Konsep Tuhan dalam Pikiran Manusia
Tuhan
adalah masalah pokok dalam setiap agama dan filsafat. Agama tanpa kepercayaan
kepada Tuhan tidak disebut agama. Begitu juga filsafat, pembahasan filsafat yang
pertama kali muncul adalah masalah metafisika, yaitu dari mana asal usul alam
dan apa zat yang menjadi dasar alam. Sebagian filsuf Yunani klasik berpendapat
bahwa alam berasal dari salah satu unsur, antara lain Thales, Anaximenes,
Anaximandros. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa penyusun alam ini
berasal dari beberapa gabungan unsur, antara lain Empedokles.
Plato
dan Aristoteles kemudian mengemukakan pendapat yang sudah sampai memikirkan
sesuatu realitas yang di luar alam; yaitu zat yang berbeda dengan alam,
bersifat immateri, abadi, satu dan sempurna. Plato menemakannya ide Kebaikan
dan Aristoteles menyebutnya dengan Sebab Utama atau Penggerak Yang Tidak
Bergerak. Kendati para filosof telah
mampu mengetahui realitas itu belum merupakan suatu konsep yang utuh sebagai
mana agama. Dalam pemikiran filsafat, realitas tertinggi itu merupakan ide
manusia dan kemestian logis dari pemikiran. Namun, realitas itu belum disebut
dengan Tuhan yang personal, tetapi Tuhan yang impersonal. Untuk mengetahui
masalah tersebut, maka kedua hal tersebut akan dijelaskan pada alenia
berikutnya.
a.
Tuhan Personal
Tuhan yang
personal terdapat dalam paham agama-agama semitik, seperti Yahudi, Kristen, dan
Islam. Konsep tuhan dalam agama ini jelas identitas diri-Nya (setiap agama
memiliki nama Tuhan) dan aktif serta memiliki berbagai sifat kesempurnaan. Yang
jelas Tuhan personal bukan hasil ide atau pikiran manusia, tetapi didapati dari
informasi wahyu yang dibawa oleh para utusan Tuhan. Personifikasi Tuhan
tercantum dalam Kitab Suci, yaitu Tuhan adalah pencipta alam semesta dan
sekaligus pemeliharaannya. Tuhan juga dalam Kitab Suci disebut sebagai Maha
Kuasa, Maha Mendengar, Maha Tahu, dll yang mana menunjukkan kesempurnaan.
Pada
prinsipnya, Tuhan yang personal yaitu:
1)
Tuhan personal menekankan pada
identitas Tuhan sebagai zat yang sempurna dan perlu disembah sebagai wujud
pengabdian makhluk kepada penciptanya.
2)
Tuhan personal barasal dari petunjuk
Wahyu, oleh karena itu tuhan dalam agama adalah zat Pencipta, dan sekaligus
pemelihara alam.
3)
Tuhan personal mengakui bahwa Tuhan
adalah Zat yang sama sekali berbeda dengan makluk.
Namun demikian,
Tuhan personal tidak luput dari kritikan dan kelemahan. Komentar datang dari
para pemikir modern. Menurut para pemikir modern, Tuhan personal cocok untuk
masyarakat primitif yang menganggap bahwa mereka saja yang berhak memiliki
Tuhan seperti yang mereka gambarkan sendiri. Tuhan yang demikian sudah
ketinggalan zaman sebab Tuhan yang dibutuhkan sekarang adalah Tuhan yang
universal dan tidak milik golongan tertentu.
Kierkegaard,
tokoh eksistensialis abad ke-19, memandang Tuhan personal dari perspektif yang
berbeda. Dia beranggapan bahwa personifikasi Tuhan sesuai dengan kepentingan
setiap individu. Karena itu, dia menolak Tuhan yang supra-personal dan Tuhan
yang objektif. Tuhan, demikian Kierkegaard, adalah subjektif bukan wujud yang
objektif. Tuhan sesuai dengan apa yang digambarkan oleh kepentingan manusia.[2]
b.
Tuhan Impersonal
Tuhan dalam
prespektif impersonal berbeda dengan Tuhan personal, disini tidak mementingkan
apakah Tuhan itu pencipta atau tidak. Yang penting dalam ajaran filsafat Tuhan
itu adalah awal dan akhir segala sesuatu. Aktivitas Tuhan di alam dunia, dalam
pandangan Tuhan yang impersonal, tidak diperlukan karena akan mengurangi
kesempurnaan-Nya. Jadi disini Tuhan bersifat abstrak dan masih berupa ide-ide.
Pada prinsipnya
Tuhan yang impersonal yaitu:
1)
Tuhan impersonal tidak mementingkan
identitas Tuhan, tetapi yang terpenting adalah ide tentang Tuhan merupakan
konsekuensi logis dari keberadaan wujud. Karena itu, Tuhan impersonal tidak
disembah dan dipuja.
2)
Tuhan impersonal berasal dari
kesimpulan pemikiran manusia.
3)
Tuhan yang impersonal perbedaan antara
Tuhan dan makhluk hilang sama sekali, sehingga bisa dikatakan panteisme.
Konsekuensi
dari Tuhan impersonal ialah seseorang penganut agama tidak akan mendapatkan
efek atau manfaat psikologis dari keberadaan Tuhan tersebut karena dia tidak
dapat berhubungan dengan-Nya. Tuhan impersonal terutama dalam panteisme konsep
dosa dan pahala menjadi kabur.
Untuk
menjembatani perbedaan antara Tuhan personal dan Tuhan impersonal, sebagian
penganut teisme berpendapat bahwa Tuhan adalah supra-personal. Artinya, Tuhan
memang memiliki sifat-sifat yang sedemikian rupa, tetapi sifat tersebut tidak
sama dengan sifat manusia. Tuhan memiliki sifat yang maha sempurna, Dialah
person yang utuh, sedangkan person manusia tidak utuh dan hakiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar