Kamis, 01 Januari 2015

Tasawuf Abu Bakar al-Kalabadzi



A.    Pendahuluan
Tasawuf di dalam sejarah Islam selalu mengalami pasang surut. Hal ini terjadi karena adanya beragam pendapat mengenai sejarah tasawuf itu sendiri. Ada yang mengatakan tasawuf berasal dari luar Islam namun terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari perut Islam itu sendiri. Terlepas dari benar tidaknya dari ragam pendapat tersebut tidak berarti menghalangi umat Islam untuk mempelajarinya maupun menghayatinya. Selain itu asumsi-asumsi tersebut hanyalah sebuah hasil penelitian saja yang belum mencapai titik kebenaran.
Di dalam makalah ini, penulis berusaha mengeksplorasi tasawuf lewat seorang tokoh sufi besar yang bernama Abu Bakar al-Kalabadzi. Tokoh tersebut diambil oleh penulis karena tokoh sufi tersebut merupakan salah satu tokoh sufi yang merepresentasikan pasang surut tasawuf. Mengingat pada abad ketiga dan keempat hijriyah pada saat itu bisa dikatakan masa-masa yang cukup kritis pada ilmu tasawuf. Tasawuf mendapatkan serangan yang hebat dari para Fuqaha (ahli Fikih). Sehingga pada masa itu banyak tokoh-tokoh sufi besar yang dijatuhi hukuman mati oleh penguasa, sebut saja al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami.
Pada masa-masa yang cukup berat tersebut membuat al-Kalabadzi tertantang untuk menuliskan sebuah buku (kitab) yang berjudul al-Ta’aruf limadhab ahl al-Tasawuf. Dimana jika dilihat secara seksama, kitab tersebut berupaya untuk menyusun sebuah konsep tasawuf yang sistematis layaknya seperti ilmu kalam. Mengingat pada masa tersebut merupakan masa-masa emas dari ilmu kalam. Sehingga asumsi dari penulis, al-Kalabadzi menulis kitab tersebut terpengaruh oleh ilmu kalam yang sangat berkembang saat itu. Boleh jadi corak tasawuf dari al-Kalabadzi yakni rasional sebagaimana para mutakallimun (ahli ilmu kalam).
Pada makalah yang singkat ini, penulis mempertajam tentang konsep tasawuf dan konsep ma’rifat dari al-Kalabadzi. Tentunya penulis merujuk pada kitab yang berjudul al-Ta’aruf limadhab ahl al-Tasawuf. Namun karena keterbatasan bahasa dari penulis, maka digunakanlah buku terjemahan dari kitab tersebut yang berjudul “Ajaran Kaum Sufi”. sebenarnya buku terjemahan tersebut merupakan buku yang ditulis oleh orentalis  Barat yakni A.J Arberry yang berjudul The Doctrine of the Sufis. Buku tersebut adalah buku terjemahan dari kitab al-Ta’aruf limadhab ahl al-Tasawuf karya al-Kalabdzi. Metodologi  yang digunakan oleh penulis ialah dengan pendekatan kesinambungan historis-deskriptif. Ini artinya bahwa penulis melihat benang merah dalam pengembangan tokoh yang diteliti, baik berhubungan dengan lingkungan historis dan pengaruh-pengaruh yang dialaminya. serta menguraikan secara teratur seluruh konsep dari tokoh tersebut.[1]
Pada makalah ini, penulis menguraikan mengenai biografi al-Kalabdzi dengan setting sosial-budaya yang mengitarinya. Selanjutnya penulis menguraikan konsepsi tasawuf dan ma’rifat dari al-Kalabadzi. Kemudian penulis menganalisa sesuai dengan data-data yang diperoleh.  Sehingga diharapkan mendapatkan deskripsi yang menyeluruh tentang al-Kalabadzi. Tentunya rujukan utama yang dipakai sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yakni merujuk pada kitab al-Ta’aruf limadhab ahl al-Tasawuf.
B.     Sekilas Biografi Abu Bakar al-Kalabadzi
Nama lengkapnya Abu Bakar bin Abi Ishaq Muhammad bin Ibrahim bin Ya’kub al-Bukhari al-Kalabdzi, atau yang sering disebut Abu Bakar al-Kalabadzi. Untuk kelahirannya tidak banyak data yang diketahui namun untuk kematiannya banyak data yang menjelaskannya. Al-Kalabadzi wafat di Bukhara, 380H/990M atau 384H/994M. Al-Kalabadzi diberi nama yang hampir sama dengan nama bapaknya (1) Muhammad bin Ishaq (2) Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim (3) Muhammad bin Ibrahim (4) Muhammad bin Ibrahim bin Ya’kub. A.J Arberry dalam The Doctrine of the Sufis menyimpulkan bahwa nama terakhir tersebut yang paling tepat. Namanya dinisbahkan pada Kalabadz, suatu bagian dari kota Bukhara, kota kelahirannya. Di kota inilah pula ia dikebumikan.[2]
Al-Kalabadzi adalah serorang ahli hukum hanafi, ahli hadis dan teoretikus ilmu tasawuf. Sebagai seorang sufi, Kalabadzi adalah seorang murid dari Faris Ibn Isa (w.  340H/951M), seorang sahabat dari martir yang paling terkenal dalam dunia tasawuf, Hallaj. Dinyatakan pula oleh Abd al-Hayy al-Lakhnawi, yang menggolongkan al-Kalabdzi ke dalam daftar ahli hukum Hanafi yang termasyur.[3] Ia mempelajari hukum fikih Hanafi di bawah bimbingan Muhammad bin Fadl. Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang pertama kali muncul dari kalangan Sunni. Madzhab ini bercorak rasional yang berkedudukan di Kuffah. Madzhab ini dibentuk oleh Nu’man bin Tsabit bin Zutha yang populer dengan nama Abu Hanifah (w. 150H/767M). Gelar ini diberikan oleh masyarakat Kufah, karena ketekunannya dalam beribadah, kejujuran, serta kecenderungannya pada kebenaran.[4]
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, selain sebagai seorang ahli teoretikus ilmu tasawuf, al-Kalabdzi juga ahli hadis. Hal ini cukup dimaklumi karena ia dibesarkan di Bukhara dimana di tempat tersebut terdapat seorang ahli Hadis terkemuka sepanjang zaman yakni Imam al-Bukhari. Al-Bukhari adalah seorang ahli periwayat dan ahli hadis terkenal. Ia wafat di Khartanak, 870M.[5] Terdapat karya al-Kalabadzi didalam bidang hadis yang masih dilesatrikan hingga saat ini yakni Bahr al-Fawa’id fi Ma’ani al-Akhbar. Karyanya tersebut terdiri dari 222 hadis pilihan. Hal ini cukup menandakan bahwa al-Kalabadzi juga sebagai ahli hadis.
Bukhara adalah salah satu di antara beberapa daerah yang dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Ma Wara’ an-Nahr. Yang dimaksud dengan sebutan tersebut adalah daerah sekitar sungai Jihun, Uzbekistan, Asia Tengah. Bukhara pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan pada masa dinasti Samaniyah selama lebih dari 150 tahun.[6]Samaniyah adalah sebuah dinasti kecil yang muncul di dunia Islam (Persia) pada abad ke-9, ketika dinasti Abbasiyyah melemah. Wilayahnya meliputi daerah Khurasan (Irak) dan Transoksania (Uzbekistan) yang terletak di Timur Baghdad.
Pada dinasti Sammaiyah inilah bermunculan ilmuwan muslim yang berasal dari kota Bukhara sebut saja Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi (w. 925M), ibnu Sina (w. 1037M) keduanya seorang filosof,  Imam Bukhari (w. 870M) seorang ahli Hadis, dan Abu Bakar al-Kalabadzi seorang teoretikus ilmu tasawuf. Oleh sejak itulah bukhara menjadi pusat peradaban perkembangan ilmu pengetahuan keislaman yang pesat.  
Karya al-Kalabadzi yang terkenal adalah kitab al-Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf (pengantar ke madzhab ahli tasawuf)  berisi 75 pasal yang menjelaskan ajaran dan pengalaman ruhaniyah para sufi. kitab ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh A.J. Arberry seorang orientalis Barat pemerhati mistisime Islam berjudul The Doctrine of The Sufis terbitan S.H. Muhammad Ashraf, Lahore, 1976. Kemudian karya ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Ajaran Kaum Sufi.
Karena kitab al-Ta’arufnyalah Abu Bakar al-Kalabadzi menjadi terkenal. Risalah ini segera diterima sebagai buku pegangan yang  sah tentang doktrin-doktrin (ajaran) sufi. bahkan atas risalah ini Syihabuddin Surahwardi al-Maqtul (w. 587H/1191M), seorang pelopor filsafat iluminasi dalam Islam mengatakan “Kalau bukan karena kita al-Ta’aruf in, kita tidak akan mengenal ilmu tasawuf”. Hal ini menandakan bahwa kitab tersebut sangatlah berbobot dalam kajian tasawuf atau sufisme, bahkan hingga saat ini kitab al-Ta’aruf masih menjadi pegangan untuk mengakaji ilmu tasawuf.
Setelah Risalah yang ditulis oleh Abu Qasim Abdul Karim al-Qusairy (w. 465/1074 M) dan Qutl al-Qulub (pembekalan hati) yang ditulis oleh Abu Thalib al-Makki (w. 386H/996M), kitab al-Ta’aruf dihargai oleh orang-orang sufi sendiri sebagai ikhtisar tasawuf yang paling bernilai. Hal tersebut disebabkan pertama, karya ini merupakan karya pendek apabila dibandingkan dengan kitab lainnya. Dan kedua, pengarang yakni al-Kalabadzi dalam menulis bermaksud untuk menunjukkan ortodoksi esensial kedudukan kaum sufi. hal dilakukan karena Pada masa hidupnya al-Kalabadzi inilah tasawuf sedang mengalami krisis yang hampir di anggap berbahaya untuk diajarkan namun belum sampai pada tingkat diharamkan. Terutama sejak pelaksanaan hukuman mati Abu Mansur al-Hallaj pada Tahun 922 oleh madzhab azahiri, sebuah peristiwa yang mungkin terjadi saat al-Kalabadzi masih berusia kanak-kanak.
Maka oleh karena itu al-Kalabadzi mengerahkan segala tenaganya untuk membuktikan bahwa ajaran para sufi selaras dengan jiwa syariat Islam. Dorongan sadar inilah yang menjadikan karyanya memiliki nilai lebih tinggi, bahkan jika dibandingkan dengan karya-karya Sufi termashyur lainnya seperti Qusyairi, al-Makki, al-Sarraj dan Hujwiri. Yang mana karya-karya mereka itu hampir tidak memiliki pengaruh yang begitu prestisius seperti kitab al-Ta’aruf dalam meraih penghargaan sufisme oleh Islam ortodoks. Dalam pengertian ini, al-Kalabadzi membuka jalan yang selanjutnya diikuti oleh seorang tokoh sufi besar yang juga seorang ahli teologi, filsuf yakni al-Ghazali (w.505H/1111M) dengan karya monumetalnya Ihya’, yang mana tujuannya untuk mendamaikan paham skolastik dan mistik.
C.    Konsep Tasawuf Menurut Al-Kalabadzi
Sedemikian pelik pengertiannya, sehingga para sufi, yaitu mereka yang menjalankan tasawuf, tidak sepakat dalam mengartikannya. Para sufi mengemukakan pengertian mereka sesui pengalaman mereka masing-masing. Beberapa pengertian yang berkembang dan sering dipakai sebagai acuan berasal dari al-Junaid al-Bagdadi (w. 297H/ 910M), “bapak tasawuf moderat”. Ia mendefinisikan tasawuf sebagai keberadaab bersama Allah SWT tanpa adanya penghubung. Baginya tasawuf berarti “membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyyah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang kepada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasehat kepada umat, benar-benar janji kepada Allah SWT, dan mengikuti Syariat Rasulullah SAW”.[7]
Adapun menurut Abu Qasim al-Qusyairi, yang mengarang kitab Risalah al-Qusyairiyah menjelaskan tasawuf sebagai ajaran yang menjabarkan al-Quran dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi berbuat bidah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringankan ibadah.
Sementara menurut Ma’ruf al-Karkhi (w. 200H/816M) yang merupakan guru dari al-Junaid menyebutkan tasawuf sebagai kepedulian terhadap kenyataan dan mengabaikan apa yang ada ditangan makhluk, katanya, “siapa yang tidak sanggup merealisasikan kefakiran, niscaya ia tidak akan sanggup merealisasikan tasawuf”. Pengertian yang hampir sama dikemukakan juga oleh Dzunnun al-Misri (w.246H/ 861M) dan asy-Syibli (w. 334H/946M).[8]
Al-Kalabdzi sendiri di dalam bukunya al-Ta’aruf tidak mendefinisikan secara tegas tentang tasawuf. Namun di dalam bukunya tersebut al-Kalabadzi hanya menjelaskan mengapa seseorang disebut sebagai sufi (pelaku tasawuf) dengan merujuk pendapat-pendapat dari tokoh sufi besar pendahulunya. Di dalam kitabnya al-Ta’aruf, al-Kalabadzi menerangkan bahwa beberapa orang mengatakan: “Para sufi dinamanakan demikian hanya karena kemurnian (shafa) hati dan kebersihan tindakan mereka”. Bisyr ibn Harits mengatakan “ sufi adalah orang yang hatinya tulus (shafa) terhadap Tuhan”. Yang lain mengatakan “sufi adalah orang yang tulus terhadap Tuhan dan mendapat rahmat tulus dari Tuhan”.[9] Sungguh sangat sulit untuk mencapai kata sepakat dalam mengartikan tasawuf atau sufisme. Namun, hal itu bukan berarti bahwa tasawuf tidak memiliki arti yang substansial.
Pengertian substansial juga diutarakan oleh Nurcholis Majid, menurutnya tasawuf adalah tidak lain bagaimana menyembah Tuhan dalam suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita “ Melihat”-Nya atau Ia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya.[10] Dalam hubungan ini Harun Nasution mengatakan tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Intisari dari mistisime, termasuk didalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.[11] Pengertian substansial ini sudah mengarah kepada tekhnis para sufi untuk mencapai kehadirat Tuhan.
Menurut Annemarie Schimmel, seorang sejarahwan dan peneliti tasawuf terkemuka dari Harvard University mengatakan kesulitan dalam mendefinisikan tasawuf secara komprehensif dan representatif. Kita hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja. Ia mengutip kisah seorang buta yang dikemukakan oleh Jalaluddin ar-Rumi (w. 672H/1274M), ketika mereka menyentuh gajah. Masing-masing menggambarkannya sesuai dengan bagian tubuh gajah yang disentuhnya; ada yang mengatakan bentuknya seperti mahkota, seperti kipas, seperti pipa air, atau seperti tiang. Sehingga menurut Schimmel pengertian yang ada mengenai tasawuf memang hanya dapat menjadi petunjuk awal dalam menyelami tasawuf lebih jauh.[12]
Pandangan para sufi dalam mengartikan tasawuf, disamping karena arti itu diungkapkan atas dasar pengalaman batin yang bersifat subyektif juga karena ketidaksamaan dalam melihat asal-usul kata tasawuf dan sufi itu sendiri. Karena itulah perlu melihat juga disini keanekaragaman arti kata-kata itu.
Arti kata “tasawuf” dan “sufi” menurut keterangan peneliti adalah sebagai berikut. Pertama, dikatakan tasawuf itu berasal dari kata safa (suci). Pendapat ini didasarkan kepada ucapan sementara pakar tasawuf yang dikutip oleh al-Kalabdzi (w. 384H/994M) bahwa para sufi disebut demikian karena kesucian (safa) batin mereka dan kebersihan tindakannya. Ini sesuai dengan ucapan dari Bisyr ibn Harits, yang menyebutkan sufi sebagai orang yang berhati suci kepada Allah.[13] Namun pendapat ini dibantah oleh Mir Valiuddin guru besar Universitas Osmania India yang mengatakan, jika kata “sufisme” berasal dari kata safa bentuk katanya yang tepat bukan sufi, tetapi safawi. 
Kedua, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari kata saff (barisan). Karena para sufi ini mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan senantiasa memilih barisan (saff) terdepan dalam sholat berjamaah. Mereka memandang para sufi berada pada baris terdepan dihadapan Allah SWT, karena peningkatan keinginan mereka kepada-Nya. Namun demikian, pendapat ini dibantah oleh al-Qusyairi (w. 465/1074 M). Menurut pendapatnya yang mengatakan bahwa para sufi berasal dari kata “saff” menurut pengertiannya benar, akan tetapi bahasa tidak menghendaki penisbahan itu kepada saff. Jika kata sufi mengacu pada kata saff, maka seharusnya bentuknya adalah saffi bukan sufi.
Ketiga, dikatakan bahwa tasawuf itu berasal dari kata suffah (sermabi tempat duduk), yakni suffah masjid Nabawi di Madinah yang disediakan bagi para tunawisma dari kalangan Muhajirin (orang yang berhijrah) pada masa Rasulullah SAW. Para tunawisma tersebut dipanggil dengan ahl as-Suffah (pemilik serambi), karena diserambi masjid inilah mereka bernaung. Digambarkan bahwa ahl as-Suffah yang berjumlah 400-an orang itu adalah orang-orang yang taat ibadah.  Para sufi dinamkan demikian karena mereka banyak meniru sifat ahl as-Suffah. Namun, as-Surahwardi (w. 632H/1235M) salah seorang sufi terkemuka madhzab iluminatif, mengatakan bahwa dari sudut makna hakikinya hubungan kata sufi dengan ahl as-Suffah memang dapat dibenarkan, tetapi dari sudut bahasa pengambilan kata sufi dari ahl as-Suffah sudah keluar dari bahasa yang benar.[14]
Keempat, dikatakan bahwa tasawuf itu berasal dari kata Yunani theosophi (theo adalah Tuhan, shopos adalah pengetahuan), yang berarti pengetahuan Tuhan. Kata tersebut dengan beberapa perubahan fonem sebagai akibat urf (kebiasaan) dalam pemakaian bahasa yang berbeda-beda berubah menjadi sufi. pendapat ini dikemukakan oleh G.V.H Hammer, peneliti sufi berkebangsaan Jerman. Jurji Zaidan, sejarahwan Mesir, juga berkeyakinan bahwa ada hubungan antara kata Arab tasawuf atau sufi dengan kata Yunani theosophi. Namun menurut keterangan Ibrahim Basyuni, pendapat ini kurang tepat. Karena huruf sigma Yunani selalu ditransleterasikan dengan huruf sin pada huruf Arab bukan dengan sad. Sehingga kalau kata tasawuf  berasal dari kata Yunani, theosophi mestinya apabila diarabkan berbunyi tasawwuf, sebagimana terlihat pada kata falsafah yang berasal dari kata philosophia.[15]
Kelima, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari kata  suf (bulu domba), karena para sufi biasa memakai pakaian dari bulu domba yang kasar sebagai lambang kerendahan hati. Mereka menjauhin pakaian yang halus dan indah untuk menghindari sikap sombong, disamping untuk menenangkan jiwa. Kebiasaan demikian sebenarnya merupakan kebiasaan para Nabi dan orang-orang soleh pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW. Memang, apabila dari sudut kebahasaan, penisbahan kata sufi kepada suf  sudah dipandang tepat. Menurut kaidah shorof, kata tasawwafa, yang berarti dia memakai baju wol, setimbang dengan kata taqammasa, yang berarti memakai kemeja.[16]
Mengenai penisbahan para sufi yang memakai bulu domba dan tinggal diserambi masjid ini, sejalan dengan apa yang ditulis oleh al-Kalabadzi dalam bukunya al-Ta’aruf. Ia menuliskan bahwa orang-orang yang menisbahkan orang-orang sufi dengan orang-orang yang tinggal diserambi masjid dan dengan bulu domba, menampakkan aspek lahiriyah keadaan mereka, sebab meraka adalah orang-orang yang meninggalkan dunia ini, mereka berkelana keseluruh negeri, menganggap tabu hasrat-hastrat jasmani, dan menelanjangi tubuh mereka; mereka mengambil benda dunia hanya asal cukup untuk menutupi ketelanjangan mereka dan mengilangkan kepalaparan mereka.
Semua ini merupakan kenyataan keadaan hidup orang-orang yang tinggal di serambi masjid di masa Nabi SAW. Sebab mereka semua adalah orang-orang asing, melarat, terbuang, terusir dari tempat tingga mereka. Abu Hurairah dan Fudhalah ibn Ubaid melukiskan mereka sebagai berikut: “mereka hampir mati kelaparan, sehingga orang-orang badui menganggap mereka gila.” Pakaian mereka dari bulu domba (suff). Sehingga apabila mereka berkeringat, bau mereka seperti bau domba kehujanan. Begitulah sesungguhnya mereka dilukiskan orang.[17] Oleh karena itu, maka al-Kalabdzi setuju dengan arti kata Sufi yang menisbatkan diri dengan memakai bulu domba sebagai pakaiannya dan tinggal di serambi masjid. Hal ini ditegaskan pula bahwa dalam kitabnya, bahwa orang-orang yang memiliki sifat yang sama dengan orang-orang yang tinggal diserambi masjid dan berpakaian dengan bulu domba, maka mereka dinamakan “shuffiyah-shuffiyah[18]
Adapun sumber-sumber ajaran dari tasawuf sangatlah bervariasi. Mengingat dari definisinya saja mengenai tasawuf sangatlah bervarisai bahkan diantara para sufi masih belum ada kata sepakat. Namun dirasa perlu penulis untuk mengulas sumber-sumber dari ajaran tasawuf. Banyak para peneliti tasawuf berbeda pendapat mengenai sumber asal dari ajaran tasawuf. Ada yang menganggap sumber tasawuf adalah berasal dari agama lain, namun terdapat pula peneliti yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari perut Islam itu sendiri.
Tholuck, orientalis Jerman abad ke-19 misalnya, memandang gagasan tasawuf banyak ditimba dari sumber Majusi (agama Zoroaster), dengan alasan bahwa sejumlah besar orang Majusi di Iran Utara, setelah penakhlukan Islam, banyak mempengaruhi para sufi, yang memang banyak yang berasal dari kawasan itu, khusunya di daerah Khurasan. Sementara itu, Ignaz Goldziher seorang orientalis dari Austria dan R.A. Nicholson seorang oreintalis Inggris, memandang bahwa tasawuf Islam bersumber dari asketsisme Kristen. Karena kependetaan Kristen cukup dikenal oleh orang-orang Arab di sepanjang gurun Suriah dan Sinai. Para pertapa Kristen yang berdiam di gurun-gurun itun sedikit banyak telah memberi inspirasi kepada sejumlah kaum zahid muslim generasi pertama. Disamping itu, kegemaran para sufi dalam menghayati kehidupan kesunyian, memakai bulu domba, banyak berdzikir, dan lain-lain, menampakkan adanya pengaruh mistisisme Kristen.[19]   
Hal ini sejalan dengan pengakuan dari seorang sufi yang bernama Ibrahim bin Adham yang menjelaskan prinsip-prinsip dan tujan utama tasawuf. Ia menuturkan, “aku belajar makrifat dari seorang pendeta Nasrani bernama Sam’an. Suatu saat aku menemuinya di tempat pertapaanya. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Sam’an, sudah berapa lama engkau menetap di pertapaan ini?’, ia menjawab, ‘sudah tujuh puluh tahun!’ kemudian aku bertanya, “apa yang engkau makan ditempat ini?’ ia berkata, ‘Wahai hanif (pengikut agama hanif), mengapa engkau datang kesini dan bertanya seperti itu?’ Aku berkata, ‘aku ingin belajar kepadamu!’ Selanjutnya ia berkata, ‘setiap malam aku hanya makan sebutir biji kacang!’ aku bertanya, ‘apa yang mendorong hatimu merasa cukup kenyang dengan hanya sebutir biji kacang?’ ia bertanya, ‘apakah engkau melihat orang-orang (agaknya, yang dimaksud Sam’an adalah para malaikat) di depanmu?’ Aku berkata, ‘ya aku melihatnya!’ lalu ia berkata, ‘mereka selalu mendatangiku sehari dalam setahun. Para malaikat itu suka menghias tempat pertapaanku ini dan mengelilinginya sambil menghormatiku. Ketika aku merasa malas untuk melaksanakan kebaktian, aku mengingat saat-saat itu (sehingga semangat kebaktian pulih kembali). Aku rela melakukan perjuangan keras selama setahun demi keagungan sesaat saja. Maka bersemayamlah makrifat dalam jiwaku.” [20] 
Pendeta Sam’an memperoleh cahaya makrifat dalam jiwanya, namun tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan makrifat itu. Hanya saja dari redaksi kisah diatas tampak bahwa makrifat yang diperolehnya berupa tajarrud yang sempurna dalam melaksanakan ibadah, menyendiri  dan mengurangi posisi makan yang dilakukaknnya. Inilah ajakan dari seorang sufi Ibrahim bin Adham untuk merambah jalan sufi atau tasawuf. Penulis merujuk pada pendapat dari Ibrahim bin Adham ini karena di dalam kitabnya al-Ta’aruf  al-Kalabadzi mengakui otoritas ke-sufian dari seorang Ibrahim bin Adham.[21] Ini dapat dilihat di dalam kitabnya.
Selain dari pandangan yang mengatakan bahwa sumber tasawuf berasal dari asketisme Kristen, dua orang orientalis Jerman. Max Horten dan Richard Hartmann, melihat tasawuf bersumber dari India, karena banyak latihan rohaniah dalam tasawuf yang mirip dengan mistisisme India. Ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami dan al-Junaid, rupanya banyak ditimba dari mistik India. R.A. Nicholson juga mengatakan bahwa dalam tasawuf Islam terdapat pengaruh ajaran Nirwana dari Budhisme. Adapun orentalis O’leary melihat tasawuf tidak lain adalah cuplikan dari ajaran Neo-Platonisme, yang dikembangkan filsuf Hellenis khususnya Plotinus (w.270M). hal ini sejalan dengan apa yang telah dibuktikan oleh R.A. Nicholson dalam antologi puisi yang dipilihnya dari Diwan Syams-i Tabriz, karya Jalaluddin ar-Rumi yang menyimpulkan adanya kecenderungann sufisme kepada ajaran Neo-Platonisme.[22] Namun anehnya, Nicholson yang telah menghabiskan usianya untuk meneliti tasawuf tersebut pada penelitiannyan yang terakhir justru berkesimpulan bahwa tasawuf adalah murni bersumber dari ajaran Islam sendiri. Islam memiliki sumber yang kaya tentang kerohanian. Menurutnya, meskipun tasawuf dalam setiap perkembangannya memperlihatkan warna yang berbeda-beda, namun secara keseluruhan warna tersebut tidaklah keluar dari warna dasar Islam.
Disamping Nicholson yang dalam akhir kesimpulan penelitiannya menganggap tasawuf bersumber dari dari Islam, terdapat orientalis-orientalis lain yang meninjau sumber tasawuf secara jujur dan ilmiah adalah L. Massignon dan J. Spencer Trimingham. Mereka ini lebih cenderung menganut pendapat bahwa tasawuf berasal dari sumber murni Islam, dan dampak asing terhadap tasawuf itu sangatlah terbatas. Lebih jauh lagi perkembangan tasawuf secara jelas mengikuti garis Islam. Massignon dalam kajian Ilmiahnya tentang tasawuf berkesimpulan bahwa sumber tasawuf yang terpenting adalah al-Quran.[23]
Untuk memperkuat pendapat tersebut maka perlu diberikan landasan al-Quran. Dimana otoritas dari kebenaran al-Quran sebagai pedoman hidup agama Islam tidak dapat diragukan lagi. Sebagai contoh bahwa ajaran tasawuf sebenarnya berasal dari perut Islam itu sendiri adalah firman Allah tentang ketakwaan, dan zuhud dimana zuhud adalah salah satu dari maqomat (tahapan) seorang sufi untuk dapat mencapai kedekatannya.
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[24]
Artinya: “Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun[25]

Artinya: “ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.[26]
Ayat-ayat tersebut cukup sebagai bukti bahwa didalam Islam sendiri terdapat ajaran-ajaran tasawuf, bahkan Nabi SAW sendiri sering dalam sejarahnya melakukan Uzlah (menyendiri) untuk bertafakkur akan kebesaran Allah. ini merupakan ciri-ciri dari tingkah laku para sufi. oleh karenanya penulis berkeyakinan bahwa sumber tasawuf berasal dari luar Islam adalah hal yang sangat keliru dan salah kaprah.
Bahkan jika kita merujuk pada buku al-Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf  karya al-Kalabadzi ini sangatlah terasa jelas atmosfirnya. Beliau banyak menukil pendapat-pendapat sufi terdahulunya mengenai sufi dan berbagai aspeknya. Tentunya al-Kalabadzi sangatlah selektif dalam menukil pendapat para sufi mengingat pada masanya tasawuf sedang mengalami krisis yang sangat parah. Banyak para sufi yang dicap kafir dan dihukum mati oleh para penguasa akibat dari ajaranya yang telah menyimpang jauh dari Islam.
Sebenarnya tujuan akhir yang hendak dicapai seorang sufi adalah berada sedekat mungkin disisi Tuhan dan mengenalnya secara langsung bahkan tenggelam dalam kemahaesaan-Nya yang mutlak melalui pengalaman. Tuhan tidak hanya dikenal melalui dalil akal atau pemberitaan Nabi (wahyu) tetapi juga melalui pengalaman batin. Untuk mencapai itu seorang sufi harus terlebih dahulu menempuh jalan panjang maqamat, yaitu tingkat kesufian dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam hal ini maka al-Kalabadzi membagi maqamat  menjadi sepuluh tingkatan. Ini ditegaskan dalam kitabnya al-Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf, yakni tobat, zuhud, sabar, fakir, tawaddu’ (rendah hati), takwa, tawakkal, rida, mahabbah (cinta), dan yang terakhir makrifat.[27]  Ketika sampai pada maqam makrifat maka seorang sufi berada paling dekat disisi Tuhan, sehingga ia dapat mengenal-Nya secara langsung. Oleh karenanya inti dari ajaran tasawuf adalah untuk bermakrifat kepada-Nya.
D.    Konsep Makrifat Menurut Al-Kalabadzi
Di dalam karyanya al-Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf al-Kalabadzi tidak terlalu menjelaskan pemikirannya mengenai makrifat. Akan tetapi ia menukil pendapat-pendapat dari para sufi. menurut asumsi penulis, pendapat dari para sufi pendahulunya sejalan dengan apa yang oleh al-Kalabadzi pikirkan mengenai konsep makrifat.
Di dalam kitabnya al-Ta’aruf, al-Kalabadzi menuliskan bahwa para sufi sepakat bahwa satu-satunya menuju Tuhan adalah Tuhan itu sendiri. Dengan beranggapan bahwa fungsi akal merupakan fungsi yang dimiliki oleh manusia berakal membutuhkan petunjuk. Sebab, akal merupakan sesuatu yang diciptakan pada suatu waktu, dan karena itu hanya bisa menjadi petunjuk bagi segala sesuatu yang seperti dia juga[28]
Seorang bertanya kepada an-Nuri, “apakah petunjuk kepada Tuhan itu?” dia menjawab, “Tuhan.” Yang lain bertanya, “lalu bagaimana dengan akal?” an-Nuri berkata, “ akal itu lemah, dan yang lemah itu hanya bisa menunjuk kepada yang lemah seperti dia juga”. Ibn Atha’ berkata, “akal itu merupakan alat untuk mencapai segala sesuatu yang berhubungan dengan hamba, bukan untuk mencapai kepada Tuhan”.[29]
Di dalam kitabnya juga al-Kalabadzi menukil pendapat sufi yang lain terkait dengan makrifat ketuhanan. Seorang tokoh besar sufi berkata[30], “tak seorang pun mengenal-Nya kecuali orang yang telah dibuat-Nya mengenal-Nya; tak seorangpun menyatakan keesaan-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah menyatakan keesaan-Nya; tak seorangpun yang mempercayai-Nya kecuali orang yang kepadanya Dia telah memperlihatkan karunia-Nya; tak seorangpun yang bisa mengenal-Nya kecuali orang yang hati nuraninya telah diilhami oleh-Nya sendiri; tak seorangpun setia kepada-Nya kecuali orang yang telah didekatkan oleh-Nya pada-Nya; tak seorangpun mempersembahkan budi kepada-Nya kecuali orang yang telah dipilih sendiri oleh-Nya.”[31] Hal ini menunjukkah bahwa makrifat adalah ilmu yang diperoleh melalui izin-Nya sendiri. Dengan menggunkan isntrumen ibadah yang tekun seorang sufi ingin dapat mengenal sedekat-dekat-Nya namun itu semua yang memberikan izin adalah Tuhan itu sendiri.
Al-Junaid berkata, “Makrifat tardiri dari dua jenis: pertama, makrifat pengungkapan diri (ta’aruf) dan yang kedua, makrifat pengajaran (ta’rif).” Kata “makna pengungkapan diri” adalah bahwa Dia menyebabkan mereka mengenal-Nya, dan mengenal benda-benada lewat Dia. Atau dalam ungkapan Nabi Ibrahim AS, “aku Tidak suka akan sesuatu yang dapat tenggelam”[32] Sedang makna, “pengajaran” adalah bahwa Dia memperlihatkan pada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya di langit dan di dalam diri mereka sendiri. Dan kemudian menanamkan dalam diri mereka sebuah karunia khusus (luthf), sehingga benda-benda (materil) itu menunjukkan adanya Sang Pembuat (Tuhan).[33] Inilah makrifat yang umumnya dicapai oleh orang-orang yang beriman, sedangkan yang disebutkan pertama tadi (perkataan sufi besar) adalah makrifat yang hanya dapat dicapai oleh orang-orang terpilih, dan pada hakikatnya tak seorang pun yang dapat mengenal Dia, kecuali lewat Tuhan sendiri.
Kemudian di dalam kitabnya al-Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf, al-Kalabadzi juga menjelaskan beberapa perbedaan pandangan para sufi terkait dengan sifat makrifat. Al-Junaid berkata, “ Makrifat merupakan perwujudan kebodohanmu pada saat ilmu-Nya tiba”. Ini sesuai dengan pendapat dari Sahl at-Tustari, “ makrifat adalah makrifat dari kebodohanmu itu”. Sahl juga mengatakan, “ilmu itu ditetapkan oleh makrifat, dan akal ditentukan oleh ilmu; tetapi makrifat ditentukan oleh esensinnya sendiri”. Artinya kalau Tuhan menyebabkan seseorang memiliki makrifat akan diri-Nya sendiri, sehingga dia mengenal Tuhan lewat pengungkapan diri-Nya sendiri kepadanya. Berarti Dia menempatkan pengetahuan dalam diri orang tersebut. karenanya, dia mendapat pengetahuan lewat makrifat dan dalam dirinya akal bekerja mengolah pengetahuan yang diberikan Tuhan kepadanya.[34]
Begitu pelik mengenai makrifat ini, mengingat makrifat yang didefiniskan dalam hal ini adalah sesuai dengan pengalaman spiritual seorang sufi. sehingga tidak ada kata sepakat mengenai makrifat. Oleh karenanya penulis berkesimpulan mengenai konsep makrifat yang di ada di dalam kitab al-Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf karya al-Kalabadzi ini hanya menukil pendapat para sufi pendahulunya. Sufi-sufi yang terdapat di dalam al-ta’aruf  ini dianggap otoritasnya sebagai sufi oleh al-Kalabadzi. Bisa dikatakan konsep makrifat dari al-Kalabadzi adalah tak jauh berbeda dengan konsep makrifat dari sufi-sufi yang penulis nukil tadi.
E.    Analisi Pemikiran Al-Kalabadzi Dalam Kitab al-Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf
Jika kita lihat dalam kitabnya yakni Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-Tasawuf maka kita dapat melihat bahwa al-Kalabadzi banyak menukil pendapat-pendapat dari sufi terdahulunya. Di dalam salah satu babnya tepatnya pada bab ke-2 tersebut, al-Kalabadzi menyantumkan beberapa nama para sufi yang termashyur. Namun selain al-Kalabadzi menukil beberapa pendapatn terkada al-Kalabadzi memberikan statemennya secara mandiri. Menurut analisis penulis bahwa al-Kalabadzi menuliskan nama-nama dari para sufi pendahulunya karena ia menganggap otoritas kesufian dari para sufi tersebut. Antara lain dari para sufi yang dicantumkan namanya oleh al-Kalabadzi adalah Ibrahim bin Adham, Uwais al-Qarani, Dzunun al-Misri, Sufyan ibn Sa’id al-Tustari. Dari nama para sufi tersebut penulis mengetahui bahwa karakteristik dari tasawuf al-Kalabadzi adalah bercorak tasawuf amali atau akhlaki.
Namun jika kita melihat biografinya maka sebenarnya al-Kalabadzi adalah seorang sufi yang bercorak rasional, mengingat ia sendiri selain sebagai sufi, ia adalah seorang ahli fiqih dalam madzhab Hanafi. Dimana madzhab Hanafi adalah salah satu dari sekian madzab fikih yang paling rasional. Sehingga corak dari pemikiran al-Kalabadzi pun mungkin rasional.
Menurut analisa penulis, bahwa al-Kalabadzi tidaklah menentang peranan akal untuk mencapai makrifat kepada Allah. Karena banyak dalil dalam al-Quran yang sangat mengoptimalkan peranan akal dalam merenungi ciptaan-Nya, antara lain:
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.[35]
Artinya: “Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; Maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.[36]
Sebenarnya akal yang diperbincangkan al-Quran bukanlah akal murni atau esensi yang berdiam di dalam akal, seprti yang dikatakan oleh para filosof. Akal yang dimaksud dalam al-Quran adalah berupa lahiriyah, kemampuan, talenta, dan kekuasaan Ilahiyah yang ada pada diri manusia yang dijadikan Allah, agar manusia menggunakannya pada batasan-batasan yang telah ditetapkan-Nya. Dengan demikian, akal insani yang dipaparkan di dalam al-Quran adalah “akal kesadaran” yang taat kepada Allah.[37] oleh karena di dalam kitabnya al-Ta’aruf, al-Kalabadzi tidaklah menafikkan peranan akal dalam mernungi kekuasaan Tuhan, akan tetapi akal mempunyai batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah. batasan tersebut yang dianggap oleh sufi-sufi (yang ditulis oleh al-Kalabadzi dalam kitabnya) sebagai keterbatasan akal. Namun sufi tersebut tidaklah menafikkan peranan akal.
Akan tetapi dalam bab mengenai makrifat, al-Kalabadzi tidak memberikan ruang kepada akal untuk mencapai atau mengenal Tuhan. Hal ini cukup menggelitik pemikiran penulis. Di satu sisi ia adalah sufi yang rasionalis, akan tetapi dalam masalah makrifat al-Kalabadzi tidak memberikan ruang kepada akal untuk mencapai makrifat. Menurut asumsi penulis, hal ini al-Kalabadzi lakukan karena mengingat pada masa ia hidup, tasawuf sedang mengalami krisis yang begitu parah. Banyak para sufi yang dihukum mati oleh penguasa karena pemikirannya yang dianggap telah menyimpang.
 Oleh karenanya, tasawuf al-Kalabadzi agar diterima oleh penguasa maka corak tasawuf al-Kalabadzi bersifat amali. Hal ini dilakukan karena pada masa itu corak tasawuf falsafi sedang mengalami serangan yang tajam dari para penguasa dan fuqaha. Namun al-Kalabadzi tidak menghilangakan aspek substansi rasionalnya. Inilah yang unik dari seorang al-Kalabadzi.
Tasawufnya diterima pada masanya dimana saat itu tasawuf sedang mengalami penyerangan yang hebat dari para penguasa. Jika dilihat dari sistematika pembahasan dalam kitabnya -Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf. Sangat terlihat sekali corak tema-tema ilmu kalam saat itu. Antara lain ia membahas tasawuf secara sistematis mulai dari keesaan Tuhan, ketetapan Tuhan, masalah Tuhan dapat dilihat secara inderawi atau tidak, hingga makrifat kepada Tuhan.  Kitab al-Ta’aruf  ini secara ringkas dibagi menjadi lima bagian:
1.      Mukaddimah, bab 1-4. Dalam bab-bab ini pembukaan ini, al-Kalabadzi memberikan suatu pengertian umum terhadap tasawuf, membahas arti dan asal kata istilah sufi serta menyebutkan satu persatu nama-nama para tokoh sufi besar, antara lain Ali bin Abi Thalib beseta keturunannnya, hasan al-Bassri tokoh tabi’in, Malik bin Dinar, Fudhail bin Iyad, al-Muhasibbi, Sufyan al-tsauri yaitu seorang ortodoks yang keahliannya tidak dapat diragukan lagi.
2.      Bab 5-30. Pada bab-bab ini merupakan sebuah pernyataan ajaran-ajaran Islam yang diterima oleh para sufi. tujuan dari bagian ini adalah untuk membuktikan bahwa sufisme sebagai suatu sistem yang berada atau selaras dengan jiwa syariat Islam.
3.      Bab 31-51. Pada bab ini memuat pembahasan tentang berbagai keadaan (ahwal) para sufi seperti, ketakutan, harapan, cinta dsb. Al-Kalabadzi memberikan penjelasan dengan menyertakan banyak sekali kutipan, baik dalam bentuk prosa maupun puisi.
4.      Bab 52-63. Bagian ini yang mungkin bagian yang paling terpenting, membahas “istilah-istilah teknis” para sufi, yaitu ungkapan-ungkapan yang mereka gunakan untuk menggambarkan pengalaman mistik yang sesungguhnya.
5.      Bab 64-75. Kitab ini ditutup dengan uraian tentang berbagai fenomena sufisme, dan keajaiban-keajaiban yang diberikan Tuhan kepada para sufi.
Uniknya al-Kalabadzi di dalam beberapa babnya, menukil beberapa pendapat dari seorang sufi dari tasawuf falsafi, yakni al-Hallaj. Namun didalam kitabnya Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-Tasawuf al-Kalabadzi tidak menyantumkan nama “al-Hallaj” akan tetapi dengan sebutan “seorang sufi besar” atau “al-Mughit”. Ini dilakukan oleh al-Kalabadzi, menurut asumsi penulis agar kitabnya ini terselamatkan dari penguasa yang membenci tasawuf yang bercorak falsafi. Menurut penelitian dari L. Masiggnon bahwa hal ini dilakukan agar kebenaran ajaran tasawuf yang dibawa oleh al-Hallaj tetap dapat dilestarikan hingga saat ini.
Al-Kalabadzi dengan kecerdikannya itulah patuh di apresiasi. Berkat kitabnya Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-Tasawuf  itulah tasawuf dapat dipelajari hingga saat ini. Dapat dikatakan bahwa setelah Risalah  karya al-Qusairiyyah (w. 1073M) dan Qut al-Qulub (pembekalan hati) karya Abu Thalib al-Makki (w. 996M). Kitab al-Ta’aruf dihargai olehn orang-orang Arab, terutama orang-orang sufi sendiri sebagai ikhtisar tasawuf yang paling bernilai tinggi. Hal tersebut disebabkan karena, pertama, karya ini merupakan karya pendek apabila dibandingkan dengan kitab lainnya, kedua, pengarang (al-kalabadzi) dalam menulis kitab ini bermaksud untuk menunjukkan ortodoksi esensial kedudukan sufi.
Al-Kalabadzi dapat diistilahkan sebagai “pembuka” pintu gerbang corak tasawuf yang berusaha merekonsiliasi antara syariat dengan hakikat. Bahkan ia merupakan pendahulu dari al-Ghazali sebelum tasawuf amali mencapai masa puncaknya dalam hal ini. Oleh karenanya al-Kalabadzi dapat dikatakan sufi yang berhasil mengkodifikasi ilmu tasawuf sehingga selaras antara syariat dengan hakikat.
F.     Kesimpulan
Abu Bakar al-kalabadzi bernama lengkap Abu Bakar bin Abi Ishaq Muhammad bin Ibrahim bin Ya’kub al-Bukhari al-Kalabadzi. Ia adalah seorang ahli hukum madzab Hanafi, ahli hadis, dan teoretikus ilmu tasawuf. Al-kalabadzi berupaya keras untuk membuktikan ajaran sufi/tasawuf sesuai dan selaras dengan jiwa syariat Islam. Tahun kelahiran Abu Bakar al-Kalabadzi tidak banyak diketahui namun untuk tahun kematian para sejarahwan mencatat bahwa al-Kalabdzi wafat pada tahun 380H/990M atau 384M/994M di Bukhara.
Al-Kalabadzi di dalam mengarang kitabnya Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-Tasawuf, terlihat sekali nuansa ilmu kalamnya. Banyak pembahasan tema ilmu kalam yang dikaji secara tasawuf. Uniknya kitab ini dapat dikatakan kitab yang lolos dari serangan kaum fuqaha dan bahkan kitab ini banyak di apresiasi oleh sufi-sufi besar, sebut saja Surahwardi. Tujuan dari tasawuf al-Kalabadzi adalah untuk merekonsiliasi antara syariat dengan tasawuf. Dalam pengertian ini, al-Kalabadzi membuka jalan yang selanjutnya diikuti oleh seorang tokoh sufi besar yang juga seorang ahli teologi, filsuf yakni al-Ghazali (w.505H/1111M) dengan karya monumetalnya Ihya’, yang mana tujuannya untuk mendamaikan paham skolastik dan mistik.


[1] Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 64.
[2] Ahmad Qarib, “al-Kalabdzi, Abu Bakar,” Ensiklopedi Islam, Vol. 4, ed. Nina M. Armando, et. al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 41.
[3] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan, 1993), 11.
[4] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), 173.
[5] Zulkifli, “Imam Bukhari,” Ensiklopedi Islam, Vol. 2, ed. Nina M Armando, et. al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 42.
[6] Zulkifli, “Bukhara,” Ensiklopedi Islam, Vol. 2, ed. Nina M. Armando, et. al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 41.
[7] Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4, ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 139.
[8] Ibid., 139.
[9] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan, 1993),  25.
[10] Nurcholis Majid, Pesantren dan Tasawuf, (Jakarta: LP3ES, 1985), 100.
[11] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 56.
[12] Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4, ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 140.
[13] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan, 1993),  25.
[14] Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4, ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 142.
[15] Ibid., 142.
[16] Ibid., 142.
[17] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan, 1993),  25-26.
[18] Ibid., 27.
[19] Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4, ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 143.
[20] Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat, Trj. Ija Suntana dan E. Kusdian, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 21-22.
[21] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan, 1993),  33.
[22] Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4, ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 143.
[23] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 195.
[24] QS. Al-Hujurat: 13.
[25] An-Nisa’: 77
[26] Al-Hadiid: 20.
[27] Yunasril Ali, “Tasawuf,” Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 4, ed. Taufik Abdullah, et. al. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 144. Lihat juga Abu Bakar al-Kalabadzi,  al-Ta’aruf li al-Mahdzab Ahl al-tasawuf, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiah, 2011), 105-121.
[28] Berlawanan dengan pendapat Mu’atzilah, yang beranggapan bahwa Tuhan dapat dikenal lewat akal.
[29] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan, 1993),  72.
[30] Sangat mengejutkan kalau kita pikirkan bahwa Kalabadzi, seperti yang ditunjukkan oleh L.Massignon, tidak pernah menyebut al-Hallaj dengan namanya. “Dia selalu menyebutnya sebagai Seorang tokoh sufi besar. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab biogafi al-Kalabadzi dalam makalah ini bahwasanya ia merupakan pengikut Faris ibn Isa dan mengutipnya secara sah, sementara Faris ibn Isa adalah pembela al-Hallaj yang sangat gigih; orang-orang sufi akan mengenali kutipan-kutipan ini sebagai karya al-Hallaj; sementara itu al-Kalabadzi menjalankan da’iyah atas namanya.
[31] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan, 1993),  73.
[32] QS. Al-An’am: 76.
[33] AJ. Arberry, Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, ( Bandung: Mizan, 1993),  74
[34] Ibid., 77.
[35] QS. Al-Baqarah: 164.
[36] QS. Ar-Ruum: 28.
[37] Muhammad Abdullah asy Syarqawi, Sufisme dan Akal, Trj. Halid Alkaf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), 58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate