A.
Pendahuluan
Abad
modern ini ditandai oleh semangat kebebasan berpikir atau bahkan manusia mulai
berani untuk berpikir mandiri. Mengingat pada abad sebelumnya yakni pada abad
pertengahan dimana peranan akal berada didalam kungkungan agama (gereja),
sehingga otoritas gereja saat itu sangat dominan dalam setiap lini kehidupan.
Bahkan jika ada salah satu temuan dari para ilmuwan yang bertentangan dengan
teologi gereja maka pihak gereja berhak untuk menindak ilmuwan tersebut sesuai
dengan hukum yang berlaku (kristen)
Teologi
pada abad pertengahan sangatlah dominan sekali, bahkan dapat diistilahkan
kedudukan akal berada dibawah wahyu (kristen). Akal hanya sebagai pelayan dari
para patristik atau yang lebih
dikenal sebagai bapak gereja. Seringkali para filosof dan ilmuwan sering diberi
cap “kafir” oleh pihak geraja. Hal ini akibat dari para filosof dan ilmuwan
yang dalam pemikiran maupun pemikiran tidak sejalan dengan doktrin gereja.
Selain di cap “kafir” oleh gereja, maka para filosof maupun ilmuwan tersebut
juga diberi hukuman mati. Tidak sedikit para ilmuwan yang mati akibat
pemikirannya yang bertentangan dengan pihak gereja.
Oleh
karena latar belakang seperti itulah maka pada abad modern ini para pemikir
mulai melakukan pendobrakan atau revolusi intlektual guna menghidupkan lagi
filsafat Yunani yang berpijak pada rasio dan empiris. Revolusi intelektual yang
terjadi di dunia Barat adalah munculnya aliran filsafat rasionalisme. Aliran
ini merupakan reaksi dari abad pertengahan yang hanya memprioritaskan teologi
atau wahyu diatas akal.
Abad
modern ditandai dengan munculnya semangat rasionalisme. Paham ini pertama kali
dikembangkan oleh Rene Descartes. Rasionalisme berpendapat, bahwa sumber pengetahuan
yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). hanya pengetahuann
yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat. Pengalaman hanya dapat
dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal. akal
tidak membutuhkan pengalaman. Namun pendapat ini memperoleh penentangan dari
filsuf yang beraliran empirisme.
Salah
satu tokoh dari aliran ini adalah John Locke. Aliran empirisme berpendapat
bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang
batiniah maupun yang lahiriyah. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, akan
tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari
pengalaman. Dengan dua aliran besar yang ada di dunia Barat ini, maka lahirlah
beberapa aliran kefilsafatan. Berbagai
macam aliran kefilsafatan yang muncul setelah dua aliran besar ini
(rasionalisme dan empirisme) adalah untuk merespons dan upaya penyempurnaan
pemikiran. Namun yang perlu dicatat adalah, berbagai macam aliran kefilsafatan
yang muncul pada abad modern ini secara umum bercorak antroposentris. Artinya,
peranan manusia sebagai subyek pengetahuan sangata ditekankan.
Oleh
karena salah satu macam aliran kefilsafatan yang ada pada dunia modern ini
bertemakan tentang ke”ada”an manusia sebagai subyek. Nama aliran filsafat ini
adalah eksistensialisme. Aliran ini cukup kuat pengaruhnya hingga saat ini.
Diantara tokoh-tokoh dari aliran ini, antara lain Soren A.Kierkedaard, Jean
Paul Sarte, dan masih banyak lagi. Namun tetap dalam lingkup manusia sebagai
tema sentral dari pengetahuan. aliran filsafat ini lebih mengutamakan manusia
secara “ada” dan berkesadaran.
Aliran
eksistensialisme ini tidak hanya berpengaruh di dunia Barat saja. Akan tetapi
banyak berpengaruh di seluruh dunia, salah satunya yakni di Indonesia. Banyak
corak berfikir masyarakat Indonesia yang terpengaruhi oleh eksistensialisme.
Mereka menganggab dirinya sebagai subyek dari dunia (objek).
Eksistensialisme berasal dari kata
“eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah
bahasa latin yang artinya “ex”,
keluar dan “sistare” artinya berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[1]
Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis
tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka,
yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sebegitu kuatnya aliran filsafat
ini, maka paradigma berpikir teologis pun ikut terbawa arus eksistensialisme.
Dimana banyak masyarakat modern sekarang yang menggunakan aliran
eksistesialisme ini sebaga paradigma berfikirnya. Ini mirip dengan salah satu
aliran teologi dalam sejarah Islam yang sangat mengutamakan manusia sebagai
subyek dari segala sesuatu, yakni aliran Qadariyah.
Aliran ini beranggapan bahwa manusia memiliki kekuasaan namun dibebani tanggung
jawab atas kekuasaanya tersebut. sementara yang membuat tanggung jawab
(ketentuan) adalah Tuhan.
Didalam aliran eksistensialisme
yang kemudian berimplikasi kepada sistem teologi seseorang maka, menurut Loekisno
eksistensialisme dikelompokkan ke dalam eksistensialisme teistik dan
eksistensialisme ateistik.[2] Eksistensialisme
teistik merupakan aliran eksistensialisme yang orientasi pemikirannya kearah
penegasan adanya realitas ketuhanan. Sedangkan eksistensialisme ateistik
memandang bahwa eksistensi manusia adalah pilihan bebas.
Namun dalam realitas sehari-hari di
dalam masyarakat perkotaan yang merupakan representasi dari manusia modern.
Banyak terjadi fenomena gelombang semangat spiritulitas. Sebagaimana yang telah
diketahui bersama bahwa ciri khas paradigma manusia modern adalah berpikir
rasional dan empiris. Atau dengan kata lain paradigma manusia modern adalah
eksistensialistik. Hal inilah yang cukup menggelitik pemikiran penulis, bahwa
paham eksistensialisme yang didengung-dengungkan bermuara kepada teistik. Namun
disini tidak menafikkan fenomena beberapa kelompok yang ateistik. Akan tetapi
fenomena semangat spiritualitas masyarakat modern sangatlah besar jika
dibandingkan dengan fenomena para ateistik akibat dari pengaruh faham
eksistensialisme ini.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan pada alenia sebelumnya, bahwa muara teologis dari paham
eksistensialisme ini ada dua yakni teistik dan ateistik. Dalam hal ini penulis
berusaha menganalisa paham eksistensialisme terhadap gelombang spiritulitas
masyarakat perkotan yang terjadi saat ini. Dirasa cukup menarik untuk dikaji
mengenai fenomena ini, karena manusia yang semakin rasional muaranya berlari
kepada transendensi Ilahiyat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
bentuk dari aliran eksistensialisme?
2. Bagaiamanakah
latar belakang munculnya spiritualitas masyarakat kota?
3. Bagaimanakah analisis aliran
eksistensialisme terhadap munculnya spiritualitas masyarakat kota?
C.
Pemaparan
Masalah
1. Aliran
eksistensialisme
Filsafat kebenarannya bersifat
spekulatif, artinya ada pembaruan-pembaruan dalam bentuk pemikiran. Lahirnya
salah satu aliran filsafat, merupakan respons terhadap aliran filsafat
sebelumnya. Untuk mengetahui aliran eksistensialisme maka ada perlunya untuk
mengetahui tentang latar belakang dari munculnya aliran eksistensialisme ini.
Hal ini dirasa perlu karena aliran filsafat lahir tidak dalam keadaan begitu
saja, akan tetapi terdapat pengaruh lingkungan sekitar yang mengitarinya. Eksistensialisme
pada dasarnya merupakan reaksi terhadap kecenderungan semangat jaman modern,
terutama sekali terhadap pemutlakan akal manusia. Oleh karena itu
eksistensialisme secara khusus dapat dikatakan sebagai lawan dari aliran
rasionalisme
Pada awal abad kesembilan belas
Kierkegaard yang dikenal sebagai bapak eksistensialisme, telah menyaksikan
betapa kecenderungan rasionalisme telah meletakkan akal manusia sebagai
satu-satunya ukuran bagi segala realitas apa pun di dunia ini. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan supremasi intelektual telah menyebabkan terjadinya proses
dehumanisasi dalam kebudayaan Eropa.
Akal dianggap sebagai satu-satunya sumber yang sahih bagi seluruh pengetahuan
manusia dan di luar itu tidak ada sumber pengetahuan yang dapat dianggap valid.
Akibatnya kebenaran-kebenaran agama mulai dikritik dan diragukan. Sehingga
tidak berlebihan sekiranya jika abad kesembilan belas atau “the age of reason” dianggap sebagai abad pemberontakkan terhadap
agama.[3]
Semula Kierkegaard menjadi pengikut
setia Hegel, akan tetapi kemudian Hegel ditinggalkannya, karena diangap
mengaburkan hudup yang kongkrit. Menurut Hegel, hidup yang kongkrit itu hanya
mewujudkan suatu unsur saja di dalam proses perkembangan idea. Pandang yang
demikian itulah yang ditolak oleh Kierkegaard. Menurutnya, setiap hari orang
dihadapkan dengan pertanyaan, “apa yang harus dilakukan dalam keadaan yang
kongkrit itu?” patokan umum yang berlaku bagi seluruh umat manusia disegala
zaman dan tempat tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup yang
kongkrit timbul sehari-hari. Sebab setiap orang dihadapkan dengan persoalannya
sendiri, yang khusus hanya berlaku baginya. Persoalan yang kongkrit yang tiap
setiap hari itu oleh Kierkegaard disebut “persoalan-persoalan eksistensi”.[4]
Filsafat modern berkisar sekitar
“teori mengenal” yang untuk mengetahui apa hakekat “pengenalan” itu, dengan
jalan menentukan hubungan antara pikiran dengan objek-objeknya. Baik pada
filsafat klasik maupun dalam filsafat modern, persoalan wujud (ontologi)
menjadi dualisme. Artinya mengakui adanya dua perkara wujud. Benda dan rohani
yang sering sukar dipertemukan antara keduanya.
Terhadap kecenderungan era seperti
ini, dan terutama sekali didorong untuk mempertahankan kepercayaan agamanya,
Kierkegaard merumuskan landasan-landasan dasar bagi pemikiran eksistensialisme.
Menurutnya, akal tidak akan pernah mampu
memahami seluruh realitas (eksistensi) manusia. Realitas yang bersifat
eksistensi seperti nilai-nilai hidup, moralitas, agama, dan lain sebagainya. Seluruh realitas
eksistensi ini hanya dapat dialami secara subyektif oleh manusia, “subjectivity is truth”, ungkap
Kierkegaard yang cukup termasyhur.
Ungkapan ini kemudian dijadikan
pegangan bagi para eksistensialis lainnya yang terkenal dengan metode subyektif
(subjective methods). Dengan demikian akal bukanlah satu-satunya sumber
pengetahuan bagi manusia. Pengalaman personal lebih memberikan pemahaman yang
mantap terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan eksistensi manusia. Kita
harus berangkat dari dan berdasarkan pengalaman personal dan individual.
Personalitas adalah nyata. Dan Kierkegaard menekankan bahwa upaya menyimpulkan
eksistensi dari pikiran adalah kontradiksi. Oleh karenanya latar belakang
munculnya aliran eksitensialisme adalah sebagai penolakan terhadap rasionalitas
di segala bidang dan terlalu bersifat abstrak. Atau dengan kata lain, aliran
ini sebagai penentangan terhadap semangat era modern.
Seperti yang dijelaskan pada alenia
sebelumnya bahwa pemikiran filsafat tidak lahir begitu saja, akan tetapi
terdapat faktor sosial budaya yang mengitarinya. Namun jika tadi dilihat latar belakang
lahirannya eksistensialisme dalam hal pemikiran, maka pada alenia ini akan
digambarkan aliran eksistensialisme lahir sebagai respons keadaan sosial yang
mengitarinya. Eksistensialisme berkembangan pada abad XX di Prancis dan Jerman,
bukan akibat langsung dari suatu keadaan atau sebab tertentu, tetapi sebuah
respons yang dialami secara mendalam atas runtuhnya berbagai bangunan didunia
barat yang sebelumnya telah dianggap mapan. Meletusnya Perang Dunia I pada
akhirnya menghancurkan keyakinan akan berlanjutnya kemajuan peradaban menuju
kebenaran dan kebebasan, kedamaian dan kesejahteraan yang dimunculkan pada Abad
Pertengahan dan bertahan sampai pecahnya perang ini.
Peristiwa itu berimplikasi kepada
peradaban barat yang mulai goyah baik dari aspek politik, ekonomi (pertentangan
komunisme dan kapitalisme), bahkan dimensi intelektual. Ilmu pengetahuan
kehilangan kesan pastinya. Dan segala macam bagunan filsafat berguguran,
ditambah lagi filsafat mendapat serangan dari para penganut empirisme dan
memanasnya ilmu pengetahuan abad XX. Serta filsafat dipandang sebagai realitivitas
sejarah, bahkan lebih buruk lagi, dianggap berfungsi sebagai ideologi untuk
kepentingan kelompok khusus.[5]
Dengan melemahnya dan jatuhnya
sedemikian banyak struktur kekuasaan pasca PD I seluruh struktur kehilangan
legitimasinya, dan kekuasaannya atas individu jadi terasa sudah tidak lagi bisa
ditolelir. Karena ditentang dan dianggap sudah tidak lagi memiliki legitimasi.,
kekuasaan eksternal pemerintahan, sistem ekonomi,dan dunia ilmu pengetahuan.
Logikanya, para eksistensialis kembali kepada pada diri manusia sebagai pusat
filsafat dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi.
Namun apa yang dimaksud dengan eksistensialisme
tersebut. Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency”
yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya
“ex”, keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi,
eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[6]
Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis
tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka,
yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sementara itu ada yang mengasalkan
istilah eksistensialisme dari kata eks (keluar) dan sistensi yang diturunkan
dari kata kerja “sisto” (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi
diartikan sebagai “manusia yang berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari
dirinya”; “manusia sadar bahwa dirinya ada, yaitu yang disebut aku”.[7]
Meksipun demikian definisi
eksistensialisme yang baku masih sulit untuk dirumuskan, sebab filosof-filosof
yang digolongkan kedalamnya atau yang menyebut dirinya sebagai eksistensialis
itu menunjukkan perbedaan-perbedaan anggapan mengenai eksistensi sendiri. Namun demikian satu hal yang sama diantara
mereka adalah semuanya beranggapan bahwa filsafat harus bertitik tolak pada
manusia yang kongkrit, yaitu, manusia sebagai eksistensinya.[8]
Ahmad Tafsir mengatakan bahwa
filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang
dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti
katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral. Ini merupakan salah satu dari ragam filsafat. Adapaun yang dimaksud
dengan filsafat eksistensialisme, rumusannya lebih sulit daripada eksistensi.
Sejak munculnya filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema
sentral pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara
begitu radikal menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada
eksistensialisme.[9]
Dalam filsafat Idealisme,
wujud-nyata (eksitensi) dianggap mengikuti kepada hakekatnya (esensi). Jadi
“hakekat manusia” yang mempunyai cirin khas tertentu yang menyebabkan dia
berbeda dengan makhluk lain. Dengan kata lain esensi mendahului eksistensi jika
menurut pandangan filsafat Idealisme. Hal ini berbeda sekali dengan filsafat
eksistensialisme yang sebagiamana telah diulas diatas bahwa secara singkat
eksistensi mendahului esensi.
Filsafat eksistensialisme semenjak
Kierkegard menolak cara pemikiran ideliasme tersebut. bahkan diantara
orang-orang eksistensialisme ada yang mengatakan bahwa “wujud manusia” ini
tanpa esensi (hakekat). Menurut pandangan yang lain juga, “wujud manusia”
itulah yang mendahului “esensinya”, bukan sebaliknya.
Pada mulanya manusia tidak mempunyai
“esensi”, karena ketika dilahirkan, ia tidak sempurna bentuknya. Manusia adalah
satu-satunya makhluk, dimana “wujudnya” terletak kepada kebebasannya. Dengan
demikian, maka manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain, karena
perbuatan-perbuatannya dikuasai oleh hukum diluar kemampuan manusia.
Esensi (hakekat) pohon misalnya terletak pada
kemampuan (kekuatan-kekuatan) yang terdapat pada biji (benihnya). Oleh karena
itu, maka esensi pohon tersebut mendahului wujudnya yang nyata. Akan tetapi
manusia menolak tidak mempunyai esensi sebelum wujudnya, karena ia mempunyai
kebebasan, dimana ia bisa memilih suatu sikap tertentu dan bukan sikap lainya,
dan sikap inilah yang membentuk esensinya. Jadi manusia dalam pandangan
filsafat eksistensialisme adalah makhluk yang dapat membentuk esensinya. Hal
ini sangat bertalian erat dengan kebebasan manusia yang diusung juga oleh
eksponen eksistensialisme, bahkan bisa dikatakan tidak ada perbedaan antara
kebebasan itu dengan wujud manusia sendiri.[10]
Terdapat statemen yang dilontarkan
oleh seorang eksponen eksistensialisme yang berkaitan dengan kebebasan manusia
dalam wujudnya (eksistensi), yakni “manusia dikutuk untuk bebas”. Ini
menandakan bahwa secara hakiki eksistensi manusia dapat dan harus bertindak
secara bebas sesuai dengan pilihannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa manusia adalah berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya.
Perbedaannya terletak pada eksistensinya yang mendahului esensi (hakekat). Jika
manusia masih terkungkung oleh kekuatan diluar dirinya maka ia belum bisa
dikatakan bebas (eksis), sebaliknya jika manusia ingin dikatakan eksis maka ia
harus bisa membebaskan dirinya dari apa yang diluar dirinya bahkan sekaliber
Tuhan pun. Inilah pola pemikiran dari filsafat eksistensialisme.
Secara general eksistensialisme
menyatakan bahwa cara berada manusia dengan benda tidaklah sama. Manusia berada
didalam dunia ; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya
berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, manghadapi dengan mengerti yang dihadapinya.
Artinya ialah bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya menyadari, yang
sadar. Sementara barang yang disadarinya ialah objek.
Didalam aliran ini terdapat banyak
filsuf yang ikut menyumbangkan pemikirannya. Antara lain, Heidegger,
Kierkiegaard, Jean Paul Sarte, Gabriel Marcel dan Martin Burber. Menurut Martin
Heidegger, keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui jalan ontologi, artinya
jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan
itu. Menurutnya, Manusia tidak menciptakan dirinya sendiri, tetapi ia
“dilemparkan” ke dalam keberadaan. Dengan cara demikian manusia bertanggung
jawab atas adanya dirinya yang tidak diciptakan sendiri itu. Jadi, di satu
pihak manusia tidak mampu menyebabkan adanya dirinya, tetapi di lain pihak ia
tetap bertanggung jawab sebagai yang “bertugas” untuk meng-ada-kan dirinya.[11]
Sementara menurut Kierkigaard, menyatakan
bahwa eksistensi manusia bersifat kongkrit dan individual. Hanya manusia yang
dapat “bereksistensi” selain dirinya tidak ada makhluk yang dapat
bereksistensi. Bereksistensi berarti merealisir diri (engagement), mengikat diri dengan bebas, mempraktekkan
keyakinannya, dan mengisi kebebasannya. Namun, demikian eksistensi manusia
tidak dapat dipahami jika ia dilepaskan dari keterarahan (transendensi) kepada
Tuhan. Menurutnya, setiap manusia adalah campuran dari ketakterhinggaan dengan
keterhinggan. Manusia merupakan gerak ke arah Tuhan. Tetapi ia juga berpisah
dari Tuhan, terasing dari-Nya. Manusia dapat mengatakan “ya” kepada hubungannya
dengan Tuhan dalam iman, atau mengatakan “tidak”. Kalau ia mengatakan “ya”, ia
akan menjadi yang ia ada, yaitu individu yang berhadapan dengan Tuhan. Dengan
demikian “manusia menjadi seperti yang
apa dipercayainya”.
Pandangan lain juga diutarakan oleh
Jean Paul Sartre, bahwa manusia menurutnya, sungguh-sungguh bereksistensi tidak
dalam arti bahwa ia berdiri berhadapan dengan Tuhan, seperti yang diajarkan
oleh Kierkegaard, melainkan berdiri berhadapan dengan kekosongan. Manusia sama
sekali bebas. Ia dihukum untuk bebas. Kebebasan ini bukan karunia, justru
sebaliknya merupakan beban. Kebebasan tidak bermakna, dan akhirnya semua
aspirasi manusia yang bebas pasti gagal. Kegagalan ini bukan merupakan titik
pangkal untuk harapoan baru seperti pada eksistensialis-eksistensialis
Kristiani.[12]
Sedangkan, Gabriel Marcel dan
Martin Buber, memiliki kesamaan pandangan tentang eksistensi manusia. Bagi
keduanya eksistensi manusia hanya dapat dihayati melalui komunikasi dialogis
terhadap sesama manusia. Tetapi arus dialogis ini tentunya harus dalam relasi Aku-Engkau, bukan dalam suasana Aku-Dia. Relasi Aku-Engkau, menurut
Buber menandai dunia dari Bezeihung
(hubungan antar persona), berarti dunia dimana Aku menyapa Engkau dan Engkau
menyapa Aku sehingga terjadi dialog yang sejati.[13]
Sementara Gabriel Marcel ,
menekankan akan pentingnya unsur “kehadiran”
dalam relasi Aku-Engkau. Dua orang dikatakan hadir yang satu kepada yang lain
bila mereka mengarahkan diri yang satu dengan lainnya dengan cara yang sama
sekali berlainan cari cara mereka menghadapi obyek-obyek. Kehadiran, menurut
Marcel, hanya dapat diwujudkan, jika “Aku:” berjumpa dengan “Engkau”.[14]
Bagi Marcel dan Buber refleksi tentang kehadiran orang
lain menghantarkan kita kepada kehadiran dari “Yang Lain” secara istimewa, yaitu Tuhan. Menurut Marcel, adanya
Tuhan atau kehadiran Tuhan termasuk suasana misteri.
Misteri ini meliputi seluruh hakekat manusia yang tidak diciptakan oleh manusia
itu sendiri. Saya “percaya” pada
“Engkau Absolut” yang merupakan dasar bagi setiap perjumpaan dengan “Engkau”
yang lain. Bukan pembuktian menjadi dasaru untuk menerima Tuhan, tetapi
himbauan yang berasal dari “Engkau Absolut” yang dijawab dengan kepercayaan.
Sedangkan Buber menegaskan Tuhan
adalah Engkau yang tidak mungkin dijadikan “itu” (setingkat obyek). Ia tidak
dapat didefinisikan atau digambarkan. Manusia hanya dapat mengenal Tuhan dalam
ketaatan dan keimanan. Manusia dapat membenci Tuhan atau mengutuki Dia atau
berbalik daripada-Nya kalau penderitaan sudah tidak tertahankan lagi. Tetapi ia
tidak dapat membuat Tuhan menjadi suatu benda, suatu obyek diantara obyek-obyek
lainnya.[15]
Menurut Loekisno, bahwa walaupun
eksistensialisme memiliki beragama definisi dan arti. Namun aliran ini terdapat
pokok-pokok ajaran yang mana ini menjadi ciri khas dari aliran
eksistensialisme. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa eksistensialisme dianut
oleh beragama kalangan intelektual, teolog, dan filosof yang memiliki latar
belakang yang juga bervariasi baik dari segi pendekatan maupun sudut
pandangannya. Meskipun demikian masing-masing pemikiran para eksistensialis
tersebut diikat oleh kesamaan substansi ajaran, diantaranya:
1. Motif
pokoknya adalah apa yang disebut eksistensi, yakni cara manusia berada. Hanya
manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara yang khas manusia berada.
Pusat perhatian ini ada pada manusia, Oleh karena itu aliran ini bersifat
humanistik sekali.
2. Bereksistensi
harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya
secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat
manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya semula.
3. Di
dalam filsafat eksistensialisme, manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia
adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya
manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesamanya.
4. Filsafat
eksistensialisme memberikan tekanan yang sangat besar kepada pengalaman yang
kongkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda
antara satu filosof dengan filosof lainnya. Heidegger memberi tekanan kepada
kematian, yang menyuramkan segala sesuatu. Marcel kepada pengalaman keagamaan
dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian,
penderitaan, perjuangan, kesalahan, dan lain sebagainya.[16]
2. Latar
Belakang Munculnya Spiritualitas Masyarakat Kota
Tidak dapat dipungkiri, zaman
modern telah dimulai di dunia Barat, secara historis, zaman modern dimulai
sejak adanya krisis abad pertengahan (abad ke-14 dan ke-15), yang ditandai
dengan munculnya gerakan Renaissance. Renaissance berarti kelahiran kembali,
yang mengacu pada gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang bermula di Italia
(pertengahan abad ke-14).[17]
Renaissance akan banyak memberikan
segala aspek realitas. Perhatian yang sungguh-sungguh atas segala hal yang
konkret dalam lingkup alam semesta, manusia, kehidupan masyarakat, dan sejarah.
Pada masa itu pula terdapat upaya manusia untuk memberi tempat kepada akal yang
mandiri. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar karena adanya suatu keyakinan
bahwa akal pasti akan dapat menerangkan segala macam persoalan.
Asumsi yang digunakan, semakin
besar kekuasaan akal dapat diharapkan lahir “dunia baru” yang penghuninya
(manusia-manusia) dapat merasa puas atas dasar kepemimimpinan akal yang sehat
dan mandiri. Inilah corak era modern yang hingga sekarang terus untuk menggerus
kehidupan masyarakat.
Proses modernisasi, yang dijalankan
oleh dunia Barat sejak zaman renaissance, disamping membawa dampak positif,
juga telah menimbulkan dampak negatif. Dampak positifnya, modernisasi telah
membawa kemudahan-kemudahan dalam kehidupan manusia dengan adanya
teknologisasi, sementara dampak negatifnya ialah modernisasi telah menimbulkan
krisis hidup , kehampaan spiritual, dan tersingkirnya atau bergesernya peranan
agama dalam kehidupan manusia.[18]
Sebagaimana yang telah disinyalir
oleh para sosiolog kontemporer bahwa arus globalisasi akan mengakibatkan dunia
ini terbentuk dalam satu Global village (desa buana) yang mensyaratkan adanya
desa-desa yang di”kotakan”. Diseluruh pelosok dunia akan menjadi kota atau
metropolis dengan gebyar kemodernan yang dipoles wajah teknikalisasi dan
berlanjut dengan urbanisasi serta industrialisasi.[19]
Sementara definisi kota adalah suatu
wilayah yang secara geografis didiami oleh lebih dari 10.000 orang ataun
jumlahnya tidak ditentukan lagi tapi sudah didukung oleh
modernitas-industrialisasi. Karakter yang sesuai untu Indonesia ini terbatas
pada kota-kota metropolitan seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta.
Adapun corak dasar masyarakat
perkotaan secara sosiologis cenderung materialistik, individualistik,
rasionalistik, formalistik sehingga sikap-sikap ini pun juga mempengaruhi cara
keberagamaan orang perkotaan. Sehingga dari corak tersebut maka secara tidak
langsung akan mempengaruhi cara keberagamaan masyarakat perkotaan. Ini bisa
terjadi karena manusia akan selalu berdialektika terhadap lingkungan
sekitarnya. Selain itu paradigma berfikir seseorang akan berpengaruh terhadap
seluruh dimensi kehidupannya, baik sosial, budaya, maupun keberagamaannya.
Cara keberagamaan “Masyarakat
perkotaan” yang terpengaruh oleh modernisasi yakni: Pertama, Terjadi sekularisasi dalam kehidupan agama. yang dimaksud
dengan sekularisasi ialah usaha untuk memisahkan antara otoritas duniawi dengan
otoritas ukhrawi (agama) atau dengan kata lain memisahkan antara urusan dunai
dengan urusan agama. secara sosiologis ini terbagi menjadi dua yakni ekstrem
dan moderat. Sekulrisasi ekstrem ialah cara pandang hidup yang mencita-citakan
otonomi nilai duniawi terlepas dari campur tangan Tuhan. Sementara yang
sekularisasi moderat ialah pandangan hidup yang mencita-citakan nilai-nilai
duniawi dengan mengikutsertakan Tuhan dan agama.
Kedua,
pemahaman keberagamaan masyarakat perkotaan mengalami pergeseran atau bahkan
terjadi sebuah perubahan. Jika pada masyarakat pedesaan agama dipahami sebagai
sumber moral, etika, dan norma hidup, namun pada masyarakat perkotaan motif
tersebut menjadi teknologisasi-insdutrialisme. Atau dengan kata lain
industrialisme dan tekhnologisasi menjadi “agama” baru bagi masyarakat
perkotaan. Ini terlihat dari gaya hidup meraka yang sangat tergantung sekali
dengan teknologi bahkan bisa dikatakan telah diperbudak oleh teknologi.
Ketiga,
dalam masyarakat perkotaan nilai-nilai transenden dan moralitas banyak
diremehkan. Sehingga orang-orang moralis (agamawan) dalam setrata sosialnya
bisa dikatakan di nomor duakan. Dulu memiliki kharisma dan status yang tinggi
maka sekarang diduduki oleh kelas “the
have”, baik status sosialnya maupun karena jabatan atau karena harta.
Keempat,
agama hanya sekadar sebagai alat instrumen kehidupan serta alat legitimasi dari
apa yang diperbuat. Dalam wacana politis, ini sangatlah efektif sebagai
pengokoh status quo. Agama menjadi
alat justifikasi kepentingan pribadi dan kelompok. Sehingga dalam realitas
kehidupan masyarakat perkotaan banyak terjadi fenomena kemunculan organisasi
sekuler yang berlabel keagamaan.
Mental disorder yang muncul pada jiwa masyarakat perkotaan tersebut banyak
disebabkan karena belum mampunya mereka untuk menyingkronkan antara nilai-nilai
baru yang dimunculkan oleh gejala modernisasi dan teknologisasi yang semakin
semakin maju, dengan ajaran agama yang mereka anut. Disebabkan masih rendahnya
daya serap mereka terhadap agama secara esensif yang bersifat religio-perennis. Akibatnya masyarakat
perkotaan mengalami apa yang dinamakan hampa akan makna.
Nilai “hampa makna” inilah yang
membuat masyarakat perkotaan yang nota bene mewakili manusia modern cenderung
untuk mencari apa saja yang dapat dijadikan sebagai way of life. Selain itu, karena gejolak individualitas tersebut
ditunjang dengan kepuasan sesaat karena hasil-hasil pembangunan teknis, tanpa
dukungan keseimbangan aspek spiritual. Maka terjadilah proses alienasi pada
pribadi anggota masyarakat. ini terjadi karena manusia terlalu terlena oleh
kanikmatan duniawi hasil modernitas yang mana hal itu akan menjadikan manusia
sebagai budak modernitas. Dari sinilah kompleksitas gejala negatif kemanusiaan
dimulai.
Dengan perubahan sosial yang cepat
dan komunikasi tanpa batas, dimana kehidupan cenderung berorientasi pada
materirialistik, skolaristik, dan rasionalistik dengan kemajuan Iptek di segala
bidang. Kondisi ini ternyata tidak selamanya memberikan kenyamanan, tetapi
justru melahirkan abad kecemasan (the age
of anxienty). Kemajuan ilmu dan teknologi hasil karya cipta manusia yang
memberikan segala fasilitas kemudahan, ternyata juga memberikan dampak berbagai
problema psikologis bagi manusia itu sendiri
Secara kolektif manusia modern
mengalami gejala keterasingan jiwa atau paling tidak keterbelahan jiwa (split personality). Keterbelahan jiwa
ini telah mengerosikan sisi terdalam dari kemanusiaan, yakni batin,
teknikalisasi industri telah memunculkan de-humanisasi secara akut, kolektif
dan tiba-tiba.
Masyarakat
modern kini sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara
pemahaman keagamaan yang didasarkan pada wahyu sering di tinggalkan dan hidup
dalam keadaan sekuler. Mereka cenderung mengejar kehidupan materi dan bergaya
hidup hedonis dari pada memikirkan agama yang dianggap tidak memberikan peran
apapun. Masyarakat demikian telah kehilangan visi ke-Ilahian yang tumpul
penglihatannya terhadap realitas hidup dan kehidupan. Kemajuan-kemajuan yang
terjadi telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi
budaya dan politik. Kondisi ini mengharuskan individu untuk beradaptasi
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam
kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi
justru masyarakat perkotaan atau manusia modernlah yang mempunyai banyak
problem.
Kehampaan
makna yang terjadi pada masyarakat perkotaan tersebut membuat masyarakat berusaha
mencari sebuah pelepas dahaga jiwa yang kering. Sehingga saat ini marak sekali
terjadi gelombang spiritualitas masyarakat perkotaan. Mulai diadakannya majelis
dzikir, pengajian akhbar, dan acara-acara yang berdimensi spriritualitas
lainya. Maka manusia modern saat ini bisa dikatakan berusaha kembali kepada
fitrahnya yakni visi ke-Ilahian yang mana akibat modernitas dengan topeng
manisnya yang selama ini berusaha menjauhkan manusia dari visi ke-Ilahian.
Spritualisme
masyarakat modern muncul di dorong oleh modernisme itu sendiri di mana manusia
modern merasakan bahwa harta tidak lagi dapat menjadi patokan pembawa
kebahagiaan dan penyejuk hati sehingga masyarakat modern mengalami kefakuman
eksistensial. Spiritualitas
adalah bidang penghayatan batiniah kepada Tuhan melalui laku-laku tertentu yang
sebenarnya terdapat pada setiap agama. Namun, tidak semua penganut agama
menekuninya. Hal ini pada akhirnya mengantarkan masyarakat
modern kembali kepada nilai-nilai religius. Masyarakat modern haus akan kegiatan-kegiatan
dan orang-orang yang mampu memberikan kesejukan dan ketenangan jiwa bagi
mereka.
D.
Analisis
Eksistensialisme Terhadap Spiritualitas Masyarakat Kota
Sebagaimana yang diketahui bersama
bahwa aliran eksistensialisme secara teologis bermuara pada dua hal, yakni
teisme dan ateisme. Eksistensialisme teistik merupakan aliran eksistensialisme
yang orientasi pemikirannya kearah penegasan adanya realitas ketuhanan. Jenis
pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk memahami eksistensi manusia
diperlukan adanya Tuhan. Atau dengan kata lain pemahaman terhadap eksistensi
manusia haruslah disertai dengan kodrat transendensinya yang mengarah kepada
realitas ketuhanan.
Pemikiran eksistensialistik
atesistik yang memiliki implikasi menuju penolakan adanya realitas ketuhanan.
Bentuk pemikiran eksistensialistik ini pada dasarnya diletakkan pada asumsi
bahwa untuk menegaskan eksistensi manusia, maka keberadaan Tuhan harus
disingkirkan atau diingkari. Jean Paul Sartre, terpaksa harus mengingkari
keberadaan Tuhan untuk menempatkan eksistensi manusia.
Selain itu perlu diketahui juga
bahwa eksistensialisme ini dapat ditinjau melalui aspek fungsinya yakni
penggunaan konsep-konsep eksistensialistik sebagai model suatu pemikiran. Dari
sudut ini eksistensialisme dibedakan sebagai eksistensialisme metodis dan
eksistensialisme ideologis.
Eksistensialisme metodis adalah
bentuk pemikiran yang menggunakan konsep-konsep dasar eksistensialitas manusia,
seperti: pengalaman personal, sejarah situasi individu, kebebasan, dan lain-lannya
sebagai alat atau sarana untuk membahas tema-tema khusus dalam hidup dan
kehidupan manusia.
Sedangkan eksistensialisme
ideologis, sebaliknya adalah bentuk pemikiran eksistensialisme yang menempatkan
kategori-kategori atau konsep-konsep dasar eksistensialitas manusia sebagai
satu-satunya ukuran yang sahih dalam membahas setiap problema hidup dan kehidupan
manusia pada umumnya. Dengan demikian sebagaimana tersirat dalam istilahnya
sendiri, jenis eksistensialisme ini berusaha mengabsolutkan seluruh
kategori-kategori eksistensi manusia sebagai satu-satunya kebenaran.[20]
Dengan dua sudut pandang tersebut
yang ada dalam lingkup eksistensialisme, maka penulis menggunakannya sebagai
pisau analisis terhadap fenomena spiritualitas masyarakat kota. Menurut penulis
term menganai masyarakat kota merupakan representasi terhadap masyarakat
modern, yang corak berfikiranya rasionalistik dan realistik. Asumsi yang penulis digunakan, semakin besar
kekuasaan akal dapat diharapkan lahir “dunia baru” yang penghuninya
(manusia-manusia) dapat merasa puas atas dasar kepemimimpinan akal yang sehat
dan mandiri. Inilah corak era modern yang hingga sekarang terus untuk menggerus
kehidupan masyarakat.
Adapun corak dasar masyarakat
perkotaan secara sosiologis cenderung materialistik, individualistik,
rasionalistik, formalistik sehingga sikap-sikap ini pun juga mempengaruhi cara
keberagamaan orang perkotaan. Sehingga dari corak tersebut maka secara tidak
langsung akan mempengaruhi cara keberagamaan (teologis) masyarakat perkotaan.
Ini bisa terjadi karena manusia akan selalu berdialektika terhadap lingkungan
sekitarnya. Selain itu paradigma berfikir seseorang akan berpengaruh terhadap
seluruh dimensi kehidupannya, baik sosial, budaya, maupun keberagamaannya
(teologis).
Fenomena yang sekarang marak
terjadi adanya banyak gelombang spiritualitas masyarakat kota. Seperti adanya
majelis dzikir, istigosah akbar hingga ceramah agama yang ada di berbagai
media. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kota paradigma berfikir berubah, dari
yang rasionalistik-realistik menjadi spiritualistik. Oleh karena penulis merasa
menarik untuk menganalisi fenomena tersebut dengan pendakatan aliran
eksitensialistik. Karena tesis awal dari aliran ini adalah upaya penolakan
terhadap rasionalistik abad modern.
Masyarakat kota yang awalanya
sangat mengagungkan akal dalam kehidupannya, maka yang terjadi adalah keringan
spiritual. Keadaan ini membawa manusia kepada aleniasi. Ia terasingkan dari eksistensinya sendiri. Maka benar
sekali kata Kierkegaard, salah satu eksponen aliran eksistensialisme yang
teistik mengatakan bahwa untuk bereksistensi manusia membutuhkan Tuhan.
kehidupan manusia yang kongkret ini tidak akan bermakna mana kala Tuhan tidak
diikut sertakan dalam kehidupannya. Inilah yang terjadi ada masyarakat kota
saat ini.
Kehampaan spiritual yang terjadi
pada masyarakat kota ini kemudian mereka mencari kanalisasi kepada mejalis
spiritual. Tidak mengherankan jika pada event-event seperti yang mengikuti
mayoritas adalah masyarakat yang secara ekonomi adalah menengah-keatas (mampu).
Mereka merasa kering spiritualnya, atau menurut kata Kierkegaard mereka teraleniasi dari kehidupannya. Maka dari
ketidak bermaknaan dalam hidup menghantui mereka.
Semakin manusia rasionalistik, maka
jiwa akan kering karena aspek spiritualitas yang menjadi fitrahnya di abaikan.
Maka benar kata “spiritual” menegaskan sifat dasar manusia, yaitu sebagai
makhluk yang secara mendasar dekat dengan Tuhannya, paling tidak selalu mencoba
berjalan kearah-Nya. Ali Mabrook[21]
mengungkapkan bahwa didunia ini tidak ada manusia yang tidak beragama
(ateisme). Kata ateisme yang berarti paham yang tidak mengakui adanya Tuhan
sebenarnya adalah salah kaprah karena tidak ada manusia di dunia ini yang tidak
mengakui keberadaan Tuhan. kata “spiritual” sebagai sifat bagi manusia
disisipkan dalam pengertian ini untuk menunjuk kepada sosok manusia yang dekat
dan sadar akan diri dan Tuhan.[22] oleh
karena fenomena tersebut adalah wajar dan sudah seharusnya terjadi di dalam era
modern.
Tesis dari Ali Mabrook ini
sekaligus menyangkal pandangan eksistensialistik yang bercorak ateistik. Semakin
manusia menjauhi atau menegasi Tuhan secara sadar maka yang terjadi adalah aleniasi dan kehampaan hidup. Tujuan
hidup semakin kabur dan semakin gelap. Namun ketika manusia kembali menunjukkan
eksistensinya sebagai makhluk spiritual maka hal ini akan semakin membawa
kebermaknaan dalam huidup.
Benar
sekali bahwa eksistensialisme yang teistik ini bahwa untuk membuat manusia
semakin “ada” dan berkesadaran dengan menuju kepada Tuhan. Karena dengan kembali dan mengaitkan hidup ini kepada Tuhan
maka akan semakin bermakna kehidupan ini. Pemikiran Kierkegaard dalam hal ini
benar, hanya dengan menolak rasionalistik yang terlampau berlebihan dan kembali
kapada problem manusia secara konkrit (berTuhan) maka manusia akan semakin
menunjukkan eksistensinya.
E.
Kesimpulan
Eksistensialisme pada dasarnya
merupakan reaksi terhadap kecenderungan semangat jaman modern, terutama sekali
terhadap pemutlakan akal manusia. Oleh karena itu eksistensialisme secara
khusus dapat dikatakan sebagai lawan dari aliran rasionalisme. Eksistensialisme
berasal dari kata “eksistensi” dengan
kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya “ex”, keluar dan “sistare”
artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[23]
Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis
tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka,
yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Sementara itu ada yang mengasalkan
istilah eksistensialisme dari kata eks (keluar) dan sistensi yang diturunkan
dari kata kerja “sisto” (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi
diartikan sebagai “manusia yang berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari
dirinya”; “manusia sadar bahwa dirinya ada, yaitu yang disebut aku”.[24]
Sebagaimana yang diketahui bersama
bahwa aliran eksistensialisme secara teologis bermuara pada dua hal, yakni
teisme dan ateisme. Eksistensialisme teistik merupakan aliran eksistensialisme
yang orientasi pemikirannya kearah penegasan adanya realitas ketuhanan. Jenis
pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa untuk memahami eksistensi manusia
diperlukan adanya Tuhan. Atau dengan kata lain pemahaman terhadap eksistensi
manusia haruslah disertai dengan kodrat transendensinya yang mengarah kepada
realitas ketuhanan.
Pemikiran eksistensialistik ateistik
yang memiliki implikasi menuju penolakan adanya realitas ketuhanan. Bentuk
pemikiran eksistensialistik ini pada dasarnya diletakkan pada asumsi bahwa
untuk menegaskan eksistensi manusia, maka keberadaan Tuhan harus disingkirkan
atau diingkari. Jean Paul Sartre, terpaksa harus mengingkari keberadaan Tuhan
untuk menempatkan eksistensi manusia.
Kehampaan spiritual yang terjadi
pada masyarakat kota ini kemudian mereka mencari kanalisasi kepada mejalis
spiritual. Mereka merasa kering spiritualnya, atau menurut kata Kierkegaard
mereka teraleniasi dari kehidupannya.
Maka dari ketidak bermaknaan dalam hidup menghantui mereka. Semakin manusia
rasionalistik, maka jiwa akan kering karena aspek spiritualitas yang menjadi
fitrahnya di abaikan.
Eksistensialisme yang teistik ini
bahwa untuk membuat manusia semakin “ada” dan berkesadaran dengan menuju kepada
Tuhan. Karena dengan kembali dan mengaitkan hidup ini kepada Tuhan maka akan
semakin bermakna kehidupan ini. Pemikiran Kierkegaard dalam hal ini benar,
hanya dengan menolak rasionalistik yang terlampau berlebihan dan kembali kapada
problem manusia secara konkrit (berTuhan) maka manusia akan semakin menunjukkan
eksistensinya. Eksistensi manusia tidakn akan bisa terjadi tanpa mengaitkan
Tuhann dalam kehidupannya.
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006), 218.
[2] Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan
Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 103.
[3] Ibid., 99.
[4] Harun Hadiwijono, Seri Sejarah Filsafat Barat Seri 2,
(Yogyakarta: Kanisisus, 1980), 124.
[5] T.Z. Lavine, From Socrates to Sartre: the Philosophic
Quest, trj: Andi Iswanto, (Yogyakarta: Jendela, 2002),314.
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006),218.
[8] Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan
Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 98.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006), 218-219.
[10] A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981),
91.
[12]
Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan
Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 106.
[14] Ibid, 304
[15]
Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan
Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 104-106.
[16] Ibid., 101-102.
[17] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012), 113.
[18] Ali Maksum, Tasawuf Sebagi Pembebas Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), 69.
[19] Muhammad Sholikhin, Sufi Modern, (Jakarta: PT Gramedia,
2013), 167.
[20]
Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan
Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 102-103.
[21]
Ali Mabrook dari Giza Mesir
adalah profesor Studi Islam di Universitas Kairo dan murid dari Hasan Hanafi
dan Nasr Abu Zayd.
[22]
Abdul Kadir Riyadi, Antropologoi Tasawuf Wacana Manusia
Spiritual dan Pengatuhan. (Jakarta: LP3ES, 2014), 15.
[23] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006),218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar