Selasa, 06 November 2012

Kosmologi Surahwardi


Konsep Kosmologi Surahwardi:

Segala yang bukan cahaya disebut sebagai “kualitas mutlak” atau “materi mutlak”. Ini hanyalah sebuah penegasan atas cahaya, dan bukan suatu prinsip mandiri sebagaimana  yang secara salah dianggap oleh para pengikut aristoteles. Semua yang bukan cahaya dibagi menjadi:
a). Kekal abadi, misalnya: Intelek, Jiwa dari benda-benda angkasa, langit, unsur-unsur tunggal, waktu dan gerak.
b).  Tergantung, misalnya: senyawa-senyawa dari berbagai unsur.
Terdapat tiga unsur dasar, yaitu air, tanah, dan angin. Paduan unsur-unsur ini, di bawah berbagai pengaruh langit, mengambil barbagai bentuk, yaitu bentuk cair, padat, dan gas. Perubahan bentuk unsur-unsur orisinil tersebut membentuk proses “membuat dan merusak”.[1]
Semua fenomena alam , yaitu hujan, awan, meteor, guntur adalah berbagai kerja dari prinsip imanen gerak ini, dan diterangkan oleh operasi langsung atau tidak langsung cahaya pertama atas segalan sesuatu , yang antara satu dengan yang lain berbeda-berbeda dalam menerima itensitas cahaya.
Tentang teori kosmologinya, Suhrawardi mendasarkan pada iluminasi atau emanasi. Sebenarnya teori iluminasi tidaklah jauh berbeda dengan teori emanasi pada era filsafat paripatetik. Jika teori emansi pada filsafat peripatetik yakni pada setiap bagian diidentikkan dengan akal, maka pada filsafat iluminasi setiap bagian diidentikka dengan cahaya.
Menurut Suhrawardi, pelimpahan atau emnasi dari sumber pertama (Tuhan) itu bersifat abadi, terus menerus, sebab pelakunya tidak berubah-ubah dan terus ada.[2] Sebagai konsekuensi dari uraian tersebut, alam ini juga bersifat abadi sebagai akibat dari pelimpahan-Nya. Dengan kata lain bahwa ada dua yang qadim, yakni Tuhan dan alam. Namun demikian, menurut suhrawardi tetap berbeda antara keduanya.
Menurut Surahwardi, alam adalah merupakan manifestasi kekuatan penerang yang membentuk pembawaan esensial Cahaya pertama. Oleh karena itu, selama alam tersebut hanya sebuah manifestasi maka ia hanyalah sebuah maujud yang tergantung , dan akibatnya alam tidaklah abadi. Semua ragam lingkungan maujud ada barkat penerangan dan sinar Cahaya Abadi.[3]
Labih lanjut Suhrawardi mengatakan bahwa terdapat empat kumpulan alam yang menjadi susunan eksistensi alam semesta ini. Pertama adalah alam-alam akal atau intelek, kedua alam jiwa-jiwa, ketiga alam bentuk atau jasad, dan yang keempat adalah alam mitsal.
Dikatakan bahwa Alam Pertama yang di dalam tradisi filosofis dinamakan Alam akal atau Alam Intelek, menurut mereka adalah substansi atau jauhar yang tidaka dapat ditunjuk oleh indera atau menyatu dengan bentuk. Lingkungan Alam Akal atau Alma Intelek berisi cahaya-cahaya dominator yang jumlahnya tergantung dari itensitas pancaran dari Cahaya pertama. Termasuk ke dalam lingkungan alam akal ialah Ruh Qudus yang darinya jiwa-jiwa kita berasal dan Rabb Thilsam, yang oleh para filosof paripatetik menamakannya akal fa’al. Di tempat lain Suhrawardi menamakannya dengan Arbab al-Anwa’.
Alam kedua ialah alam jiwa-jiwa, dimana didalamya terdapat jiwa-jiwa pengatur planet-planet langit dan tubuh-tubuh manusia. Dalam hal ini, Suhrawardi berbeda dengan para filosof paripatetik yang mengatakan bahwa jiwa-jiwa planet muncul secara langsung dari akal-akal yang tertinggi, sementara Suhrawardi berpendapat bahwa jiwa-jiwa planet tersebut muncul dari Arbab al-anwa’ al- Samawi. Yang berasal dari hirarki cahaya atau akal horizontal.
Alam ketiga ialah Alam Jism atau Alam bentuk. Menurut Suhrawardi ada dua macam alam bentuk: Alam bentuk unsur, yang berada dibawah planet bulan, dan Alam bentuk zat yang sangat halus, yaitu bentuk bentuk planet langit.
Alam keempat yakni suatu alam kelepasan jiwa menuju kesempurnaan. Mengenai alam yang keempat ini merupakan sebuah inovasi tebaru dari Suhrawardi. Pembagian ini juga merupakan keistimewaan tersendiri dalam filsafat Suhrawardi. Berkat pengalamannya menjalani kehidupan sufi dan mujahadah yang terus menerus dilakukannya dengan pergulatan batinnya telah mampu menghasilkan sesuatu yang belum pernag ditemukan oleh para filosof lain.


[1]  Ibid, 160
[2]  Amroeni Drajat, Filsafat Iluminasi. (Jakarta: Riora Cipta, 2001), 76.
[3]  Hasyimsyah Nasution, filsafat islam. (Jakarta: Radar Jaya, 2005), 161 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate