BIOGRAFI SHAH WALIYULLAH AL-DIHLAWI
Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin Wajih al-Din al-Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Aḥmad bin Maḥmud
bin Qiwam al-Din al-Dihlawi. Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 4 Syawal
1114 H atau 21 Februari 1703 M. di Phulat, sebuah kota kecil di dekat Delhi[1]. Ulama
yang hidup di abad 18 ini merupakan pengikut sirhindi yang melanjutkan
pembaharuan dalam situasi lingkungan di bawah kemunduran imperium Mughal.
Kemunduran ini sendiri terjadi sepeninggal Raja Awrangzeb, sementara pengganti berikutnya lebih lemah dan tak bisa meneruskan
estafet kepemimpinan dengan baik. Ketika kematian Awrangzeb ini terjadi, al-Dihlawi berusia empat tahun. Adapun
transformasi ide dan gerakannya dilakukan setelah ia melakukan pengembaraan
intelektual dari Makkah, kota pusat kaum pembaharu. Ia menekankan pentingnya
kembali kepada ajaran Nabi dan keharusan memurnikan Islam (purifikasi)
dari pemujaan pada para wali lantaran bertentangan tidak konsisten terhadap
ajaran Nabi[2].
Waliyullah al-Dihlawi
merupakan anak dari isteri kedua ayahnya. Pada saat menikah dengan ibunya,
ayahnya (Shah Abd al-Rahim) berusia 60 tahun.
Walaupun menerima kecaman dari beberapa orang sebab menikah di usia senja, akan
tetapi ia mantap untuk melakukannya. Hal ini dikarenakan ia mendapat isyarat
mistik bahwa akan mendapatkan seorang anak yang mencapai derajat mistik yang
lebih tinggi. Kenyataanya, Shah Abd al-Raḥim masih hidup sampai al-Dihlawi
berusia 17 tahun dan malah mendapatkan seorang anak laki-laki lain yang ia namai
Ahlullah. Diceritakan pula, ibu al-Dihlawi adalah anak dari murid ayahnya
sendiri yang bernama Syekh Muhammad.
Dari sisi genealogisnya
(nasab), al-Dihlawi hidup dalam keluarga yang mempunyai silsilah keturunan
dengan atribut sosial yang tinggi di masyarakatnya. Kakeknya (Syaikh Wajih
al-Din) merupakan perwira tinggi dalam tentara kaisar Jahangir dan pembantu
Awrangzeb[3]
(1658-1707 M) dalam perang perebutan tahta. Sementara ayahnya, Syaikh Abd
al-Raḥim (w. 1719 M./1131 H.), adalah seorang yang mempunyai keilmuan yang
sangat tinggi, sufi yang membantu penyusunan kitab Fatawa-I-Alamghiri,
sebuah buku tentang hukum Islam. Selain itu, ia juga menjadi ustadz di
Madrasahnya sendiri “al-Rahimiyah”, sebuah Madrasah yang mencetak banyak
regenerasi mujaddid (pembaharu), termasuk Shah Waliyullah al-Dihlawi.
Apalagi jika nasabnya diruntut ke atas maka akan sampai pada Khalifah Umar bin
Khattab dari jalur Abdillah[4].
Sementara dari jalur ibunya, maka ia akan sampai pada Musa al-Kazim, Imam
ketujuh dari golongan Syiah Isna Asyariyah. Dengan demikian ia termasuk
keturunan Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah[5].
Tatkala ia berusia 15
tahun, ayahnya menerima al-Dihlawi sebagai murid dalam tariqat Naqsyabandiyah
dan ia mulai menjalankan pelatihan dan amalan sufi. Pada umur itu pula al-Dihlawi
menyelesaikan sekolahnya dalam bidang agama Islam dan diizinkan oleh ayahnya
untuk mengajar teman-temannya[6].
Menurut Sayyid Sābiq, perjalanan
intelektual Shāh Waliyullah al-Dihlawi paling tidak terbagi menjadi tiga tahap.
Pertama, menghafalkan al-Qur’an dan ia sanggup melakukannya pada usia
tujuh tahun. Kedua, mempelajari kajian-kajian agama, seperti linguistik
(lugah), tafsir, hadis, fikih, ushul, tasawwuf, aqidah, mantiq,
kedokteran, filsafat, dan matematika. Ia memulai belajar pada usia sepuluh
tahun dan dapat menyelesaikannya dalam usia 15 tahun. Ketiga, perjalanan
menunaikan ibadah haji sekaligus mengembangkan karir intelektual ke Hijaz
selama kurang dari dua tahun (14 bulan). Ia pergi ke Hijaz pada tahun 1143
H./1731 M. (selang beberapa waktu setelah ayahnya meninggal) dan kembali ke
tanah kelahirannya, India pada tahun 1145 H./1733 M. Sehingga bisa dikatakan
perjalanannya dilaksanakan pada umur 29 tahun.
Masa tinggalnya di Hijaz
banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran al-Dihlawi dan kehidupan selanjutnya.
Di tempat itu, ia belajar hadis, fikih, ajaran sufi pada sejumlah guru yang istimewa
di sana, seperti Syekh Abu Thahir al-Kurdi al-Madani, Syekh Wafd Allah al-Makki
al-Maliki, dan Syekh Taj al-Din al-Qala’i al-Hanafi[7]. Semua guru-gurunya
memperkenalkan kepada al-Dihlawi kecenderungan meningkatnya kosmopolitanisme
dalam ilmu hadis yang mulai muncul di sana pada abad ke-18 sebagai perpaduan
dari tradisi kajian dan penilaian dari Afrika Barat, Suria, dan India[8]. Di
Hijaz ini pula, ia banyak memperoleh pengalaman mistik, seperti mimpi bertemu
Nabi Muhammad. Ia mengajukan beberapa pertanyaan pada Nabi dan dijawab dengan
lugas. Kemudian diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Nabi tersebut[9].
Barangkali dari
pengembaraan intelektual di Hijaz itulah al-Dihlawi terinspirasi ide
pembaharuan dari kaum pembaharu yang gencar-gencarnya dicuatkan pada waktu itu.
Sehingga tak ayal, slogan “Back to Qur’an and Sunna” dan menghilangkan taqlid
buta menjadi inti pemikirannya[10]. Dalam
hal ini, ia berpendapat bahwa orang Islam harus berpegang teguh pada al-Qur’an,
sunnah, dan aqidah, serta amalan mayoritas sahabat dan tabi’in.
Menurut al-Dihlawi pula, “Back to Qur’an and Sunna” menjadi solusi atas
problematika yang menghadang umat Islam di India, semisal para elit
pemerintahan yang gemar hidup berfoya-foya, pemberontakan-pemberontakan dari
dalam, serangan-serangan dari luar, bahkan tingkah laku ulama yang jumud
dan para sufi yang cenderung menyia-nyiakan ketentuan syari’at.
Shah Waliyullah al-Dihlawi
memiliki dua orang istri. Isteri kedua dinikahinya beberapa saat setelah
kepulangannya dari Hijaz. Dari isteri pertamanya, ia mendapatkan seorang
putra bernama Shah Muhammad (1730-1793) dan seorang putri bernama Ammatul
Aziz. Sedangkan dari isteri keduanya, al-Dihlawi memperoleh empat orang putra (Shah Abdul Aziz Muhaddith Dehlavi, Shah Rafi’ al-Din, Shah Abdul
Qadir, dan Shah Abdul
Ghani) dan seorang putri.
Melalui merekalah, terutama putranya, Shah Abdul Aziz, Shah Rafi’ al Din, serta
cucunya, Shah Ismail Syahid ajaran beliau tersebar ke sebagian besar
wilayah India[11].
Ia wafat pada hari sabtu sore, tanggal 29 Muharram 1176 H. atau 20 Agustus 1762
dalam usia 59 tahun di tempat kelahirannya[12].
Karya-karya yang telah
diukir oleh Ulama multidisipliner ini sangat banyak. Zafrul Islam Khan
menyebutkan bahwa kitab karangan Shah Waliyullah al-Dihlawi berjumlah 100 buah
yang mencakup berbagai varian ilmu, mulai al-Qur’an, hadis, tarikh, fikih, usul
fikih, tasawwuf, filsafat, dan politik. Hasil karya tersebut ditulis dalam
bahasa Arab maupun persia dan kebanyakan dibuat setelah rihlah ilmiyah
selama 14 bulan di Hijaz, termasuk Ḥujjah Allah al-Bāliġah yang memuat
metodologi pemahaman hadis al-Dihlawī. J.M.S. Baljon menyebutkan ada dua karya
al-Dihlawi yang dikarang sebelum keberangkatannya ke Hijaz. Dua karya tersebut
adalah al-Qasida al-Lamiya (lirik puisi, bahasa arab) dan al-Qawl
al-Jamil fi Bayan Sawa’ al-Sabil (kualifikasi-kualifikasi sufi, bahasa
arab)[13].
[1] Munawir, Tipologi Pembagian Hadis Risālah dan Ģairu Risālah; Studi
Pemikiran Hadis al-Dahlawi dalam Jurnal
Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 10, No. 1 Januari 2009, hlm. 114.
[2] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj
Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 27.
[3] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj
Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 33-34
[5] Lihat J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī,
1703-1762 (Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 1.
[6] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj
Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 29
[7] Harun nasution, Pembaruan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), hlm. 20
[8] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj
Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 29
[10] Nur Khalik Ridwan, Perselingkuhan Wahabi dengan Agama, Bisnis, dan
Kekuasaan (Yogyakarta: Tanah Air, 2009), hlm. 4-5
[13] J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī,
1703-1762 (Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar