Rabu, 07 November 2012

Syah Waliyullah al-Dihlawi


BIOGRAFI SHAH WALIYULLAH AL-DIHLAWI
Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin Wajih al-Din al-Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Aḥmad bin Maḥmud bin Qiwam al-Din al-Dihlawi. Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 4 Syawal 1114 H atau 21 Februari 1703 M. di Phulat, sebuah kota kecil di dekat Delhi[1]. Ulama yang hidup di abad 18 ini merupakan pengikut sirhindi yang melanjutkan pembaharuan dalam situasi lingkungan di bawah kemunduran imperium Mughal. Kemunduran ini sendiri terjadi sepeninggal Raja Awrangzeb, sementara pengganti berikutnya lebih lemah dan tak bisa meneruskan estafet kepemimpinan dengan baik. Ketika kematian Awrangzeb ini terjadi, al-Dihlawi  berusia empat tahun. Adapun transformasi ide dan gerakannya dilakukan setelah ia melakukan pengembaraan intelektual dari Makkah, kota pusat kaum pembaharu. Ia menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Nabi dan keharusan memurnikan Islam (purifikasi) dari pemujaan pada para wali lantaran bertentangan tidak konsisten terhadap ajaran Nabi[2].
Waliyullah al-Dihlawi merupakan anak dari isteri kedua ayahnya. Pada saat menikah dengan ibunya, ayahnya (Shah Abd al-Rahim) berusia 60 tahun. Walaupun menerima kecaman dari beberapa orang sebab menikah di usia senja, akan tetapi ia mantap untuk melakukannya. Hal ini dikarenakan ia mendapat isyarat mistik bahwa akan mendapatkan seorang anak yang mencapai derajat mistik yang lebih tinggi. Kenyataanya, Shah Abd al-Raḥim masih hidup sampai al-Dihlawi berusia 17 tahun dan malah mendapatkan seorang anak laki-laki lain yang ia namai Ahlullah. Diceritakan pula, ibu al-Dihlawi adalah anak dari murid ayahnya sendiri yang bernama Syekh Muhammad.
Dari sisi genealogisnya (nasab), al-Dihlawi hidup dalam keluarga yang mempunyai silsilah keturunan dengan atribut sosial yang tinggi di masyarakatnya. Kakeknya (Syaikh Wajih al-Din) merupakan perwira tinggi dalam tentara kaisar Jahangir dan pembantu Awrangzeb[3] (1658-1707 M) dalam perang perebutan tahta. Sementara ayahnya, Syaikh Abd al-Raḥim (w. 1719 M./1131 H.), adalah seorang yang mempunyai keilmuan yang sangat tinggi, sufi yang membantu penyusunan kitab Fatawa-I-Alamghiri, sebuah buku tentang hukum Islam. Selain itu, ia juga menjadi ustadz di Madrasahnya sendiri “al-Rahimiyah”, sebuah Madrasah yang mencetak banyak regenerasi mujaddid (pembaharu), termasuk Shah Waliyullah al-Dihlawi. Apalagi jika nasabnya diruntut ke atas maka akan sampai pada Khalifah Umar bin Khattab dari jalur Abdillah[4]. Sementara dari jalur ibunya, maka ia akan sampai pada Musa al-Kazim, Imam ketujuh dari golongan Syiah Isna Asyariyah. Dengan demikian ia termasuk keturunan Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah[5].
Tatkala ia berusia 15 tahun, ayahnya menerima al-Dihlawi sebagai murid dalam tariqat Naqsyabandiyah dan ia mulai menjalankan pelatihan dan amalan sufi. Pada umur itu pula al-Dihlawi menyelesaikan sekolahnya dalam bidang agama Islam dan diizinkan oleh ayahnya untuk mengajar teman-temannya[6].
Menurut Sayyid Sābiq, perjalanan intelektual Shāh Waliyullah al-Dihlawi paling tidak terbagi menjadi tiga tahap. Pertama, menghafalkan al-Qur’an dan ia sanggup melakukannya pada usia tujuh tahun. Kedua, mempelajari kajian-kajian agama, seperti linguistik (lugah), tafsir, hadis, fikih, ushul, tasawwuf, aqidah, mantiq, kedokteran, filsafat, dan matematika. Ia memulai belajar pada usia sepuluh tahun dan dapat menyelesaikannya dalam usia 15 tahun. Ketiga, perjalanan menunaikan ibadah haji sekaligus mengembangkan karir intelektual ke Hijaz selama kurang dari dua tahun (14 bulan). Ia pergi ke Hijaz pada tahun 1143 H./1731 M. (selang beberapa waktu setelah ayahnya meninggal) dan kembali ke tanah kelahirannya, India pada tahun 1145 H./1733 M. Sehingga bisa dikatakan perjalanannya dilaksanakan pada umur 29 tahun.
Masa tinggalnya di Hijaz banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran al-Dihlawi dan kehidupan selanjutnya. Di tempat itu, ia belajar hadis, fikih, ajaran sufi pada sejumlah guru yang istimewa di sana, seperti Syekh Abu Thahir al-Kurdi al-Madani, Syekh Wafd Allah al-Makki al-Maliki, dan Syekh Taj al-Din al-Qala’i al-Hanafi[7]. Semua guru-gurunya memperkenalkan kepada al-Dihlawi kecenderungan meningkatnya kosmopolitanisme dalam ilmu hadis yang mulai muncul di sana pada abad ke-18 sebagai perpaduan dari tradisi kajian dan penilaian dari Afrika Barat, Suria, dan India[8]. Di Hijaz ini pula, ia banyak memperoleh pengalaman mistik, seperti mimpi bertemu Nabi Muhammad. Ia mengajukan beberapa pertanyaan pada Nabi dan dijawab dengan lugas. Kemudian diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Nabi tersebut[9].
Barangkali dari pengembaraan intelektual di Hijaz itulah al-Dihlawi terinspirasi ide pembaharuan dari kaum pembaharu yang gencar-gencarnya dicuatkan pada waktu itu. Sehingga tak ayal, slogan “Back to Qur’an and Sunna” dan menghilangkan taqlid buta menjadi inti pemikirannya[10]. Dalam hal ini, ia berpendapat bahwa orang Islam harus berpegang teguh pada al-Qur’an, sunnah, dan aqidah, serta amalan mayoritas sahabat dan tabi’in.  
            Menurut al-Dihlawi pula, “Back to Qur’an and Sunna” menjadi solusi atas problematika yang menghadang umat Islam di India, semisal para elit pemerintahan yang gemar hidup berfoya-foya, pemberontakan-pemberontakan dari dalam, serangan-serangan dari luar, bahkan tingkah laku ulama yang jumud dan para sufi yang cenderung menyia-nyiakan ketentuan syari’at.
Shah Waliyullah al-Dihlawi memiliki dua orang istri. Isteri kedua dinikahinya beberapa saat setelah kepulangannya dari Hijaz. Dari isteri pertamanya,  ia mendapatkan seorang putra  bernama Shah Muhammad (1730-1793) dan seorang putri bernama Ammatul Aziz. Sedangkan dari isteri keduanya, al-Dihlawi memperoleh empat orang putra (Shah Abdul Aziz Muhaddith Dehlavi, Shah Rafi’ al-Din,  Shah Abdul Qadir, dan  Shah Abdul Ghani) dan seorang putri. Melalui merekalah, terutama putranya, Shah Abdul Aziz, Shah Rafi’ al Din, serta cucunya, Shah Ismail Syahid ajaran beliau  tersebar ke sebagian besar wilayah India[11]. Ia wafat pada hari sabtu sore, tanggal 29 Muharram 1176 H. atau 20 Agustus 1762 dalam usia 59 tahun di tempat kelahirannya[12].
Karya-karya yang telah diukir oleh Ulama multidisipliner ini sangat banyak. Zafrul Islam Khan menyebutkan bahwa kitab karangan Shah Waliyullah al-Dihlawi berjumlah 100 buah yang mencakup berbagai varian ilmu, mulai al-Qur’an, hadis, tarikh, fikih, usul fikih, tasawwuf, filsafat, dan politik. Hasil karya tersebut ditulis dalam bahasa Arab maupun persia dan kebanyakan dibuat setelah rihlah ilmiyah selama 14 bulan di Hijaz, termasuk Ḥujjah Allah al-Bāliġah yang memuat metodologi pemahaman hadis al-Dihlawī. J.M.S. Baljon menyebutkan ada dua karya al-Dihlawi yang dikarang sebelum keberangkatannya ke Hijaz. Dua karya tersebut adalah al-Qasida al-Lamiya (lirik puisi, bahasa arab) dan al-Qawl al-Jamil fi Bayan Sawa’ al-Sabil (kualifikasi-kualifikasi sufi, bahasa arab)[13].


[1] Munawir, Tipologi Pembagian Hadis Risālah dan Ģairu Risālah; Studi Pemikiran Hadis al-Dahlawi dalam  Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 10, No. 1 Januari 2009, hlm. 114.
[2] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 27.
[3] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 33-34
[4] Ibid, hlm. 27-28
[5] Lihat J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī, 1703-1762 (Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 1.               
[6] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 29
[7] Harun nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 20
[8] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 29
[9] Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeven, 1993), hlm. 255
[10] Nur Khalik Ridwan, Perselingkuhan Wahabi dengan Agama, Bisnis, dan Kekuasaan (Yogyakarta: Tanah Air, 2009), hlm. 4-5
[11] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 2003), hlm. 297.
[12] Harun Nasution, Ensiklopedia Islam jilid 3 (Jakarta: Andi Utama, 1993), hlm. 1146
[13] J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī, 1703-1762 (Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate