A.
Pendahuluan
Di
dalam studi Islam terdapat tiga epistemologi kajiannya, yakni syariat, tarekat
dan hakikat. Kesemua dimensi tersebut berjalan secara sinergis. Kalau di dalam
bahasa “Islam”nya terdapat dimensi iman, islam, dan ihsan. Jika iman dan islam
bertalian erat dengan aspek syariat, maka ihsan terkait erat dengan aspek
tasawuf. Namun di dalam perkembangan sejarah Islam, kedua aspek tersebut tidak
pernah ada kata sepakat dalam segala hal. Jika di dalam aspek syariat yang
diterpenting adalah mengenai normativitas keIslaman sementara pada aspek
tasawuf yang terpenting adalah mengenai makna (hakekat) dari realitas. Oleh
karena dengan pendekatan yang berbeda itulah kedua aspek ini saling terjadi
pertentangan.
Jika
melihat sejarah perkembangan Islam, maka pada abad ke 3-5 hijriyah ini
merupakan fase-fase krisis tasawuf. Dimana saat itu telah terjadi pertentangan
yang hebat antara para ahli syariat (fuqaha) dengan para ahli tasawuf (sufi).
masing-masing mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling benar. Namun yang
terjadi saat itu adalah para fuqaha ini berafiliasi dengan pihak penguasa
sehingga segala yang diinginkannya dengan mudah dapat terkabulkan. Sebagai
contoh adalah penghukuman terhadap para sufi yang dianggap menyimpang dari
syariat Islam. Bahkan sempat terjadi hukuman mati bagi sufi yang dianggap
sesat. Dukungan penguasa terhadap para fuqaha maka akan memuluskan segala
sesuatu yang dianggap sesat oleh para fuqaha.
Perlu
diketahui bahwa kebanyakan sufi yang dihukum mati oleh penguasa saat itu adalah
para sufi yang bercorak falsafi. Artinya ialah para sufi yang merumuskan hasil
pengalaman spiritualnya menggunakan aspek kefilsafatan. Sehingga terkadang
term-term yang diusung oleh sufi falsafi sangat sulit dimengerti secara
tekstual. Sementara untuk mengerti tentang term-term (istilah) yang diusung
oleh para sufi perlu pendekatan filosofis agar dapat mencapai maknanya. Oleh
karenanya para fuqaha yang pendekatannya sangat tekstualis tersebut
bertentangan dengan term-term para sufi falsafi.
Sebagai
contoh dari sufi yang dianggap sesat oleh para penguasa atas rekomendasi para
fuqaha adalah Abu Yazid al-Bustami dengan
al-Hallaj. Kedua sufi tersebut dipandang sesat karena dianggap ajarannya
menyimpang dari syariat Islam. Kedua sufi tersebut sama-sama mengusung ajaran yakni
menyatunya Allah dengan hambanya. Atau lebih spesifiknya yakni pada Abu Yazid
al-Bustami mengusung ajaran ittihad dan
pada al-Hallaj mengusung ajaran hulul.
Pandangan inilah yang mengakibatkan mereka dihukum mati oleh para penguasa.
Jika
para fuqaha tersebut tidak menggunakan pendekatan tekstualis maka dugaan
penulis adalah tidak terjadi penghakiman kesesatan atas para sufi. pendekatan
yang digunakan oleh para sufi falsafi tersebut dengan segi kefilsafatan maka
seyogyanya untuk mengetahui kebenaran ajarannya maka pendekatan filsafat juga
harus digunakan untuk menganalisanya. Tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dan oleh
karena konsep-konsep tersebut terungkap melalui bahasa maka analisis tersebut
tentunya berkaitan dengan makna bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan
konsep- konsep tersebut. Jadi filsafat dapat dijelaskan melalui analisis
bahasa karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat.
Oleh
karena itu maka penulis hendak menganalisa ajaran sufi falsafi yang telah disebutkan
tadi dengan analisis filsafat bahasa. Namun dalam makalah ini yang hendak
digunakan penulis untuk menganalisa adalah filsafat bahasa dari Wittgenstein
yakni lebih tepatnya “language game” atau permainan bahasa. Pola analisis ini
diambil penulis karena dianggap setiap sufi memiliki aturan-aturan tersendiri
menganai ajaran yang diusungnya. Mengingat para sufi dalam mendasarakan
ajarannya menggunakan pendekatan pengalaman spiritual. Maka antara pengalaman
sufi satu dengan yang lain akan berbeda. Ditambah dengan dimensi rasa yang
selalu diagungkan oleh para sufi.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pemikiran tasawuf Abu Yazid
al-Bustami?
2.
Bagaimana pemikiran tasawuf al-Hallaj?
3.
Bagaimana konsep language game dari
filsafat bahasa Wittgenstein?
4.
Bagaimana analisis language game
Wittgenstein terhadap pemikiran tasawuf falsafi?
C. Pemaparan Masalah
1.
Pemikiran tasawuf Abu Yazid al-Bustami
Sufi Persia yang satu ini merupakan salah satu di antara generasi
pertama kaum sufi yang berperan penting dalam membangun sistematika sejarah
tasawuf. Nama lengkapnya yakni Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia
lahir sekitar tahun 200H/814M di Bustam, timur laut Persia. Di Bustam pulalah
ia meninggal pada tahun 216H/875M. Dan makamnya masih ada hingga saat ini.
Makammya yang terletak di tengah kota menarik banyak pengunjung dari berbagai
tempat.
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam
menurut madzhab Hanafi. Abu Yazid adalah seorang Zahid yang terkenal. Baginya
Zahid itu adalah seseorang yang menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan
dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase yaitu Zuhud terhadap dunia,
Zuhud terhadap akhirat, Zuhud terhadap selain Allah.
Sebagai master mistik yang tidak ingin dipuja dan dikenal oleh
banyak orang, terutama bila dilihat dari sebagian perilakunya yang masuk dalam
kategori Malamatiyah (kelompok yang suka mencela diri sendiri). Abu
Yazid adalah seorang sufi yang membawa ajaran berbeda dengan ajaran-ajaran
tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya benyak bertentangan dengan para
fuqaha sehingga berimplikasi keluar masuk penjara. Namun demikian ia mempunyai
banyak pengikut yang mana para pengikutnya menamakan diri Taifur.
Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang
sebagai pembawa faham fana’ dan Baqa’ serta sekaligus pencetus paham
al-Ittihad. Dan A.J. Arberry menyebutnya sebagai first of the intoxicated
sufis (Sufi pertama yang mabuk kepayang).
Pada umur 10 tahun Abi yazid mulai mengembara dalam mencari ilmu
dan memilih hidup sebagai seorang sufi. Ia berkelana ke berbagai daerah selama
30 tahun. Sepanjang pengembaraannya, ia banyak belajar kepada guru-guru mistik,
dan selalu selektif dalam mencari pembimbing spiritualnya. Begitu pentingnya
kedudukan seorang guru bagi Abu Yazid al-Bustami.
Pada usia 40 tahun ia mulai kembali ke daerah asalnya dan mulai
memberikan pengajaran spiritual kepada para pengikutnya. Banyak nama-nama sufi
yang melakukan kontk dengannya, mulai dari Abu Musa al-dyabuli, Ahmad bi
Khadruyah, Dhu al-Nun al- Misri, tetapi yang paling menjadi sorotan adalah
ketika Abu Yazid berguru pada Abu Ali al-Sindi. Yang mana menurut salah seorang
peneliti bahwa faham tentang fana’ ialah berasal dari Abu ali al-Sindi.
Kejadian ini pula membuat sejumlah orientalis beranggapan bahwa ajaran Abu
Yazid itu terpengaruh oleh ajaran mistik-filsafat Hinduisme India dan teks suci
Vedenta-nya, sebab Abu Ali al-Sindi berasala dari kawasan yang amat kental
dengan ajaran filasaf kuno tersebut.[1]
Sebagai seorang figur yang mendapat kritik dari kalangan
lahiriyah-literalisme, Abu Yazid sebetulnya adalah seorang sufi yang tekun
dalam menjalankan shariah bakan seprti yang dikelaskan didepan bahwa ia
mempelajari fiqih bermadzab Hanafi, berdedikasi moral yang tinggi, dan
mengagumi pribadi Nabi Muhammad SAW. Abu Yazid tidak meninggalkan sebuah
tulisan, tetapi para pengikutnya yang mengumpulkan ucapan dan ajaran-ajarannya.[2]
Latar belakang pamikiran tasawuf falsafi Abu Yazid al-Bustami ialah
adanya konsep fana’ dan baqa’. Faham ini berpendapat atau
berpandangan bahwa manusia dapat bersatu dengan Allah. Faham ini merupakan
peningkatan dari faham ma’rifah dan mahabbah. Irfan Abd al-Hamid
Fattah mengatakan bahwa dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang
sebagai pembawa arah timbulnya aliran “ kesatuan wujud “ atau ittihad.
Perkembangan ajaran Tasawuf ini digambarkan oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh
sebagai berikut:
“Lalu sampailah pada abad ke-3 orang membicarakan latihan rohani,
yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad ke-2 ajaran
sufi merupakan kezuhudan (asketisme), dalam abad ke-3 ini orang sudah meningkat
kepada wusul dan ittihad dengan Tuhan (mistisme). Orang sudah
ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan, fana fil mahbub,
brsatu dengan Tuhan, liqa’, dan menjadi satu dengan Dia, ‘ainul jama’
sebagai mana yang diucapkan oleh Abu Yazid Bustami.”[3]
Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan
(ittihad), ia harus terlebih dahulu dapat melenyapkan kesadarannya melalui fana’.
Pelenyapan kesadaran diri itu dalam khasanah sufi itu diiringi dengan baqa’.
Secara lugawi atau estimologis, fana’ berarti hancur, lebur,
musnah, lenyap, hilang atau tiada. Sementara baqa’ berarti tetap, kekal,
abadi, atau hidup terus (kebalikan dari fana’). Fana’ dan baqa’
merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanya fana’ menunjukkan adanya baqa’.[4]
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’an
al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’an al-nafs ialah hancurnya
perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujut tubuh kasarnya dan alam
sekitar.
Abu Yazid al-Bustami yang dalam sejarah tasawuf dipandang sebagai
sufi pertama yang membawa faham fana’ dan baqa’ ini mengartikan fana’
sebagai hilangnya kesadaran aksistensi diri pribadi (al-fana an al-nafs)
sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia.
Kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan wujudNya.
Lebih jelas paham ini tersimpul dalam kata-katanya : “Aku tahu pada Tuhan
melalui diriku, hingga aku hancur, kemudia aku tahu padaNya melalui dirinNya
maka akupun hidup.” Dan katanya pula: “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku
gila padaNya dan akupun hidup. Aku berkata: gila pada diriku adalah kehancuran
dan gila padaMu adalah kelanjutan hidup.” [5]
fana’ menurut
kalangan sufi adalah karunia Allah sebagai pemberian kepada hambanya. Fana’
tersebut tidak bisa diperoleh lewat usaha atau latihan. Al-Kalabazi juga
menegaskan: “ seseorang yang mengalami keadaan fana’ bukanlah disebabkan
hilangnya kesadaran (pingsan), bukan karena kebodohan dan bukan pula sirnanya
sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya sehingga dia menjadi malaikat atau seorang
spiritualis, tetapi fana’ dari penyaksian akal hal-hal yang berkenan
dengan dirinya. “ dengan demikian, keadaan fana’ yang dialami seseorang tidaklah
menyebabkannya dapat menanggalkan kewajiban agama. Karena itu dapatlah dipahami
mengapa al-Thusi dalam kitabnya al-Luma’ memperingatkan bahaya yang mungkin
timbul dari keadaan fana’, yaitu antara lain adanya anggapan bahwa
kefanaan adalah kefanaan sifat-sifat kemanusiaan dan dia bersifatkan dengan
sifat-sifat ketuhanan; padahal sifat kemanusiaan tidak dapat sirna dari
manusia.
Dari konsep fana’ dan baqa’ yang diusung oleh Abu Yazid al-Bustami ini
maka akan berimplikasi kapada sebuah tema sentral yang akan dibawanya nanti.
Bahkan ide yang diusungnya tersebut merupakan gerbang pertama kepada konsep
penyatuan wujud sesudahnya. Konsep tersebut adalah ittihad.
\Konsep ittihad ini merupakan imbas dari konsep sebelumnya yaitu fana’
dan baqa’ sebagaimana telah di uraikan di atas. Konsep ittihad merupakan
konsep dalam tasawuf falsafi yang di telurkan oleh Abu Yazid al-Bustami. Ittihad
merupakan konsep sentral dari ajaran tasawuf Abu Yazid al-Bustami.
Ittihad ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat sufi bahwa
jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi. Atau dengan kata lain,” Aku”nya
manusia itu adalah pancaran dari yang Mahasa Esa.[6]
Siapapun yang bisa membebaskan diri dari alam lahiriahnya atau mampu meniadakan
kepribadian dari kesadaranya, maka dia akan mendapat jalan menuju sumber yang
asal.
Pengertian ittihad sendiri dalam sudut pandang etimologi yaitu
persatuan. dalam kamus sufisme berarti persatuan antara manusia dengan Tuhan. Menurut
Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihad kelihatannya
ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan: suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu.[7]
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara
yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi
yang bersangkutan, karena fana’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad
disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan,
lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku
menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu
kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan
keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata:
Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di
hadapan mereka itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga
tergambar dalam ungkapan berikut: “Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua
kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau
adalah aku, dan aku adalah Engkau.”
Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan
berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia
berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata,
Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.”Dalam ittihad kelihatannya
lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan,
meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid
bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid
berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan
kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena
ucapannya membingungkan golongan awam. Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh
Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara
Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an
nafs. Kalimat-kalimat ekstase
tersebut menurut istilah tasawuf adalah kalimat syatahat.
Abu Yazid
tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses Ittihad di sisi
Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui
reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang
disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan, dia tidak
melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang
dilihat.
Sufi yang
mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang sedang ditiup
oleh nafas Tuhan; Tuhanlah yang memainkan nada-Nya sendiri. Saat Abu Yazid
berteriak, Subhani; maka hal itu merupakan perkataan Tuhan melalui
dirinya.[8]
Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan agaknya menjadi perhatian khusus tatkala
sebagian kalangan menganggap kondisi seperti itu adalah puncak dari segala
perjalanan spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana’
yang dialami Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.[9]
Sewaktu
timbulnya ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan tidak sadar
(fana’), Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap munculnya
ucapan-ucapan eksentrik seperti itu; sebab ada juga riwayat yang menyebutkan
ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya itu, Abu Yazid lantas
beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak dalam situasi itu
dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang Maha Agung dan tidak ada
sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.
Pada
hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian dari karunia
yang diberikan Allah, seperti yang tersirat dalam pengakuannya, “Aku memahami
Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami sesuatu selain Tuhan berkat cahaya (Nur)
yang dipancarkan Tuhan.
Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah
perubahan pola dan sikap misktik Abu Yazid yang tidak lagi bisa dikategorikan
pada arus kelompok ’sufi mabuk’ (sukr); tidak juga menganggap petualang
teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.[10]
2.
Pemikiran Tasawuf al-Hallaj
Nama lengkapnya
adalah Abu al-Mugis al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi. Ia lebih
dikenal dengan sebutan Al-Hallaj sebuah gelar karena kemampuannya berbicara
tentang sufi. Al-Hallaj lahir pada tahun 244 H/855 M, di Tur dekat Al-Baida di
Persia. Ada yang mengatakan bahwa Al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub,
sahabat Rasulullah.[11]
Sebelum umur 12 tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an dan menekuni pendidikan
sufi antara tahun 873-897 dengan orang-orang sufi yang terkenal. Pada usia 16
tahun, ia berguru pada Sahl bin Abdullah al-Tustari merupakan tokoh sufi yang
terkenal pada abad ketiga Hijriah. Pendidikan dilanjutkan ke Basra dan berguru
pada Amru bin Usman al-Maliki. Di Basra ini al-Hallaj menikah dengan Ummu
al-Husain, putri dari Abu Ya’qub al-Aqta’i, seorang sufi.
Setelah
itu Al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain untuk menambah
pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Al-Hallaj pernah menuaikan
ibadah Haji tiga kali. Pada tahun 895 M, dia melaksanakan haji pertama dan
selama setahun di Mekkah diisi dengan berbagai macam ibadah yang mana ia
mencoba melakukan caranya sendiri untuk bersatu dengan Tuhan. Dalam perjalanan
dan pertemuannya dengan ahli-ahli sufi, timbullah pribadi dan pandangan
hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi pembicaraan
ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan yang lain.
Karena pahamnya itu, seorang ulama fiqh terkemuka, Ibnu Daud al-Isfahani
mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran Al-Hallaj sesat. Atas dasar
fatwa tersebut Al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah setahun di dalam penjara,
dia melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati
kepadanya dan bersembunyi di Sus Khuzistan. Pada tahun 1913 H/301 M, dia
ditangkap kembali dan dihadapkan ke pengadilan Baghdad. Pengadilan Al-Hallaj
diadakan di bawah pengawasan menteri Ibnu Isa. Namun musuh Al-Hallaj tidak
dapat membuktikan kezindiqannya sehingga bisa dihukum mati. Dia dihukum bunuh
dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu
dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan
tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian
dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
Dalam
riwayat lain, dikatakan Al-Hallaj digantung, kepalanya dipenggal, dipecut
seribu kali tanpa mengaduh kesakitan dan menerimnya dengan senyuman. Tapi
sebelum dipancung, dia sembahyang dua rakaat. Kemudian kaki dan tangannya
dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan ke naftah dan
kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai, sedang kepalanya dibawa
ke Khurasan untuk dipersaksikan oleh umat islam dan sejarahnya. Banyak versi
lain yang mengemukakan proses hukuman Al-Hallaj.
Konsep
sentral dari al-Hallaj adalah hulul. Banyak
para ulama yang berbeda pendapat tentang hakikat ajaran Hulul Al-Hallaj. Al-Taftazani telah berusaha menyimpulkan bahwa hululnya Al-Hallaj bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Paham hulul Al-Hallaj, menurut Al-Taftazani merupakan perkembangan dan
bentuk lain dari paham ittihad yang
diajarkan oleh Abu Yazid. Sebenarnya antara ittihad
dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad, diri Abu Yazid hancur dan yang
ada hanya Allah, sedang dalam hulul hanya
diri Al-Hallaj yang tidak hancur. Dalam
paham ittihad, yang dilihat hanya
satu wujud, sedang dalam paham hulul
ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Menurut
Al-Hallaj Allah itu mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (Lahut) dan sifat kemanusiaan (Nasut).[12]
Demikian juga dengan manusia, mempunyai sifat kemanusian (Nasut) dan mempunyai sifat ketuhanan (Lahut) dalam dirinya. Paham Al-Hallaj ini dapat dilihat dari
tafsirannya mengenai kejadian Adam dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 34: Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada
para malaikat; sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis;
ia enggan dan takabur; dan ia termasuk golongan orang-orang kafir.
(QS.2:34).
Allah
memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri
Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul) dalam diri ‘Isa a.s.[13]
Allah swt menjelma dalam diri Adam, berarti Allah menjadikan Adam sesuai dengan
bentuk-nya. Dengan adanya paham ini dapat berpangkal pada hadits yang
berpengaruh besar bagi kaum sufi: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai
dengan bentukNya.” Paham ini lebih jelas kelihatan dalam gubahan syairnya
tentang:
Maha
Suci Zat yang menyatakan nasutNya
Dengan
lahutNya, yang cerlang seiring bersama
Lalu
dalam makhlukNya pun tampak nyata
Bagai si
peminum serta si pemakan tampak sosokNya
Hingga semua
makhluknya melihatNya
Bagai
bertemunya dua kelopak mata.[14]
Menurut
paham tasawuf Al-Hallaj, dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam
diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Agar manusia dapat bersatu dengan Tuhan,
ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan melalui fana’. Kalau sifat-sifat kemanusian
telah hilang dari dirinya dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan, maka di
situlah Tuhan dapat mengambil tempat (hulul)
dalam dirinya. Antara roh Tuhan dan roh manusia dapat bersatu dalam tubuh
manusia. Dalam gubahan syair Al-Hallaj mengungkapkan:
Padu sudah rohMu dengan rohKu jadi Satu
Bagai
khamar dan air bening terpadu Satu
Dan
jika sesuatu menyetuhMu, tersentuhlah aku
Karena
itu Kau, dalam segala hal, adalah aku.[15]
Dari syair-syair diatas tampak jelas bahwa
Al-Hallaj membawa konsep hulul. Yang
dimaksud hulul diatas ialah penyatuan
sifat ketuhanan dengan sifat kemanusian. Adapun menurut istilah tasawuf, Hulul
merupakan suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan
yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[16]
Menurut Al-Hallaj, dengan cara inilah seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan.
Jadi ketika Al-Hallaj berkata:Ana al-Haqq
(Aku adalah Tuhan) bukan roh Al-Hallaj
yang mengucapkan kata tersebut melainkan roh Tuhan yang mengambil tempat pada
diri Al-Hallaj. Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan, sehingga
dengan ucapan atau peryataannya tidak dapat diterima oleh sufi dari aliran
sunni dan ia dituduh sebagai orang yang Murtad dan dihukum mati.
3. Konsep
Language Game Wittgenstein
Setelah
kurang lebih tiga dasawarsa kaum atomis logik dan juga positivisme logik
menanamkan pengaruhnya dalam sejarah perkembangan filsafat bahasa. Secara
perlahan namun pasti, gaung dari ajaran mereka mulai berubah. Sebab para filsuf
yang muncul kemudian manyadari bahwa teknik bahasa yang melulu diarahkan kepada
pencarian makna bahasa dapat menggiring mereka sendiri kepada pernyataan yang
tidak bermakna. Filsuf analitik yang muncul belakangan ini mulai meragukan kemampuan
bahasa logika dalam penentuan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan. Sekarang
para filsuf mulai mengalihkan perhatiannya pada titik-tolak penggunaan bahasa
biasa. Oleh karena itu faham yang demikian itu dikenal dengan nama filsafat ordanary language.[17]
Salah
satu filsuf yang menganut faham filsafat bahasa biasa ini adalah Wittgenstein
II. Yang dimaksud ke-2 adalah dimana pemikiran filsafat Wittgenstein periode I
berbeda dengan periode yang ke II. Wittgenstein dalam periode yang ke dua ini
tampil dengan wajah baru yang cukup berbeda dengan periode filsafat yang
pertama. Periode filsafatnya yang kedua
ini terlihat melalui karyanya yang berjudul Philosophical
Investigations. Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada 1953 dalam
teks bahasa Inggris disamping teks aslinya berbahasa Jerman. Berbeda dengan
karyanya yang pertama, Philosophical
Investigations ini disusun dalam bentuk bagian yang terdiri dari banyak
contoh yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ada kesan tersendiri
yang tampak dari Philosophical
Investigations ini, yaitu upaya menghindari penggunakan bahasa logika dalam
merumuskan konsepsi filsafatnya. Dalam periode yang kedua ini, Wittgenstein
mengubah alur logika bahasa kepada penggunakan bahasa biasa dengan berbagai aspek
yang terkandung didalamnya.[18]
Sebagian
besar isi kandungan Philosophical
Investigations diarahkan untuk menjelaskan konsep mengenai Tata Permaian
Bahasa (language game). Makna sebuah kata itu adalah penggunakan dalam bahasa
dan bahwa makan bahasa itu adalah penggunakannya dalam hidup. Demikian menurut
konsep pemikiran Wittgenstein dalam karyanya yang berjudul Philosophical Investigations.[19] Setiap
bentuk permainan bahasa memiliki aturan permainan sendiri-sendiri yang tidak
dapat dicampuradukkan satu sama lain. Tata aturan (ragam) ilmiah misalnya,
memiliki aturan permainan sendiri dalam arti ketentuan-ketentuan yang harus
dipatuhi oleh masyarakat ilmiah. Penggunaan bahasa dalam konteks ilmiah tidak
dapat dicampuradukkan dengan penggunaan bahasa dalam ragam santai, sebab ragam
santai memiliki aturan tersendiri. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu,
mustahil bilamana kita menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat
umum yang berlaku dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.
Secara
ontologis konsep permainan bahasa menunjukkan hakekat kehidupan manusia dalam
hubungannya dengan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, alam serta terhadap
Tuhan. Bisa dikatakan kajian bahasa dalam hal ini untuk mendeskripsikan
permainan bahasa dalam kehidupan manusia.
Secara
epistemologis, setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki
aturannya masing-masing yang sangat beragam serta tidak terbatas. Aturan itu
sulit jika hanya ditentukan secara normatif, serta sulit ditentukan
batas-batasnya secara tepat, tetapi manusia memahami bagaimana menggunakan
bahasa dalam setiap aspek kehidupan yang sangat beraneka ragam tersebut.
Sedangkan
pada aspek aksiologis penggunaan bahasa adalah sebagai sarana dalam
berkomunikasi mengungkapkan suatu makna. Untuk mengetahui hakekat makna yang
terkandung dalam suatu ungkapan bahasa, kita harus memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam kehidupan manusia dalam hubungannya dengan penggunaan ungkapan
bahasa tersebut
Wittgenstein
menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:
“Suatu permainan haruslah ditentukan
oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur telah ditentukan sebelumnya
bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat penting, maka tentu jelas itu
merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah kita boleh
menyalahi aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya
menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya tentang aturan
permainan itu. Barangkali kita juga tidak dapat memahami dengan baik petunjuk
permainan yang menggariskan agar kita berpikir tiga kali (berpikir tiga langkah
ke depan) sebelum menggerakkan setiap biji catur. Jika kita melihat penerapan
peraturan ini di atas papan catur, maka tentu kita akan merasa kagum dan tahu
maksud atau tujuan suatu aturan permainan”[20]
Permainan
catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah permainan jika seperangkat
aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada tata aturan permainan itu,
maka permainan catur, dan segala permainan lainnya, akan kehilangan maknanya.
“Tata
aturan”, begitulah poinnya, seperangkat aturan yang melingkari sebuah
permainan, termasuk dalam bahasa. Bahasa pun memiliki seperangkat tata
aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas tentangnya.
Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan kehilangan makna
terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang terang, bahasa tidak
boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya. Wittgenstein mengistilahkan hal
ini sebagai tata permainan bahasa (language game).
Sama
halnya dengan pentingnya untuk mematuhi setiap aturan permainan dalam berbagai
jenis permainan, misal bola, catur, volley, basket, dll., demikian pula dalam
ragam permainan bahasa memiliki bentuk tata aturan permainan masing-masing yang
tidak boleh dicampur-adukkan agar tidak memicu kekacauan bahasa dan maknanya.
Misal, tata aturan permainan berbahasa dalam konteks ilmiah dan biasa atau
keseharian. Kedua jenis penggunaan bahasa ini memiliki tata aturan permainannya
sendiri, yang bila dicampur-adukkan, niscaya akan melahirkan kekacauan
berbahasa dan pemaknaannya.[21] Apa
yang menjadi tata aturan permainan ilmiah, tidak bisa dicampurkan penggunaannya
dalam tata aturan permainan bahasa biasa. Demikian pula sebaliknya.
Oleh
karena itu, mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan
permainan bahasa tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein
II, yang sangat bertentangan dengan pemikiran utama Wittgenstein I. Pemikiran
Wittgenstein ini sangat terang muncul dalam pernyataannya: “Makna sebuah kata
tergantung penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna sebuah kalimat tergantung
penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya
dalam sebuah kehidupan.” “Konteks”, inilah sebenarnya padanan maksud yang
dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa itu. Setiap
makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang
melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya.[22]
Kata
“kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum,
maka ia bermakna “stop, berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah
diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna
“komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum
liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai
dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”. Dan
seterusnya.
Misal
lain, kata “rumah”. Jika konteks penggunaannya menunjuk pada bangunan, maka ia
berarti sebuah “tempat tinggal”. Jika digunakan dalam konteks kebudayaan, ia
berarti “akar budaya”. Jika digunakan dalam konteks politik, ia berarti “partai
politik”. Dan seterusnya. Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam
konteks formal atau tidak. Kata “aku”, misalnya, jika digunakan dalam konteks
non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab,
dan intim. Tapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam
sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas, dan
bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan non-formal ini pun
harus diperhatikan dengan baik tata aturan permainannya, tidak boleh
dicampur-adukkan, atau diabaikan, karena akan memicu kerancuan makna dan kesan
bahasa dalam penggunaannya.
Lain
lagi kasusnya bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau
disiplin ilmu tertentu. Tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata
ilmiah baku khas Ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan
dalam konteks Ekonomi, jelas maknanya. Tapi jika kata ilmiah baku tersebut
digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, bisa memicu kesalahpahaman arti.
Kata “permintaan dan penawaran” tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan
untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap di rumahnya”. Konsekwensi
logis dari permainan bahasa dari Wittgenstein adalah bahwa setiap kata memiliki
makna yang berbeda-beda.
Makna bahasa bukan terdapat dalam
bahasa atau penutur bahasa melainkan terdapat dalam kehidupan manusia itu
sendiri. Oleh karena itu untuk mengkaji makna bahasa harus dilakukan pengamatan
terhadap kehidupan manusia dalam hubungannya dengan aturan penggunaan bahasa
tersebut. Setiap konteks penggunaan bahasa memiliki aturan masing-masing. Dalam
aturan beserta penggunaannya dalam kehidupan manusia itulah akan ditemukan
makna bahasa.
D.
Analisis
Ajaran Sufi Falsafi Dengan Pendekatan Permainan Bahasa
Sebagaima
yang telah diketahui bersama bahwa setiap sufi mendasarkan ajarannya kepada
pengalaman spiritual sendiri-sendiri. Oleh karenanya maka setiap ajaran sufi
yang satu dengan yang lain akan
berbeda-beda. Terlebih lagi apa yang diajarkan para sufi sebatas rasa yang mana
sulit untuk didefiniskan secara jelas. Kebanyakan sufi yang berusaha menuangkan
pengalaman ruhaniyahnya kepada realitas kehidupan maka bahasa-bahasa (syatahat) mereka sulit dipahami.
Di
dalam makalah ini penulis mengeksplorasi pemikiran sufi falsafi yang dianggap
sebagai repersentasi dari ajarannya yang dianggap “sesat” oleh para penguasa
dan fuqaha. Mereka adalah Abu Yazid
al-Bustami dan al-Hallaj. Keduanya secara konseptual sama-sama mengusung ajaran
penyatuan wujud dengan Tuhan, namun secara teknis berbeda.
Latar belakang pamikiran tasawuf falsafi Abu Yazid al-Bustami ialah
adanya konsep fana’ dan baqa’. Faham ini berpendapat atau
berpandangan bahwa manusia dapat bersatu dengan Allah. Faham ini merupakan
peningkatan dari faham ma’rifah dan mahabbah. Sebelum seorang
sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan (ittihad), ia harus terlebih dahulu
dapat melenyapkan kesadarannya melalui fana’. Pelenyapan kesadaran diri
itu dalam khasanah sufi itu diiringi dengan baqa’.
Secara lugawi atau estimologis, fana’ berarti hancur, lebur,
musnah, lenyap, hilang atau tiada. Sementara baqa’ berarti tetap, kekal,
abadi, atau hidup terus (kebalikan dari fana’). Fana’ dan baqa’
merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanya fana’ menunjukkan adanya baqa’.[23]
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’an
al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’an al-nafs ialah hancurnya
perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujut tubuh kasarnya dan alam
sekitar.
Ittihad ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat sufi bahwa
jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi. Atau dengan kata lain,” Aku”nya
manusia itu adalah pancaran dari yang Mahasa Esa.[24]
Siapapun yang bisa membebaskan diri dari alam lahiriahnya atau mampu meniadakan
kepribadian dari kesadaranya, maka dia akan mendapat jalan menuju sumber yang
asal.
Pengertian ittihad sendiri dalam sudut pandang etimologi yaitu
persatuan. dalam kamus sufisme berarti persatuan antara manusia dengan Tuhan.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihad kelihatannya
ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan: suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu.[25]
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara
yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi
yang bersangkutan, karena fana’-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Sementara konsep
sentral dari al-Hallaj adalah hulul. Banyak
para ulama yang berbeda pendapat tentang hakikat ajaran Hulul Al-Hallaj. Al-Taftazani telah berusaha menyimpulkan bahwa hululnya Al-Hallaj bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Paham hulul Al-Hallaj, menurut Al-Taftazani merupakan perkembangan dan
bentuk lain dari paham ittihad yang
diajarkan oleh Abu Yazid. Sebenarnya antara ittihad
dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad, diri Abu Yazid hancur dan yang
ada hanya Allah, sedang dalam hulul hanya
diri Al-Hallaj yang tidak hancur. Dalam
paham ittihad, yang dilihat hanya
satu wujud, sedang dalam paham hulul
ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Menurut
Al-Hallaj Allah itu mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (Lahut) dan sifat kemanusiaan (Nasut).[26]
Demikian juga dengan manusia, mempunyai sifat kemanusian (Nasut) dan mempunyai sifat ketuhanan (Lahut) dalam dirinya. Paham Al-Hallaj ini dapat dilihat dari
tafsirannya mengenai kejadian Adam dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 34: Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada
para malaikat; sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis;
ia enggan dan takabur; dan ia termasuk golongan orang-orang kafir.
(QS.2:34).
Menurut
paham tasawuf Al-Hallaj, dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam
diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Agar manusia dapat bersatu dengan Tuhan,
ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan melalui fana’. Kalau sifat-sifat kemanusian
telah hilang dari dirinya dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan, maka di
situlah Tuhan dapat mengambil tempat (hulul)
dalam dirinya. Antara roh Tuhan dan roh manusia dapat bersatu dalam tubuh
manusia.
Yang
dimaksud hulul diatas ialah penyatuan
sifat ketuhanan dengan sifat kemanusian. Adapun menurut istilah tasawuf, Hulul
merupakan suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan
yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[27]
Menurut Al-Hallaj, dengan cara inilah seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan.
Jadi ketika Al-Hallaj berkata:Ana al-Haqq
(Aku adalah Tuhan) bukan roh Al-Hallaj
yang mengucapkan kata tersebut melainkan roh Tuhan yang mengambil tempat pada
diri Al-Hallaj.
Itulah
tadi sedikit tentang penjelasan mengenai ajaran-ajaran yang dibawa oleh Abu
Yazid dengan al-Hallaj. Kedua sufi besar tersebut dihukum mati oleh penguasa
akibat dari ajarannya yang dianggap menyimpang dari syariat Islam. Para fuqaha
yang dalam memahami suatu masalah secara tekstualis ini kemudian mengklaim
mereka sebagai orang kafir dan wajib dihukum mati.
Jika
kita analisis dengan pendekatan filsafat permainan bahasa, maka kedua kelompok
ini antara sufi dengan fuqaha masing-masing memiliki aturan main
sendiri-sendiri. Jika pada sufi pendekatan yang digunakan adalah pengalaman rasa dan simbolis maka yang
digunakan oleh para fuqaha adalah tekstualis-normatif. Oleh karena antara
keduanya tidak akan ada kata sepakat karena sebagaimana dalam filsafat permainan
bahasa, antara keduanya memiliki aturannya masing-masing.
Permasalahan
ajaran penyatuan wujud ini jika ditarik kepada pendekatan bahasa maka setiap
bentuk permainan bahasa memiliki aturan permainan sendiri-sendiri yang tidak
dapat dicampuradukkan satu sama lain. Tata aturan (ragam) tasawuf misalnya,
memiliki aturan permainan sendiri dalam arti ketentuan-ketentuan yang harus
dipatuhi oleh para sufi sendiri. Penggunaan bahasa dalam konteks tasawuf tidak
dapat dicampuradukkan dengan penggunaan bahasa dalam ilmu syariat, sebab bahasa
ilmu syariat memiliki aturan tersendiri. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena
itu, mustahil bilamana kita menentukan suatu aturan permainan bahasa yang
bersifat umum yang berlaku dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.
Jika kedua hal
ini tetap dipaksakan agar salah satunya tunduk kepada yang lain maka yang
terjadi adalah penghukuman mati oleh para sufi yang tidak sejalan pandangannya
dengan para fuqaha. Dimana saat itu para fuqaha berafiliasi dengan para
penguasa. Tidak selayaknya para fuqaha yang sangat tektualis tersebut mengukumi
kafir kepada para sufi yang notabene mereka adalah para wali-wali Allah dibumi.
Kalimat-kalimat syatahat para sufi
sebenarnya telah mereprenstasi dari permainan bahasa karena setiap sufi juga
memiliki aturan sendiri-sendiri yang tidak bisa disifatkan secara umum general.
E.
Kesimpulan
Secara general tentang permainan bahasa Wittgenstein ini
adalah Setiap
bentuk permainan bahasa memiliki aturan permainan sendiri-sendiri yang tidak
dapat dicampuradukkan satu sama lain. Tata aturan (ragam) ilmiah misalnya,
memiliki aturan permainan sendiri dalam arti ketentuan-ketentuan yang harus
dipatuhi oleh masyarakat ilmiah. Penggunaan bahasa dalam konteks ilmiah tidak
dapat dicampuradukkan dengan penggunaan bahasa dalam ragam santai, sebab ragam
santai memiliki aturan tersendiri. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu,
mustahil bilamana kita menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat
umum yang berlaku dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.
Jika
permainan bahasa ini digunakan sebagai analisis terhadap ajaran para sufi
falsafi yakni Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj. Maka para sufi memiliki aturan
main tersendiri terkait ajarannya. Pada Abu Yazid ajaran yang dibawanya adalah ittihad, sementara pada al-Hallaj yang
dibawa adalah hulul. Kedua ajaran
tersebut memiliki karakter sendiri-sendiri. Dan yang terjadi saat itu adalah
pertentangan antara para sufi dengan fuqaha. Karena kedua kelompok tersebut
memiliki “aturan main” tersendiri. Jika kedua kelompok tersebut memaksakan agar
ajarannya diterima oleh kelompok lain maka yang terjadi adalah saling klaim
”kafir” dan bahkan penghukuman mati para sufi. mengingat setiap mustahil
bilamana kita menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat umum yang
berlaku dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.
[1] Aun Falesten. Tasawuf Falsafi
Persia dimasa Islam klasik.(Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), 92-93.
[2] Aboebakar Atjeh, Pengantar
Sejarah Sufi&Tasawuf. (Solo: Ramadhani, 1984), 259.
[3] Ibid, 57.
[4] Asmaran AS, Pengantar Studi
Tasawuf. ( Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada,1994), 152.
[5] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam. (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), 81.
[6] .Asmaran AS, Pengantar Studi
Tasawuf. ( Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada,1994), 158
[7] Ibid. 158
[8] AunFalestien Faletehan, Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam,
(Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), 105-106.
[9] . Ibid, 106.
[10] Ibid 110
[11]Asmaran, Pengantar
Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 304.
[12]Dahlan Tamarin, Tasawuf Irfani, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 77
[13]Asmaran, Pengantar
Studi Tasawuf, 309
[14]Ibid,. 310
[15]Ibid,. 310
[16]Muhammad Solihin dan Rosihin
Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung:
Pustaka Setia, 2011), 166
[17] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
78-79.
[18] Ibid., 81.
[19] Kaelan, Filsafat Bahasa, Semiotika dan Hermeneutika, (Yogyakarta:
Paradigma, 2009), 124-125.
[20] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
105-106.
[21]Kaelan, Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Paradigma,2006), 67
[22] Stephen Palmquis, Pohon
Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), 210
[23] Asmaran AS, Pengantar Studi
Tasawuf. ( Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada,1994), 152.
[24] Ibid., 158
[25] Ibid. 158
[26]Dahlan Tamarin, Tasawuf Irfani, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 77
[27]Muhammad Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2011), 166
Tidak ada komentar:
Posting Komentar