Kamis, 01 Januari 2015

Pengaruh Paham Eksistensialisme Terhadap Spiritualitas Masyarakat Kota



A.    Pendahuluan
Abad modern ini ditandai oleh semangat kebebasan berpikir atau bahkan manusia mulai berani untuk berpikir mandiri. Mengingat pada abad sebelumnya yakni pada abad pertengahan dimana peranan akal berada didalam kungkungan agama (gereja), sehingga otoritas gereja saat itu sangat dominan dalam setiap lini kehidupan. Bahkan jika ada salah satu temuan dari para ilmuwan yang bertentangan dengan teologi gereja maka pihak gereja berhak untuk menindak ilmuwan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku (kristen)
Teologi pada abad pertengahan sangatlah dominan sekali, bahkan dapat diistilahkan kedudukan akal berada dibawah wahyu (kristen). Akal hanya sebagai pelayan dari para patristik atau yang lebih dikenal sebagai bapak gereja. Seringkali para filosof dan ilmuwan sering diberi cap “kafir” oleh pihak geraja. Hal ini akibat dari para filosof dan ilmuwan yang dalam pemikiran maupun pemikiran tidak sejalan dengan doktrin gereja. Selain di cap “kafir” oleh gereja, maka para filosof maupun ilmuwan tersebut juga diberi hukuman mati. Tidak sedikit para ilmuwan yang mati akibat pemikirannya yang bertentangan dengan pihak gereja.
Oleh karena latar belakang seperti itulah maka pada abad modern ini para pemikir mulai melakukan pendobrakan atau revolusi intlektual guna menghidupkan lagi filsafat Yunani yang berpijak pada rasio dan empiris. Revolusi intelektual yang terjadi di dunia Barat adalah munculnya aliran filsafat rasionalisme. Aliran ini merupakan reaksi dari abad pertengahan yang hanya memprioritaskan teologi atau wahyu diatas akal.
Abad modern ditandai dengan munculnya semangat rasionalisme. Paham ini pertama kali dikembangkan oleh Rene Descartes. Rasionalisme berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). hanya pengetahuann yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal. akal tidak membutuhkan pengalaman. Namun pendapat ini memperoleh penentangan dari filsuf yang beraliran empirisme.
Salah satu tokoh dari aliran ini adalah John Locke. Aliran empirisme berpendapat bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang batiniah maupun yang lahiriyah. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Dengan dua aliran besar yang ada di dunia Barat ini, maka lahirlah beberapa aliran kefilsafatan.  Berbagai macam aliran kefilsafatan yang muncul setelah dua aliran besar ini (rasionalisme dan empirisme) adalah untuk merespons dan upaya penyempurnaan pemikiran. Namun yang perlu dicatat adalah, berbagai macam aliran kefilsafatan yang muncul pada abad modern ini secara umum bercorak antroposentris. Artinya, peranan manusia sebagai subyek pengetahuan sangata ditekankan.
Oleh karena salah satu macam aliran kefilsafatan yang ada pada dunia modern ini bertemakan tentang ke”ada”an manusia sebagai subyek. Nama aliran filsafat ini adalah eksistensialisme. Aliran ini cukup kuat pengaruhnya hingga saat ini. Diantara tokoh-tokoh dari aliran ini, antara lain Soren A.Kierkedaard, Jean Paul Sarte, dan masih banyak lagi. Namun tetap dalam lingkup manusia sebagai tema sentral dari pengetahuan. aliran filsafat ini lebih mengutamakan manusia secara “ada” dan berkesadaran.
Aliran eksistensialisme ini tidak hanya berpengaruh di dunia Barat saja. Akan tetapi banyak berpengaruh di seluruh dunia, salah satunya yakni di Indonesia. Banyak corak berfikir masyarakat Indonesia yang terpengaruhi oleh eksistensialisme. Mereka menganggab dirinya sebagai subyek dari dunia (objek).
Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya “ex”, keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[1] Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sebegitu kuatnya aliran filsafat ini, maka paradigma berpikir teologis pun ikut terbawa arus eksistensialisme. Dimana banyak masyarakat modern sekarang yang menggunakan aliran eksistesialisme ini sebaga paradigma berfikirnya. Ini mirip dengan salah satu aliran teologi dalam sejarah Islam yang sangat mengutamakan manusia sebagai subyek dari segala sesuatu, yakni aliran Qadariyah. Aliran ini beranggapan bahwa manusia memiliki kekuasaan namun dibebani tanggung jawab atas kekuasaanya tersebut. sementara yang membuat tanggung jawab (ketentuan) adalah Tuhan.
Didalam aliran eksistensialisme yang kemudian berimplikasi kepada sistem teologi seseorang maka, menurut Loekisno eksistensialisme dikelompokkan ke dalam eksistensialisme teistik dan eksistensialisme ateistik.[2] Eksistensialisme teistik merupakan aliran eksistensialisme yang orientasi pemikirannya kearah penegasan adanya realitas ketuhanan. Sedangkan eksistensialisme ateistik memandang bahwa eksistensi manusia adalah pilihan bebas.
Namun dalam realitas sehari-hari di dalam masyarakat perkotaan yang merupakan representasi dari manusia modern. Banyak terjadi fenomena gelombang semangat spiritulitas. Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa ciri khas paradigma manusia modern adalah berpikir rasional dan empiris. Atau dengan kata lain paradigma manusia modern adalah eksistensialistik. Hal inilah yang cukup menggelitik pemikiran penulis, bahwa paham eksistensialisme yang didengung-dengungkan bermuara kepada teistik. Namun disini tidak menafikkan fenomena beberapa kelompok yang ateistik. Akan tetapi fenomena semangat spiritualitas masyarakat modern sangatlah besar jika dibandingkan dengan fenomena para ateistik akibat dari pengaruh faham eksistensialisme ini.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada alenia sebelumnya, bahwa muara teologis dari paham eksistensialisme ini ada dua yakni teistik dan ateistik. Dalam hal ini penulis berusaha menganalisa paham eksistensialisme terhadap gelombang spiritulitas masyarakat perkotan yang terjadi saat ini. Dirasa cukup menarik untuk dikaji mengenai fenomena ini, karena manusia yang semakin rasional muaranya berlari kepada transendensi Ilahiyat.
B.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah bentuk dari aliran eksistensialisme?
2.      Bagaiamanakah latar belakang munculnya spiritualitas masyarakat kota?
3.    Bagaimanakah analisis aliran eksistensialisme terhadap munculnya spiritualitas masyarakat kota?
C.    Pemaparan Masalah
1.      Aliran eksistensialisme
Filsafat kebenarannya bersifat spekulatif, artinya ada pembaruan-pembaruan dalam bentuk pemikiran. Lahirnya salah satu aliran filsafat, merupakan respons terhadap aliran filsafat sebelumnya. Untuk mengetahui aliran eksistensialisme maka ada perlunya untuk mengetahui tentang latar belakang dari munculnya aliran eksistensialisme ini. Hal ini dirasa perlu karena aliran filsafat lahir tidak dalam keadaan begitu saja, akan tetapi terdapat pengaruh lingkungan sekitar yang mengitarinya. Eksistensialisme pada dasarnya merupakan reaksi terhadap kecenderungan semangat jaman modern, terutama sekali terhadap pemutlakan akal manusia. Oleh karena itu eksistensialisme secara khusus dapat dikatakan sebagai lawan dari aliran rasionalisme
Pada awal abad kesembilan belas Kierkegaard yang dikenal sebagai bapak eksistensialisme, telah menyaksikan betapa kecenderungan rasionalisme telah meletakkan akal manusia sebagai satu-satunya ukuran bagi segala realitas apa pun di dunia ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan supremasi intelektual telah menyebabkan terjadinya proses dehumanisasi  dalam kebudayaan Eropa. Akal dianggap sebagai satu-satunya sumber yang sahih bagi seluruh pengetahuan manusia dan di luar itu tidak ada sumber pengetahuan yang dapat dianggap valid. Akibatnya kebenaran-kebenaran agama mulai dikritik dan diragukan. Sehingga tidak berlebihan sekiranya jika abad kesembilan belas atau “the age of reason” dianggap sebagai abad pemberontakkan terhadap agama.[3]
Semula Kierkegaard menjadi pengikut setia Hegel, akan tetapi kemudian Hegel ditinggalkannya, karena diangap mengaburkan hudup yang kongkrit. Menurut Hegel, hidup yang kongkrit itu hanya mewujudkan suatu unsur saja di dalam proses perkembangan idea. Pandang yang demikian itulah yang ditolak oleh Kierkegaard. Menurutnya, setiap hari orang dihadapkan dengan pertanyaan, “apa yang harus dilakukan dalam keadaan yang kongkrit itu?” patokan umum yang berlaku bagi seluruh umat manusia disegala zaman dan tempat tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup yang kongkrit timbul sehari-hari. Sebab setiap orang dihadapkan dengan persoalannya sendiri, yang khusus hanya berlaku baginya. Persoalan yang kongkrit yang tiap setiap hari itu oleh Kierkegaard disebut “persoalan-persoalan eksistensi”.[4]
Filsafat modern berkisar sekitar “teori mengenal” yang untuk mengetahui apa hakekat “pengenalan” itu, dengan jalan menentukan hubungan antara pikiran dengan objek-objeknya. Baik pada filsafat klasik maupun dalam filsafat modern, persoalan wujud (ontologi) menjadi dualisme. Artinya mengakui adanya dua perkara wujud. Benda dan rohani yang sering sukar dipertemukan antara keduanya.
Terhadap kecenderungan era seperti ini, dan terutama sekali didorong untuk mempertahankan kepercayaan agamanya, Kierkegaard merumuskan landasan-landasan dasar bagi pemikiran eksistensialisme. Menurutnya,  akal tidak akan pernah mampu memahami seluruh realitas (eksistensi) manusia. Realitas yang bersifat eksistensi seperti nilai-nilai hidup, moralitas, agama,  dan lain sebagainya. Seluruh realitas eksistensi ini hanya dapat dialami secara subyektif oleh manusia, “subjectivity is truth”, ungkap Kierkegaard yang cukup termasyhur.
Ungkapan ini kemudian dijadikan pegangan bagi para eksistensialis lainnya yang terkenal dengan metode subyektif (subjective methods). Dengan demikian akal bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan bagi manusia. Pengalaman personal lebih memberikan pemahaman yang mantap terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan eksistensi manusia. Kita harus berangkat dari dan berdasarkan pengalaman personal dan individual. Personalitas adalah nyata. Dan Kierkegaard menekankan bahwa upaya menyimpulkan eksistensi dari pikiran adalah kontradiksi. Oleh karenanya latar belakang munculnya aliran eksitensialisme adalah sebagai penolakan terhadap rasionalitas di segala bidang dan terlalu bersifat abstrak. Atau dengan kata lain, aliran ini sebagai penentangan terhadap semangat era modern.
Seperti yang dijelaskan pada alenia sebelumnya bahwa pemikiran filsafat tidak lahir begitu saja, akan tetapi terdapat faktor sosial budaya yang mengitarinya.  Namun jika tadi dilihat latar belakang lahirannya eksistensialisme dalam hal pemikiran, maka pada alenia ini akan digambarkan aliran eksistensialisme lahir sebagai respons keadaan sosial yang mengitarinya. Eksistensialisme berkembangan pada abad XX di Prancis dan Jerman, bukan akibat langsung dari suatu keadaan atau sebab tertentu, tetapi sebuah respons yang dialami secara mendalam atas runtuhnya berbagai bangunan didunia barat yang sebelumnya telah dianggap mapan. Meletusnya Perang Dunia I pada akhirnya menghancurkan keyakinan akan berlanjutnya kemajuan peradaban menuju kebenaran dan kebebasan, kedamaian dan kesejahteraan yang dimunculkan pada Abad Pertengahan dan bertahan sampai pecahnya perang ini.
Peristiwa itu berimplikasi kepada peradaban barat yang mulai goyah baik dari aspek politik, ekonomi (pertentangan komunisme dan kapitalisme), bahkan dimensi intelektual. Ilmu pengetahuan kehilangan kesan pastinya. Dan segala macam bagunan filsafat berguguran, ditambah lagi filsafat mendapat serangan dari para penganut empirisme dan memanasnya ilmu pengetahuan abad XX. Serta filsafat dipandang sebagai realitivitas sejarah, bahkan lebih buruk lagi, dianggap berfungsi sebagai ideologi untuk kepentingan kelompok khusus.[5]
Dengan melemahnya dan jatuhnya sedemikian banyak struktur kekuasaan pasca PD I seluruh struktur kehilangan legitimasinya, dan kekuasaannya atas individu jadi terasa sudah tidak lagi bisa ditolelir. Karena ditentang dan dianggap sudah tidak lagi memiliki legitimasi., kekuasaan eksternal pemerintahan, sistem ekonomi,dan dunia ilmu pengetahuan. Logikanya, para eksistensialis kembali kepada pada diri manusia sebagai pusat filsafat dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi.
Namun apa yang dimaksud dengan eksistensialisme tersebut. Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya “ex”, keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[6] Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sementara itu ada yang mengasalkan istilah eksistensialisme dari kata eks (keluar) dan sistensi yang diturunkan dari kata kerja “sisto” (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi diartikan sebagai “manusia yang berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya”; “manusia sadar bahwa dirinya ada, yaitu yang disebut aku”.[7]
Meksipun demikian definisi eksistensialisme yang baku masih sulit untuk dirumuskan, sebab filosof-filosof yang digolongkan kedalamnya atau yang menyebut dirinya sebagai eksistensialis itu menunjukkan perbedaan-perbedaan anggapan mengenai eksistensi sendiri.   Namun demikian satu hal yang sama diantara mereka adalah semuanya beranggapan bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongkrit, yaitu, manusia sebagai eksistensinya.[8]
Ahmad Tafsir mengatakan bahwa filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Ini merupakan salah satu dari ragam filsafat. Adapaun yang dimaksud dengan filsafat eksistensialisme, rumusannya lebih sulit daripada eksistensi. Sejak munculnya filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.[9]
Dalam filsafat Idealisme, wujud-nyata (eksitensi) dianggap mengikuti kepada hakekatnya (esensi). Jadi “hakekat manusia” yang mempunyai cirin khas tertentu yang menyebabkan dia berbeda dengan makhluk lain. Dengan kata lain esensi mendahului eksistensi jika menurut pandangan filsafat Idealisme. Hal ini berbeda sekali dengan filsafat eksistensialisme yang sebagiamana telah diulas diatas bahwa secara singkat eksistensi mendahului esensi.
Filsafat eksistensialisme semenjak Kierkegard menolak cara pemikiran ideliasme tersebut. bahkan diantara orang-orang eksistensialisme ada yang mengatakan bahwa “wujud manusia” ini tanpa esensi (hakekat). Menurut pandangan yang lain juga, “wujud manusia” itulah yang mendahului “esensinya”, bukan sebaliknya.
Pada mulanya manusia tidak mempunyai “esensi”, karena ketika dilahirkan, ia tidak sempurna bentuknya. Manusia adalah satu-satunya makhluk, dimana “wujudnya” terletak kepada kebebasannya. Dengan demikian, maka manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain, karena perbuatan-perbuatannya dikuasai oleh hukum diluar kemampuan manusia.
 Esensi (hakekat) pohon misalnya terletak pada kemampuan (kekuatan-kekuatan) yang terdapat pada biji (benihnya). Oleh karena itu, maka esensi pohon tersebut mendahului wujudnya yang nyata. Akan tetapi manusia menolak tidak mempunyai esensi sebelum wujudnya, karena ia mempunyai kebebasan, dimana ia bisa memilih suatu sikap tertentu dan bukan sikap lainya, dan sikap inilah yang membentuk esensinya. Jadi manusia dalam pandangan filsafat eksistensialisme adalah makhluk yang dapat membentuk esensinya. Hal ini sangat bertalian erat dengan kebebasan manusia yang diusung juga oleh eksponen eksistensialisme, bahkan bisa dikatakan tidak ada perbedaan antara kebebasan itu dengan wujud manusia sendiri.[10]
Terdapat statemen yang dilontarkan oleh seorang eksponen eksistensialisme yang berkaitan dengan kebebasan manusia dalam wujudnya (eksistensi), yakni “manusia dikutuk untuk bebas”. Ini menandakan bahwa secara hakiki eksistensi manusia dapat dan harus bertindak secara bebas sesuai dengan pilihannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia adalah berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Perbedaannya terletak pada eksistensinya yang mendahului esensi (hakekat). Jika manusia masih terkungkung oleh kekuatan diluar dirinya maka ia belum bisa dikatakan bebas (eksis), sebaliknya jika manusia ingin dikatakan eksis maka ia harus bisa membebaskan dirinya dari apa yang diluar dirinya bahkan sekaliber Tuhan pun. Inilah pola pemikiran dari filsafat eksistensialisme.
Secara general eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dengan benda tidaklah sama. Manusia berada didalam dunia ; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, manghadapi dengan mengerti yang dihadapinya. Artinya ialah bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya menyadari, yang sadar. Sementara barang yang disadarinya ialah objek.
Didalam aliran ini terdapat banyak filsuf yang ikut menyumbangkan pemikirannya. Antara lain, Heidegger, Kierkiegaard, Jean Paul Sarte, Gabriel Marcel dan Martin Burber. Menurut Martin Heidegger, keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Menurutnya, Manusia tidak menciptakan dirinya sendiri, tetapi ia “dilemparkan” ke dalam keberadaan. Dengan cara demikian manusia bertanggung jawab atas adanya dirinya yang tidak diciptakan sendiri itu. Jadi, di satu pihak manusia tidak mampu menyebabkan adanya dirinya, tetapi di lain pihak ia tetap bertanggung jawab sebagai yang “bertugas” untuk meng-ada-kan dirinya.[11]
Sementara menurut Kierkigaard, menyatakan bahwa eksistensi manusia bersifat kongkrit dan individual. Hanya manusia yang dapat “bereksistensi” selain dirinya tidak ada makhluk yang dapat bereksistensi. Bereksistensi berarti merealisir diri (engagement), mengikat diri dengan bebas, mempraktekkan keyakinannya, dan mengisi kebebasannya. Namun, demikian eksistensi manusia tidak dapat dipahami jika ia dilepaskan dari keterarahan (transendensi) kepada Tuhan. Menurutnya, setiap manusia adalah campuran dari ketakterhinggaan dengan keterhinggan. Manusia merupakan gerak ke arah Tuhan. Tetapi ia juga berpisah dari Tuhan, terasing dari-Nya. Manusia dapat mengatakan “ya” kepada hubungannya dengan Tuhan dalam iman, atau mengatakan “tidak”. Kalau ia mengatakan “ya”, ia akan menjadi yang ia ada, yaitu individu yang berhadapan dengan Tuhan. Dengan demikian “manusia menjadi seperti yang apa dipercayainya”.
Pandangan lain juga diutarakan oleh Jean Paul Sartre, bahwa manusia menurutnya, sungguh-sungguh bereksistensi tidak dalam arti bahwa ia berdiri berhadapan dengan Tuhan, seperti yang diajarkan oleh Kierkegaard, melainkan berdiri berhadapan dengan kekosongan. Manusia sama sekali bebas. Ia dihukum untuk bebas. Kebebasan ini bukan karunia, justru sebaliknya merupakan beban. Kebebasan tidak bermakna, dan akhirnya semua aspirasi manusia yang bebas pasti gagal. Kegagalan ini bukan merupakan titik pangkal untuk harapoan baru seperti pada eksistensialis-eksistensialis Kristiani.[12]
Sedangkan, Gabriel Marcel dan Martin Buber, memiliki kesamaan pandangan tentang eksistensi manusia. Bagi keduanya eksistensi manusia hanya dapat dihayati melalui komunikasi dialogis terhadap sesama manusia. Tetapi arus dialogis ini tentunya harus dalam relasi Aku-Engkau, bukan dalam suasana Aku-Dia. Relasi Aku-Engkau, menurut Buber menandai dunia dari Bezeihung (hubungan antar persona), berarti dunia dimana Aku menyapa Engkau dan Engkau menyapa Aku sehingga terjadi dialog yang sejati.[13]
Sementara Gabriel Marcel , menekankan akan pentingnya unsur “kehadiran” dalam relasi Aku-Engkau. Dua orang dikatakan hadir yang satu kepada yang lain bila mereka mengarahkan diri yang satu dengan lainnya dengan cara yang sama sekali berlainan cari cara mereka menghadapi obyek-obyek. Kehadiran, menurut Marcel, hanya dapat diwujudkan, jika “Aku:” berjumpa dengan “Engkau”.[14]
Bagi Marcel  dan Buber refleksi tentang kehadiran orang lain menghantarkan kita kepada kehadiran dari “Yang Lain” secara istimewa, yaitu Tuhan. Menurut Marcel, adanya Tuhan atau kehadiran Tuhan termasuk suasana misteri. Misteri ini meliputi seluruh hakekat manusia yang tidak diciptakan oleh manusia itu sendiri. Saya “percaya” pada “Engkau Absolut” yang merupakan dasar bagi setiap perjumpaan dengan “Engkau” yang lain. Bukan pembuktian menjadi dasaru untuk menerima Tuhan, tetapi himbauan yang berasal dari “Engkau Absolut” yang dijawab dengan kepercayaan.
Sedangkan Buber menegaskan Tuhan adalah Engkau yang tidak mungkin dijadikan “itu” (setingkat obyek). Ia tidak dapat didefinisikan atau digambarkan. Manusia hanya dapat mengenal Tuhan dalam ketaatan dan keimanan. Manusia dapat membenci Tuhan atau mengutuki Dia atau berbalik daripada-Nya kalau penderitaan sudah tidak tertahankan lagi. Tetapi ia tidak dapat membuat Tuhan menjadi suatu benda, suatu obyek diantara obyek-obyek lainnya.[15] 
Menurut Loekisno, bahwa walaupun eksistensialisme memiliki beragama definisi dan arti. Namun aliran ini terdapat pokok-pokok ajaran yang mana ini menjadi ciri khas dari aliran eksistensialisme. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa eksistensialisme dianut oleh beragama kalangan intelektual, teolog, dan filosof yang memiliki latar belakang yang juga bervariasi baik dari segi pendekatan maupun sudut pandangannya. Meskipun demikian masing-masing pemikiran para eksistensialis tersebut diikat oleh kesamaan substansi ajaran, diantaranya:
1.    Motif pokoknya adalah apa yang disebut eksistensi, yakni cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara yang khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia, Oleh karena itu aliran ini bersifat humanistik sekali.
2.    Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya semula.
3.    Di dalam filsafat eksistensialisme, manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesamanya.
4.    Filsafat eksistensialisme memberikan tekanan yang sangat besar kepada pengalaman yang kongkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda antara satu filosof dengan filosof lainnya. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu. Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan, kesalahan, dan lain sebagainya.[16]
2.      Latar Belakang Munculnya Spiritualitas Masyarakat Kota
Tidak dapat dipungkiri, zaman modern telah dimulai di dunia Barat, secara historis, zaman modern dimulai sejak adanya krisis abad pertengahan (abad ke-14 dan ke-15), yang ditandai dengan munculnya gerakan Renaissance. Renaissance berarti kelahiran kembali, yang mengacu pada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang bermula di Italia (pertengahan abad ke-14).[17]
Renaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas. Perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang konkret dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar karena adanya suatu keyakinan bahwa akal pasti akan dapat menerangkan segala macam persoalan.
Asumsi yang digunakan, semakin besar kekuasaan akal dapat diharapkan lahir “dunia baru” yang penghuninya (manusia-manusia) dapat merasa puas atas dasar kepemimimpinan akal yang sehat dan mandiri. Inilah corak era modern yang hingga sekarang terus untuk menggerus kehidupan masyarakat.
Proses modernisasi, yang dijalankan oleh dunia Barat sejak zaman renaissance, disamping membawa dampak positif, juga telah menimbulkan dampak negatif. Dampak positifnya, modernisasi telah membawa kemudahan-kemudahan dalam kehidupan manusia dengan adanya teknologisasi, sementara dampak negatifnya ialah modernisasi telah menimbulkan krisis hidup , kehampaan spiritual, dan tersingkirnya atau bergesernya peranan agama dalam kehidupan manusia.[18]
Sebagaimana yang telah disinyalir oleh para sosiolog kontemporer bahwa arus globalisasi akan mengakibatkan dunia ini terbentuk dalam satu Global village (desa buana) yang mensyaratkan adanya desa-desa yang di”kotakan”. Diseluruh pelosok dunia akan menjadi kota atau metropolis dengan gebyar kemodernan yang dipoles wajah teknikalisasi dan berlanjut dengan urbanisasi serta industrialisasi.[19] Sementara definisi kota  adalah suatu wilayah yang secara geografis didiami oleh lebih dari 10.000 orang ataun jumlahnya tidak ditentukan lagi tapi sudah didukung oleh modernitas-industrialisasi. Karakter yang sesuai untu Indonesia ini terbatas pada kota-kota metropolitan seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta.
Adapun corak dasar masyarakat perkotaan secara sosiologis cenderung materialistik, individualistik, rasionalistik, formalistik sehingga sikap-sikap ini pun juga mempengaruhi cara keberagamaan orang perkotaan. Sehingga dari corak tersebut maka secara tidak langsung akan mempengaruhi cara keberagamaan masyarakat perkotaan. Ini bisa terjadi karena manusia akan selalu berdialektika terhadap lingkungan sekitarnya. Selain itu paradigma berfikir seseorang akan berpengaruh terhadap seluruh dimensi kehidupannya, baik sosial, budaya, maupun keberagamaannya.
Cara keberagamaan “Masyarakat perkotaan” yang terpengaruh oleh modernisasi yakni: Pertama, Terjadi sekularisasi dalam kehidupan agama. yang dimaksud dengan sekularisasi ialah usaha untuk memisahkan antara otoritas duniawi dengan otoritas ukhrawi (agama) atau dengan kata lain memisahkan antara urusan dunai dengan urusan agama. secara sosiologis ini terbagi menjadi dua yakni ekstrem dan moderat. Sekulrisasi ekstrem ialah cara pandang hidup yang mencita-citakan otonomi nilai duniawi terlepas dari campur tangan Tuhan. Sementara yang sekularisasi moderat ialah pandangan hidup yang mencita-citakan nilai-nilai duniawi dengan mengikutsertakan Tuhan dan agama.
Kedua, pemahaman keberagamaan masyarakat perkotaan mengalami pergeseran atau bahkan terjadi sebuah perubahan. Jika pada masyarakat pedesaan agama dipahami sebagai sumber moral, etika, dan norma hidup, namun pada masyarakat perkotaan motif tersebut menjadi teknologisasi-insdutrialisme. Atau dengan kata lain industrialisme dan tekhnologisasi menjadi “agama” baru bagi masyarakat perkotaan. Ini terlihat dari gaya hidup meraka yang sangat tergantung sekali dengan teknologi bahkan bisa dikatakan telah diperbudak oleh teknologi.
Ketiga, dalam masyarakat perkotaan nilai-nilai transenden dan moralitas banyak diremehkan. Sehingga orang-orang moralis (agamawan) dalam setrata sosialnya bisa dikatakan di nomor duakan. Dulu memiliki kharisma dan status yang tinggi maka sekarang diduduki oleh kelas “the have”, baik status sosialnya maupun karena jabatan atau karena harta.
Keempat, agama hanya sekadar sebagai alat instrumen kehidupan serta alat legitimasi dari apa yang diperbuat. Dalam wacana politis, ini sangatlah efektif sebagai pengokoh status quo. Agama menjadi alat justifikasi kepentingan pribadi dan kelompok. Sehingga dalam realitas kehidupan masyarakat perkotaan banyak terjadi fenomena kemunculan organisasi sekuler yang berlabel keagamaan.
Mental disorder yang muncul pada jiwa masyarakat perkotaan tersebut banyak disebabkan karena belum mampunya mereka untuk menyingkronkan antara nilai-nilai baru yang dimunculkan oleh gejala modernisasi dan teknologisasi yang semakin semakin maju, dengan ajaran agama yang mereka anut. Disebabkan masih rendahnya daya serap mereka terhadap agama secara esensif yang bersifat religio-perennis. Akibatnya masyarakat perkotaan mengalami apa yang dinamakan hampa akan makna.
Nilai “hampa makna” inilah yang membuat masyarakat perkotaan yang nota bene mewakili manusia modern cenderung untuk mencari apa saja yang dapat dijadikan sebagai way of life. Selain itu, karena gejolak individualitas tersebut ditunjang dengan kepuasan sesaat karena hasil-hasil pembangunan teknis, tanpa dukungan keseimbangan aspek spiritual. Maka terjadilah proses alienasi pada pribadi anggota masyarakat. ini terjadi karena manusia terlalu terlena oleh kanikmatan duniawi hasil modernitas yang mana hal itu akan menjadikan manusia sebagai budak modernitas. Dari sinilah kompleksitas gejala negatif kemanusiaan dimulai.
Dengan perubahan sosial yang cepat dan komunikasi tanpa batas, dimana kehidupan cenderung berorientasi pada materirialistik, skolaristik, dan rasionalistik dengan kemajuan Iptek di segala bidang. Kondisi ini ternyata tidak selamanya memberikan kenyamanan, tetapi justru melahirkan abad kecemasan (the age of anxienty). Kemajuan ilmu dan teknologi hasil karya cipta manusia yang memberikan segala fasilitas kemudahan, ternyata juga memberikan dampak berbagai problema psikologis bagi manusia itu sendiri
Secara kolektif manusia modern mengalami gejala keterasingan jiwa atau paling tidak keterbelahan jiwa (split personality). Keterbelahan jiwa ini telah mengerosikan sisi terdalam dari kemanusiaan, yakni batin, teknikalisasi industri telah memunculkan de-humanisasi secara akut, kolektif dan tiba-tiba.
Masyarakat modern kini sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara pemahaman keagamaan yang didasarkan pada wahyu sering di tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler. Mereka cenderung mengejar kehidupan materi dan bergaya hidup hedonis dari pada memikirkan agama yang dianggap tidak memberikan peran apapun. Masyarakat demikian telah kehilangan visi ke-Ilahian yang tumpul penglihatannya terhadap realitas hidup dan kehidupan. Kemajuan-kemajuan yang terjadi telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi budaya dan politik. Kondisi ini mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi justru masyarakat perkotaan atau manusia modernlah yang mempunyai banyak problem.
Kehampaan makna yang terjadi pada masyarakat perkotaan tersebut membuat masyarakat berusaha mencari sebuah pelepas dahaga jiwa yang kering. Sehingga saat ini marak sekali terjadi gelombang spiritualitas masyarakat perkotaan. Mulai diadakannya majelis dzikir, pengajian akhbar, dan acara-acara yang berdimensi spriritualitas lainya. Maka manusia modern saat ini bisa dikatakan berusaha kembali kepada fitrahnya yakni visi ke-Ilahian yang mana akibat modernitas dengan topeng manisnya yang selama ini berusaha menjauhkan manusia dari visi ke-Ilahian.
Spritualisme masyarakat modern muncul di dorong oleh modernisme itu sendiri di mana manusia modern merasakan bahwa harta tidak lagi dapat menjadi patokan pembawa kebahagiaan dan penyejuk hati sehingga masyarakat modern mengalami kefakuman eksistensial. Spiritualitas adalah bidang penghayatan batiniah kepada Tuhan melalui laku-laku tertentu yang sebenarnya terdapat pada setiap agama. Namun, tidak semua penganut agama menekuninya. Hal ini pada akhirnya mengantarkan masyarakat modern kembali kepada nilai-nilai religius. Masyarakat modern haus akan kegiatan-kegiatan dan orang-orang yang mampu memberikan kesejukan dan ketenangan jiwa bagi mereka.
D.    Analisis Eksistensialisme Terhadap Spiritualitas Masyarakat Kota
Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa aliran eksistensialisme secara teologis bermuara pada dua hal, yakni teisme dan ateisme. Eksistensialisme teistik merupakan aliran eksistensialisme yang orientasi pemikirannya kearah penegasan adanya realitas ketuhanan. Jenis pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk memahami eksistensi manusia diperlukan adanya Tuhan. Atau dengan kata lain pemahaman terhadap eksistensi manusia haruslah disertai dengan kodrat transendensinya yang mengarah kepada realitas ketuhanan.
Pemikiran eksistensialistik atesistik yang memiliki implikasi menuju penolakan adanya realitas ketuhanan. Bentuk pemikiran eksistensialistik ini pada dasarnya diletakkan pada asumsi bahwa untuk menegaskan eksistensi manusia, maka keberadaan Tuhan harus disingkirkan atau diingkari. Jean Paul Sartre, terpaksa harus mengingkari keberadaan Tuhan untuk menempatkan eksistensi manusia.
Selain itu perlu diketahui juga bahwa eksistensialisme ini dapat ditinjau melalui aspek fungsinya yakni penggunaan konsep-konsep eksistensialistik sebagai model suatu pemikiran. Dari sudut ini eksistensialisme dibedakan sebagai eksistensialisme metodis dan eksistensialisme ideologis.
Eksistensialisme metodis adalah bentuk pemikiran yang menggunakan konsep-konsep dasar eksistensialitas manusia, seperti: pengalaman personal, sejarah situasi individu, kebebasan, dan lain-lannya sebagai alat atau sarana untuk membahas tema-tema khusus dalam hidup dan kehidupan manusia.
Sedangkan eksistensialisme ideologis, sebaliknya adalah bentuk pemikiran eksistensialisme yang menempatkan kategori-kategori atau konsep-konsep dasar eksistensialitas manusia sebagai satu-satunya ukuran yang sahih dalam membahas setiap problema hidup dan kehidupan manusia pada umumnya. Dengan demikian sebagaimana tersirat dalam istilahnya sendiri, jenis eksistensialisme ini berusaha mengabsolutkan seluruh kategori-kategori eksistensi manusia sebagai satu-satunya kebenaran.[20]
Dengan dua sudut pandang tersebut yang ada dalam lingkup eksistensialisme, maka penulis menggunakannya sebagai pisau analisis terhadap fenomena spiritualitas masyarakat kota. Menurut penulis term menganai masyarakat kota merupakan representasi terhadap masyarakat modern, yang corak berfikiranya rasionalistik dan realistik.  Asumsi yang penulis digunakan, semakin besar kekuasaan akal dapat diharapkan lahir “dunia baru” yang penghuninya (manusia-manusia) dapat merasa puas atas dasar kepemimimpinan akal yang sehat dan mandiri. Inilah corak era modern yang hingga sekarang terus untuk menggerus kehidupan masyarakat.
Adapun corak dasar masyarakat perkotaan secara sosiologis cenderung materialistik, individualistik, rasionalistik, formalistik sehingga sikap-sikap ini pun juga mempengaruhi cara keberagamaan orang perkotaan. Sehingga dari corak tersebut maka secara tidak langsung akan mempengaruhi cara keberagamaan (teologis) masyarakat perkotaan. Ini bisa terjadi karena manusia akan selalu berdialektika terhadap lingkungan sekitarnya. Selain itu paradigma berfikir seseorang akan berpengaruh terhadap seluruh dimensi kehidupannya, baik sosial, budaya, maupun keberagamaannya (teologis).
Fenomena yang sekarang marak terjadi adanya banyak gelombang spiritualitas masyarakat kota. Seperti adanya majelis dzikir, istigosah akbar hingga ceramah agama yang ada di berbagai media. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kota paradigma berfikir berubah, dari yang rasionalistik-realistik menjadi spiritualistik. Oleh karena penulis merasa menarik untuk menganalisi fenomena tersebut dengan pendakatan aliran eksitensialistik. Karena tesis awal dari aliran ini adalah upaya penolakan terhadap rasionalistik abad modern.
Masyarakat kota yang awalanya sangat mengagungkan akal dalam kehidupannya, maka yang terjadi adalah keringan spiritual. Keadaan ini membawa manusia kepada aleniasi. Ia terasingkan dari eksistensinya sendiri. Maka benar sekali kata Kierkegaard, salah satu eksponen aliran eksistensialisme yang teistik mengatakan bahwa untuk bereksistensi manusia membutuhkan Tuhan. kehidupan manusia yang kongkret ini tidak akan bermakna mana kala Tuhan tidak diikut sertakan dalam kehidupannya. Inilah yang terjadi ada masyarakat kota saat ini.
Kehampaan spiritual yang terjadi pada masyarakat kota ini kemudian mereka mencari kanalisasi kepada mejalis spiritual. Tidak mengherankan jika pada event-event seperti yang mengikuti mayoritas adalah masyarakat yang secara ekonomi adalah menengah-keatas (mampu). Mereka merasa kering spiritualnya, atau menurut kata Kierkegaard mereka teraleniasi dari kehidupannya. Maka dari ketidak bermaknaan dalam hidup menghantui mereka.
Semakin manusia rasionalistik, maka jiwa akan kering karena aspek spiritualitas yang menjadi fitrahnya di abaikan. Maka benar kata “spiritual” menegaskan sifat dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang secara mendasar dekat dengan Tuhannya, paling tidak selalu mencoba berjalan kearah-Nya. Ali Mabrook[21] mengungkapkan bahwa didunia ini tidak ada manusia yang tidak beragama (ateisme). Kata ateisme yang berarti paham yang tidak mengakui adanya Tuhan sebenarnya adalah salah kaprah karena tidak ada manusia di dunia ini yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. kata “spiritual” sebagai sifat bagi manusia disisipkan dalam pengertian ini untuk menunjuk kepada sosok manusia yang dekat dan sadar akan diri dan Tuhan.[22] oleh karena fenomena tersebut adalah wajar dan sudah seharusnya terjadi di dalam era modern.
Tesis dari Ali Mabrook ini sekaligus menyangkal pandangan eksistensialistik yang bercorak ateistik. Semakin manusia menjauhi atau menegasi Tuhan secara sadar maka yang terjadi adalah aleniasi dan kehampaan hidup. Tujuan hidup semakin kabur dan semakin gelap. Namun ketika manusia kembali menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk spiritual maka hal ini akan semakin membawa kebermaknaan dalam huidup.
Benar sekali bahwa eksistensialisme yang teistik ini bahwa untuk membuat manusia semakin “ada” dan berkesadaran dengan menuju kepada Tuhan. Karena dengan  kembali dan mengaitkan hidup ini kepada Tuhan maka akan semakin bermakna kehidupan ini. Pemikiran Kierkegaard dalam hal ini benar, hanya dengan menolak rasionalistik yang terlampau berlebihan dan kembali kapada problem manusia secara konkrit (berTuhan) maka manusia akan semakin menunjukkan eksistensinya.
E.    Kesimpulan
Eksistensialisme pada dasarnya merupakan reaksi terhadap kecenderungan semangat jaman modern, terutama sekali terhadap pemutlakan akal manusia. Oleh karena itu eksistensialisme secara khusus dapat dikatakan sebagai lawan dari aliran rasionalisme. Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya “ex”, keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[23] Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sementara itu ada yang mengasalkan istilah eksistensialisme dari kata eks (keluar) dan sistensi yang diturunkan dari kata kerja “sisto” (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi diartikan sebagai “manusia yang berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya”; “manusia sadar bahwa dirinya ada, yaitu yang disebut aku”.[24]
Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa aliran eksistensialisme secara teologis bermuara pada dua hal, yakni teisme dan ateisme. Eksistensialisme teistik merupakan aliran eksistensialisme yang orientasi pemikirannya kearah penegasan adanya realitas ketuhanan. Jenis pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk memahami eksistensi manusia diperlukan adanya Tuhan. Atau dengan kata lain pemahaman terhadap eksistensi manusia haruslah disertai dengan kodrat transendensinya yang mengarah kepada realitas ketuhanan.
Pemikiran eksistensialistik ateistik yang memiliki implikasi menuju penolakan adanya realitas ketuhanan. Bentuk pemikiran eksistensialistik ini pada dasarnya diletakkan pada asumsi bahwa untuk menegaskan eksistensi manusia, maka keberadaan Tuhan harus disingkirkan atau diingkari. Jean Paul Sartre, terpaksa harus mengingkari keberadaan Tuhan untuk menempatkan eksistensi manusia.
Kehampaan spiritual yang terjadi pada masyarakat kota ini kemudian mereka mencari kanalisasi kepada mejalis spiritual. Mereka merasa kering spiritualnya, atau menurut kata Kierkegaard mereka teraleniasi dari kehidupannya. Maka dari ketidak bermaknaan dalam hidup menghantui mereka. Semakin manusia rasionalistik, maka jiwa akan kering karena aspek spiritualitas yang menjadi fitrahnya di abaikan.
Eksistensialisme yang teistik ini bahwa untuk membuat manusia semakin “ada” dan berkesadaran dengan menuju kepada Tuhan. Karena dengan kembali dan mengaitkan hidup ini kepada Tuhan maka akan semakin bermakna kehidupan ini. Pemikiran Kierkegaard dalam hal ini benar, hanya dengan menolak rasionalistik yang terlampau berlebihan dan kembali kapada problem manusia secara konkrit (berTuhan) maka manusia akan semakin menunjukkan eksistensinya. Eksistensi manusia tidakn akan bisa terjadi tanpa mengaitkan Tuhann dalam kehidupannya.


[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006), 218.
[2] Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 103.

[3] Ibid., 99.
[4] Harun Hadiwijono, Seri Sejarah Filsafat Barat Seri 2, (Yogyakarta: Kanisisus, 1980), 124.
[5] T.Z. Lavine, From Socrates to Sartre: the Philosophic Quest, trj: Andi Iswanto, (Yogyakarta: Jendela, 2002),314.
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006),218.
[7] Hadiwijono, Seri Sejarah Filsafat Barat Seri 2, (Yogyakarta: Kanisisus, 1980), 148
[8] Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 98.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006), 218-219.
[10] A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), 91.
[11] Harun Hadiwijono, Seri Sejarah Filsafat Barat Seri 2, (Yogyakarta: Kanisisus, 1980), 155
[12] Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 106.
[13] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983). 164
[14] Ibid,  304
[15] Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003),  104-106.
[16] Ibid., 101-102.
[17] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 113.
[18] Ali Maksum, Tasawuf Sebagi Pembebas Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 69.
[19] Muhammad Sholikhin, Sufi Modern, (Jakarta: PT Gramedia, 2013), 167.
[20] Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 102-103.
[21] Ali Mabrook dari Giza Mesir adalah profesor Studi Islam di Universitas Kairo dan murid dari Hasan Hanafi dan Nasr Abu Zayd.
[22] Abdul Kadir Riyadi, Antropologoi Tasawuf Wacana Manusia Spiritual dan Pengatuhan. (Jakarta: LP3ES, 2014), 15.
[23] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006),218.
[24] Hadiwijono, Seri Sejarah Filsafat Barat Seri 2, (Yogyakarta: Kanisisus, 1980), 148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate