untuk bukti sejarah serta
dokumentasi ilmiah. Selain itu untuk membuktikan bahwa pada masa Rasulullah SAW
sudah ada penulisan hadis walaupun masih belum formal seperti masa tabi’in ini.
4.
Periode Tabi’ Tabi’in
Periode ini adalah pngikut Tabi’in yakni pada abad ke
3 H yang disebut ulama dahulu atau salaf. Sedangkan ulama pada abad berikutnya
abad ke 4 H dan setelahnya disebut ulama belakangan atau kalaf. Pada periode
ini disebut sebagai masa kejayaan hadis karena pada masa ini kegiatn rihla mencari ilmu dan sunah serta pembukuannya
mengalami puncak keberhasilan yang pesat. Seolah-olah pada periode ini semua
hadis telah terhimpun semua.
Dari latar belakang tersebut maka lahirlah buku induk enam.
Maksud buku induk hadis enam ialah buku-buku hadis yang dijadikan pedoman oleh
para ulama ahli hadis, enam kitab itu antara lain :
1.
Al-jami’
Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-256 H).
2.
Al-jami’
Ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri (204-261 H).
3.
Sunan
An-Nasa’i (215-276 H).
4.
Sunan
Abu Dawud (202-276 H).
5.
Jami’
At-Tirmidzin (209-269 H).
6.
Sunan
Ibn Majah Al-Qazwini (209-276 H)[6].
Periode
ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa ini ulama
hadis telah berhasil memisahkan hadis nabi dari yang hadis atau dari hadis nabi
dari perkataan sahabat atau fatwanya dan dapat terfilterisasi antara hadis yang
shahih dengan yang bukan hadis. Seolah-olah pada masa ini hampir seluruh hadis
terhimpun dalam 1 buku, hanya sebagian kecil saja dari hadis yang belum
terhimpun. Dan pada masa berikutnya mulai diadakan tindak lanjud dengan
penghimpunan dan penertiban agar ilmu hadis menjadi lebih sempurna.
B.
Penghafalan hadis
Para
sahabat dalam menerima hadis dari nabi SAW berpegang pada kekuatan hapalannya,
yakni dengan menerimanya dengan jalan dihafalkan, bukan dengan jalan menulis
hdis dalm buku (mushaf). Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui
mendengar dengan hati-hati apa yang telah disabdakan oleh nabi. Selanjutnya
dari apa yang telah di sabdakan oleh nabi tersebut kemudian disampaikan kepada orang
lain secara menghafal pula.
Ada
beberapa faktor dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para
sahabat dalam kegiatan menghfl hadis ini. Faktor tersebut antara lain :
Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah
diwariskan sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya, kedua Rasul SAW
banyak memberikan spirit melalui doa-doanya, ketiga seringkali ia menjanjikan
kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyanpaikan kepada
orang lain.[7]
Diantara sahabat yang paling banyak mengafal/meriwayatkan
hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan ibnu Jauzi jumlah bahwa hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat
yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah :
• Abdullah bin
Umar bin Khathab sebanyak 2.635 buah hadis.
• Anas bin Malik
sebanyak 2.286 buah hadis.
• Aisyah Ummi
Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis.
• Abdullah bin Abbas
sebanyak 1.660 buah hadis.
• Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis.
C.
Penghimpunan Hadis
Seperti
apa yang telah diulas diatas, pada abad pertama hijriyah yakni pada masa
Rasulullah SAW, masa khulafaur rasyidin dan sebagian besar masa dinasti bani
umayyah, hingga akhir abad pertama hijriyah, hadis itu berpindah-pindah dan
disampaikan dari mulut-kemulut. Masing-masing perawi pada masa itu meriwayatkan
hadis berdasarkan kekuatan hafalannya saja. Memang hafalan mereka sangat kuad
sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah disampaikan nabi
dalam ingatannya.
Sebenarnya
ide tentang penghimpunan hadis sudah ada sejak masa khalifah pertama yakni Abu
Bakar. Akn tetapi abu bakar masih khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat
dipercaya. Selain itu umat islam masih tertuju perhatiaannya dengan pembukuan
AlQur’an dan pengembangannya. Sehingga takud perhatian umat islam terpecah
konsentrasinya untuk membukukan dan mempelajari Al-Qur’an, mengingat bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber pedoman pertama umat islam.
Begitu
juga pada saat dalam kepemimpinan Umar bin Khathab, bahwa ide tentang
penghimpunan tentang hadis pernah di fikirkan oleh Umar akan tetapi setelah
istkaharah dan bermusyawarah timbulah kekhawatiran untuk membukukan hadis
hal itu dikarenakan hadis
dianggap menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nashrani yang mana
mereka meninggalkan kitab Allah dan menggantinya dengan kalam mereka dan
menempatkan bioghrafi nabi mereka menjadi kitab mereka.
Barulah
pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad
pertama hijriyah, yakni tahun 99 hijriyah datanglah angin segar yang mendukung
kelestarian hadis. Beliau sadar bahwa para perawi hadis yang mengumpulkan hadis
dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Sehingga hal
itu yang membuat hatinya tergerak untuk menghimpun dan membukukan hadis karena
khawatir apabila tidak segera dihimpun dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari
para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap dan hilang bersamaan dengan
meninggalnya para penghafalnya.
Maka dari
itu khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur-gubernur di
seluruh penjuru wilayah islam untuk mengkodifikasikan dan membukukan hadis.
Selain itu khlifah juga secara khusus menginstuksikan kepada Abu Bakar Muhammad
bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri atau yang lebih dikenal dikenal
dengan Az-Zuhri untuk melaksankan perintah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah ulama
yang pertama kali membukukan hadis.
Dari
Syihab Az-Zuhri ini kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang
disamping pembukuan hadis sekaligus usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.[8]
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber
perawi (pembawa berita hadis) dengan mengetahui keadaan perawi, riwayat
hidupnya, kapan dan dimana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan
ingatannya dan sebagainya.
Sebagaimana
telah disebutkan diatas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa
pemerintahan Dinasti umayyah, akan tetapi belum ada penempurnaan karena masih
tercampurnya antara hadis nabu dengan fatwa sahabat nabi. Barulah pada masa
pemerinthan Dinasti Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II hijriyah mulai
dilakukan upaya penyempurnaan hadis.
D.
Timbu Pemalsuan Hadis dan Upaya
Penyelamatannya
Sejak
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan yang terkenal dengan fitnah al-kubra dan
tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang
jabatan kekhalifahan, maka umat islam berseteru dan terpecah menjadi tiga
golongan yakni Syi’ah, Khawarij, dan jumhur. Masing-masing golongan mengaku
dalam pihak yang benar dan menuduh golongan lain salah. Untuk menguatkan
argumentasi mereka membuat hadis-hadis palsu. Tentunya hal ini terjadi pada
masa sahabat. Golongan orang-orang yang pertama kali membuat hadis palsu adalah
dari golongan Syi’ah kemudian golongan Khawarij dan jumhur. Tempat
berkembangnya hadis palsu pertama kali di daerah Irak, karena disana tempat
orang-orang Syi’ah berpusat pada waktu
itu.
Pada abad
kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda
politik untuk menumbangkan rezim bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula
dari pihak Mu’awiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda
yang dilakukan oleh pihak oposisi. Selain itu muncul pula golongan Zindiq, yaitu tukang kish yang berupaya
untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah
palsu.[9]
Menurut imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak
boleh diambil darinya, yaitu antara lain :
1.
Orang
yang kurang akal.
2.
Orang
yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa
nafsunya.
3.
Orang
yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
4.
Orang
yang tampaknya saleh dan beribadah apabila oarang itu tidak mengetahui
nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.
Untuk itu
ulama kemudian meneliti dan mempelajari keadaan perawi-perawi hadis yang dalam
masa itu banyak terdapat perawi-perawi yang lemah diantara perawi-perawi itu.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapt diterima
periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima periwayatannya.
Selain itu
juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu
dengan cara menunjukkan nama-nama golongan yang memalsukan hadis berikut
hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat
oleh perbuatan mereka. Kemudian mengadakan pemilahan antara hadis yang palsu
dengan hadis dari Rasulullah SAW.
Disamping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau
patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan
bahwa suatu hadis itu palsu antara lain :
1.
Susunan
hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi.
2.
Isi/maksud
hadis tersebut bertentangan dengan akal.
3.
Isi/maksud
bertentangan dengan nas Al-Qur’an dan hadis mutawatir.
BAB III
KESIMPULAN
Sebenarnya
pada masa rasulullah penulisan hadis sudah mulai terjadi akan tetapi hal
tersebut masih bersifat pribadi karena ada kekhawatiran tercampurnya Al-Qur’an
dengan hadis. Hadis pada masa rasul dan sahabat hanyalah dihafal saja. Barulah
pada masa tabi’in yaitu dalam pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz
mulailah ada penulisan dan pengkodifikasian hadis secara formal. Karena melihat
banyak para ulama penghafal hadis yang meninggal dunia maka takud akan lenyap
pula hadis tersebut seiring kepergian ulama penghafal hadis.
Tentang
timbulnya pemalsuan hadis itu terjadi akibat dari perpecahan umat islam ada
masa akhir kepemimpinan Khalifah Utsman hingga perseteruan antara Ali bin Abi
Thalib dengan Muawiyah yang mana pada masa itu umat islam terpecah belah
menjadi tiga golongan. Untuk memperkuat argumentasinya maka masing-masing
golongan membuat hadis palsu. Dan berkembang pesat pada masa itu.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Ahmad,Muhammad. 1998. Ulumul
Hadis. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Majid, Abdul. 2005. Ulumul Hadis.
Yogyakarta : Pusat Studi Wanita.
Drs. Fatchurrahman. 1974. Ikhtisar
Musthalahul Hadits. Bandung : PT Al Ma’arif.
Dr. Suparta, Munzier. 2010. Ilmu
Hadis. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Drs. Almanar,Abduh. 2011. Studi Ilmu
Hadis. Jakarta : Gaung Persada Press.
MKD, Tim Penyusun. 2011. Studi Hadis.
Surabaya : IAIN SA Press
[1]Abdul
Majid,ulumul hadis(yogyakarta:pusat
studi wanita) hal 41.
[2]Mustafa
As-Siba’i, As-sunah hal 66-67.
[3]
Drs. Muhamad Ahmad,ulumul hadist(bandung:CV
pustaka setia) hal 29
[4]
Abdul Majid,ulumul hadis(yogyakarta:pusat studi wanita) hal 48.
[5]
Abdul Majid,ulumul hadis(yogyakarta:pusat studi wanita) hal 54.
[6]
Abdul Majid,ulumul hadis(yogyakarta:pusat studi wanita) hal 56.
[7]
Dr. H Munzier suparta M.A, ilmu hadis(jakarta:PT. Raja grafindo persada) hal
75-76
[8]
Drs. Muhammad Ahmad, ulumul hadis( bandung:CV pustaka setia) hal 34
[9]
Drs. Muhammad Ahmad, ulumul hadis( bandung:CV pustaka setia) hal 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar