Kamis, 01 Januari 2015

Ideologi Sebagai Eksistensi Manusia Dalam Bermasyarakat



A.   Pendahuluan
Telah diketahui bersama bahwa didalam filsafat modern kedudukan akal atau rasio berperan sangat penting dalam kehidupan. Abad modern ini ditandai oleh semangat kebebasan berpikir atau bahkan manusia mulai berani untuk berpikir mandiri. Mengingat pada abad sebelumnya yakni pada abad pertengahan dimana peranan akal berada didalam kungkungan agama (gereja), sehingga otoritas gereja saat itu sangat dominan dalam setiap lini kehidupan. Bahkan jika ada salah satu temuan dari para ilmuwan yang bertentangan dengan teologi gereja maka pihak gereja berhak untuk menindak ilmuwan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku (kristen)
Teologi pada abad pertengahan sangatlah dominan sekali, bahkan dapat diistilahkan kedudukan akal berada dibawah wahyu (kristen). Akal hanya sebagai pelayan dari para patristik atau yang lebih dikenal sebagai bapak gereja. Seringkali para filosof dan ilmuwan sering diberi cap “kafir” oleh pihak geraja. Hal ini akibat dari para filosof dan ilmuwan yang dalam pemikiran maupun pemikiran tidak sejalan dengan doktrin gereja. Selain di cap “kafir” oleh gereja, maka para filosof maupun ilmuwan tersebut juga diberi hukuman mati. Tidak sedikit para ilmuwan yang mati akibat pemikirannya yang bertentangan dengan pihak gereja.
Oleh karena latar belakang seperti itulah maka pada abad modern ini para pemikir mulai melakukan pendobrakan atau revolusi intlektual guna menghidupkan lagi filsafat Yunani yang berpijak pada rasio dan empiris. Revolusi intelektual yang terjadi di dunia Barat adalah munculnya aliran filsafat rasionalisme. Aliran ini merupakan reaksi dari abad pertengahan yang hanya memprioritaskan teologi atau wahyu diatas akal.
Rasionalisme merupakan aliran filsafat yang menempatkan akal diatas segalanya. Rene Descartes yang merupakan eksponen dari aliran ini menyakatan dengan jargonya yang terkenal “cogito ergo sum” yang artinya aku berfikir maka aku ada. Eksistensi manusia berawal ketika manusia menggunakan instrumen akalnya untuk berfikir. Rasionalisme menyakini bahwa untuk mencapai pengetahuan maka rasio memiliki peranan yang sangat urgen. Segala pengetahuan dapat diperoleh jika manusia mau menggunakan rasionalitasnya yang murni.  Namun aliran ini kemudian mendapatkan antitesisnya, yakni aliran filsafat empirisme.
Empirisme berpandangan bahwa pengalaman yang diterima oleh manusia merupakan instrumen paling awal untuk mencapai pengetahuan. Menurut John Locke yang merupakan tokoh utama aliran ini menganggap manusia dilahirkan seperti kertas putih, dimana kertas tersebut akan tertulis jika pengelaman mulai mengisi kehidupannya. Menurutnya akal manusia sebagai instrumen analisa saja, yang menjadi pintu utama lahirnya pengetahuan adalah pengalaman.
Kemudian pada abad modern ini terdapat salah satu aliran yang berusaha untuk menggabungkan kedua aliran filsafat (rasionalisme dan empirisme) tersebut yakni positivisme. Aliran ini didirikan oleh Aguste Comte, seorang sosiolog Prancis. Ia memandang bahwa majunya ilmu pengetahuan dan peradaban umat manusia berawal dari pemikiran positivistik. Hal-hal yang postif yakni yang ada secara faktual dan kemudian dianalisis oleh akal, itulah yang membawa manusia kepada peradaban yang tinggi. Selain itu aliran positivistme memandang ilmu yang berdasarkan pada akal dan empiris maka ilmu itulah yang disebut ilmiah.  Aliran ini akan berpengaruh kepada bangunan intelektual sesudahnya.
Pergolakan intelektual manusia pada abad modern ini menandakan bahwa paradigma falsafati mulai bergeser kepada antroposentris yakni manusia sebagai pusat pengetahuan. Tidak mengherankan jika pada abad modern muncul bermacam-macam aliran filsafat yang mendasarkan awal epistemologinya kepada rasio dan empiris. Sebagai salah satu contoh dari aliran filsafat pada abad modern yang bahkan hingga sekarang banyak digandrungi oleh kaum terpelajar kita ialah aliran filsafat eksistensialisme. Dimana aliran filsafat ini lebih mengutamakan manusia secara “ada” dan berkesadaran.
Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya “ex”, keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[1] Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Salah satu tokoh eksponen dari eksistensialisme adalah Jean Paul Sartre. Ia memandang bahwa manusia “dikutuk untuk bebas”. Ini artinya bahwa manusia mendapat beban yakni kebebasan. Kebebasaan disini bukanlah kebebasan yang mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab. Sehingga manusia sendirilah yang didalam pandangan Sartre sebagai pembuat tanggung jawab.
Manusia didalam pandangan eksistensialisme Sartre harus menjadi “ada untuk dirinya” atau being for self, artinya ialah manusia harus “ada” yang berkesadaran. Manusia dalam kehidupannya tidak akan pernah lepas dari manusia lain. Manusia sebagai makhluk sosial ini menghantraknya kepada lahirnya sebuah masyarakat. setiap masyarakat memiliki aturan dan pandangan ideologi yang berbeda-beda. Ini merupakan fitrah dari manusia sebagai makhluk yang bebas dan bertanggung jawab. Setiap ideologi merupakan hasil dari pergolakan manusia sebagai individu dalam sebuah masyarakat.
Pandangan eksistensialisme terhadap kebebasan manusia dalam berideologi cukup untuk dikaji, sehingga dapat ditarik dan dianalisa menjadi sebuah wacana yang hangat. Kebebasan eksistensi manusia dalam berpikir, bertindak, dan bertanggung jawab inilah yang kemudian berimplikasi kepada lahirnya ideologi dari sebuah komuinitas masyarakat. didalam makalah ini penulis berusaha untuk mengkaji dan menganalisa tentang ideologi sebagai eksistensi manusia dalam bermasyarakat. Tentunya pendekatan yang digunakan sebagai analisa adalah filsafat eksitensialisme Jean Paul Sartre.

A.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah bentuk filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre?
2.    Bagaimanakah sejarah dari ideologi?
3.    Bagaimanakah analisis filsafat eksistensialisme Jean Paul Sarte terhadap ideologi?
B.    Pemaparan Masalah
1.      Filsafat Eksitensialisme Jean Paul Satre
Pemikiran filsafat tidak lahir begitu saja, akan tetapi terdapat faktor sosial budaya yang mengitarinya. Ini juga berlaku pada filsafat eksistensialisme. Eksistensialisme berkembangan pada abad XX di Prancis dan Jerman, bukan akibat langsung dari suatu keadaan atau sebab tertentu, tetapi sebuah respons yang dialami secara mendalam atas runtuhnya berbagai bangunan didunia barat yang sebelumnya telah dianggap mapan. Meletusnya Perang Dunia I pada akhirnya menghancurkan keyakinan akan berlanjutnya kemajuan peradaban menuju kebenaran dan kebebasan, kedamaian dan kesejahteraan yang dimunculkan pada Abad Pertengahan dan bertahan sampai pecahnya perang ini.
Peristiwa itu berimplikasi kepada peradaban barat yang mulai goyah baik dari aspek politik, ekonomi (pertentangan komunisme dan kapitalisme), bahkan dimensi intelektual. Ilmu pengetahuan kehilangan kesan pastinya. Dan segala macam bagunan filsafat berguguran, ditambah lagi filsafat mendapat serangan dari para penganut empirisme dan memanasnya ilmu pengetahuan abad XX. Serta filsafat dipandang sebagai realitivitas sejarah, bahkan lebih buruk lagi, dianggap berfungsi sebagai ideologi untuk kepentingan kelompok khusus. [2]
Dengan melemahnya dan jatuhnya sedemikian banyak struktur kekuasaan pasca PD I seluruh struktur kehilangan legitimasinya, dan kekuasaannya atas individu jadi terasa sudah tidak lagi bisa ditolelir. Karena ditentang dan dianggap sudah tidak lagi memiliki legitimasi., kekuasaan eksternal pemerintahan, sistem ekonomi,dan dunia ilmu pengetahuan. Logikanya, para eksistensialis kembali kepada pada diri manusia sebagai pusat filsafat dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi.
Namun apa yang dimaksud dengan eksistensialisme tersebut. eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya “ex”, keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[3] Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Ahmad Tafsir mengatakan bahwa filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Ini merupakan salah satu dari ragam filsafat. Adapaun yang dimaksud dengan filsafat eksistensialisme, rumusannya lebih sulit daripada eksistensi. Sejak munculnya filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.[4]
Oleh karena masing-masing pemikir eksistensialis berbeda dalam menggunakan pendekatan dan sudut pandang tentang eksistensi manusia, maka di dalam aliran ini pun muncul beragam bentuk-bentuknya. Adapun untuk mengelompokkan bentuk-bentuk pemikiran eksistensialisme ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara. Ada yang meninjau dari sudut fungsinya, yakni penggunaan konsep-konsep eksistensialistik sebagai model suatu pemikiran. Dari sudut ini eksistensialisme dibedakan sebagai eksistensialisme metodis dan eksistensialisme ideologis.
Eksistensialisme metodis adalah bentuk pemikiran yang menggunakan konsep-konsep dasar eksistensialitas manusia, seperti: pengalaman personal, sejarah situasi individu, kebebasan, dan lain-lannya sebagai alat atau sarana untuk membahas tema-tema khusus dalam hidup dan kehidupan manusia.
Sedangkan eksistensialisme ideologis, sebaliknya adalah bentuk pemikiran eksistensialisme yang menempatkan kategori-kategori atau konsep-konsep dasar eksistensialitas manusia sebagai satu-satunya ukuran yang sahih dalam membahas setiap problema hidup dan kehidupan manusia pada umumnya. Dengan demikian sebagaimana tersirat dalam istilahnya sendiri, jenis eksistensialisme ini berusaha mengabsolutkan seluruh kategori-kategori eksistensi manusia sebagai satu-satunya kebenaran.[5]
Selayaknya untuk mengetahui lebih jauh filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre (kemudian yang disebut Sartre), ada baiknya terlebih dahulu untuk mengetahui latar belakang pemikirannya. Sartre merupakan eksponen utama eksistensialisme ateis. Ia dikenal sebagai novelis, kritikus, dan juga filosof. Namun dalam kehidupannya kemudian ia meninggalkan eksistensialisme dan kemudian lebih intens terhadap sosiologi Marxisme gayanya sendiri.[6] Dia dilahirkan di Paris, Perancis, pada tanggal 21 Juni 1905. Dan meninggal pada tanggal 15 April 1980, hari sabtu jam 19.00 GMT, (sabtu tanggal 16 April 1980 jam 02.00 WIB).[7]
Keluarga Sartre bukan termasuk kaya atau miskin, namun tergolong sedang sedang saja. Ayahnya seorang penganut agama Katolik, sedang ibunya penganut agama Protestan. Ayahnya meninggal dunia dikala sedang melaksanakan tugas negara sebagai seorang perwira Angkatan Laut di Indocina. Kakeknya seorang Profesor dalam bahasa-bahasa modern di Universitas Sorbone.
Sejak kecil Sartre terkenal sebagai bocah yang keadaan fisiknya sangat lemah, akan tetapi peka sekali perasaannya. Pada masa muda dia belajar pada Ecole Normale Superieuri tahun 1924-1928. Pada usia 21 tahun dia menempuh ujian sarjana lengkap dengan lulus predikat cukup. Pada tahun 1928 sesudah lulus dari sekolah tersebut, ia mencoba ujian untuk menjadi dewan pengajar. Akan tetapi ia belum beruntung, baru pada ujian berikutnya ia lulus.[8]
Pada tahun 1933-1935 dia menjadi seorang mahasiswa penyelidik di Institus Perancis, Berlin, dan di Universitas Freiburg. Pada saat di Jerman itulah dia bertemu dan belajar pada Husserl, ini merupakan nilai sejarah tersendiri bagi perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari. Melalui metode fenomenologi Husserl itulah dia betul-betul memantapkan kedudukannya sebagai seorang filosof yang mempunyai corak kekhasan tersendiri. Dengan metode fenomenologi dia mengembangkan filsafat eksistensi manusia.
Disamping seorang filosof, Sartre adalah sastrawan yang cukup terkenal dengan pandangannya yang khas. Keyakinannya tentang kebebasan membawa konsekwensi dalam hidupnya yang tidak menikmati; Sartre menentang apa yang dinamakan dengan “bourgeois mariage”, akan tetapi selama menjadi seorang mahasiswa ia menjalin hubungan intim dengan Simon de Beauvoir dan menjadi pendamping hidupnya. Pada tahun 1946, Sartre mengadakan suatu ceramah yang diberi judul “eksistensialisme dan humanisme”, kemudian ceramah tersebut dibukukan dan sangat terkenal.
Jean Paul Sartre, sebagai seorang filosof, tidak dapat dipisahkan dengan posisinya sebagai seorang sastrawan, karena sifat gandanya pada dirinya sudah demikian manunggal. Ini dapat dibuktikan dalam mengungkap filsafatnya sering ia menggunakan drama, roman, dan novel.
Sebagaimana yang berlaku dimana-mana, kehidupan seseorang, entah itu seniman atau filosof selalu erat sekali dengan latar belakang sosial budaya  yang mengitarinya. Demikian juga Sartre , tak lepas dari masalah tersebut, mengingat hidup Sartre pun tidak lepas dari dimensi ruang dan waktu, serta kesejarahannya. Dimana dia mendapatkan pengaruh dari filosof-filosof sebelumnya.
Meskipun sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang religius, akan tetapi kebalikannya justru ia anti agama dan Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak ateis, maka tak heran jika ia dari awal-awal sangat simpatik dengan Marx. Sehingga buku Sartre “Critique of Dialectical Reason”, secara eksplisit bertujuan mengkombinasi Marxisme dan eksistensialisme.[9] Kultur filsafat dan corak pemikiran Sartre tidak sepenuhnya dipengaruhi tradisi continental; Rasionalisme dan idealisme, yaitu dari Descartes sampai Kant, dan dari Hegel sampai fenomenologi Husserl serta Heidegger. Meskipun haruslah diakui bahwa mereka semuanya itu sangat penting nilainya bagi Sartre, namun kritik yang dilancarkannya pun tak kalah tajamya.
Sartre sebagai seorang pemikir yang besar, tidak sekaligus membangun filsafatnya, akan tetapi melalui tahap demi tahap sampai kedudukannya mantap sebagai  seorang filosof besar. Tahap-tahap tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:
Tahap pertama: tahap ini meliputi kandungan-kandungan fenomenologi yang dikaitkan dengan psikologi, yaitu melalui Heidegger dan Husserl. Kedua filosof tersebut banyak mempengaruhi pondasi pemikiran Sartre. Dengan melalui pendekatan fenomenologi itulah Sartre mengembangkan konstruk filosofisnya. Dari fenomenologi Husserl paling tidak Sartre melihat dua hal penting, pertama perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan kegiatan penyelidikan-penyelidikan filsafat. Kedua, petingnya filsafat untuk “kembali kepada realitasnya sendiri”. Sementara dari Heidegger, Sartre banyak belajar tentang keberadaan dari sudut pandang teori eksistensialisme yang intinya adalah bahwa manusia adalah makhluk yang bebas.[10]
Tahap kedua: muncul karya utamanya Being and Nothingness, dan berorientasi pada pandangannya ontologi yang cukup radikal. Dalam karyanya yang monumental ini jelas sekali meminjam pola pemikiran Heidegger. Sarte menggunakan dari analisa Hidegger tentang “Dasein”, dan memperkenalkan posisi kesadaran manusia. Meskipun dalam tahap ini pandangannya yang khas adalah ontologi, akan tetapi disamping pengaruh Heidegger, pengaruh Hegel juga tidak dapat diabaikan meski dia mengkritik Hegel juga. Khususnya karya Hegel yang berjudul The Phenomenology of Mind, diambil dan digunakan dengan detail dalam Being and Nothingness.
Tahap ketiga: berlainan dengan tahap pertama dan tahap kedua, pada tahap ini ada perubahan dalam pandangan Sartre, akan tetapi tidak begitu berarti dalam masalah kebebasan. Dia agak condong kepada Marxisme. Sarte meskipun mengritik dialektika Marx, dia mengakui bahwa: “Marxisme adalah filsafat yang mengerti zaman kini, tetapi Marxisme harus belajar kepada eksistensialisme, bahwa individu konkret itu lain dengan kolektivitas”. Serta memandang individu sebagai kebebasan. Sartre juga mengakui, bahwa pilihan seseorang toh dibatasi dengan kondisi sosialnya. Pada tahap ini ada pergesaran dalam pemikiran Sartre. Dari pergolakan intlektual itulah Sartre mengusung teori bahwa antara keasadaran (yang ia pelajari dari Husserl) dan kebebasan  (yang ia pelajari dari Heidegger) selalu mengalami ketegangan.
Itulah tahap-tahap corak pemikiran Sartre dalam mengembangkan filsafat eksistensialismenya. Dari berbagai tahap tersebut membuat konstruk filsafat eksistensialisme Sartre menjadi unik dan khas yang mana sering dituangkannya dalam bentuk sastra. Di dalam pembahasan ini, penulis berusaha untuk mengkrucutkan pembahasannya kepada kebebasan eksistensialis Sartre.
Di dalam Saint Genet, Sartre merumuskan seluruh usaha filsafatnya dalam kalimat pendek: “merekonsiliasi subjek dan objek.”. usaha ini barangkali didorong oleh pengelaman fundamental Sartre tentang kebebasan (diri sebagai “subjek”) dan tentang benda (“objek”). Kedua pengalaman ini, dalam pandangan Sartre merupakan simbol kondisi manusia yang (di satu pihak) mengalami dirinya sebagai makhluk bebas, akan tetapi (dipihak lain) dihadakan kepada kuasa atau daya tarik Benda.[11]
Memang di dalam filsafatnya, Sartre selalu mempersoalkan apakah manusia itu benar-benar ada atau tidak, dia melontarkan pertanyaan itu didalam konteks ketegangan dalam diri manusia yang tidak akan pernah terdamaikan yaitu ketegangan antara keasadaran dengan kebebasan. Kesadaran menentukan apakah seseorang dapat dikatakan ada tau tidak. Seseorang bisa saja dimaknai tidak ada ketika keberadaanya justru seperti tidak ada, seperti orang yang tidak sadar akan keberadanya.[12]
Di dalam eseisnya yang berjudul Republik Kebisuan (La Republique du Silence), pengalaman tentang kebebasan itu, secara paradoksal, dihubungkan dengan penindasan Nazi Jerman dan kesendirian menyeluruh manusia. Berkaitan dengan pengalaman tentang kebebasan adalah pengalaman tentang kesadaran sendiri. Dan pengalaman ini pu, seperti hal nya pengalaman tentang kebebasan sejak semula memperlihatkan pandangan Sartre yang muram. “Keberadaan kita,” demikian ia menulis, “pada dasarnya adalah keberadaan yang ‘terlempar’, tanpa kita sendiri mengehandakinya demikian.”
Demikian bahwa dalam pandangan Sartre, pengalaman tentang kebebasan, dan tentang kesadaran sendiri, bukanlah pengalaman yang mudah dan mengenakkan. Kebebasan ternyata penuh paradoksal dan sekaligus menyesakkan. Kebebasan dibebankan kepada kita oleh situasi yang tidak kita pilih, dan tanpa alternatif lain kita harus menerimanya begitu saja. Selain itu kebebasan itu bukanlah sesuatu yang mapan dan padat (masif), yang bisa kita andalkan sebagai sandaran yang kokoh untuk hidup kita. Sebaliknya, kebebasan itu amatlah rapuh dan selamanya berada dalam posisi yang rentan dan terancam.[13]
Aspek negatif kesadaran berhubungan erat dengan esensi kesadaran itu sendiri, yakni kebebasan. Karena seringkali Sartre menggunakann istilah “kebebasan”, yang seakan-akan sinonim dengan “keasadaran”, timbul kesan bahwa kesadaran identik dengan kebebasan.
Pendirian Sartre tentang kebebasan sangatlah ekstrim, dalam kajian fenomenologisnya tentang imajinasi, ia mencoba memebuktikan bahwa kesadaran imajiantif mengandaikan kapasitas manusia untuk menjauh dari kualitas dunia, sedemikian rupa sehingga kesadaran terbebas dari relasi-relasi kausal yang mengungkungnya. Akan tetapi ia menambahkan pula bahwa kapasitas itu tidak hanya dimiliki oleh imajinasi, karena setiap bentuk kesadaran lainya seperti, emosi, kognisi dan aksi memilikinya juga. “setiap bentuk kesadaran dalam menghubungkannya dengan dunia”, demikian Sartre menulis, “selalu ditandai oleh terputusnya relasi-relasi kausal. Bahkan untuk menjadi dirinya sendiri, kesadaran harus bebas terlebih dahulu dari kualitas tersebut.”
Lepas dari betapa ekstrimnya pandangan Sartre tentang kebebasan, kita melihat ada unsur positif dari pandangannya itu. Unsur positif itu berkaitan dengan pilihan dan penentuan bentuk dan makna eksistensi kita sendiri. Eksistensi kita, keberadaan kita yang sejati, tidak lain adalah produk dari perbuatan-perbuatan bebas kita sendiri. “Menjadi diri kita sendiri hanya mungkin kalau kita memilih sendiri dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita”. Kendati kebebasan pada prinsipnya “dibebankan” kepada manusia dalam suatu situasi yang sudah tertentu dan yang bukan merupakan pilihannya, tetapi manusia bebas untuk mengubah makna situasinya itu, yakni melalui perbuatan-perbuatan dan usaha-usaha yang dipilih dan ditentukan oleh dirinya sendiri. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia, tanpa situasi-situasi yang tidak dipilihnya sendiri.[14] Oleh karena itulah statemen yang terkenal dari Sartre adalah “manusia dikutuk untuk bebas”.
2.      Sejarah Ideologi
Secara etimologi (bahasa), ideologi berasal dari kata Idea yang berarti pikiran, dan Logos yang memiliki makna Ilmu. Jadi makna secara istilahnya, ideologi berarti studi tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, nilai-nilai, prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman-pengalaman, dan atau ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual.[15] Definisi lain menjelaskan bahwa ideologi merupakan ide atau sistem, dengan kata lain ide yang diperlakukan sebagai mitos kehidupan dan acapkali sering dipaksakan pada orang lain yang mungkin tidak menerima kebenarannya.[16] Filsuf Perancis, Antoine Destutt de Tracy yang pertama kali menciptakan istilah Ideologi pada tahun 1796, mendefinisikan ideologi sebagai Ilmu tentang pikiran manusia (sama seperti biologi dan zoologi yang merupakan ilmu tentang spesies) yang mampu menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan.[17] Tegasnya ideologi merupakan seperangkat nalar berfikir yang mempunyai visi terhadap perkembangan suatu peradaban.
Beberapa kalangan mendefinisikan istilah ideologi sebagai sebuah doktrin yang ingin mengubah dunia. Ada juga yang mengualifikasikan ideologi sebagai sesuatu yang visioner tapi, lebih banyak lagi mengualifikasikannya sebagai sesuatu yang bersifat hipotetis, tak terkatakan, dan tidak realistis, bahkan lebih dari itu, adalah sebuah penipuan kolektif oleh seseorang atau yang lain, yang mengarah pada pembenaran atau melegitimasi subordinasi satu kelompok oleh kelompok lain, dengan jalan manipulasi sehingga menyebabkan ketidaknyamanan yang berhubungan dengan kekerasan sistematik dan teror yang kemudian berujung pada imperialisme, perang, dan pembersihan etnis.
Di tangan de Tracy, pengertian ideologi bersifat netral, jauh dari makna yang telah dijelaskan di atas. De Tracy berpendapat bahwa kita tidak dapat mengetahui benda-benda dalam dirinya, akan tetapi hanya melalui ide-ide yang terbentuk berdasarkan sensasi kita terhadap benda-benda tersebut. Jika kita akan mengenalisa ide dan sensasi secara sistematis, kita harus memiliki latar belakang seluruh pengetahuan ilmiah yang kuat dan dapat menarik kesimpulan secara lebih praktis.[18] Nama yang diusulkan de Tracy bagi upaya yang pertama dan ambisius ini adalah ‘ideologi’, jelasnya ilmu tentang ide. Disini ditemukan bahwa kata ‘ideologi’ pada saat itu bermakna positif, berguna dan sesuatu yang benar-benar teliti dan tepat dalam konteks pengetahuan.
Namun pada era kontemporer saat ini pandangan buruk tentang Ideologi mulai menyebar. Kata ‘ideologi’ memang memiliki konotasi yang sedemikian buruk dalam kehidupan sehari-hari. Ia diasosiasikan dengan penipuan, mistifikasi, pembodohan, dan konflik politik. Namanya pun lekat dengan irasionalitas, emosional, dan fanatisme buta. Ideologi lekat dengan memori kekerasan dan konflik perang antara blok Barat yang dikomandani AS dan blok Timur di bawah kendali US yang semakin arogan.
Apalagi sejarah perang ideologi telah memakan korban jutaan manusia dalam perang dunia kedua, ditambah jutaan lainnya korban pemerintahan fasisme Nazi Jerman pimpinan Hitler. Usai perang dunia yang dimenangkan blok Barat dan kemenangan paham neoliberalisme dalam ekonomi perdagangan, lalu para pengamat pun buru-buru mengklaim bahwa abad ke-20 ini adalah masa berakhirnya ideologi-ideologi dunia—yang dikemudian hari asumsi-asumsi ini jauh dari kebenaran. Suatu masa yang penuh diwarnai dengan kekerasan, intrik, dan konflik politik.
Pandangan pejoratif[19] tentang konsep ideologi ini sebenarnya bisa ditelusuri dari sejarah dipergunakannya istilah ideologi sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Istilah ini adalah derivasi dari Ideologues yang muncul paska Revolusi Perancis.[20] Napoleon Bonaparte menggunakan istilah ideologi untuk menyerang lawan-lawan politiknya yang memiliki ide-ide yang tidak realistik berkaitan dengan kepentingan-kepentingan negara Perancis baru saat itu.
Menurut Althusser, ideologi tidak mencerminkan dunia real, melainkan merepresentasikan “hubungan-hubungan imaginer” individu-individu terhadap dunia real. Bagi Althusser ideologi merupakan ciri yang dibutuhkan masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan makna untuk membentuk anggotanya dan merubah kondisi eksistensialnya. Masyarakat manusia menyembunyikan ideologi sebagai elemen dan atmosfir yang sangat diperlukan bagi nafas dan kehidupan sejarah mereka.[21]
Menurutnya, agar ideologi diterima, diyakini dan dihayati oleh semua kelompok, maka ia harus dimaterialkan. Ideologi hidup dalam praktek-praktek kelompok kecil, dalam citraan, dan obyek yang digunakan dan ditunjuk masyarakat, dan dalam organisasi-organisasi. Misalnya, pada sekolah-sekolah, rumah tangga, organisasi perdagangan, media massa, olahraga, pengadilan, partai politik, universitas dan seterusnya. Ideologi, menurut Althusser, eksis dalam dan melalui lembaga-lembaga ini. Aparatus adalah eksistensi material ideologi.[22] Tentunya agar ideologi mampu hidup, tentu disitu terdapat sebuah fungsi. Berikut adalah fungsi dari ideologi.
·         Fungsi Ideologi
Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungkan masyarakat satu sama lain, dengan suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri. Ideologi memberikan identitas tertentu.[23] Misalnya, jika seorang individu mengimani Tuhan kemudian pergi sembahyang secara teratur, mengakui dosa-dosanya dan seterusnya; keyakinan itu lalu direalisasikan dalam praktek-praktek tertentu yang diatur oleh ritual-ritual dengan menyediakan upacara-upacara yang melibatkan gerak dan sikap tubuhnya sebagai ekspresi kekuasaan yang saling terkait serta berhubungan dengan aparatus ideologis.
Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa suatu gagasan memuat sekaligus tindakan, sentimen, dan gesturenya. Gagasan-gagasan itu hidup dalam tindakan-tindakan. Tindakan ini lalu menjadi praktik sehari-hari yang dikendalikan oleh ritual yang dia lakukan. Tiga hal ini (gagasan, praktek dan ritual) merupakan aspek material dari aparatus ideologis. Dalam aparatus itu ideologi bekerja, memproduksi subyektifitas, dan menegaskan identitas tentang siapa kita sesungguhnya.
Semakin jelas sekarang, gagasan-gagasan Althusser di atas memberi saham besar bagi pemikiran baru tentang konsep ideologi. Ideologi tidak lagi dilihat sebagai salah atau benar, tapi justru memberikan kerangka dasar fundamental bagi individu dalam menafsirkan pengalaman dan ‘hidup’ sesuai dengan kondisi mereka. Kerangka dasar ini tidak hanya bersifat mental, tapi eksis sebagai praktis hidup kelompok sehari-hari. Dengan menganggap ideologi sebagai praktek-praktek material atau praktek budaya, maka kita bisa mengatakan bahwa sesungguhnya ideologi itu hidup bergerak dan karena itu pula manusia sendiri selalu hidup dalam suatu ideologi, di dalam representasi tertentu dari dunianya.
Dalam praktek-praktek kebiasaan-kebiasaan sehari-hari inilah ideologi sesungguhnya direproduksi. Yakni, melalui aparatus-aparatus ideologis sebagaimana ditegaskan oleh Althusser. Jika demikian, praktis ideologi memasuki seluruh ruang dalam kehidupan sehari-hari kita secara nir-sadar. Ideologi menjadi bagian organik dari seluruh totalitas sosial dan dalam aktifitas keseharian.[24] Karena unit-unit sosial merupakan bentukan ideologis, produk dari formasi diskursif kekuasaan (menurut Foucault) atau efek-efek dari apparatus ideologis yang beragam (dalam bahasa Althusser), maka untuk memahami totalitas sosial dan budaya ini membutuhkan “eksegesis” sebagaimana teks-teks sejarah dan sastra.
Pandangan bahwa ideologi merupakan fenomena keseharian ini tidak lantas berarti cengkeraman ideologi sudah lemah, atau mungkin dianggap telah berakhir. Justru ideologi dan kekuasaan telah mencengkeram seluruh tatanan sosial secara lebih luas dan kompleks ketimbang apa yang selama ini dibayangkan. Masyarakat pada saat ini memiliki ideologi yang dianut dan disepakati oleh induvidu yang merupakan bagian dari anggota masyarakat.
C.    Analisis Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sarte Terhadap Ideologi
Filsafat eksistensialisme dari Sartre berkutat kepada kesadaran dan kebebasan. Bahkan di dalam statemennya yang terkenal adalah bahwa “manusia dikutuk untuk bebas”. Oleh karena itu prasyarat yang terpenting dalam upaya eksistensinya adalah harus menolak seluruh kekuasaan atau kekuatan yang merampas kebebasannya. Dengan kebebasan inilah manusia justru membuat sejarah hidupnya sehat dan bertanggung jawab terhadap setiap pilihan-pilihan yang telah ditentukan berdasarkan kebebasannya.
Sebagaiamana yang telah disinggung sebelumnya bahwa eksistensialisme Sartre selalu mempermaslahkan antara kebebasan dengan kesadaran. Di dalam pandangannya bahwa kedua hal tersebut yakni kebebasan dan kesadaran selalu mengalami pertentangan sehingga bentuk bangunan filsafat eksistensialisme Sartre yakni berusaha untuk “merekonsiliasi subjek dan objek”. Subjek haruslah bertindak secara bebas namun tetap bertanggung jawab.
Di dalam pandangan Sartre, manusia bebas untuk memilih dalam hidupnya akan tetapi manusia sendiri sejak awal telah “terlempar” menuju kehidupan yang tidak kuasa manusia memilihnya. Sebagai contoh manusia tidak bisa menentukan apakah dia lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Inilah yang kemudian, kebebasan di “bebankan” kepada manusia. Oleh karena itu manusia bebas berfikir, bertindak dan berperilaku, akan tetapi ia harus tetap sadar bahwa kebebasaannya itu tidak akan bisa lepas dari situasi-situasi kausal. Pikiran inilah yang mengganjal Sartre sehingga ia merumuskan sebuah filsafat yang berlandaskan kepada kebebasan.
Namun aspek negatif kesadaran berhubungan erat dengan esensi kesadaran itu sendiri, yakni kebebasan. Karena seringkali Sartre menggunakann istilah “kebebasan”, yang seakan-akan sinonim dengan “keasadaran”, timbul kesan bahwa kesadaran identik dengan kebebasan.
Pendirian Sartre tentang kebebasan sangatlah ekstrim, dalam kajian fenomenologisnya tentang imajinasi, ia mencoba membuktikan bahwa kesadaran imajiantif mengandaikan kapasitas manusia untuk menjauh dari kualitas dunia, sedemikian rupa sehingga kesadaran terbebas dari relasi-relasi kausal yang mengungkungnya. Akan tetapi ia menambahkan pula bahwa kapasitas itu tidak hanya dimiliki oleh imajinasi, karena setiap bentuk kesadaran lainya seperti, emosi, kognisi dan aksi memilikinya juga. “setiap bentuk kesadaran dalam menghubungkannya dengan dunia”, demikian Sartre menulis, “selalu ditandai oleh terputusnya relasi-relasi kausal. Bahkan untuk menjadi dirinya sendiri, kesadaran harus bebas terlebih dahulu dari kualitas tersebut.”
Manusia dalam pandangan Sartre sangatlah bebas, bahkan bisa dikatakan sangatlah bebas. Ia bebas untuk meng”ada”kan diri dengan berpikir, bertindak, maupun berperilaku. Manusia pada dasarnya adalah sebagai makhluk sosial, artinya ialah bahwa manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan akan eksistensi oranglain. Oleh karena itulah kemudian manusia bermasyarakat guna memenuhi eksistensinya. Masyarakat adalah sarana untuk mencapai tujuan secara kolektif. Maka di dalam masyarakat perlu adanya sebuah visi bersama yang mampu mengakomodir segala aspirasi anggotanya. Dari kesemuanya itu, maka kemudian masyarakat membentuk ideologi bersama.
 Secara etimologi (bahasa), ideologi berasal dari kata Idea yang berarti pikiran, dan Logos yang memiliki makna Ilmu. Jadi makna secara istilahnya, ideologi berarti studi tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, nilai-nilai, prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman-pengalaman, dan atau ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual.[25]
Setiap masyarakat memiliki ideologi yang bermacam-macam. Sebagai contoh masyarakat Indonesia, dimana ideologi yang dipakai adalah Pancasila. Hal ini berbeda dengan Ideologi dari masyarakat Rusia, ideologi yang meraka pakai adalah komunsime. Masing-masing ideologi mengakomodir dari aspirasi masyarakatnya secara kolektif. Ideologi merupakan karakteristik dari suatu sistem masyarakat.
Tentunya dari pengertian ideologi kita mengetahui bahwa ideologi merupakan kesamaan visi individu dalam suatu masyarakat sehingga diperoleh sebuah kesepakatan. Kebebasan manusia dalam berpikir sebagaimana di dalam filsafat eksistensialisme, maka melahirkan bermacam-macam bentuk pemikiran. Atau dengan kata lain ideologi merupakan hasil produk kebebasan manusia dalam berpikir. Masing-masing manusia yang memiliki visi ideologi yang sama maka akan berkumpul secara kolektif sehingga menghasilkan sebuah ideologi bersama.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa kebebasaan manusia bagaimanapun juga mau tidak mau selalu dibatasi oleh situasi-situasi disekitarnya. Situasi-situasi kausal itulah yang kemudia membuat manusia bebas untuk memilih jalan (pikirannya) kehidupannya. Begitu juga dengan ideologi yang ada didalam masyarakat. setiap ideologi antar masyarakat selalu berbeda, ini dikarenakan masyarakat tersebut mengalami dinamika situasi-situasi yang berbeda.
Problem yang dialami seseorang membuat orang tersebut akan berpikir secara bebas untuk menyelesaikannya. Permasalahan yang terjadi di suatu daerah akan berbeda dengan didaerah lain, oleh karena masing-masing bentuk pemikiran manusia yang satu dengan yang lain akan berbeda pula. Hal ini akan berimplikasi kepada perbedaan ideologi yang dianut oleh suatu masyarakat.
Kebebasan dalam kehidupan yang dianut oleh aliran eksistensialesme terutama dalam arus pemikiran Sartre, membawa manusia untuk bebabas berideologi guna mencapai visinya. Ideologi meminjam istilah tidak mencerminkan dunia real, melainkan merepresentasikan “hubungan-hubungan imaginer” individu-individu terhadap dunia real. Bagi Althusser ideologi merupakan ciri yang dibutuhkan masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan makna untuk membentuk anggotanya dan merubah kondisi eksistensialnya. Masyarakat manusia menyembunyikan ideologi sebagai elemen dan atmosfir yang sangat diperlukan bagi nafas dan kehidupan sejarah mereka.[26]
D.    Kesimpulan
Pemikiran kebebasan dalam filsafat eksistensialisme Sartre membawa dampak kepada kebebasan manusia dalam berpikir. Implikasi jauhnya ialah bahwa manusia akan bebas untuk berideologi sesuai dengan visi suatu masyarakat. ideologi yang dianut dalam suatu masyarakat merupakan sebuah hasil pemikiran kolektif yang kemudian disepakati bersama. Dengan kondisi-kondisi kausalnya, membuat manusia tidak dapat “keluar” dari keadaan tersebut akan tetapi manusia memiliki kebebasan untuk menghadapinya.
Jargon yang dibawa oleh Sartre yakni “manusia dikutuk untuk bebas” sebenarnya manusia diberi “beban” untuk menghadapi situasi-situasi yang terjadi pada dirinya. Kebebasan dengan penuh kesadaran dimana seharusnya bagi Sartre, manusia sendiri harus membebaskan kesadararannya untuk mengawalai eksistensinya sebagai manusia. Ideologi bukan bersifat pasif, namun aktif seiring dengan dinamika kebebasan manusia sebagai makhluk yang penuh kesadaran.


[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006), 218.
[2] T.Z. Lavine, From Socrates to Sartre: the Philosophic Quest, trj: Andi Iswanto, (Yogyakarta: Jendela, 2002), 314.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006),218.
[4] Ibid, 218-219.
[5] Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 103.
[6] DianeCollinson, Fifty Major Philosophers, trj: Mufti Ali, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 232.
[7] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), 71.
[8] Fuad Hasan, Berkenalan Dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1974, 101.
[9] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), 78.
[10] Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf Wacana Manusia Spiritual Dan Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 2014), 193.
[11] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, (Bandung: PT Ramaja Rosdakarya, 2006), 186-187.
[12] Jean Paul Sartre, Existentialism And Human Emotions, (New York: Open Road, 2012), 10. Lihat juga Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf, (Jakarta: LP3ES, 2014), 193.
[13] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, (Bandung: PT Ramaja Rosdakarya, 2006), 187.
[14] Ibid., 200-201.
[15] John B. Thompson, Analisis Ideology; Kritik Wacana Ideology-Ideologi Dunia, terj. Haqqul Yakqin (yogyakarta, IRCISOD, 2007), hlm. 17
[16] Ibid,. 17-18
[17] Ibid., 49
[18] Ibid., hlm 52
[19] David Mc Lelland, Ideologi; Tanpa Akhir, terj. Muhammad Syukri (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005), 1
[20] John B. Thompson, Analisis Ideology; Kritik Wacana Ideology-Ideologi Dunia, terj. Haqqul Yakqin (yogyakarta, IRCISOD, 2007), 13
[21] Lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi, Penerbit IRCISOD, Yogyakarta; lihat juga John Storey, Teori Budaya dan Budaya Pop (terj.), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003, 160-172.
[22] Louis Althusser, Tentang Ideologi; Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, Terj. Olsy Vinoli Arnof, (Yogyakarta, Jalasutra, 1984), 22-24
[23] Mansour Fakih, Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2002),142-143.
[24] Amrih Widodo dalam penelitian antropologinya terhadap pertunjukan Tayub di daerah Blora Jawa Tengah menunjukan bahwa Tayub yang pada awalnya sebagai pertunjukan rakyat atau bagian dari ritual sunatan, bersih deso, dan perkawinan mulai berubah selama periode 1987-1991. Pemerintah memasukkan ideologinya (kepentingan industri pariwisata dan simbol kedaerahan) dengan ‘meningkatkan statusnya’ menjadi Seni Tayub. Diantaranya dengan melakukan pembinaan dan program penataran untuk merubah struktur dan keaslian Tayub. Lihat Amrih Widodo, The Stage of the State, Art of the People and Rites of Hegemonization. Paper ini dipresentasikan pada seminar bertajuk “Basis-basis Material Kebudayaan” yang diselenggarakan oleh Yayasan SPES dan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991.
[25]  John B. Thompson, Analisis Ideology; Kritik Wacana Ideology-Ideologi Dunia, terj. Haqqul Yakqin (yogyakarta, IRCISOD, 2007), 17.
[26] Ibid,.160-172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate