A.
Pendahuluan
Telah
diketahui bersama bahwa didalam filsafat modern kedudukan akal atau rasio
berperan sangat penting dalam kehidupan. Abad modern ini ditandai oleh semangat
kebebasan berpikir atau bahkan manusia mulai berani untuk berpikir mandiri.
Mengingat pada abad sebelumnya yakni pada abad pertengahan dimana peranan akal
berada didalam kungkungan agama (gereja), sehingga otoritas gereja saat itu
sangat dominan dalam setiap lini kehidupan. Bahkan jika ada salah satu temuan
dari para ilmuwan yang bertentangan dengan teologi gereja maka pihak gereja
berhak untuk menindak ilmuwan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku
(kristen)
Teologi
pada abad pertengahan sangatlah dominan sekali, bahkan dapat diistilahkan
kedudukan akal berada dibawah wahyu (kristen). Akal hanya sebagai pelayan dari
para patristik atau yang lebih
dikenal sebagai bapak gereja. Seringkali para filosof dan ilmuwan sering diberi
cap “kafir” oleh pihak geraja. Hal ini akibat dari para filosof dan ilmuwan
yang dalam pemikiran maupun pemikiran tidak sejalan dengan doktrin gereja.
Selain di cap “kafir” oleh gereja, maka para filosof maupun ilmuwan tersebut
juga diberi hukuman mati. Tidak sedikit para ilmuwan yang mati akibat
pemikirannya yang bertentangan dengan pihak gereja.
Oleh
karena latar belakang seperti itulah maka pada abad modern ini para pemikir
mulai melakukan pendobrakan atau revolusi intlektual guna menghidupkan lagi
filsafat Yunani yang berpijak pada rasio dan empiris. Revolusi intelektual yang
terjadi di dunia Barat adalah munculnya aliran filsafat rasionalisme. Aliran
ini merupakan reaksi dari abad pertengahan yang hanya memprioritaskan teologi
atau wahyu diatas akal.
Rasionalisme
merupakan aliran filsafat yang menempatkan akal diatas segalanya. Rene
Descartes yang merupakan eksponen dari aliran ini menyakatan dengan jargonya
yang terkenal “cogito ergo sum” yang
artinya aku berfikir maka aku ada. Eksistensi manusia berawal ketika manusia
menggunakan instrumen akalnya untuk berfikir. Rasionalisme menyakini bahwa
untuk mencapai pengetahuan maka rasio memiliki peranan yang sangat urgen.
Segala pengetahuan dapat diperoleh jika manusia mau menggunakan rasionalitasnya
yang murni. Namun aliran ini kemudian
mendapatkan antitesisnya, yakni aliran filsafat empirisme.
Empirisme
berpandangan bahwa pengalaman yang diterima oleh manusia merupakan instrumen
paling awal untuk mencapai pengetahuan. Menurut John Locke yang merupakan tokoh
utama aliran ini menganggap manusia dilahirkan seperti kertas putih, dimana
kertas tersebut akan tertulis jika pengelaman mulai mengisi kehidupannya.
Menurutnya akal manusia sebagai instrumen analisa saja, yang menjadi pintu
utama lahirnya pengetahuan adalah pengalaman.
Kemudian
pada abad modern ini terdapat salah satu aliran yang berusaha untuk
menggabungkan kedua aliran filsafat (rasionalisme dan empirisme) tersebut yakni
positivisme. Aliran ini didirikan oleh Aguste Comte, seorang sosiolog Prancis.
Ia memandang bahwa majunya ilmu pengetahuan dan peradaban umat manusia berawal
dari pemikiran positivistik. Hal-hal yang postif yakni yang ada secara faktual
dan kemudian dianalisis oleh akal, itulah yang membawa manusia kepada peradaban
yang tinggi. Selain itu aliran positivistme memandang ilmu yang berdasarkan
pada akal dan empiris maka ilmu itulah yang disebut ilmiah. Aliran ini akan berpengaruh kepada bangunan
intelektual sesudahnya.
Pergolakan
intelektual manusia pada abad modern ini menandakan bahwa paradigma falsafati
mulai bergeser kepada antroposentris yakni manusia sebagai pusat pengetahuan.
Tidak mengherankan jika pada abad modern muncul bermacam-macam aliran filsafat
yang mendasarkan awal epistemologinya kepada rasio dan empiris. Sebagai salah
satu contoh dari aliran filsafat pada abad modern yang bahkan hingga sekarang
banyak digandrungi oleh kaum terpelajar kita ialah aliran filsafat
eksistensialisme. Dimana aliran filsafat ini lebih mengutamakan manusia secara
“ada” dan berkesadaran.
Eksistensialisme berasal dari kata
“eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist”
adalah bahasa latin yang artinya “ex”,
keluar dan “sistare” artinya berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[1]
Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis
tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka,
yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Salah satu tokoh eksponen dari
eksistensialisme adalah Jean Paul Sartre. Ia memandang bahwa manusia “dikutuk
untuk bebas”. Ini artinya bahwa manusia mendapat beban yakni kebebasan.
Kebebasaan disini bukanlah kebebasan yang mutlak, akan tetapi kebebasan yang
bertanggung jawab. Sehingga manusia sendirilah yang didalam pandangan Sartre
sebagai pembuat tanggung jawab.
Manusia didalam pandangan
eksistensialisme Sartre harus menjadi “ada untuk dirinya” atau being for self, artinya ialah manusia
harus “ada” yang berkesadaran. Manusia dalam kehidupannya tidak akan pernah
lepas dari manusia lain. Manusia sebagai makhluk sosial ini menghantraknya
kepada lahirnya sebuah masyarakat. setiap masyarakat memiliki aturan dan
pandangan ideologi yang berbeda-beda. Ini merupakan fitrah dari manusia sebagai
makhluk yang bebas dan bertanggung jawab. Setiap ideologi merupakan hasil dari
pergolakan manusia sebagai individu dalam sebuah masyarakat.
Pandangan
eksistensialisme terhadap kebebasan manusia dalam berideologi cukup untuk
dikaji, sehingga dapat ditarik dan dianalisa menjadi sebuah wacana yang hangat.
Kebebasan eksistensi manusia dalam berpikir, bertindak, dan bertanggung jawab
inilah yang kemudian berimplikasi kepada lahirnya ideologi dari sebuah
komuinitas masyarakat. didalam makalah ini penulis berusaha untuk mengkaji dan
menganalisa tentang ideologi sebagai eksistensi manusia dalam bermasyarakat. Tentunya
pendekatan yang digunakan sebagai analisa adalah filsafat eksitensialisme Jean
Paul Sartre.
A.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
bentuk filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre?
2. Bagaimanakah
sejarah dari ideologi?
3.
Bagaimanakah analisis filsafat
eksistensialisme Jean Paul Sarte terhadap ideologi?
B.
Pemaparan
Masalah
1. Filsafat
Eksitensialisme Jean Paul Satre
Pemikiran filsafat tidak lahir
begitu saja, akan tetapi terdapat faktor sosial budaya yang mengitarinya. Ini
juga berlaku pada filsafat eksistensialisme. Eksistensialisme berkembangan pada
abad XX di Prancis dan Jerman, bukan akibat langsung dari suatu keadaan atau
sebab tertentu, tetapi sebuah respons yang dialami secara mendalam atas
runtuhnya berbagai bangunan didunia barat yang sebelumnya telah dianggap mapan.
Meletusnya Perang Dunia I pada akhirnya menghancurkan keyakinan akan
berlanjutnya kemajuan peradaban menuju kebenaran dan kebebasan, kedamaian dan
kesejahteraan yang dimunculkan pada Abad Pertengahan dan bertahan sampai
pecahnya perang ini.
Peristiwa itu berimplikasi kepada
peradaban barat yang mulai goyah baik dari aspek politik, ekonomi (pertentangan
komunisme dan kapitalisme), bahkan dimensi intelektual. Ilmu pengetahuan
kehilangan kesan pastinya. Dan segala macam bagunan filsafat berguguran,
ditambah lagi filsafat mendapat serangan dari para penganut empirisme dan
memanasnya ilmu pengetahuan abad XX. Serta filsafat dipandang sebagai
realitivitas sejarah, bahkan lebih buruk lagi, dianggap berfungsi sebagai
ideologi untuk kepentingan kelompok khusus. [2]
Dengan melemahnya dan jatuhnya
sedemikian banyak struktur kekuasaan pasca PD I seluruh struktur kehilangan
legitimasinya, dan kekuasaannya atas individu jadi terasa sudah tidak lagi bisa
ditolelir. Karena ditentang dan dianggap sudah tidak lagi memiliki legitimasi.,
kekuasaan eksternal pemerintahan, sistem ekonomi,dan dunia ilmu pengetahuan.
Logikanya, para eksistensialis kembali kepada pada diri manusia sebagai pusat
filsafat dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi.
Namun apa yang dimaksud dengan
eksistensialisme tersebut. eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist”
adalah bahasa latin yang artinya “ex”,
keluar dan “sistare” artinya berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[3]
Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis
tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka,
yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Ahmad Tafsir mengatakan bahwa filsafat
eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang dimaksud
dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu
filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Ini
merupakan salah satu dari ragam filsafat. Adapaun yang dimaksud dengan filsafat
eksistensialisme, rumusannya lebih sulit daripada eksistensi. Sejak munculnya
filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan
filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal
menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.[4]
Oleh
karena masing-masing pemikir eksistensialis berbeda dalam menggunakan
pendekatan dan sudut pandang tentang eksistensi manusia, maka di dalam aliran
ini pun muncul beragam bentuk-bentuknya. Adapun untuk mengelompokkan
bentuk-bentuk pemikiran eksistensialisme ini dapat dilakukan dengan
bermacam-macam cara. Ada yang meninjau dari sudut fungsinya, yakni penggunaan
konsep-konsep eksistensialistik sebagai model suatu pemikiran. Dari sudut ini
eksistensialisme dibedakan sebagai eksistensialisme metodis dan
eksistensialisme ideologis.
Eksistensialisme
metodis adalah bentuk pemikiran yang menggunakan konsep-konsep dasar
eksistensialitas manusia, seperti: pengalaman personal, sejarah situasi
individu, kebebasan, dan lain-lannya sebagai alat atau sarana untuk membahas
tema-tema khusus dalam hidup dan kehidupan manusia.
Sedangkan
eksistensialisme ideologis, sebaliknya adalah bentuk pemikiran eksistensialisme
yang menempatkan kategori-kategori atau konsep-konsep dasar eksistensialitas
manusia sebagai satu-satunya ukuran yang sahih dalam membahas setiap problema
hidup dan kehidupan manusia pada umumnya. Dengan demikian sebagaimana tersirat
dalam istilahnya sendiri, jenis eksistensialisme ini berusaha mengabsolutkan
seluruh kategori-kategori eksistensi manusia sebagai satu-satunya kebenaran.[5]
Selayaknya untuk mengetahui lebih
jauh filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre (kemudian yang disebut Sartre),
ada baiknya terlebih dahulu untuk mengetahui latar belakang pemikirannya.
Sartre merupakan eksponen utama eksistensialisme ateis. Ia dikenal sebagai
novelis, kritikus, dan juga filosof. Namun dalam kehidupannya kemudian ia
meninggalkan eksistensialisme dan kemudian lebih intens terhadap sosiologi
Marxisme gayanya sendiri.[6]
Dia dilahirkan di Paris, Perancis, pada tanggal 21 Juni 1905. Dan meninggal
pada tanggal 15 April 1980, hari sabtu jam 19.00 GMT, (sabtu tanggal 16 April
1980 jam 02.00 WIB).[7]
Keluarga
Sartre bukan termasuk kaya atau miskin, namun tergolong sedang sedang saja.
Ayahnya seorang penganut agama Katolik, sedang ibunya penganut agama Protestan.
Ayahnya meninggal dunia dikala sedang melaksanakan tugas negara sebagai seorang
perwira Angkatan Laut di Indocina. Kakeknya seorang Profesor dalam
bahasa-bahasa modern di Universitas Sorbone.
Sejak
kecil Sartre terkenal sebagai bocah yang keadaan fisiknya sangat lemah, akan
tetapi peka sekali perasaannya. Pada masa muda dia belajar pada Ecole Normale Superieuri tahun 1924-1928.
Pada usia 21 tahun dia menempuh ujian sarjana lengkap dengan lulus predikat
cukup. Pada tahun 1928 sesudah lulus dari sekolah tersebut, ia mencoba ujian
untuk menjadi dewan pengajar. Akan tetapi ia belum beruntung, baru pada ujian
berikutnya ia lulus.[8]
Pada
tahun 1933-1935 dia menjadi seorang mahasiswa penyelidik di Institus Perancis,
Berlin, dan di Universitas Freiburg. Pada saat di Jerman itulah dia bertemu dan
belajar pada Husserl, ini merupakan nilai sejarah tersendiri bagi perkembangan
pemikiran Sartre di kemudian hari. Melalui metode fenomenologi Husserl itulah
dia betul-betul memantapkan kedudukannya sebagai seorang filosof yang mempunyai
corak kekhasan tersendiri. Dengan metode fenomenologi dia mengembangkan
filsafat eksistensi manusia.
Disamping
seorang filosof, Sartre adalah sastrawan yang cukup terkenal dengan
pandangannya yang khas. Keyakinannya tentang kebebasan membawa konsekwensi
dalam hidupnya yang tidak menikmati; Sartre menentang apa yang dinamakan dengan
“bourgeois mariage”, akan tetapi
selama menjadi seorang mahasiswa ia menjalin hubungan intim dengan Simon de
Beauvoir dan menjadi pendamping hidupnya. Pada tahun 1946, Sartre mengadakan
suatu ceramah yang diberi judul “eksistensialisme dan humanisme”, kemudian
ceramah tersebut dibukukan dan sangat terkenal.
Jean
Paul Sartre, sebagai seorang filosof, tidak dapat dipisahkan dengan posisinya
sebagai seorang sastrawan, karena sifat gandanya pada dirinya sudah demikian
manunggal. Ini dapat dibuktikan dalam mengungkap filsafatnya sering ia
menggunakan drama, roman, dan novel.
Sebagaimana
yang berlaku dimana-mana, kehidupan seseorang, entah itu seniman atau filosof
selalu erat sekali dengan latar belakang sosial budaya yang mengitarinya. Demikian juga Sartre , tak
lepas dari masalah tersebut, mengingat hidup Sartre pun tidak lepas dari
dimensi ruang dan waktu, serta kesejarahannya. Dimana dia mendapatkan pengaruh
dari filosof-filosof sebelumnya.
Meskipun
sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang religius, akan tetapi kebalikannya
justru ia anti agama dan Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak
ateis, maka tak heran jika ia dari awal-awal sangat simpatik dengan Marx.
Sehingga buku Sartre “Critique of
Dialectical Reason”, secara eksplisit bertujuan mengkombinasi Marxisme dan
eksistensialisme.[9]
Kultur filsafat dan corak pemikiran Sartre tidak sepenuhnya dipengaruhi tradisi
continental; Rasionalisme dan idealisme, yaitu dari Descartes sampai Kant, dan
dari Hegel sampai fenomenologi Husserl serta Heidegger. Meskipun haruslah diakui
bahwa mereka semuanya itu sangat penting nilainya bagi Sartre, namun kritik
yang dilancarkannya pun tak kalah tajamya.
Sartre
sebagai seorang pemikir yang besar, tidak sekaligus membangun filsafatnya, akan
tetapi melalui tahap demi tahap sampai kedudukannya mantap sebagai seorang filosof besar. Tahap-tahap tersebut
dapat disebutkan sebagai berikut:
Tahap pertama:
tahap ini meliputi kandungan-kandungan fenomenologi yang dikaitkan dengan
psikologi, yaitu melalui Heidegger dan Husserl. Kedua filosof tersebut banyak
mempengaruhi pondasi pemikiran Sartre. Dengan melalui pendekatan fenomenologi
itulah Sartre mengembangkan konstruk filosofisnya. Dari fenomenologi Husserl
paling tidak Sartre melihat dua hal penting, pertama perlunya menempatkan
kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan kegiatan penyelidikan-penyelidikan
filsafat. Kedua, petingnya filsafat untuk “kembali kepada realitasnya sendiri”.
Sementara dari Heidegger, Sartre banyak belajar tentang keberadaan dari sudut
pandang teori eksistensialisme yang intinya adalah bahwa manusia adalah makhluk
yang bebas.[10]
Tahap kedua:
muncul karya utamanya Being and
Nothingness, dan berorientasi pada pandangannya ontologi yang cukup
radikal. Dalam karyanya yang monumental ini jelas sekali meminjam pola
pemikiran Heidegger. Sarte menggunakan dari analisa Hidegger tentang “Dasein”, dan memperkenalkan posisi
kesadaran manusia. Meskipun dalam tahap ini pandangannya yang khas adalah
ontologi, akan tetapi disamping pengaruh Heidegger, pengaruh Hegel juga tidak
dapat diabaikan meski dia mengkritik Hegel juga. Khususnya karya Hegel yang
berjudul The Phenomenology of Mind, diambil
dan digunakan dengan detail dalam Being
and Nothingness.
Tahap ketiga: berlainan
dengan tahap pertama dan tahap kedua, pada tahap ini ada perubahan dalam
pandangan Sartre, akan tetapi tidak begitu berarti dalam masalah kebebasan. Dia
agak condong kepada Marxisme. Sarte meskipun mengritik dialektika Marx, dia
mengakui bahwa: “Marxisme adalah filsafat yang mengerti zaman kini, tetapi
Marxisme harus belajar kepada eksistensialisme, bahwa individu konkret itu lain
dengan kolektivitas”. Serta memandang individu sebagai kebebasan. Sartre juga
mengakui, bahwa pilihan seseorang toh dibatasi dengan kondisi sosialnya. Pada
tahap ini ada pergesaran dalam pemikiran Sartre. Dari pergolakan intlektual itulah Sartre mengusung teori bahwa
antara keasadaran (yang ia pelajari dari Husserl) dan kebebasan (yang ia pelajari dari Heidegger) selalu
mengalami ketegangan.
Itulah tahap-tahap corak pemikiran
Sartre dalam mengembangkan filsafat eksistensialismenya. Dari berbagai tahap
tersebut membuat konstruk filsafat eksistensialisme Sartre menjadi unik dan
khas yang mana sering dituangkannya dalam bentuk sastra. Di dalam pembahasan
ini, penulis berusaha untuk mengkrucutkan pembahasannya kepada kebebasan
eksistensialis Sartre.
Di dalam Saint Genet, Sartre merumuskan seluruh usaha filsafatnya dalam
kalimat pendek: “merekonsiliasi subjek dan objek.”. usaha ini barangkali
didorong oleh pengelaman fundamental Sartre tentang kebebasan (diri sebagai
“subjek”) dan tentang benda (“objek”). Kedua pengalaman ini, dalam pandangan
Sartre merupakan simbol kondisi manusia yang (di satu pihak) mengalami dirinya
sebagai makhluk bebas, akan tetapi (dipihak lain) dihadakan kepada kuasa atau daya
tarik Benda.[11]
Memang di dalam filsafatnya, Sartre
selalu mempersoalkan apakah manusia itu benar-benar ada atau tidak, dia
melontarkan pertanyaan itu didalam konteks ketegangan dalam diri manusia yang
tidak akan pernah terdamaikan yaitu ketegangan antara keasadaran dengan
kebebasan. Kesadaran menentukan apakah seseorang dapat dikatakan ada tau tidak.
Seseorang bisa saja dimaknai tidak ada ketika keberadaanya justru seperti tidak
ada, seperti orang yang tidak sadar akan keberadanya.[12]
Di dalam eseisnya yang berjudul Republik Kebisuan (La Republique du Silence),
pengalaman tentang kebebasan itu, secara paradoksal, dihubungkan dengan
penindasan Nazi Jerman dan kesendirian menyeluruh manusia. Berkaitan dengan
pengalaman tentang kebebasan adalah pengalaman tentang kesadaran sendiri. Dan
pengalaman ini pu, seperti hal nya pengalaman tentang kebebasan sejak semula
memperlihatkan pandangan Sartre yang muram. “Keberadaan kita,” demikian ia
menulis, “pada dasarnya adalah keberadaan yang ‘terlempar’, tanpa kita sendiri
mengehandakinya demikian.”
Demikian bahwa dalam pandangan
Sartre, pengalaman tentang kebebasan, dan tentang kesadaran sendiri, bukanlah
pengalaman yang mudah dan mengenakkan. Kebebasan ternyata penuh paradoksal dan
sekaligus menyesakkan. Kebebasan dibebankan kepada kita oleh situasi yang tidak
kita pilih, dan tanpa alternatif lain kita harus menerimanya begitu saja.
Selain itu kebebasan itu bukanlah sesuatu yang mapan dan padat (masif), yang
bisa kita andalkan sebagai sandaran yang kokoh untuk hidup kita. Sebaliknya,
kebebasan itu amatlah rapuh dan selamanya berada dalam posisi yang rentan dan
terancam.[13]
Aspek negatif kesadaran berhubungan
erat dengan esensi kesadaran itu sendiri, yakni kebebasan. Karena seringkali
Sartre menggunakann istilah “kebebasan”, yang seakan-akan sinonim dengan
“keasadaran”, timbul kesan bahwa kesadaran identik dengan kebebasan.
Pendirian Sartre tentang kebebasan
sangatlah ekstrim, dalam kajian fenomenologisnya tentang imajinasi, ia mencoba
memebuktikan bahwa kesadaran imajiantif mengandaikan kapasitas manusia untuk
menjauh dari kualitas dunia, sedemikian rupa sehingga kesadaran terbebas dari
relasi-relasi kausal yang mengungkungnya. Akan tetapi ia menambahkan pula bahwa
kapasitas itu tidak hanya dimiliki oleh imajinasi, karena setiap bentuk
kesadaran lainya seperti, emosi, kognisi dan aksi memilikinya juga. “setiap
bentuk kesadaran dalam menghubungkannya dengan dunia”, demikian Sartre menulis,
“selalu ditandai oleh terputusnya relasi-relasi kausal. Bahkan untuk menjadi dirinya sendiri, kesadaran
harus bebas terlebih dahulu dari kualitas tersebut.”
Lepas
dari betapa ekstrimnya pandangan Sartre tentang kebebasan, kita melihat ada
unsur positif dari pandangannya itu. Unsur positif itu berkaitan dengan pilihan
dan penentuan bentuk dan makna eksistensi kita sendiri. Eksistensi kita,
keberadaan kita yang sejati, tidak lain adalah produk dari perbuatan-perbuatan
bebas kita sendiri. “Menjadi diri kita sendiri hanya mungkin kalau kita memilih
sendiri dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita”. Kendati kebebasan pada
prinsipnya “dibebankan” kepada manusia dalam suatu situasi yang sudah tertentu
dan yang bukan merupakan pilihannya, tetapi manusia bebas untuk mengubah makna
situasinya itu, yakni melalui perbuatan-perbuatan dan usaha-usaha yang dipilih
dan ditentukan oleh dirinya sendiri. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa
situasi-situasi yang sudah tersedia, tanpa situasi-situasi yang tidak
dipilihnya sendiri.[14] Oleh
karena itulah statemen yang terkenal dari Sartre adalah “manusia dikutuk untuk
bebas”.
2. Sejarah
Ideologi
Secara etimologi (bahasa), ideologi berasal dari kata Idea
yang berarti pikiran, dan Logos yang memiliki makna Ilmu. Jadi makna
secara istilahnya, ideologi berarti studi tentang gagasan, pengetahuan
kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, nilai-nilai,
prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman-pengalaman, dan atau ingatan tentang
informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual.[15]
Definisi lain menjelaskan bahwa ideologi merupakan ide atau sistem, dengan kata
lain ide yang diperlakukan sebagai mitos kehidupan dan acapkali sering
dipaksakan pada orang lain yang mungkin tidak menerima kebenarannya.[16]
Filsuf Perancis, Antoine Destutt de Tracy yang pertama kali menciptakan istilah
Ideologi pada tahun 1796, mendefinisikan ideologi sebagai Ilmu tentang pikiran
manusia (sama seperti biologi dan zoologi yang merupakan ilmu tentang spesies)
yang mampu menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan.[17]
Tegasnya ideologi merupakan seperangkat nalar berfikir yang mempunyai visi
terhadap perkembangan suatu peradaban.
Beberapa kalangan mendefinisikan istilah ideologi
sebagai sebuah doktrin yang ingin mengubah dunia. Ada juga yang
mengualifikasikan ideologi sebagai sesuatu yang visioner tapi, lebih banyak
lagi mengualifikasikannya sebagai sesuatu yang bersifat hipotetis, tak
terkatakan, dan tidak realistis, bahkan lebih dari itu, adalah sebuah penipuan
kolektif oleh seseorang atau yang lain, yang mengarah pada pembenaran atau
melegitimasi subordinasi satu kelompok oleh kelompok lain, dengan jalan
manipulasi sehingga menyebabkan ketidaknyamanan yang berhubungan dengan
kekerasan sistematik dan teror yang kemudian berujung pada imperialisme,
perang, dan pembersihan etnis.
Di tangan de Tracy, pengertian ideologi bersifat
netral, jauh dari makna yang telah dijelaskan di atas. De Tracy berpendapat
bahwa kita tidak dapat mengetahui benda-benda dalam dirinya, akan tetapi hanya
melalui ide-ide yang terbentuk berdasarkan sensasi kita terhadap benda-benda
tersebut. Jika kita akan mengenalisa ide dan sensasi secara sistematis, kita
harus memiliki latar belakang seluruh pengetahuan ilmiah yang kuat dan dapat
menarik kesimpulan secara lebih praktis.[18]
Nama yang diusulkan de Tracy bagi upaya yang pertama dan ambisius ini adalah
‘ideologi’, jelasnya ilmu tentang ide. Disini ditemukan bahwa kata ‘ideologi’
pada saat itu bermakna positif, berguna dan sesuatu yang benar-benar teliti dan
tepat dalam konteks pengetahuan.
Namun
pada era kontemporer saat ini pandangan buruk tentang Ideologi mulai menyebar. Kata ‘ideologi’ memang memiliki konotasi yang
sedemikian buruk dalam kehidupan sehari-hari. Ia diasosiasikan dengan penipuan,
mistifikasi, pembodohan, dan konflik politik. Namanya pun lekat dengan
irasionalitas, emosional, dan fanatisme buta. Ideologi lekat dengan memori
kekerasan dan konflik perang antara blok Barat yang dikomandani AS dan blok
Timur di bawah kendali US yang semakin arogan.
Apalagi sejarah perang ideologi telah memakan korban
jutaan manusia dalam perang dunia kedua, ditambah jutaan lainnya korban
pemerintahan fasisme Nazi Jerman pimpinan Hitler. Usai perang dunia yang
dimenangkan blok Barat dan kemenangan paham neoliberalisme dalam ekonomi
perdagangan, lalu para pengamat pun buru-buru mengklaim bahwa abad ke-20 ini
adalah masa berakhirnya ideologi-ideologi dunia—yang dikemudian hari
asumsi-asumsi ini jauh dari kebenaran. Suatu masa yang penuh diwarnai dengan
kekerasan, intrik, dan konflik politik.
Pandangan pejoratif[19]
tentang konsep ideologi ini sebenarnya bisa ditelusuri dari sejarah
dipergunakannya istilah ideologi sendiri sebagaimana yang telah
dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Istilah ini adalah derivasi dari Ideologues yang muncul paska
Revolusi Perancis.[20]
Napoleon Bonaparte menggunakan istilah ideologi untuk menyerang lawan-lawan
politiknya yang memiliki ide-ide yang tidak realistik berkaitan dengan
kepentingan-kepentingan negara Perancis baru saat itu.
Menurut Althusser, ideologi tidak mencerminkan dunia real,
melainkan merepresentasikan “hubungan-hubungan imaginer” individu-individu
terhadap dunia real. Bagi Althusser ideologi merupakan ciri yang dibutuhkan
masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan makna untuk membentuk anggotanya
dan merubah kondisi eksistensialnya. Masyarakat manusia menyembunyikan ideologi
sebagai elemen dan atmosfir yang sangat diperlukan bagi nafas dan kehidupan
sejarah mereka.[21]
Menurutnya, agar ideologi diterima, diyakini dan
dihayati oleh semua kelompok, maka ia harus dimaterialkan. Ideologi hidup dalam
praktek-praktek kelompok kecil, dalam citraan, dan obyek yang digunakan dan
ditunjuk masyarakat, dan dalam organisasi-organisasi. Misalnya, pada
sekolah-sekolah, rumah tangga, organisasi perdagangan, media massa, olahraga,
pengadilan, partai politik, universitas dan seterusnya. Ideologi, menurut
Althusser, eksis dalam dan melalui lembaga-lembaga ini. Aparatus adalah
eksistensi material ideologi.[22]
Tentunya agar ideologi mampu hidup, tentu disitu terdapat sebuah fungsi.
Berikut adalah fungsi dari ideologi.
·
Fungsi Ideologi
Fungsi ideologi lainnya ialah menghubungkan masyarakat satu sama lain,
dengan suatu dunia dan terutama diri mereka sendiri. Ideologi memberikan
identitas tertentu.[23]
Misalnya, jika seorang individu mengimani Tuhan kemudian pergi sembahyang
secara teratur, mengakui dosa-dosanya dan seterusnya; keyakinan itu lalu
direalisasikan dalam praktek-praktek tertentu yang diatur oleh ritual-ritual
dengan menyediakan upacara-upacara yang melibatkan gerak dan sikap tubuhnya
sebagai ekspresi kekuasaan yang saling terkait serta berhubungan dengan
aparatus ideologis.
Dari contoh-contoh di atas jelaslah bahwa suatu gagasan memuat sekaligus
tindakan, sentimen, dan gesturenya. Gagasan-gagasan itu hidup dalam
tindakan-tindakan. Tindakan ini lalu menjadi praktik sehari-hari yang
dikendalikan oleh ritual yang dia lakukan. Tiga hal ini (gagasan, praktek dan
ritual) merupakan aspek material dari aparatus ideologis. Dalam aparatus itu
ideologi bekerja, memproduksi subyektifitas, dan menegaskan identitas tentang
siapa kita sesungguhnya.
Semakin jelas sekarang, gagasan-gagasan Althusser di atas memberi saham
besar bagi pemikiran baru tentang konsep ideologi. Ideologi tidak lagi dilihat
sebagai salah atau benar, tapi justru memberikan kerangka dasar fundamental
bagi individu dalam menafsirkan pengalaman dan ‘hidup’ sesuai dengan kondisi
mereka. Kerangka dasar ini tidak hanya bersifat mental, tapi eksis sebagai
praktis hidup kelompok sehari-hari. Dengan menganggap ideologi sebagai
praktek-praktek material atau praktek budaya, maka kita bisa mengatakan bahwa
sesungguhnya ideologi itu hidup bergerak dan karena itu pula manusia sendiri
selalu hidup dalam suatu ideologi, di dalam representasi tertentu dari
dunianya.
Dalam praktek-praktek kebiasaan-kebiasaan sehari-hari inilah ideologi
sesungguhnya direproduksi. Yakni, melalui aparatus-aparatus ideologis
sebagaimana ditegaskan oleh Althusser. Jika demikian, praktis ideologi memasuki
seluruh ruang dalam kehidupan sehari-hari kita secara nir-sadar. Ideologi
menjadi bagian organik dari seluruh totalitas sosial dan dalam aktifitas
keseharian.[24]
Karena unit-unit sosial merupakan bentukan ideologis, produk dari formasi
diskursif kekuasaan (menurut Foucault) atau efek-efek dari apparatus ideologis
yang beragam (dalam bahasa Althusser), maka untuk memahami totalitas sosial dan
budaya ini membutuhkan “eksegesis” sebagaimana teks-teks sejarah dan sastra.
Pandangan bahwa
ideologi merupakan fenomena keseharian ini tidak lantas berarti cengkeraman
ideologi sudah lemah, atau mungkin dianggap telah berakhir. Justru ideologi dan
kekuasaan telah mencengkeram seluruh tatanan sosial secara lebih luas dan
kompleks ketimbang apa yang selama ini dibayangkan.
Masyarakat pada saat ini memiliki ideologi yang dianut dan disepakati oleh
induvidu yang merupakan bagian dari anggota masyarakat.
C.
Analisis
Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sarte Terhadap Ideologi
Filsafat
eksistensialisme dari Sartre berkutat kepada kesadaran dan kebebasan. Bahkan di
dalam statemennya yang terkenal adalah bahwa “manusia dikutuk untuk bebas”. Oleh
karena itu prasyarat yang terpenting dalam upaya eksistensinya adalah harus
menolak seluruh kekuasaan atau kekuatan yang merampas kebebasannya. Dengan
kebebasan inilah manusia justru membuat sejarah hidupnya sehat dan bertanggung
jawab terhadap setiap pilihan-pilihan yang telah ditentukan berdasarkan
kebebasannya.
Sebagaiamana
yang telah disinggung sebelumnya bahwa eksistensialisme Sartre selalu
mempermaslahkan antara kebebasan dengan kesadaran. Di dalam pandangannya bahwa
kedua hal tersebut yakni kebebasan dan kesadaran selalu mengalami pertentangan
sehingga bentuk bangunan filsafat eksistensialisme Sartre yakni berusaha untuk
“merekonsiliasi subjek dan objek”. Subjek haruslah bertindak secara bebas namun
tetap bertanggung jawab.
Di
dalam pandangan Sartre, manusia bebas untuk memilih dalam hidupnya akan tetapi
manusia sendiri sejak awal telah “terlempar” menuju kehidupan yang tidak kuasa
manusia memilihnya. Sebagai contoh manusia tidak bisa menentukan apakah dia
lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Inilah yang kemudian, kebebasan di
“bebankan” kepada manusia. Oleh karena itu manusia bebas berfikir, bertindak
dan berperilaku, akan tetapi ia harus tetap sadar bahwa kebebasaannya itu tidak
akan bisa lepas dari situasi-situasi kausal. Pikiran inilah yang mengganjal
Sartre sehingga ia merumuskan sebuah filsafat yang berlandaskan kepada
kebebasan.
Namun
aspek negatif kesadaran berhubungan erat dengan esensi kesadaran itu sendiri,
yakni kebebasan. Karena seringkali Sartre menggunakann istilah “kebebasan”,
yang seakan-akan sinonim dengan “keasadaran”, timbul kesan bahwa kesadaran
identik dengan kebebasan.
Pendirian
Sartre tentang kebebasan sangatlah ekstrim, dalam kajian fenomenologisnya tentang
imajinasi, ia mencoba membuktikan bahwa kesadaran imajiantif mengandaikan
kapasitas manusia untuk menjauh dari kualitas dunia, sedemikian rupa sehingga
kesadaran terbebas dari relasi-relasi kausal yang mengungkungnya. Akan tetapi
ia menambahkan pula bahwa kapasitas itu tidak hanya dimiliki oleh imajinasi,
karena setiap bentuk kesadaran lainya seperti, emosi, kognisi dan aksi
memilikinya juga. “setiap bentuk kesadaran dalam menghubungkannya dengan
dunia”, demikian Sartre menulis, “selalu ditandai oleh terputusnya
relasi-relasi kausal. Bahkan untuk menjadi
dirinya sendiri, kesadaran harus bebas terlebih dahulu dari kualitas tersebut.”
Manusia
dalam pandangan Sartre sangatlah bebas, bahkan bisa dikatakan sangatlah bebas.
Ia bebas untuk meng”ada”kan diri dengan berpikir, bertindak, maupun
berperilaku. Manusia pada dasarnya adalah sebagai makhluk sosial, artinya ialah
bahwa manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan akan eksistensi oranglain. Oleh
karena itulah kemudian manusia bermasyarakat guna memenuhi eksistensinya.
Masyarakat adalah sarana untuk mencapai tujuan secara kolektif. Maka di dalam
masyarakat perlu adanya sebuah visi bersama yang mampu mengakomodir segala
aspirasi anggotanya. Dari kesemuanya itu, maka kemudian masyarakat membentuk
ideologi bersama.
Secara
etimologi (bahasa), ideologi berasal dari kata Idea yang berarti
pikiran, dan Logos yang memiliki makna Ilmu. Jadi makna secara
istilahnya, ideologi berarti studi tentang gagasan, pengetahuan kolektif,
pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, nilai-nilai, prakonsepsi-prakonsepsi,
pengalaman-pengalaman, dan atau ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan
juga rakyat individual.[25]
Setiap
masyarakat memiliki ideologi yang bermacam-macam. Sebagai contoh masyarakat
Indonesia, dimana ideologi yang dipakai adalah Pancasila. Hal ini berbeda
dengan Ideologi dari masyarakat Rusia, ideologi yang meraka pakai adalah
komunsime. Masing-masing ideologi mengakomodir dari aspirasi masyarakatnya
secara kolektif. Ideologi merupakan karakteristik dari suatu sistem masyarakat.
Tentunya
dari pengertian ideologi kita mengetahui bahwa ideologi merupakan kesamaan visi
individu dalam suatu masyarakat sehingga diperoleh sebuah kesepakatan.
Kebebasan manusia dalam berpikir sebagaimana di dalam filsafat
eksistensialisme, maka melahirkan bermacam-macam bentuk pemikiran. Atau dengan
kata lain ideologi merupakan hasil produk kebebasan manusia dalam berpikir.
Masing-masing manusia yang memiliki visi ideologi yang sama maka akan berkumpul
secara kolektif sehingga menghasilkan sebuah ideologi bersama.
Seperti
yang telah disinggung sebelumnya bahwa kebebasaan manusia bagaimanapun juga mau
tidak mau selalu dibatasi oleh situasi-situasi disekitarnya. Situasi-situasi
kausal itulah yang kemudia membuat manusia bebas untuk memilih jalan
(pikirannya) kehidupannya. Begitu juga dengan ideologi yang ada didalam
masyarakat. setiap ideologi antar masyarakat selalu berbeda, ini dikarenakan
masyarakat tersebut mengalami dinamika situasi-situasi yang berbeda.
Problem
yang dialami seseorang membuat orang tersebut akan berpikir secara bebas untuk
menyelesaikannya. Permasalahan yang terjadi di suatu daerah akan berbeda dengan
didaerah lain, oleh karena masing-masing bentuk pemikiran manusia yang satu
dengan yang lain akan berbeda pula. Hal ini akan berimplikasi kepada perbedaan
ideologi yang dianut oleh suatu masyarakat.
Kebebasan dalam kehidupan yang
dianut oleh aliran eksistensialesme terutama dalam arus pemikiran Sartre,
membawa manusia untuk bebabas berideologi guna mencapai visinya. Ideologi
meminjam istilah tidak
mencerminkan dunia real, melainkan merepresentasikan “hubungan-hubungan
imaginer” individu-individu terhadap dunia real. Bagi Althusser ideologi
merupakan ciri yang dibutuhkan masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan
makna untuk membentuk anggotanya dan merubah kondisi eksistensialnya.
Masyarakat manusia menyembunyikan ideologi sebagai elemen dan atmosfir yang
sangat diperlukan bagi nafas dan kehidupan sejarah mereka.[26]
D.
Kesimpulan
Pemikiran
kebebasan dalam filsafat eksistensialisme Sartre membawa dampak kepada
kebebasan manusia dalam berpikir. Implikasi jauhnya ialah bahwa manusia akan
bebas untuk berideologi sesuai dengan visi suatu masyarakat. ideologi yang
dianut dalam suatu masyarakat merupakan sebuah hasil pemikiran kolektif yang
kemudian disepakati bersama. Dengan kondisi-kondisi kausalnya, membuat manusia
tidak dapat “keluar” dari keadaan tersebut akan tetapi manusia memiliki
kebebasan untuk menghadapinya.
Jargon
yang dibawa oleh Sartre yakni “manusia dikutuk untuk bebas” sebenarnya manusia
diberi “beban” untuk menghadapi situasi-situasi yang terjadi pada dirinya.
Kebebasan dengan penuh kesadaran dimana seharusnya bagi Sartre, manusia sendiri
harus membebaskan kesadararannya untuk mengawalai eksistensinya sebagai
manusia. Ideologi bukan bersifat pasif, namun aktif seiring dengan dinamika
kebebasan manusia sebagai makhluk yang penuh kesadaran.
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006), 218.
[2] T.Z. Lavine, From Socrates to Sartre: the Philosophic
Quest, trj: Andi Iswanto, (Yogyakarta: Jendela, 2002), 314.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales
Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006),218.
[4] Ibid, 218-219.
[5] Leokisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan
Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: eLKAF, 2003), 103.
[6] DianeCollinson, Fifty Major Philosophers, trj: Mufti
Ali, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 232.
[7] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2002), 71.
[8] Fuad Hasan, Berkenalan Dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1974,
101.
[9] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2002), 78.
[10] Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf Wacana Manusia Spiritual
Dan Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 2014), 193.
[11] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, (Bandung: PT Ramaja
Rosdakarya, 2006), 186-187.
[12] Jean Paul Sartre, Existentialism And Human Emotions, (New
York: Open Road, 2012), 10. Lihat juga Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf, (Jakarta: LP3ES, 2014), 193.
[13] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, (Bandung: PT Ramaja
Rosdakarya, 2006), 187.
[14] Ibid., 200-201.
[15] John B.
Thompson, Analisis Ideology; Kritik Wacana Ideology-Ideologi Dunia,
terj. Haqqul Yakqin (yogyakarta, IRCISOD, 2007), hlm. 17
[18] Ibid., hlm 52
[19] David Mc
Lelland, Ideologi; Tanpa Akhir, terj. Muhammad Syukri (Yogyakarta,
Kreasi Wacana, 2005), 1
[20] John B.
Thompson, Analisis Ideology; Kritik Wacana Ideology-Ideologi Dunia,
terj. Haqqul Yakqin (yogyakarta, IRCISOD, 2007), 13
[21] Lihat, John B. Thompson, Analisis
Ideologi, Penerbit IRCISOD, Yogyakarta; lihat juga John Storey, Teori
Budaya dan Budaya Pop (terj.), Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2003, 160-172.
[22] Louis Althusser, Tentang
Ideologi; Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, Terj.
Olsy Vinoli Arnof, (Yogyakarta, Jalasutra, 1984), 22-24
[23] Mansour
Fakih, Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: PustakaPelajar,
2002),142-143.
[24] Amrih Widodo dalam penelitian
antropologinya terhadap pertunjukan Tayub di daerah Blora Jawa Tengah
menunjukan bahwa Tayub yang pada awalnya sebagai pertunjukan rakyat atau bagian
dari ritual sunatan, bersih deso, dan perkawinan mulai berubah selama periode
1987-1991. Pemerintah memasukkan ideologinya (kepentingan industri pariwisata
dan simbol kedaerahan) dengan ‘meningkatkan statusnya’ menjadi Seni Tayub.
Diantaranya dengan melakukan pembinaan dan program penataran untuk merubah
struktur dan keaslian Tayub. Lihat Amrih Widodo, The Stage of the State, Art
of the People and Rites of Hegemonization. Paper ini dipresentasikan pada
seminar bertajuk “Basis-basis Material Kebudayaan” yang diselenggarakan oleh
Yayasan SPES dan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satyawacana,
Salatiga, 4 September 1991.
[25] John B. Thompson, Analisis
Ideology; Kritik Wacana Ideology-Ideologi Dunia, terj. Haqqul Yakqin
(yogyakarta, IRCISOD, 2007), 17.
[26] Ibid,.160-172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar