Aliran Neo-Platonisme.
Kata neoplatonisme terdiri dari
beberapa rangkaian kata yaitu, neo, plato dan isme. Kata neo memiliki arti
baru, sedangkan Plato merujuk pada seorang filosof yang mencetuskan konsep
realitas idea dalam teori filsafatnya, isme memiliki arti faham. Jadi apabila
dirangkai memiliki pengertian ide-ide baru yang muncul dari ide-ide filsafat
yang telah dimunculkan oleh Plato. . Faham ini bertujuan menghidupkan kembali
filsafat yang dikemukakan oleh Plato. Meskipun begitu tidak berarti bahwa
pengikut-pengikutnya tidak terpengaruh dengan aliran yang dibawa oleh para
filsuf selain Plato. Dapat disimpulkan juga bahwa aliran neoplatonisme
merupakan sintesa dari semua aliran filsafat sampai saat itu, dimana Plato
diberi tempat istimewa. Faham ini dicetuskan pertama kali oleh Plotinus dari
Mesir. Faham neoplatonisme memiliki ciri-ciri umum, diantaranya :
a. Aliran ini menggabungkan filsafat Platonis dengan
tren-tren utama lain dari pemikiran kuno, kecuali epikuarisme. Bahkan sistem
ini mencakup unsur-unsur relegius dan mistik.
b.
Menggunakan filsafat Plato dan menafsirkannya dengan cara khusus. Cara
interpretasi itu cenderung mengaitkan Allah dengan prinsip kesatuan seperti
yang tampak dalam proses emanasi.
Plotinus
adalah filosof pertama pada abad pertengahan yang mengajukan teori penciptaan
alam semesta. Teori yang terkenal ialah teori emanasi. Teori ini banyak dikutip
oleh para filosof islam. Teori itu merupakan jawaban terhadap pertanyaan Thales
kira-kira delapan abad sebelumnya, apa bahan alam semesta ini. Plotinus
menjawab, bahannya adalah Tuhan. Filsafat plotinus lebih bernafaskan mistik,
bahkan tujuan utama filsafat menurut pendapatnya ialah mencapai pemahaman
mistik, karena ia terpengaruh agam kristen.
Tentang
sejarah riwayat hidupnya, Plotinus dilahirkan pad tahun 204 di Lycopolis Mesir.
Padatahun 232 ia pergi ke Alexandria untuk belajat filsafat, pada seorang guru
yang bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Ada yang mengatakan ia mulai
tertarik filsafat pada usia 28 tahun.[1]
Pada usia 40 tahun ia pergi ke Roma. Di sana ia menjadi pemikir terkenal pada
zaman itu. Ia meninggal di Minturnea pada 270 M di Minturnae, Campania, Italia.
Ia
bermula mempelajari filosofi dari ajaran Yunani, terutama dari buah tangan
Plato. Pada usia 50 tahun ia mulai menulis karangan-karangan filosofisnya.
Muridnya yang bernama Porphyry mulai menerbitkan karangan-karangan Ployinus
yang berjumlah 54 karangan. Karangan itu di kelompokkan menjadi 6 set, dan
setiap setnya terdiri atas 9 karangan, masing-masing set itu disebut enned, seluruhnya ada 6 enned. Diantara isi enned tersebut antara lain :
1. Enned
pertama berisi tentang masalah etika, kebajikan, kebahagiaan, bentuk- bentuk kebaikan, kejahatan, dan masalah
penacabutan dari kehidupan.
2. Enned
kedua berisi tentang fisik alam semesta, bintang-bintang, potensialitas dan
aktualitas, sirkulasi gerakan, kualitas dan bentuk, dan kritik terhadap
gnostisisme.
3. Enned
ketiga berisi tentang implikasi filsafat tentang dunia, seperti masalah iman,
kuasa Tuhan, kekekalan, waktu, dan tatanan alam.
4. Enned keempat berisi tentang sifat dan fungsi
jiwa.
5. Enned kelima berisi tentang roh Ketuhanan
(alam idea).
6. Enned
keenam berisi tentang free will dan ada yang menjadi realitas.
Seperti yang telah disinggung diatas, bahwa
secara umum ajaran Plotinus disebut Neo-Platonisme. Jadi ajarannya itu tentu
ada keterkaitan dengan filsafat plato. Dalam berbagai hal Plotinus memang
bersandar pada doktrin-doktrin Plato. Sama dengan Plato, ia menganut ralitas
idea. Akan tetapi ada sebuah perbedaan antara ide yang di tuangkan oleh Plato
dengan Plotinus. Perbedaannya ialah, pada Plato idea itu bersifat umum ;
artinya setiap jenis objek hanya ada satu ideanya, akan tetapi Plotinus
mengatakan bahwa idea itu bersifat partikular, sama dengan dunia yang
partikular. Pebedan mereka yang pokok ialah pada titik tekan ajaran mereka
masing-masing. Plotinus kurang memperhatikan masalah-masalah sosial seperti
halnya Plato.[2] Ada beberapa ajaran filsafat Plotinus yang perlu
dikaji lebih lanjut, yakni antara lain :
·
Teori
Metafisika Plotinus
Sistem metafisik Plotinus ditandai dengan
konsep transenden. Menurut
pendapatnya, di dalam alam pikiran terdapat tiga realitas : The One, The Mind, dan The Soul.
Realitas yang pertama The One(Yang Esa) adalah Tuhan: yaitu realitas yang tidak dapat
dipahami dengan metode sains dan logika. Ia berada di luar eksistensi, di luar
segala nilai. Keberadaannya bersifat transenden dan hanya
dapat dihayati. Ia dapat didekati dengan tanda-tanda dalam alam.
Realitas yang kedua The Mind atau Nous. Ini
adalah gambaran tentang Yang Esa dan di didalamnya mengandung idea-idea Plato.
Idea-idea itu merupakan bentuk asli obyek-obyek. Kandungan Nous adalah benar-benar sebuah kesatuan. Untuk menghayatinya kita
haruslah melalui proses perenungan.[3]
Realitas yang ketiga The Soul adalah sebagai arsitek semua fenomena yang ada di alam
ini, Soul itu mengandung satu jiwa dunia
dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, ia adalah
energi di belakang dunia, dan pada waktu yang ia adalah bentuk-bentuk alam
semesta. Jiwa manusia juga mempunyai dua aspek: yang pertama intelektualitas
yang tunduk pada reinkarnasi, dan yang kedua adalah irasional.
Penyatuan bentuk dan benda menyebakan
terciptanya dunia. Dengan demikian jagat raya mewujudkan suatu gambaran idea.
Seluruh jagat raya ini adalah suatu kesatuan organis. Di dalamnya jiwa dunia
menjadi asas segala fungsi sehingga segala kekuatan dihubungkan yang satu dengan
yang lain.
Di dalam diri manusia terdapat tiga substansi,
yaitu roh, jiwa, dan tubuh. Ketiganya mewujudkan suatu kesatuan, yang mana jiwa
sebagai tempat kesadaran mengambil tempat yang pusat. Tubuh mewujudkan suatu
alat benda. Sedangkan roh tetap senatiasa dipersatukan dengan nous tertinggi,
yaitu Yang Esa. Tujuan hidup menurut Plotinus ialah kembali dipersatukannya
manusia dengan Yang Esa.
Dari keterangan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa corak filsafat Plotinus berkisar pada konsep Yang Satu.
Artinya, semua yang ada bersumber dan akan kembali kepada Yang Satu. Oleh
karenanya dalam realitas seluruhnya terdapat dua gerakan, yaitu:
a. Dari atas ke bawah.
Teori yang pertama ini dapat digambarkan
sebagaimana dalam emanasi. Pancaran dari Yang Satu memancar menjadi budi (nus).
Akal Budi ini sama dengan ide-ide Plato yang dianggap Plotinus sebagai intelek
yang memikirkan dirinya. Jadi akal budi sudah tidak satu lagi. Hal ini karena
dalam akal budi terdapat dualisme (pemikiran dan yang difikirkan). Dari akal
budi itu muncullah Jiwa Dunia (psykhe). Akhirnya dari jiwa dunia ini
mengeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan jiwa dunia merupakan jagat raya.
Karena materi memiliki tingkatan paling rendah, maka ia berupa makhluk yang
paling kurang sempurna dan sumber-sumber kejahatan.
b. Dari bawah ke atas
Terma
kedua ini dapat pula dikatakan dengan kebersatuan dengan Yang Satu. Inilah yang
menjadi tujuan dari filsafat yang dikonsep oleh Plotinus. Pada bagian kedua ini
jiwa manusia harus memusatkan diri kepada diri sendiri terlebih dahulu,
meninggalkan kesenangan obyek-obyek panca indera serta menaikkan alam
pemikirannya kepada alam pemikiran ke-Tuhan-nan. Dengan demikian jiwa bisa
mencapai alam jiwa-akal Mutlak (spirit-Nous). Fase terakhir dari perjalanan
menuju ketuhanan hanya bisa dicapai dengan mistik atau semedi (estatic-mystical
experience) yang oleh Plotinus disebut dengan istilah terbang dari pribadi ke
Pribadi (the flight of the alone to Alone) artinya menuju kepada Tuhan.
Demikian corak mistik dan agama pemikiran Plotinus. Pemikiran tersebut kemudian
oleh St. Agustinus dan Dyonisius ke dalam ajaran agama Masehi, dan dengan
demikian Plotinus dianggap sebagai bapak mistik barat.
Dalam ajaran Plotinus, jiwa tidak bergantung
pada materi, atau dengan kata lain jiwa aktif dan materi bersifat pasif. Oleh
karena itu jiwa merupakan esensi tubuh material. Tubuh dengan segala
keterbatasannya ini berisi prinsip-prinsip ketiadaan dan penuh kejahatan. Ia
mempunyai jarak yang jauh dari yang Maha Esa. Meskipun Plotinus berpendapat
demikian bukan lantas mengabaikan jasad seperti orang-orang gnostik. Tentang
penciptaan, Plotinus berpendapat bahwa Yang Paling Awal merupakan Sebab yang
Pertama. Disini mulailah Plotinus memulai teori emanasinya yang belum pernah
diajukan oleh filosof lainnya. Tujuan dari teori ini untuk meniadakan anggapan
keberadaan Tuhan sebanyak makhlukNya.
Alam ini diciptakan melalui proses emanasi
yang berlangsung tidak dalam waktu. Sebab ruang dan waktu terletak pada tingkat
terbawah dari emanasi, ruang dan waktu adalah pengertian dalam dunia yang
lahir. Dalam emanasi The One (Yang Esa) tidak mengalami perubahan. Yang Esa
adalah semuanya, tetapi tidak mengandung di dalamnya satu pun dari barang yang
banyak (makhluk). Dasar makhluk tidak mungkin kalau makhluk itu sendiri, akan
tetapi Yang Esalah yang menjadi dasar semua makhluk.
Di dalam filsafat klasik Yang Esa itu
dikatakan sebagai penggerak yang pertama (al-muharrik al-awwal), yang berakibat
Yang Esa didiskripsikan berada di luar alam nyata. Dalam emanasi Plotinus alam
ini terjadi dari Yang Melimpah, yang mengalir itu tetap menjadi bagian Yang
Melimpah. Sehingga dapat disimpulkan dari teori Plotinus bahwa alam berada
dalam Tuhan. Hubungannya sama dengan hubungan suatu benda dengan bayangannya.
Makin jauh yang mengalir dari Yang Asal, maka makin tidak sempurna ia. Alam ini
merupakan bayangan yang asal akan tetapi tidak sempurna seperti halnya Yang
Asal.
Menurut Plotinus jalan untuk menuju kembali
atau remanasi ini bertahap, sama dengan apa yang diajarkan tentang emanasi atau
pengaliran keluar. Jalan kembali terdiri atas 3 tahap, yakni melakukan
kebajikan umum, berfilsafat, dan mistik.[4]
·
Ajaran
tentang Jiwa
Untuki memahami pemikiran plotinus, maka
haruslah memahami filsafatnya tentang jiwa. Menurutnya
jiwa adalah suatu kekuatan ilahiyah dan merupakan sumber kekekalan. Alam
semesta berada dalam satu jiwa dunia. Jiwa tidak dapat dibagi secara
kuantitatif karena jiwa adalah sesuatu yang satu. Satu disini dapat diartikan
dalam setiap individu terdapat jiwa, sehingga jiwa berjumlah sangat banyak. Dari
jiwa dengan jumlah yang sangat banyak tadi, antara jiwa yang satu dan lainnya
memiliki kesatuan.
Dalam filsafat Plotinus dikemukakan pula
adanya reinkarnasi sebagaimana dalam teori filsafat Plato. Selain itu jiwa
telah ada sebelum keberadaan jasmani, sehingga jiwa bersifat kekal. Reinkarnasi
ditentukan oleh perilaku manusia pada saat hidupnya dan hanya jiwa yang kotor
sajalah yang mengalami reinkarnasi. hal ini dikarenakan
jiwa yang bersih dan tidak ada ikatan dengan
dunia ia akan bersatu dengan Tuhan. Menurutnya jiwa yang tinggi adalah jiwa
yang tidak mengingat apa-apa kecuali Yang Tinggi.
·
Ajaran
tentang ilmu
Idea keilmuan tidak begitu maju pada masa Plotinus, ia
menganggap sains lebih rendah daripada metafisika, metafisika lebih rendah
daripada keimanan. Hal ini plotinus terpengaruh pada jarn kristen yang juga
berkembang pada saat itu. Dari pendapatnya ini Plotinus mengekang kebebasan
akal dengan doktrin-doktrin agamanya ini. Tidak hanya Plotinus, pengikutnya
Simplicius bahkan tidak memberi ruang gerak kepada filsafat rasional.
Menurutnya orang yang mempelajari filsafat rasional sama halnya melakukan
kesia-siaan belaka bahkan mereka harus dimusuhi. Dari doktrin inilah akhirnya
kaisar Justianus melarang pengajaran filsafat (apapun) di Athena dan menghukum
berat orang-orang yang mempelajarinya.
Begitu pula Agustinus yang mengganti akal dengan iman sehingga potensi
rasional yang diakui pada zaman Yunani digantikan dengan kuasa Tuhan.
Menurutnya tidak perlu dipimpin oleh pendapat yang memiliki kebenaran relatif,
karena agama memiliki kebenaran yang mutlak.
Plotinus dapat disebut musuh dari naturalisme. Ia membedakan dengan
tegas tubuh dan jiwa. Jiwa tidak dapat diterjemahkan ke dalam ukuran-ukuran
badaniah, fakta alam haruslah difahami sesuai dengan tendensi spiritualnya.
· Ajaran tentang etika, dan estetika
Dalam pembahasan etika, Plotinus mengawalinya dengan membahas kebebasan
berkehendak yang dimiliki manusia. Pada dasarnya manusia memiliki kebebasan,
akan tetapi kebebasan tidak dapat diartikan secara lahiriyah. Kebebasan yang
dimaksud disini adalah manusia bebas memilih kepada kebaikan ataukah keburukan.
Menurutnya jiwa manusia berada dalam jiwa ilahi (cenderung untuk baik) sehingga
Plotinus menyimpulkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh jiwa manusia
dikarenakan jiwa manusia sebagian dari jiwa Ilahi. Meskipun begitu manusiapun
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena ia telah diberi pikiran untuk
memilih dan kebebasan untuk menentukan piihan. Kemampuan dalam memilih hal yang
baik ini digerakkan oleh cinta yang disandarkan kepada Yang Esa.
Menurut Plotinus esensi keindahan tidak terletak
dalam bentuk yang kasat mata, akan tetapi esensinya terletak pada keintiman
seorang hamba dengan Tuhannya Yang Maha Sempurna. Dari pernyataannya ini timbul
semacam sekala menarik tentang keindahan, mulai dari keindahan yang inderawi
naik ke emosi kemudian ke susunan alam semesta yang bersifat immaterial. Jadi
keindahan itu bertingkat mulai dari keindahan inderawi hingga keindahan
Ilahiah.
Konsep keindahan pada Plotinus berhubungan
juga dengan pandangannya tentang kejahatan. Kejahatan, menurut Plotinus tidak
mempunyai realitas metafisis. Perbuatan jahad adalah perbuatan yang rendah.
Kejahatan itu diadakan sebagai syarat kesempurnaan alam. Karena di alam ini
ditemukan hal-hal yang bertentangan seperti, hitam-putih, panas-dingin,
suka-duka, baik-buruk. Semuanya ini merupakan anggota suatu kehidupan.
B.
Pengaruh masa-masa setelah Plotinus.
Setelah Plotinus, filsafat boleh dikatakan benar-benar
mulai memasuki situasi abad pertengahan, di mana filsafat didominasi agama
kristen. Agama kristen adalah simbul sejarah revolusi. Sekurang-kurangnya pada
awal pertumbuhan benar-benar mengalami revolusi dalam bidang filsafat, politik,
ekonomi, dan moral. Hal ini dimulai dari penentangan terhadap formalisme
keagaman dan didukung oleh masyarakat kelas rendah yang menginginkan dunia bru
dan harapann baru.
Ide-ide moral abad pertengahan jelas tidak di bimbing
oleh semangat eksperimen dalam bidang sains. Karena semuanya berasal dari
Tuhan, maka semuanya juga dikembalikan pada aturan Tuhan. Pada awal
perkembangan agama kristen tidaklah ruwet. Agama didominasi oleh harapan
turunnya kembali yesus kristus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya
memerlukan teori-teori teologi yang rumit, yaitu tatkala agama mulai meluas
pemeluknya di berbagai negara dan dipengaruhi oleh pemikiran yunani.
Zaman setelah masa Plotinus juga bisa disebut zaman
patristik. Yang mana pada masa itu filsafatnya mengandung nilai-nilai religi
yakni agama kristen. Periode ini ditandai
dengan oleh Bapak-bapak Gereja (patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet
para pengarang Gereja. Para Apologet memiliki tugas utama menjawab berbagai
persoalan dan keberatan mengenai ajaran-ajaran iman Gereja terhadap berbagai ajaran
atau paham-paham filosofis yang mengancam ajaran keimanan yang benar.
Pada zaman abad pertengahan ini, juga lahir
filosof-filosof yang sangat berpengaruh. Antara lain ialah : Agustinus (354-430), Anselmus
(1033-1109), Thomas Aquinas (1225-1274M).
1.
Agustinus (354-430).
Augustinus lahir di Tagasta, Numidia
(sekarang Algeria). Pada 13 Nopember 354. Tatkala berumur sebelas tahun ia
dikirim kesekolah Madaurus. Lingkungan itu telah mempengaruhi perkembangan
moral dan agamanya. Tahun 369-370 dihabiskannya dirumah sebagai penganggur,
tetapi suatu bacaan tentang Cicero pada bukunya Hortensius, telah membimbingnya
kefilsafat.
Pada Tahun 388 ia mengabdikan seluruh
dirinya kepada Tuhan dan melayani pengikut-pengikutnya, kemudian ia menjual
seluruh warisan dan uang hasil penjualannya tersebut dikasihkan kepada
fakir-miskin. Pada tahun 395-396 ia ditahbiskan menjadi seorang Uskup di Hippo.
Tahun terakhir hidup-hidupnya adalah tahun-tahun peperangan bagi imperium
Romawi. Pada bulan 28 Agustus 430 ia meninggal dunia dalam kesucian dan
kemiskinan yang memang sudah lama dijalaninya.
Filsafat Augustinus merupakan sumber
atau reformasi yang dilakukan oleh Protestan, khususnya kepada Luther, Zwingli,
dan Calvin. Kutukannya kepada seks, pujianya kepada kehidupa pertapa, pandangannya
tentang dosa asal, semuanya ini merupakan faktor yang memberikan kondisi untuk
wujud pandangan-pandangan Abad Pertengahan.
Filsafatnya tentang sejarah berpengaruh
terhadap gerakan-gerakan agama dan pada pemikiran sekular. Dalam pertarungan
berbagai ideologi politik sekarang, ada kesamaan dalam keabsolutan, dalam
dogmatisme, dan juga dalam fanatisme. Paham toesentris pada Augustinus
menghasilkan suatu revolusi dalam pemikiran orang Barat. Anggapannya yang
meremehkan kepentingan duniawi, kebenciannya terhadap teori-teori kealaman,
imannya kepada Tuhan tetap merupakan bagaian peradaban modern. Sejak zaman
Augustinuslah orang Barat lebih memiliki sifat introspektif.
Augustinus tidak mempercayai bahwa
sejarah adalah suatu siklus sejarah lebih dari itu; ia merupakan kejadian yang
diatur oleh Tuhan. Jadi sebenarnya sejarah juga mempunyai suatu permulaan dan
suatu akhir. Permualaannya adalah saat kejatuhan manusia, dan akhirnya adalah
kemenangan Tuhan mengatasi kejahatan. Filsafat sejarah seperti ini adalah
Dilsafat Sejarah dibimbing oleh Toelogi. Sejarah tidak dapat dijelaskan dengan
memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, sejarah dapat dipahami
melaluihukum-hukum Tuhan.
2.
Anselmus (1033-1109).
Dalam membicarakan Filsafat Abad
Pertengahan St. Anselmus tidak dapat dilewatkan begitu saja. Tokoh inilah yang
mengeluarkan Credo Ut Intelligam yang dapat dianggap merupakan cirri utama
Filsafat pada Abad Pertengahan. Ia berasal dari Bangsawan di Aosta, Italia.
Seluruh kehidupannya penuhi oleh kepatuhannya kepada Gereja. Tahun 1093 ia
menjadi Uskup Agung Canterbury. Dalam dirinya mengalir arus Mistisime, dan iman
merupakan masalah utama baginya. Ada tiga karyanya yaitu Monologium yang
membicarakan keadaan Tuhan, Proslogium yang berisi tentang dalil-dalil adanya
Tuhan, dan Cur Deus Homo yang berisi ajarannya tentang tobat dan petunjuk
mengenai penyelamatan melalui Kristus.
Ia berpendapat semua makhluk memiliki
sejumlah kebaikan itu menunjukkan adanya kebaikan Mahatinggi yang disana semua
makhluk berpartisipasi. Tuhan itu kebesarannya tidak terpikirkan (kebesarannya
Mahabesar). Itu tidak mungkin hanya ada dalam pikiran. Ia juga ada dalam
kenyataan (jadi benar-benar diluar pikiran). Tuhan Mahabesar ada dalam pikiran
dan ada juga diluar pikiran. Secara kasar argument ini mengajarkan bahwa apa
yang dipikirkan, berarti objek ini benar-benar ada tidak mungkin ada sesuatu
yang hanya ada didalam pikiran, tetapi diluar pikiran objek itu tidak ada.
Tentang penyelamatan, ajarannya sama dengan
Filsuf Abad Pertengahan lainnya:manusia celaka karena jatuhnya Adam, jatuhnya
Adam memang karena dikehendaki oleh Tuhan, penyelamatan hanya diperoleh melalui
Kristus.
3.
Thomas Aquinas (1225-1274).
Thomas Aquinas lahir di Roccasecca,
Italia, pada tahun 1225 dari keluarga Bangsawan baik Bapakanya maupun Ibunya.
Melalui Gurunya, Albertinus Magnus, Aquinas belajar tentang alam, ia
berfilsafat lebih empiris daripada orang-orang yang diikutinya. Dikatakan demikian
karena ia lebih banyak menggunakan observasi terhadap alam dalam menopang
argument-argumennya. Sekalipun demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa
Aquinas menganggap bahwa penjelasan Naturalis lebih tinggi dari pada atau
setingkat dengan penjelasan Metafisika. Dalam hal Kosmologi ia masih menganut
Hipotesis Geosentris.
Dalam seluruh
teorinya mengenai pengetahuan, Aquinas dibimbing oleh pandangannya bahwa pikir
(reson)dan iman adalah tidak bertentangan. Akan tetapi, dimana batas
kedua-duanya? Menurut pendapatnya, semua objek yang tidak dapat diindera tidak
akan dapat diketahui secara pasti oleh akal. Oleh karena itu, kebenaran ajaran
Tuhan tidak mungkin dapat diketahui dan diukur dengan akal. Kebenaran
ajaran Tuhan diterima dengan iman.
Sesuatu yang tidak dapat diteliti dengan akal adalah objek iman. Pengetahuan
yang diterima atas dasar iman tidaklah lebih rendah daripada pengetahuan yang
diperoleh dengan akal. Paling tidak, kebenaran yang diterima oleh akal tidak
akan bertentangan dengan ajaran wahyu.
Selanjutnya Aquinas mengajarkan
seharusnya kita menyeimbangkan akal dan iman, akal membantu membangun
dasar-dasar filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa hal itu
tidak selalu dapat dilakukan karena kanl terbatas. Akal tidak dapat memberikan
penjelasan tentang kehidupan kembali (resurrection) dan penebusan dosa. Akal
juga tidak mampu membuktikan kenyataan esensisal tentang keimanan Kristen. Oleh
karena itu, ia berpendapat bahwa dogma-dogma Kristen itu tepat sebagaimana
telah disebutkan dalam firman-firman Tuhan.
Berdasarkan uraian itu kita dapat
mengetahui adanya dua jalur pengetahuan dalam filsafat Aquinas. Jalur itu ialah
jalur akal yang dimulai dari manusia dan berakhir pada Tuhan. Dan yang kedua
adalah jalur Tuhan ialah jalur iman yang dimulai dari Tuhan (wahyu), didukung
oleh akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar