A.
Pendahuluan
Tasawuf
di dalam sejarah Islam selalu mengalami pasang surut. Hal ini terjadi karena
adanya beragam pendapat mengenai sejarah tasawuf itu sendiri. Ada yang
mengatakan tasawuf berasal dari luar Islam namun terdapat pula pendapat yang
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari perut Islam itu sendiri. Terlepas dari
benar tidaknya dari ragam pendapat tersebut tidak berarti menghalangi umat
Islam untuk mempelajarinya maupun menghayatinya. Selain itu asumsi-asumsi
tersebut hanyalah sebuah hasil penelitian saja yang belum mencapai titik
kebenaran.
Di
dalam makalah ini, penulis berusaha mengeksplorasi tasawuf lewat seorang tokoh
sufi besar yang bernama Abu Bakar al-Kalabadzi. Tokoh tersebut diambil oleh
penulis karena tokoh sufi tersebut merupakan salah satu tokoh sufi yang merepresentasikan
pasang surut tasawuf. Mengingat pada abad ketiga dan keempat hijriyah pada saat
itu bisa dikatakan masa-masa yang cukup kritis pada ilmu tasawuf. Tasawuf
mendapatkan serangan yang hebat dari para Fuqaha
(ahli Fikih). Sehingga pada masa itu banyak tokoh-tokoh sufi besar yang
dijatuhi hukuman mati oleh penguasa, sebut saja al-Hallaj dan Abu Yazid
al-Bustami.
Pada
masa-masa yang cukup berat tersebut membuat al-Kalabadzi tertantang untuk
menuliskan sebuah buku (kitab) yang berjudul al-Ta’aruf limadhab ahl al-Tasawuf. Dimana jika dilihat secara
seksama, kitab tersebut berupaya untuk menyusun sebuah konsep tasawuf yang
sistematis layaknya seperti ilmu kalam. Mengingat pada masa tersebut merupakan
masa-masa emas dari ilmu kalam. Sehingga asumsi dari penulis, al-Kalabadzi
menulis kitab tersebut terpengaruh oleh ilmu kalam yang sangat berkembang saat
itu. Boleh jadi corak tasawuf dari al-Kalabadzi yakni rasional sebagaimana para
mutakallimun (ahli ilmu kalam).
Pada
makalah yang singkat ini, penulis mempertajam tentang konsep tasawuf dan konsep
ma’rifat dari al-Kalabadzi. Tentunya penulis merujuk pada kitab yang berjudul al-Ta’aruf limadhab ahl al-Tasawuf.
Namun karena keterbatasan bahasa dari penulis, maka digunakanlah buku
terjemahan dari kitab tersebut yang berjudul “Ajaran Kaum Sufi”. sebenarnya
buku terjemahan tersebut merupakan buku yang ditulis oleh orentalis Barat yakni A.J Arberry yang berjudul The Doctrine of the Sufis. Buku tersebut
adalah buku terjemahan dari kitab al-Ta’aruf
limadhab ahl al-Tasawuf karya al-Kalabdzi. Metodologi yang digunakan
oleh penulis ialah dengan pendekatan kesinambungan historis-deskriptif. Ini
artinya bahwa penulis melihat benang merah dalam pengembangan tokoh yang
diteliti, baik berhubungan dengan lingkungan historis dan pengaruh-pengaruh
yang dialaminya. serta menguraikan secara teratur seluruh konsep dari tokoh
tersebut.[1]
Pada makalah ini, penulis
menguraikan mengenai biografi al-Kalabdzi dengan setting sosial-budaya yang mengitarinya. Selanjutnya penulis
menguraikan konsepsi tasawuf dan ma’rifat dari al-Kalabadzi. Kemudian penulis
menganalisa sesuai dengan data-data yang diperoleh. Sehingga diharapkan mendapatkan deskripsi yang
menyeluruh tentang al-Kalabadzi. Tentunya rujukan utama yang dipakai
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yakni merujuk pada kitab al-Ta’aruf limadhab ahl al-Tasawuf.
B.
Sekilas
Biografi Abu Bakar al-Kalabadzi
Nama
lengkapnya Abu Bakar bin Abi Ishaq Muhammad bin Ibrahim bin Ya’kub al-Bukhari
al-Kalabdzi, atau yang sering disebut Abu Bakar al-Kalabadzi. Untuk
kelahirannya tidak banyak data yang diketahui namun untuk kematiannya banyak
data yang menjelaskannya. Al-Kalabadzi wafat di Bukhara, 380H/990M atau
384H/994M. Al-Kalabadzi diberi nama yang hampir sama dengan nama bapaknya (1)
Muhammad bin Ishaq (2) Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim (3) Muhammad bin Ibrahim
(4) Muhammad bin Ibrahim bin Ya’kub. A.J Arberry dalam The Doctrine of the Sufis menyimpulkan bahwa nama terakhir tersebut
yang paling tepat. Namanya dinisbahkan pada Kalabadz, suatu bagian dari kota
Bukhara, kota kelahirannya. Di kota inilah pula ia dikebumikan.[2]
Al-Kalabadzi
adalah serorang ahli hukum hanafi, ahli hadis dan teoretikus ilmu tasawuf. Sebagai
seorang sufi, Kalabadzi adalah seorang murid dari Faris Ibn Isa (w. 340H/951M), seorang sahabat dari martir yang
paling terkenal dalam dunia tasawuf, Hallaj. Dinyatakan pula oleh Abd al-Hayy
al-Lakhnawi, yang menggolongkan al-Kalabdzi ke dalam daftar ahli hukum Hanafi
yang termasyur.[3]
Ia mempelajari hukum fikih Hanafi di bawah bimbingan Muhammad bin Fadl. Madzhab
Hanafi merupakan madzhab yang pertama kali muncul dari kalangan Sunni. Madzhab
ini bercorak rasional yang berkedudukan di Kuffah. Madzhab ini dibentuk oleh
Nu’man bin Tsabit bin Zutha yang populer dengan nama Abu Hanifah (w. 150H/767M).
Gelar ini diberikan oleh masyarakat Kufah, karena ketekunannya dalam beribadah,
kejujuran, serta kecenderungannya pada kebenaran.[4]
Sebagaimana
yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, selain sebagai seorang ahli
teoretikus ilmu tasawuf, al-Kalabdzi juga ahli hadis. Hal ini cukup dimaklumi
karena ia dibesarkan di Bukhara dimana di tempat tersebut terdapat seorang ahli
Hadis terkemuka sepanjang zaman yakni Imam al-Bukhari. Al-Bukhari adalah
seorang ahli periwayat dan ahli hadis terkenal. Ia wafat di Khartanak, 870M.[5]
Terdapat karya al-Kalabadzi didalam bidang hadis yang masih dilesatrikan hingga
saat ini yakni Bahr al-Fawa’id fi Ma’ani
al-Akhbar. Karyanya tersebut terdiri dari 222 hadis pilihan. Hal ini cukup
menandakan bahwa al-Kalabadzi juga sebagai ahli hadis.
Bukhara
adalah salah satu di antara beberapa daerah yang dalam sejarah Islam dikenal
dengan sebutan Ma Wara’ an-Nahr. Yang
dimaksud dengan sebutan tersebut adalah daerah sekitar sungai Jihun,
Uzbekistan, Asia Tengah. Bukhara pernah menjadi pusat pemerintahan dan
perdagangan pada masa dinasti Samaniyah selama lebih dari 150 tahun.[6]Samaniyah
adalah sebuah dinasti kecil yang muncul di dunia Islam (Persia) pada abad ke-9,
ketika dinasti Abbasiyyah melemah. Wilayahnya meliputi daerah Khurasan (Irak)
dan Transoksania (Uzbekistan) yang terletak di Timur Baghdad.
Pada
dinasti Sammaiyah inilah bermunculan ilmuwan muslim yang berasal dari kota
Bukhara sebut saja Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi (w. 925M),
ibnu Sina (w. 1037M) keduanya seorang filosof,
Imam Bukhari (w. 870M) seorang ahli Hadis, dan Abu Bakar al-Kalabadzi
seorang teoretikus ilmu tasawuf. Oleh sejak itulah bukhara menjadi pusat
peradaban perkembangan ilmu pengetahuan keislaman yang pesat.
Karya
al-Kalabadzi yang terkenal adalah kitab al-Ta’aruf
li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf (pengantar ke madzhab ahli tasawuf) berisi 75 pasal yang menjelaskan ajaran dan
pengalaman ruhaniyah para sufi. kitab ini telah diterjemahkan kedalam bahasa
Inggris oleh A.J. Arberry seorang orientalis Barat pemerhati mistisime Islam
berjudul The Doctrine of The Sufis terbitan S.H. Muhammad Ashraf, Lahore, 1976.
Kemudian karya ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Ajaran
Kaum Sufi.
Karena
kitab al-Ta’arufnyalah Abu Bakar
al-Kalabadzi menjadi terkenal. Risalah ini segera diterima sebagai buku
pegangan yang sah tentang
doktrin-doktrin (ajaran) sufi. bahkan atas risalah ini Syihabuddin Surahwardi
al-Maqtul (w. 587H/1191M), seorang pelopor filsafat iluminasi dalam Islam
mengatakan “Kalau bukan karena kita al-Ta’aruf in, kita tidak akan mengenal
ilmu tasawuf”. Hal ini menandakan bahwa kitab tersebut sangatlah berbobot dalam
kajian tasawuf atau sufisme, bahkan hingga saat ini kitab al-Ta’aruf masih menjadi pegangan untuk mengakaji ilmu tasawuf.
Setelah
Risalah yang ditulis oleh Abu Qasim
Abdul Karim al-Qusairy (w. 465/1074 M) dan Qutl
al-Qulub (pembekalan hati) yang ditulis oleh Abu Thalib al-Makki (w.
386H/996M), kitab al-Ta’aruf dihargai
oleh orang-orang sufi sendiri sebagai ikhtisar tasawuf yang paling bernilai.
Hal tersebut disebabkan pertama, karya ini merupakan karya pendek apabila
dibandingkan dengan kitab lainnya. Dan kedua, pengarang yakni al-Kalabadzi
dalam menulis bermaksud untuk menunjukkan ortodoksi esensial kedudukan kaum
sufi. hal dilakukan karena Pada masa hidupnya al-Kalabadzi inilah tasawuf
sedang mengalami krisis yang hampir di anggap berbahaya untuk diajarkan namun
belum sampai pada tingkat diharamkan. Terutama sejak pelaksanaan hukuman mati Abu
Mansur al-Hallaj pada Tahun 922 oleh madzhab azahiri, sebuah peristiwa yang
mungkin terjadi saat al-Kalabadzi masih berusia kanak-kanak.
Maka oleh karena itu al-Kalabadzi
mengerahkan segala tenaganya untuk membuktikan bahwa ajaran para sufi selaras
dengan jiwa syariat Islam. Dorongan sadar inilah yang menjadikan karyanya
memiliki nilai lebih tinggi, bahkan jika dibandingkan dengan karya-karya Sufi
termashyur lainnya seperti Qusyairi, al-Makki, al-Sarraj dan Hujwiri. Yang mana
karya-karya mereka itu hampir tidak memiliki pengaruh yang begitu prestisius
seperti kitab al-Ta’aruf dalam meraih
penghargaan sufisme oleh Islam ortodoks. Dalam pengertian ini, al-Kalabadzi
membuka jalan yang selanjutnya diikuti oleh seorang tokoh sufi besar yang juga
seorang ahli teologi, filsuf yakni al-Ghazali (w.505H/1111M) dengan karya
monumetalnya Ihya’, yang mana
tujuannya untuk mendamaikan paham skolastik dan mistik.
C.
Konsep
Tasawuf Menurut Al-Kalabadzi
Sedemikian
pelik pengertiannya, sehingga para sufi, yaitu mereka yang menjalankan tasawuf,
tidak sepakat dalam mengartikannya. Para sufi mengemukakan pengertian mereka
sesui pengalaman mereka masing-masing. Beberapa pengertian yang berkembang dan
sering dipakai sebagai acuan berasal dari al-Junaid al-Bagdadi (w. 297H/ 910M),
“bapak tasawuf moderat”. Ia mendefinisikan tasawuf sebagai keberadaab bersama
Allah SWT tanpa adanya penghubung. Baginya tasawuf berarti “membersihkan hati
dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyyah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat
bagi sifat kerohanian, berpegang kepada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu
yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasehat kepada umat,
benar-benar janji kepada Allah SWT, dan mengikuti Syariat Rasulullah SAW”.[7]
Adapun
menurut Abu Qasim al-Qusyairi, yang mengarang kitab Risalah al-Qusyairiyah menjelaskan tasawuf sebagai ajaran yang
menjabarkan al-Quran dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi berbuat
bidah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringankan ibadah.
Sementara
menurut Ma’ruf al-Karkhi (w. 200H/816M) yang merupakan guru dari al-Junaid
menyebutkan tasawuf sebagai kepedulian terhadap kenyataan dan mengabaikan apa
yang ada ditangan makhluk, katanya, “siapa yang tidak sanggup merealisasikan
kefakiran, niscaya ia tidak akan sanggup merealisasikan tasawuf”. Pengertian
yang hampir sama dikemukakan juga oleh Dzunnun al-Misri (w.246H/ 861M) dan
asy-Syibli (w. 334H/946M).[8]
Al-Kalabdzi
sendiri di dalam bukunya al-Ta’aruf
tidak mendefinisikan secara tegas tentang tasawuf. Namun di dalam bukunya
tersebut al-Kalabadzi hanya menjelaskan mengapa seseorang disebut sebagai sufi
(pelaku tasawuf) dengan merujuk pendapat-pendapat dari tokoh sufi besar
pendahulunya. Di dalam kitabnya al-Ta’aruf, al-Kalabadzi menerangkan bahwa
beberapa orang mengatakan: “Para sufi dinamanakan demikian hanya karena
kemurnian (shafa) hati dan kebersihan
tindakan mereka”. Bisyr ibn Harits mengatakan “ sufi adalah orang yang hatinya
tulus (shafa) terhadap Tuhan”. Yang
lain mengatakan “sufi adalah orang yang tulus terhadap Tuhan dan mendapat
rahmat tulus dari Tuhan”.[9]
Sungguh sangat sulit untuk mencapai kata sepakat dalam mengartikan tasawuf atau
sufisme. Namun, hal itu bukan berarti bahwa tasawuf tidak memiliki arti yang
substansial.
Pengertian
substansial juga diutarakan oleh Nurcholis Majid, menurutnya tasawuf adalah
tidak lain bagaimana menyembah Tuhan dalam suatu kesadaran penuh bahwa kita
berada di dekat-Nya sehingga kita “ Melihat”-Nya atau Ia senantiasa mengawasi
kita dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya.[10]
Dalam hubungan ini Harun Nasution mengatakan tasawuf atau sufisme sebagaimana
halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa
seseorang berada dihadirat Tuhan. Intisari dari mistisime, termasuk didalamnya
sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia
dan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.[11]
Pengertian substansial ini sudah mengarah kepada tekhnis para sufi untuk
mencapai kehadirat Tuhan.
Menurut
Annemarie Schimmel, seorang sejarahwan dan peneliti tasawuf terkemuka dari
Harvard University mengatakan kesulitan dalam mendefinisikan tasawuf secara
komprehensif dan representatif. Kita hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya
saja. Ia mengutip kisah seorang buta yang dikemukakan oleh Jalaluddin ar-Rumi
(w. 672H/1274M), ketika mereka menyentuh gajah. Masing-masing menggambarkannya
sesuai dengan bagian tubuh gajah yang disentuhnya; ada yang mengatakan
bentuknya seperti mahkota, seperti kipas, seperti pipa air, atau seperti tiang.
Sehingga menurut Schimmel pengertian yang ada mengenai tasawuf memang hanya
dapat menjadi petunjuk awal dalam menyelami tasawuf lebih jauh.[12]
Pandangan
para sufi dalam mengartikan tasawuf, disamping karena arti itu diungkapkan atas
dasar pengalaman batin yang bersifat subyektif juga karena ketidaksamaan dalam
melihat asal-usul kata tasawuf dan sufi itu sendiri. Karena itulah perlu
melihat juga disini keanekaragaman arti kata-kata itu.
Arti
kata “tasawuf” dan “sufi” menurut keterangan peneliti adalah sebagai berikut.
Pertama, dikatakan tasawuf itu berasal dari kata safa (suci). Pendapat ini didasarkan kepada ucapan sementara pakar
tasawuf yang dikutip oleh al-Kalabdzi (w. 384H/994M) bahwa para sufi disebut
demikian karena kesucian (safa) batin
mereka dan kebersihan tindakannya. Ini sesuai dengan ucapan dari Bisyr ibn
Harits, yang menyebutkan sufi sebagai orang yang berhati suci kepada Allah.[13]
Namun pendapat ini dibantah oleh Mir Valiuddin guru besar Universitas Osmania
India yang mengatakan, jika kata “sufisme” berasal dari kata safa bentuk katanya yang tepat bukan sufi, tetapi safawi.
Kedua,
dikatakan bahwa tasawuf berasal dari kata saff
(barisan). Karena para sufi ini mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan
senantiasa memilih barisan (saff)
terdepan dalam sholat berjamaah. Mereka memandang para sufi berada pada baris
terdepan dihadapan Allah SWT, karena peningkatan keinginan mereka kepada-Nya.
Namun demikian, pendapat ini dibantah oleh al-Qusyairi (w. 465/1074 M). Menurut
pendapatnya yang mengatakan bahwa para sufi berasal dari kata “saff” menurut pengertiannya benar, akan
tetapi bahasa tidak menghendaki penisbahan itu kepada saff. Jika kata sufi mengacu pada kata saff, maka seharusnya bentuknya adalah saffi bukan sufi.
Ketiga, dikatakan bahwa tasawuf itu
berasal dari kata suffah (sermabi
tempat duduk), yakni suffah masjid
Nabawi di Madinah yang disediakan bagi para tunawisma dari kalangan Muhajirin
(orang yang berhijrah) pada masa Rasulullah SAW. Para tunawisma tersebut
dipanggil dengan ahl as-Suffah
(pemilik serambi), karena diserambi masjid inilah mereka bernaung. Digambarkan
bahwa ahl as-Suffah yang berjumlah
400-an orang itu adalah orang-orang yang taat ibadah. Para sufi dinamkan demikian karena mereka
banyak meniru sifat ahl as-Suffah.
Namun, as-Surahwardi (w. 632H/1235M)
salah seorang sufi terkemuka madhzab iluminatif, mengatakan bahwa dari sudut
makna hakikinya hubungan kata sufi dengan ahl
as-Suffah memang dapat dibenarkan, tetapi dari sudut bahasa pengambilan
kata sufi dari ahl as-Suffah sudah
keluar dari bahasa yang benar.[14]
Keempat, dikatakan bahwa tasawuf
itu berasal dari kata Yunani theosophi
(theo adalah Tuhan, shopos adalah pengetahuan), yang berarti
pengetahuan Tuhan. Kata tersebut dengan beberapa perubahan fonem sebagai akibat
urf (kebiasaan) dalam pemakaian
bahasa yang berbeda-beda berubah menjadi sufi.
pendapat ini dikemukakan oleh G.V.H Hammer, peneliti sufi berkebangsaan Jerman.
Jurji Zaidan, sejarahwan Mesir, juga berkeyakinan bahwa ada hubungan antara
kata Arab tasawuf atau sufi dengan kata Yunani theosophi. Namun menurut keterangan Ibrahim Basyuni, pendapat ini
kurang tepat. Karena huruf sigma Yunani selalu ditransleterasikan dengan huruf sin pada huruf Arab bukan dengan sad. Sehingga kalau kata tasawuf
berasal dari kata Yunani, theosophi
mestinya apabila diarabkan berbunyi tasawwuf,
sebagimana terlihat pada kata falsafah
yang berasal dari kata philosophia.[15]
Kelima, dikatakan bahwa tasawuf
berasal dari kata suf (bulu domba), karena para sufi biasa memakai pakaian dari bulu
domba yang kasar sebagai lambang kerendahan hati. Mereka menjauhin pakaian yang
halus dan indah untuk menghindari sikap sombong, disamping untuk menenangkan
jiwa. Kebiasaan demikian sebenarnya merupakan kebiasaan para Nabi dan
orang-orang soleh pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW. Memang, apabila dari
sudut kebahasaan, penisbahan kata sufi kepada suf sudah dipandang tepat.
Menurut kaidah shorof, kata tasawwafa,
yang berarti dia memakai baju wol, setimbang dengan kata taqammasa, yang berarti memakai kemeja.[16]
Mengenai
penisbahan para sufi yang memakai bulu domba dan tinggal diserambi masjid ini,
sejalan dengan apa yang ditulis oleh al-Kalabadzi dalam bukunya al-Ta’aruf. Ia menuliskan bahwa
orang-orang yang menisbahkan orang-orang sufi dengan orang-orang yang tinggal
diserambi masjid dan dengan bulu domba, menampakkan aspek lahiriyah keadaan
mereka, sebab meraka adalah orang-orang yang meninggalkan dunia ini, mereka
berkelana keseluruh negeri, menganggap tabu hasrat-hastrat jasmani, dan
menelanjangi tubuh mereka; mereka mengambil benda dunia hanya asal cukup untuk
menutupi ketelanjangan mereka dan mengilangkan kepalaparan mereka.
Semua
ini merupakan kenyataan keadaan hidup orang-orang yang tinggal di serambi
masjid di masa Nabi SAW. Sebab mereka semua adalah orang-orang asing, melarat,
terbuang, terusir dari tempat tingga mereka. Abu Hurairah dan Fudhalah ibn
Ubaid melukiskan mereka sebagai berikut: “mereka hampir mati kelaparan,
sehingga orang-orang badui menganggap mereka gila.” Pakaian mereka dari bulu
domba (suff). Sehingga apabila mereka
berkeringat, bau mereka seperti bau domba kehujanan. Begitulah sesungguhnya
mereka dilukiskan orang.[17] Oleh
karena itu, maka al-Kalabdzi setuju dengan arti kata Sufi yang menisbatkan diri
dengan memakai bulu domba sebagai pakaiannya dan tinggal di serambi masjid. Hal
ini ditegaskan pula bahwa dalam kitabnya, bahwa orang-orang yang memiliki sifat
yang sama dengan orang-orang yang tinggal diserambi masjid dan berpakaian
dengan bulu domba, maka mereka dinamakan “shuffiyah-shuffiyah”[18]
Adapun
sumber-sumber ajaran dari tasawuf sangatlah bervariasi. Mengingat dari
definisinya saja mengenai tasawuf sangatlah bervarisai bahkan diantara para
sufi masih belum ada kata sepakat. Namun dirasa perlu penulis untuk mengulas
sumber-sumber dari ajaran tasawuf. Banyak para peneliti tasawuf berbeda
pendapat mengenai sumber asal dari ajaran tasawuf. Ada yang menganggap sumber tasawuf
adalah berasal dari agama lain, namun terdapat pula peneliti yang mengatakan
bahwa tasawuf berasal dari perut Islam itu sendiri.
Tholuck,
orientalis Jerman abad ke-19 misalnya, memandang gagasan tasawuf banyak ditimba
dari sumber Majusi (agama Zoroaster), dengan alasan bahwa sejumlah besar orang
Majusi di Iran Utara, setelah penakhlukan Islam, banyak mempengaruhi para sufi,
yang memang banyak yang berasal dari kawasan itu, khusunya di daerah Khurasan. Sementara
itu, Ignaz Goldziher seorang orientalis dari Austria dan R.A. Nicholson seorang
oreintalis Inggris, memandang bahwa tasawuf Islam bersumber dari asketsisme
Kristen. Karena kependetaan Kristen cukup dikenal oleh orang-orang Arab di
sepanjang gurun Suriah dan Sinai. Para pertapa Kristen yang berdiam di
gurun-gurun itun sedikit banyak telah memberi inspirasi kepada sejumlah kaum
zahid muslim generasi pertama. Disamping itu, kegemaran para sufi dalam
menghayati kehidupan kesunyian, memakai bulu domba, banyak berdzikir, dan
lain-lain, menampakkan adanya pengaruh mistisisme Kristen.[19]
Hal
ini sejalan dengan pengakuan dari seorang sufi yang bernama Ibrahim bin Adham
yang menjelaskan prinsip-prinsip dan tujan utama tasawuf. Ia menuturkan, “aku
belajar makrifat dari seorang pendeta Nasrani bernama Sam’an. Suatu saat aku
menemuinya di tempat pertapaanya. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Sam’an, sudah
berapa lama engkau menetap di pertapaan ini?’, ia menjawab, ‘sudah tujuh puluh
tahun!’ kemudian aku bertanya, “apa yang engkau makan ditempat ini?’ ia
berkata, ‘Wahai hanif (pengikut agama
hanif), mengapa engkau datang kesini
dan bertanya seperti itu?’ Aku berkata, ‘aku ingin belajar kepadamu!’
Selanjutnya ia berkata, ‘setiap malam aku hanya makan sebutir biji kacang!’ aku
bertanya, ‘apa yang mendorong hatimu merasa cukup kenyang dengan hanya sebutir
biji kacang?’ ia bertanya, ‘apakah engkau melihat orang-orang (agaknya, yang
dimaksud Sam’an adalah para malaikat) di depanmu?’ Aku berkata, ‘ya aku
melihatnya!’ lalu ia berkata, ‘mereka selalu mendatangiku sehari dalam setahun.
Para malaikat itu suka menghias tempat pertapaanku ini dan mengelilinginya
sambil menghormatiku. Ketika aku merasa malas untuk melaksanakan kebaktian, aku
mengingat saat-saat itu (sehingga semangat kebaktian pulih kembali). Aku rela
melakukan perjuangan keras selama setahun demi keagungan sesaat saja. Maka
bersemayamlah makrifat dalam jiwaku.” [20]
Pendeta
Sam’an memperoleh cahaya makrifat dalam jiwanya, namun tidak menjelaskan apa
yang dimaksud dengan makrifat itu. Hanya saja dari redaksi kisah diatas tampak
bahwa makrifat yang diperolehnya berupa tajarrud
yang sempurna dalam melaksanakan ibadah, menyendiri dan mengurangi posisi makan yang
dilakukaknnya. Inilah ajakan dari seorang sufi Ibrahim bin Adham untuk merambah
jalan sufi atau tasawuf. Penulis merujuk pada pendapat dari Ibrahim bin Adham
ini karena di dalam kitabnya al-Ta’aruf al-Kalabadzi mengakui otoritas ke-sufian dari
seorang Ibrahim bin Adham.[21]
Ini dapat dilihat di dalam kitabnya.
Selain
dari pandangan yang mengatakan bahwa sumber tasawuf berasal dari asketisme
Kristen, dua orang orientalis Jerman. Max Horten dan Richard Hartmann, melihat
tasawuf bersumber dari India, karena banyak latihan rohaniah dalam tasawuf yang
mirip dengan mistisisme India. Ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Hallaj,
Abu Yazid al-Bustami dan al-Junaid, rupanya banyak ditimba dari mistik India. R.A.
Nicholson juga mengatakan bahwa dalam tasawuf Islam terdapat pengaruh ajaran
Nirwana dari Budhisme. Adapun orentalis O’leary melihat tasawuf tidak lain adalah
cuplikan dari ajaran Neo-Platonisme, yang dikembangkan filsuf Hellenis
khususnya Plotinus (w.270M). hal ini sejalan dengan apa yang telah dibuktikan
oleh R.A. Nicholson dalam antologi puisi yang dipilihnya dari Diwan Syams-i Tabriz, karya Jalaluddin
ar-Rumi yang menyimpulkan adanya kecenderungann sufisme kepada ajaran
Neo-Platonisme.[22]
Namun anehnya, Nicholson yang telah menghabiskan usianya untuk meneliti tasawuf
tersebut pada penelitiannyan yang terakhir justru berkesimpulan bahwa tasawuf
adalah murni bersumber dari ajaran Islam sendiri. Islam memiliki sumber yang
kaya tentang kerohanian. Menurutnya, meskipun tasawuf dalam setiap
perkembangannya memperlihatkan warna yang berbeda-beda, namun secara keseluruhan
warna tersebut tidaklah keluar dari warna dasar Islam.
Disamping
Nicholson yang dalam akhir kesimpulan penelitiannya menganggap tasawuf
bersumber dari dari Islam, terdapat orientalis-orientalis lain yang meninjau
sumber tasawuf secara jujur dan ilmiah adalah L. Massignon dan J. Spencer
Trimingham. Mereka ini lebih cenderung menganut pendapat bahwa tasawuf berasal
dari sumber murni Islam, dan dampak asing terhadap tasawuf itu sangatlah
terbatas. Lebih jauh lagi perkembangan tasawuf secara jelas mengikuti garis
Islam. Massignon dalam kajian Ilmiahnya tentang tasawuf berkesimpulan bahwa
sumber tasawuf yang terpenting adalah al-Quran.[23]
Untuk
memperkuat pendapat tersebut maka perlu diberikan landasan al-Quran. Dimana
otoritas dari kebenaran al-Quran sebagai pedoman hidup agama Islam tidak dapat
diragukan lagi. Sebagai contoh bahwa ajaran tasawuf sebenarnya berasal dari
perut Islam itu sendiri adalah firman Allah tentang ketakwaan, dan zuhud dimana
zuhud adalah salah satu dari maqomat
(tahapan) seorang sufi untuk dapat mencapai kedekatannya.
Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”[24]
Artinya:
“Katakanlah: "Kesenangan di dunia
ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa,
dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”[25]
Artinya:
“ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan
dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan
di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.”[26]
Ayat-ayat
tersebut cukup sebagai bukti bahwa didalam Islam sendiri terdapat ajaran-ajaran
tasawuf, bahkan Nabi SAW sendiri sering dalam sejarahnya melakukan Uzlah (menyendiri) untuk bertafakkur
akan kebesaran Allah. ini merupakan ciri-ciri dari tingkah laku para sufi. oleh
karenanya penulis berkeyakinan bahwa sumber tasawuf berasal dari luar Islam
adalah hal yang sangat keliru dan salah kaprah.
Bahkan
jika kita merujuk pada buku al-Ta’aruf li
al-Mahdzab Ahl al-tasawuf karya
al-Kalabadzi ini sangatlah terasa jelas atmosfirnya. Beliau banyak menukil
pendapat-pendapat sufi terdahulunya mengenai sufi dan berbagai aspeknya.
Tentunya al-Kalabadzi sangatlah selektif dalam menukil pendapat para sufi
mengingat pada masanya tasawuf sedang mengalami krisis yang sangat parah.
Banyak para sufi yang dicap kafir dan dihukum mati oleh para penguasa akibat
dari ajaranya yang telah menyimpang jauh dari Islam.
Sebenarnya
tujuan akhir yang hendak dicapai seorang sufi adalah berada sedekat mungkin
disisi Tuhan dan mengenalnya secara langsung bahkan tenggelam dalam
kemahaesaan-Nya yang mutlak melalui pengalaman. Tuhan tidak hanya dikenal
melalui dalil akal atau pemberitaan Nabi (wahyu) tetapi juga melalui pengalaman
batin. Untuk mencapai itu seorang sufi harus terlebih dahulu menempuh jalan
panjang maqamat, yaitu tingkat
kesufian dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam hal ini maka al-Kalabadzi
membagi maqamat menjadi sepuluh tingkatan. Ini ditegaskan
dalam kitabnya al-Ta’aruf li al-Mahdzab
Ahl al-tasawuf, yakni tobat, zuhud, sabar, fakir, tawaddu’ (rendah hati), takwa, tawakkal, rida, mahabbah (cinta), dan yang terakhir makrifat.[27] Ketika sampai pada maqam makrifat maka seorang
sufi berada paling dekat disisi Tuhan, sehingga ia dapat mengenal-Nya secara
langsung. Oleh karenanya inti dari ajaran tasawuf adalah untuk bermakrifat
kepada-Nya.
D.
Konsep
Makrifat Menurut Al-Kalabadzi
Di
dalam karyanya al-Ta’aruf li al-Mahdzab
Ahl al-tasawuf al-Kalabadzi tidak terlalu menjelaskan pemikirannya mengenai
makrifat. Akan tetapi ia menukil pendapat-pendapat dari para sufi. menurut
asumsi penulis, pendapat dari para sufi pendahulunya sejalan dengan apa yang
oleh al-Kalabadzi pikirkan mengenai konsep makrifat.
Di
dalam kitabnya al-Ta’aruf, al-Kalabadzi
menuliskan bahwa para sufi sepakat bahwa satu-satunya menuju Tuhan adalah Tuhan
itu sendiri. Dengan beranggapan bahwa fungsi akal merupakan fungsi yang
dimiliki oleh manusia berakal membutuhkan petunjuk. Sebab, akal merupakan
sesuatu yang diciptakan pada suatu waktu, dan karena itu hanya bisa menjadi
petunjuk bagi segala sesuatu yang seperti dia juga[28]
Seorang
bertanya kepada an-Nuri, “apakah petunjuk kepada Tuhan itu?” dia menjawab,
“Tuhan.” Yang lain bertanya, “lalu bagaimana dengan akal?” an-Nuri berkata, “ akal
itu lemah, dan yang lemah itu hanya bisa menunjuk kepada yang lemah seperti dia
juga”. Ibn Atha’ berkata, “akal itu merupakan alat untuk mencapai segala
sesuatu yang berhubungan dengan hamba, bukan untuk mencapai kepada Tuhan”.[29]
Di
dalam kitabnya juga al-Kalabadzi menukil pendapat sufi yang lain terkait dengan
makrifat ketuhanan. Seorang tokoh besar sufi berkata[30],
“tak seorang pun mengenal-Nya kecuali orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya;
tak seorangpun menyatakan keesaan-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah
menyatakan keesaan-Nya; tak seorangpun yang mempercayai-Nya kecuali orang yang
kepadanya Dia telah memperlihatkan karunia-Nya; tak seorangpun yang bisa
mengenal-Nya kecuali orang yang hati nuraninya telah diilhami oleh-Nya sendiri;
tak seorangpun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya
pada-Nya; tak seorangpun mempersembahkan budi kepada-Nya kecuali orang yang
telah dipilih sendiri oleh-Nya.”[31]
Hal ini menunjukkah bahwa makrifat adalah ilmu yang diperoleh melalui izin-Nya
sendiri. Dengan menggunkan isntrumen ibadah yang tekun seorang sufi ingin dapat
mengenal sedekat-dekat-Nya namun itu semua yang memberikan izin adalah Tuhan
itu sendiri.
Al-Junaid
berkata, “Makrifat tardiri dari dua jenis: pertama,
makrifat pengungkapan diri (ta’aruf)
dan yang kedua, makrifat pengajaran (ta’rif).” Kata “makna pengungkapan diri”
adalah bahwa Dia menyebabkan mereka mengenal-Nya, dan mengenal benda-benada
lewat Dia. Atau dalam ungkapan Nabi Ibrahim AS, “aku Tidak suka akan sesuatu
yang dapat tenggelam”[32]
Sedang makna, “pengajaran” adalah bahwa Dia memperlihatkan pada mereka
tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di dalam diri mereka sendiri. Dan
kemudian menanamkan dalam diri mereka sebuah karunia khusus (luthf), sehingga benda-benda (materil)
itu menunjukkan adanya Sang Pembuat (Tuhan).[33]
Inilah makrifat yang umumnya dicapai oleh orang-orang yang beriman, sedangkan
yang disebutkan pertama tadi (perkataan sufi besar) adalah makrifat yang hanya
dapat dicapai oleh orang-orang terpilih, dan pada hakikatnya tak seorang pun
yang dapat mengenal Dia, kecuali lewat Tuhan sendiri.
Kemudian
di dalam kitabnya al-Ta’aruf li
al-Mahdzab Ahl al-tasawuf, al-Kalabadzi juga menjelaskan beberapa perbedaan
pandangan para sufi terkait dengan sifat makrifat. Al-Junaid berkata, “
Makrifat merupakan perwujudan kebodohanmu pada saat ilmu-Nya tiba”. Ini sesuai
dengan pendapat dari Sahl at-Tustari, “ makrifat adalah makrifat dari
kebodohanmu itu”. Sahl juga mengatakan, “ilmu itu ditetapkan oleh makrifat, dan
akal ditentukan oleh ilmu; tetapi makrifat ditentukan oleh esensinnya sendiri”.
Artinya kalau Tuhan menyebabkan seseorang memiliki makrifat akan diri-Nya
sendiri, sehingga dia mengenal Tuhan lewat pengungkapan diri-Nya sendiri
kepadanya. Berarti Dia menempatkan pengetahuan dalam diri orang tersebut.
karenanya, dia mendapat pengetahuan lewat makrifat dan dalam dirinya akal
bekerja mengolah pengetahuan yang diberikan Tuhan kepadanya.[34]
Begitu pelik mengenai makrifat ini,
mengingat makrifat yang didefiniskan dalam hal ini adalah sesuai dengan
pengalaman spiritual seorang sufi. sehingga tidak ada kata sepakat mengenai
makrifat. Oleh karenanya penulis berkesimpulan mengenai konsep makrifat yang di
ada di dalam kitab al-Ta’aruf li
al-Mahdzab Ahl al-tasawuf karya al-Kalabadzi ini hanya menukil pendapat
para sufi pendahulunya. Sufi-sufi yang terdapat di dalam al-ta’aruf ini dianggap
otoritasnya sebagai sufi oleh al-Kalabadzi. Bisa dikatakan konsep makrifat dari
al-Kalabadzi adalah tak jauh berbeda dengan konsep makrifat dari sufi-sufi yang
penulis nukil tadi.
E.
Analisi
Pemikiran Al-Kalabadzi Dalam Kitab al-Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf
Jika
kita lihat dalam kitabnya yakni Ta’aruf
li al-Mahdzab Ahl al-Tasawuf maka kita dapat melihat bahwa al-Kalabadzi
banyak menukil pendapat-pendapat dari sufi terdahulunya. Di dalam salah satu
babnya tepatnya pada bab ke-2 tersebut, al-Kalabadzi menyantumkan beberapa nama
para sufi yang termashyur. Namun selain al-Kalabadzi menukil beberapa pendapatn
terkada al-Kalabadzi memberikan statemennya secara mandiri. Menurut analisis
penulis bahwa al-Kalabadzi menuliskan nama-nama dari para sufi pendahulunya
karena ia menganggap otoritas kesufian dari para sufi tersebut. Antara lain dari
para sufi yang dicantumkan namanya oleh al-Kalabadzi adalah Ibrahim bin Adham,
Uwais al-Qarani, Dzunun al-Misri, Sufyan ibn Sa’id al-Tustari. Dari nama para
sufi tersebut penulis mengetahui bahwa karakteristik dari tasawuf al-Kalabadzi
adalah bercorak tasawuf amali atau akhlaki.
Namun
jika kita melihat biografinya maka sebenarnya al-Kalabadzi adalah seorang sufi
yang bercorak rasional, mengingat ia sendiri selain sebagai sufi, ia adalah
seorang ahli fiqih dalam madzhab Hanafi. Dimana madzhab Hanafi adalah salah
satu dari sekian madzab fikih yang paling rasional. Sehingga corak dari
pemikiran al-Kalabadzi pun mungkin rasional.
Menurut
analisa penulis, bahwa al-Kalabadzi tidaklah menentang peranan akal untuk
mencapai makrifat kepada Allah. Karena banyak dalil dalam al-Quran yang sangat
mengoptimalkan peranan akal dalam merenungi ciptaan-Nya, antara lain:
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa
apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa
air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”[35]
Artinya: “Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada
diantara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam
(memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; Maka kamu sama dengan
mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka
sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan
ayat-ayat bagi kaum yang berakal.”[36]
Sebenarnya
akal yang diperbincangkan al-Quran bukanlah akal murni atau esensi yang berdiam
di dalam akal, seprti yang dikatakan oleh para filosof. Akal yang dimaksud
dalam al-Quran adalah berupa lahiriyah, kemampuan, talenta, dan kekuasaan
Ilahiyah yang ada pada diri manusia yang dijadikan Allah, agar manusia
menggunakannya pada batasan-batasan yang telah ditetapkan-Nya. Dengan demikian,
akal insani yang dipaparkan di dalam al-Quran adalah “akal kesadaran” yang taat
kepada Allah.[37]
oleh karena di dalam kitabnya al-Ta’aruf,
al-Kalabadzi tidaklah menafikkan peranan akal dalam mernungi kekuasaan Tuhan,
akan tetapi akal mempunyai batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah.
batasan tersebut yang dianggap oleh sufi-sufi (yang ditulis oleh al-Kalabadzi
dalam kitabnya) sebagai keterbatasan akal. Namun sufi tersebut tidaklah
menafikkan peranan akal.
Akan
tetapi dalam bab mengenai makrifat, al-Kalabadzi tidak memberikan ruang kepada
akal untuk mencapai atau mengenal Tuhan. Hal ini cukup menggelitik pemikiran
penulis. Di satu sisi ia adalah sufi yang rasionalis, akan tetapi dalam masalah
makrifat al-Kalabadzi tidak memberikan ruang kepada akal untuk mencapai
makrifat. Menurut asumsi penulis, hal ini al-Kalabadzi lakukan karena mengingat
pada masa ia hidup, tasawuf sedang mengalami krisis yang begitu parah. Banyak
para sufi yang dihukum mati oleh penguasa karena pemikirannya yang dianggap
telah menyimpang.
Oleh karenanya, tasawuf al-Kalabadzi agar
diterima oleh penguasa maka corak tasawuf al-Kalabadzi bersifat amali. Hal ini
dilakukan karena pada masa itu corak tasawuf falsafi sedang mengalami serangan
yang tajam dari para penguasa dan fuqaha.
Namun al-Kalabadzi tidak menghilangakan aspek substansi rasionalnya. Inilah
yang unik dari seorang al-Kalabadzi.
Tasawufnya
diterima pada masanya dimana saat itu tasawuf sedang mengalami penyerangan yang
hebat dari para penguasa. Jika dilihat dari sistematika pembahasan dalam
kitabnya -Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl
al-tasawuf. Sangat terlihat sekali corak tema-tema ilmu kalam saat itu.
Antara lain ia membahas tasawuf secara sistematis mulai dari keesaan Tuhan,
ketetapan Tuhan, masalah Tuhan dapat dilihat secara inderawi atau tidak, hingga
makrifat kepada Tuhan. Kitab al-Ta’aruf ini secara ringkas dibagi menjadi lima bagian:
1. Mukaddimah,
bab 1-4. Dalam bab-bab ini pembukaan ini, al-Kalabadzi memberikan suatu
pengertian umum terhadap tasawuf, membahas arti dan asal kata istilah sufi
serta menyebutkan satu persatu nama-nama para tokoh sufi besar, antara lain Ali
bin Abi Thalib beseta keturunannnya, hasan al-Bassri tokoh tabi’in, Malik bin
Dinar, Fudhail bin Iyad, al-Muhasibbi, Sufyan al-tsauri yaitu seorang ortodoks
yang keahliannya tidak dapat diragukan lagi.
2. Bab
5-30. Pada bab-bab ini merupakan sebuah pernyataan ajaran-ajaran Islam yang
diterima oleh para sufi. tujuan dari bagian ini adalah untuk membuktikan bahwa
sufisme sebagai suatu sistem yang berada atau selaras dengan jiwa syariat
Islam.
3. Bab
31-51. Pada bab ini memuat pembahasan tentang berbagai keadaan (ahwal) para
sufi seperti, ketakutan, harapan, cinta dsb. Al-Kalabadzi memberikan penjelasan
dengan menyertakan banyak sekali kutipan, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.
4. Bab
52-63. Bagian ini yang mungkin bagian yang paling terpenting, membahas
“istilah-istilah teknis” para sufi, yaitu ungkapan-ungkapan yang mereka gunakan
untuk menggambarkan pengalaman mistik yang sesungguhnya.
5. Bab
64-75. Kitab ini ditutup dengan uraian tentang berbagai fenomena sufisme, dan
keajaiban-keajaiban yang diberikan Tuhan kepada para sufi.
Uniknya
al-Kalabadzi di dalam beberapa babnya, menukil beberapa pendapat dari seorang
sufi dari tasawuf falsafi, yakni al-Hallaj. Namun didalam kitabnya Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-Tasawuf
al-Kalabadzi tidak menyantumkan nama “al-Hallaj” akan tetapi dengan sebutan
“seorang sufi besar” atau “al-Mughit”. Ini dilakukan oleh al-Kalabadzi, menurut
asumsi penulis agar kitabnya ini terselamatkan dari penguasa yang membenci
tasawuf yang bercorak falsafi. Menurut penelitian dari L. Masiggnon bahwa hal
ini dilakukan agar kebenaran ajaran tasawuf yang dibawa oleh al-Hallaj tetap
dapat dilestarikan hingga saat ini.
Al-Kalabadzi
dengan kecerdikannya itulah patuh di apresiasi. Berkat kitabnya Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-Tasawuf itulah tasawuf dapat dipelajari hingga saat
ini. Dapat dikatakan bahwa setelah Risalah
karya al-Qusairiyyah (w. 1073M) dan Qut al-Qulub (pembekalan hati) karya Abu
Thalib al-Makki (w. 996M). Kitab al-Ta’aruf
dihargai olehn orang-orang Arab, terutama orang-orang sufi sendiri sebagai
ikhtisar tasawuf yang paling bernilai tinggi. Hal tersebut disebabkan karena, pertama, karya ini merupakan karya
pendek apabila dibandingkan dengan kitab lainnya, kedua, pengarang (al-kalabadzi) dalam menulis kitab ini bermaksud
untuk menunjukkan ortodoksi esensial kedudukan sufi.
Al-Kalabadzi dapat diistilahkan
sebagai “pembuka” pintu gerbang corak tasawuf yang berusaha merekonsiliasi
antara syariat dengan hakikat. Bahkan ia merupakan pendahulu dari al-Ghazali
sebelum tasawuf amali mencapai masa puncaknya dalam hal ini. Oleh karenanya
al-Kalabadzi dapat dikatakan sufi yang berhasil mengkodifikasi ilmu tasawuf
sehingga selaras antara syariat dengan hakikat.
F.
Kesimpulan
Abu
Bakar al-kalabadzi bernama lengkap Abu Bakar bin Abi Ishaq Muhammad bin Ibrahim
bin Ya’kub al-Bukhari al-Kalabadzi. Ia adalah seorang ahli hukum madzab Hanafi,
ahli hadis, dan teoretikus ilmu tasawuf. Al-kalabadzi berupaya keras untuk
membuktikan ajaran sufi/tasawuf sesuai dan selaras dengan jiwa syariat Islam. Tahun
kelahiran Abu Bakar al-Kalabadzi tidak banyak diketahui namun untuk tahun
kematian para sejarahwan mencatat bahwa al-Kalabdzi wafat pada tahun 380H/990M
atau 384M/994M di Bukhara.
Al-Kalabadzi
di dalam mengarang kitabnya Ta’aruf li
al-Mahdzab Ahl al-Tasawuf, terlihat sekali nuansa ilmu kalamnya. Banyak
pembahasan tema ilmu kalam yang dikaji secara tasawuf. Uniknya kitab ini dapat
dikatakan kitab yang lolos dari serangan kaum fuqaha dan bahkan kitab ini banyak di apresiasi oleh sufi-sufi
besar, sebut saja Surahwardi. Tujuan dari tasawuf al-Kalabadzi adalah untuk
merekonsiliasi antara syariat dengan tasawuf. Dalam pengertian ini,
al-Kalabadzi membuka jalan yang selanjutnya diikuti oleh seorang tokoh sufi
besar yang juga seorang ahli teologi, filsuf yakni al-Ghazali (w.505H/1111M)
dengan karya monumetalnya Ihya’, yang
mana tujuannya untuk mendamaikan paham skolastik dan mistik.
[1] Anton Bakker dan Ahmad Charris
Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 64.
[2] Ahmad Qarib, “al-Kalabdzi, Abu
Bakar,” Ensiklopedi Islam, Vol. 4,
ed. Nina M. Armando, et. al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 41.
[3] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti,
( Bandung: Mizan, 1993), 11.
[4] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan
Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya:
IAIN SA Press, 2011), 173.
[5] Zulkifli, “Imam Bukhari,” Ensiklopedi Islam, Vol. 2, ed. Nina M
Armando, et. al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 42.
[6] Zulkifli, “Bukhara,” Ensiklopedi Islam, Vol. 2, ed. Nina M.
Armando, et. al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 41.
[7]
Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4,
ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 139.
[8] Ibid., 139.
[9] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti,
( Bandung: Mizan, 1993), 25.
[10] Nurcholis Majid, Pesantren dan Tasawuf, (Jakarta: LP3ES,
1985), 100.
[11] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), 56.
[12]
Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4,
ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 140.
[13] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan,
1993), 25.
[14]
Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4,
ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 142.
[15]
Ibid., 142.
[16] Ibid., 142.
[17] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti,
( Bandung: Mizan, 1993), 25-26.
[18] Ibid., 27.
[19] Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4,
ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 143.
[20] Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat, Trj.
Ija Suntana dan E. Kusdian, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 21-22.
[21] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan,
1993), 33.
[22]
Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4,
ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 143.
[23] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),
195.
[24] QS. Al-Hujurat: 13.
[25] An-Nisa’: 77
[26]
Al-Hadiid: 20.
[27] Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4,
ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 144.
Lihat juga Abu Bakar al-Kalabadzi, al-Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf,
(Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiah, 2011), 105-121.
[28] Berlawanan dengan pendapat
Mu’atzilah, yang beranggapan bahwa Tuhan dapat dikenal lewat akal.
[29]
AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti,
( Bandung: Mizan, 1993), 72.
[30] Sangat mengejutkan kalau kita
pikirkan bahwa Kalabadzi, seperti yang ditunjukkan oleh L.Massignon, tidak
pernah menyebut al-Hallaj dengan namanya. “Dia selalu menyebutnya sebagai
Seorang tokoh sufi besar. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab biogafi
al-Kalabadzi dalam makalah ini bahwasanya ia merupakan pengikut Faris ibn Isa
dan mengutipnya secara sah, sementara Faris ibn Isa adalah pembela al-Hallaj
yang sangat gigih; orang-orang sufi akan mengenali kutipan-kutipan ini sebagai
karya al-Hallaj; sementara itu al-Kalabadzi menjalankan da’iyah atas namanya.
[31] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti,
( Bandung: Mizan, 1993), 73.
[32] QS. Al-An’am: 76.
[33] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti,
( Bandung: Mizan, 1993), 74
[34] Ibid., 77.
[35]
QS. Al-Baqarah: 164.
[36]
QS. Ar-Ruum: 28.
[37] Muhammad Abdullah asy Syarqawi, Sufisme dan Akal, Trj. Halid Alkaf,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), 58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar