Minggu, 23 Juni 2013

Orientasi Politik Masyumi


Orientasi Politik Masyumi



A.       Sejarah Politik Indonesia Secara Umum
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, banyak sekali ditunggangi berbagai macam kepentingan. Dari kepentingan-kepentingan yang ada, muncullah beberapa organisasi masa dan organisasi politik. Masyarakat sebagai warga negara juga berhak mendirikan organisasi politik dan ikut berpartisipasi dalam aktifitas politik. Semua bentuk aktifitas yang menurut masyarakat memiliki keinginan berkuasa melalui organisasi politik disebut dengan partai politik. Kehidupan politik tentunya tidak jauh dari partai politik. Partai politik lahir sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam perkembangan demokrasi bangsa.
Partai politik yang ada di Indonesia pada mulanya dipengaruhi oleh sistem politik dari negara penjajah, terutama negara-negara Eropa. Bisa diambil contoh Belanda sebagai negara penjajah yang membawa pengaruh terhadap aktifitas berpolitik di Indonesia. Belanda menjadikan Indonesia sebagai pergerakan kolonialnya. Sejarah partai politik di Indonesia pertama kalinya lahir dalam masa kolonial sebagai perwujudan bangkitnya kesadaran nasional. Ada yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammaddiyah. Ada yang berazaskan agama seperti Serikat Islam dan Partai Katholik. Hingga yang berazaskan sekuler seperti PNI dan PKI. Semua parti politik tersebut memainkan peranan penting dalam sejarah perjalanan politik nasional.
B.       Pandangan Politik Dalam Islam
Harus dipahami secara jelas bahwa Islam bukan hanya saja sebagai ajaran-ajaran agama yang membingungkan, melainkan jaringan dalil-dalil yang bersesuaian secara logis dan berkaitan dengan prinsip-prinsip dasarnya. Di antara banyaknya prinsip-prinsip dasar, selain membahas masalah moral dan sosial, Islam juga menjelaskan konsep berpolitik.[1]
Konsep dasar politik Islam bertolak dari al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 30, yang berbunyi sebagai berikut:
30.  Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Surat di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai pemimpin untuk mengatur kehidupan bagi sesama manusia. Hal ini juga diterapkan oleh para Rasulullah yang selain bertugas untuk menyebarkan agama Islam, beliau juga berperan sebagai khalifah fil ardh  (pemimpin di bumi).
Manusia yang diangkat menjadi khalifah dan berfungsi sebagai khalifah di bumi diberi wewenang dan sekaligus merupakan amanat dari Allah untuk mengelola dan memanfaatkan bumi dan alam ini menurut hukumNya yang dibawakan oleh RasulNya, dalam rangka mengabdi dan sekaligus mengharap keridhaanNya.[2]
Bagaimanapun juga, Tuhan adalah penguasa yang nyata. Islam menggunakan istilah “Khilafah” yaitu “Perwakilan Tuhan” sebagai pengganti kedaulatan. Kedaulatan untuk menguasai bumi dan mengelola bumi yang telah dijanjikan Allah kepada kaum beriman tanpa memandang latar belakang dari mana mereka berasal.
C.       Sejarah Politik Islam di Indonesia
Satu dasawarwa 1920-1930-an, menurut Taufik Abdullah merupakan “dasawarsa ideologi” dalam sejarah modern Indonesia. Di masa ini pulalah berbagai jenis ideologi, yang kemudian akan berpengaruh dalam pertumbuhan keagamaan dan dasar ideologi perjuangan, mulai diperdebatkan di kalangan kaum pergerakan nasional.[3]
Kalangan nasionalis Islam menghendaki agar Islamlah yang dijadikan dasar ideologi perjuangan menghadapi kolonial saat itu, sedangkan nasionalis sekular menghendaki dasar Nasionalisme yang lepas dari Islam. Di kalangan nasionalis sekular terdapat keyakinan bahwa pengalaman historis (sejarah) dan kehendak hidup bersamalah yang dapat dijadikan dasar ideologi perjuangan bangsa. Ini artinya bahwa nasionalis sekuler berpandangan bahwa ideologi yang tepat untuk suatu negara ialah adanya persamaan ras, suku, bangsa dan bahkan lebih dari itu juga adanya kesamaan tujuan cita-cita bangsa.
Dalam kondisi demikian, berkembangnya ideologi sekular, serta meningkatnya peranan partai dan tokoh sekularis dalam melakukan agregasi dan artikulasi politik, secara mudah akan menimbulkan kepekaan keagamaan dan ideologi di kalangan umat Islam. Kenyataan ini dapat difahami mengingat sebagian tokoh Muslim, seperti Tjokroaminoto, H.Agus Salim, Ahmad Hasan, dan Moh. Natsir, adalah ideolog modernis universalis dan idealis. Meraka bukan saja meyakinin akan keabadian ajaran Islam, tetapi juga keberlakuannya yang total, asal saja manusia dibimbing oleh iman dan memenuhi fitrahnya sebagai makhluk Allah.
Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap prinsip ideologis antara kedua golongan nasionalis di atas telah menciptakan ketegangan di antara mereka. Ketegangan yang paling jelas terlihat pada retaknya hubungan tokoh-tokoh Sarekat Islam dengan tokoh-tokoh Nasionalis Sekular.
Suasana sosial politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara arus utama intelektual Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan di antara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dengan negara seperti terhenti. Paling tidak untuk sementara, kedua kelompok ini mempunyai perbedaan ideologis. Pada saat itu, tampaknya muncul kesadaran bahwa seluruh bangsa harus menumpahkan energi dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda kembali memasuki wilayah Indonesia.
Berangkat dari latar belakang Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia mencoba menerapkan Islam ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan situasi pasca-kemerdekaan yang begitu kondusif, membuat masyarakat kehilangan kendali, kepada siapa mereka berpegang. Sampai muncullah organisasi politik dan partai politik. Untuk menerapkan konsep kemasyarakatan Islam di Indonesia sangatlah sulit, karena Indonesia tidak hanya Islam, berbagai macam agama dan kepercayaan bermukin di sana.
Kesulitan menerapkan konsep itulah, yang membuat penggagas organisasi politik membuat gebrakan dengan membentuk partai Islam. Partai yang berfungsi sebagai pegangan dan sekaligus wadah untuk berkreasi serta ikut aktif dalam aktifitas politik di Indonesia.
Perkembangan politik Islam di Indonesia sangat berliku. Berbagai organisasi muncul mengatas namakan Islam sebagai penggerak organisasi, namun belum adanya pengakuan dari masyarakat, membuat organisasi ini melemah. Untuk menghindari kehanciran, dihimpunlah organisasi-organisasi masa tersebut ke dalam satu wadah yang disebut dengan Masyumi.
Menyusul diserahkannya kekuasaan oleh Belanda kepada Republik Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai menunjukkan potensinya yang besar dalam percaturan politik nasional. Melalui Masyumi, sebuah federasi organisasi Islam yang belakangan dirubah menjadi partai politik bagi ummat Islam, berhasil memobilisasi kekuatan politik yang cukup besar. Karena perkembangan yang demikian, pada awal 1946, Sutan Sjahrir, ketua umum Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang tiga kali menjabat sebagai perdana menteri semasa revolusi, memperediksikan bahwa jika pemilihan umum diselenggarakan di tahun itu maka Masyumi yang merupakan gabungan antara kalangan muslim modernis dan tradisionalis akan memenangkan pemilu dengan perkiraan 80 % suara.
D.       Orientasi Politik Masyumi dan Hubungan Relasional antara Agama dan Negara
Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau yang lebih dikenal dengan nama Masyumi adalah organisasi masa berbentuk partai politik. Dididirikan di Yogyakarta Pada tanggal 7 nopember 1945. Masyumi lahir dari kancah Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang pada zaman pendudukan Jepang dipaksa membatasi peranya menjadi majelis syuro saja. Jika dilihat dari anggaran dasarnya pada tahun 1952, Masyumi bertujuan untuk ‘terlaksanakannya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan seseorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia menuju keridhoan Illahi’: menuju ‘baldatun thoyyibatun wa rubbin ghofur’.[4]
Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.
Anggota-anggota Masyumi, antara lain, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama’ (NU), Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al Irsyad, Jam’iyatul Wasliyah, Al Ittihadiyah, dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).[5] Keputusan membentuk Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam itu tidak sekedar sebagai keputusan tokoh-tokoh tersebut, tetapi keputusan dari seluruh umat Islam melalui utusan wakil-wakil mereka.[6]
Sebagaimana diketahui bahwa Masyumi mempunyai dua jalur badan yang mengurusi keorganisasian; pertama, badan eksekutif yaitu bergerak dalam basis kekuatan politik dan kedua, jalur (badan) dewan yang bergerak dalam urusan-urusan keagamaan. [7]
Salah seorang tokoh Masyumi yang termasyur saat itu ialah Muh. Natsir yang mana merupakan lawan ideologis dengan Soekarno. Gagasan utama dari Soekarno mengenai negara dan agama ialah sangat erat dengan gagasan pemisahan agama dari begara di negara Barat (Eropa), yaitu bahwa agama dapat dan harus dipisahkan dari negara dan pemerintah, sebab agama merupakan aturan spiritual (akhirat) dan negara adalah masalah duniawi (sekular).
Gagasan Soekarno tersebut banyak terinspirasi oleh negara-negara barat seperti Turki,  Perancis, Jerman, dan Inggris. Selain ia terpengaruh oleh ide-ide sekulerisasi yang ada di  Mesir oleh Syeikh Ali Abdur Raziq, ia juga terpengaruh  ide-ide Sekulerisasi di Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk. Walapun demikian pemisahan agama dari negara menurut Soekarno tidak dengan sendirinya ajaran Islam dikesampingkan, sebab rakyat dapat memasukkan Islam kedalam politik negara melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Inilah yang disebut demokrasi
Sementara bagi Natsir, agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenagaraan pada pokoknya merupakan bagian integral rislah Islam. Dinyatakan pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis atau komunisme.
Sebagai seorang ideolog muslim kontemporer, Natsir sangat meyakini kebenaran Islam sebagai suatu ideologi kenegaraan. Sebagai suatu ideologi, Islam dalam pendangan Natsir mempunyai cakupan pengertian yang sangat luas, seluas dimensi kehidupan manusia itu sendiri. segala aspek yang terdapat dalam kehidupan dunia dan akhirat itu diatur oleh ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu Islam merupakan suatu ajaran yang serba mencakup.
Pemahaman Natsir tentang bahaya sekularisme dan Islam sebagai ideologi perlu dikemukakan dalam hubungan ini karena pemahamannya itu mempunyai kaitan yang erat dengan pandangannya tentang masalah persatuan agama dan negara. karena perbedaan yang cukup tajam antara agama dan negara maka hal itu berlanjut hingga dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang menyebutkan bahwa Masyumi adalah partai terlarang. Hal ini tentu merugikan Masyumi. Dalam pembentukan DPR pada periode berikutnya, Masyumi dikesampingkan, bahkan beberapa pemimpinnya dipenjara dengan alasan yang tidak jelas.[8]
Harus diakui bahwa selalu saja ada benturan, khususnya di tingkat horizontal, antara kelompok Islam dan nasionalis (sekular). Akan tetapi tokoh-tokohnya tetap mampu menyeimbangkan hubungan politik yang harmonis. Kelompok nasionalis tetap memagang kendali kepemimpinan. 
Sejarah bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyumi pada masanya sejajar dengan Partai Jama’atul Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan hal ini, dan memang dalam pendidikan politik nasional kebesaran Masyumi seolah tertutupi oleh arus besar lain, Nasionalisme, dan Developmentalisme. Padahal dalam masa keberadaannya, Masyumi sangat identik dengan gerakan politik Islam yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks kenegaraan.
Dalam pemilihan umum yang pertama dilaksanakan pada tanggal 29 November 1955, Masyumi merupakan salah satu partai peserta terbesar yang mendapatkan 50 kursi DPR dan 112 kursi dalam konstituante lembaga DPR. Perolehan parta-partai besar lainnya adalah:
1. Partai Nasiona Indonesia (PNI) mendapatkan 56 kursi.
2. Partai Nahdhatul Ulama (PNU) mendapatkan 45 kursi.
3. Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan 39 kursi.
Sementara untuk kursi konstituante:
1. Partai Nasiona Indonesia (PNI) mendapatkan 119 kursi.
2. Partai Nahdhatul Ulama (PNU) mendapatkan 91 kursi.
3. Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan 80 kursi.
Menurut Syafi’i Ma’arif, Masyumi kendati secara ideal akan berusaha menghimpun kekuatan dan persatuan umat Islam di bawah panji politik dan garis kepartaiannya, namun dalam aplikasi realitas, masing-masing golongan yang menjadi ujung tombak partai ini ternyata gagal mewujudkan kesatuan itu. Ini terjadi lantaran masing-masing pemimpin mementingkan kekuatan golongannya. Peran-peran kaum modernis (Muhammadiyah) diterjemahkan oleh golongan tradisional (NU). Sementara kelompok modernis sudah merasa wajar kalau mereka menempati posisi-posisi strategis dalam partai, terutama yang berkaitan dengan politik.[9]
Dengan adanya ketimpangan peran inilah, pada ujung perjalanannya Masyumi tidak bisa lagi menyatukan gerak ide kepartaian, sehingga muncullah perbedaan-perbedaan pendapat. Pada tahun 1947 salah satu unsur Masyumi yaitu PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), meninggalkan Masyumi dan kembali menjadi partai independen. Begitu juga dengan NU pada tahun 1952, ia pun meninggalkan Masyumi dan kembali menjadi jami’iyyah serta menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya dua kekuatan itu, banyak sedikitnya memberi pengaruh terhadap eksistensi Masyumi dalam menghimpun suara. Sehingga pada saat pemilu tahun 1955, kekuatan Masyumi jadi berkurang dan NU yang menjadi partai politik praktis otomatis berada di urutan ke tiga.[10]
E.       Keluarnya NU dari partai Masyumi
Dalam kongres NU di Purwokerto tahun 1946 diserukan agar “warga NU membanjiri partai politik Masyumi dan diputuskan NU akan menjadi tulang punggung Masyumi.” Perbedaan kepentingan politik antar berbagai kelompok dalam Masyumi kemudian segera menyusul. Persatuan yang sejak awal kemerdekaan dengan menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam tidak dapat dipertahankan lagi. Segara saja pengaruh politik praktis berupa distribusi kekuasaan menjadi ajang perebutan. Keputusan PSII mendirikan partai kembali partai tahun 1947 itu setelah dibekukan jepang sebelumnya dan NU keluar dari Masyumi tahun 1952 untuk sebagian juga dipengaruhi alasan-alasan ini, selain barangkali pertentangan lama ketika organisasi-organisasi Islam berselisih paham pada tahun 30-an yang muncul kembali.
Semula keterikatan NU dalam Masyumi masih dapat dipertahankan meskipun PSII telah keluar. Akan tetapi dengan demikian peristiwa ini ibarat menyulut api dalam sekam. Ketidakmampuan pemimpin Masyumi melakukan negosasi dan kompromi-kompromi antara sesama kawan, mempercepat api perpecahan.
Kondisi lemahnya persatuan Islam sebenarnya sudah terjadi sejak sebelum kemerdekaan, bahkan pada dekade-dekade sebelumya. Faktor ini tampaknya kurang diperhatikan katika mula pertama partai Masyumi didirikan. Struktur keanggotaan Masyumi yang mendua, terdiri atas anggota organisasi dan perorangan, tidak memperlancar dilakukanya negosiasi untuk mengatasi berbagai kepentingan yang timbul.[11]
Selain itu tidak kukuhnya kebijakan politik Masyumi ikut mempengaruhi perpecahan Masyumi. Ketika pada tanggal 3 Juli 1947 dibentuk kabinet Amir Syarifudin, Masyumi menolak ikut serta, tetapi PSII dibawah pimpinan Arudji Kartawinata memasuki kabinet dengan menempatkan wakilnya. Mulanya Masyumi memboikot kabinet tetapi empat bulan kemudian memasukkan wakilnya bahkan sebagai wakil perdana menteri.[12] Penolakan Masyumi terhadap kabinet Amir Syarifudin tampaknya tidak didasarkan kebijakan politik yang strategis, tetapi hanya karena adanya dua kubu didalam Masyumi, sebagian bersikap keras dan sebagian lagi bersikap lunak.[13]
NU keluar dari Masyumi diputuskan dalam kongres ke 19, April 1952 di palembang. Segera saja ucapan itu diprotes delegasi yang mewakili NU agar ditari kembali. Keputusan itu terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain hubungan antara pemimpin NU dengan Masyumi kurang serasi. Umumnya politisi dan pemimpin NU terdiri atas ulama atau tenaga lain keluaran pesantren, kalaupun ada yang berpendidikan model Barat, seperti Zainul Arifin dan Muchammad Iljas, jumlahnya tidak banyak. Sementara sebagian kalangan Masyumi memandang rendah lulusan pesantern, juga memandang rendah pemimpin NU.
Pada sisi lain NU merasa perkembangan organisasinya sendiri telah mengalami kemajuan yang pesat. Banyak ulama muda lulusan pesantren yang memperoleh kemajuan kemudian memusatkan pengembangan karir mereka dalam politik. pertumbuhan ini memerlukan ruang gerak yang cukup luas, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Ruang gerak akan terbuka luas bila NU berdiri sebagai partai politik.
Sesungguhnya perselisihan itu dapat pula dilihat dari sisi lain yaitu perbedaan prespektif keagamaan. Menurut pernyataan NU sejak lahir tahun 1949 struktur organisasi Masyumi telah diubah sedemikian rupa sehingga Majelis Syura bukan lagi tempat yang penting bagi ulama karena majelis itu tidak lagi dijadikan sebagai badan legeslatif melainkan hanya sebagai badan penasehat belakadan segala persoalan hanya dilihat dari jurusan politik saja tidak lagi mengambil pedoman agama.
Upaya yang dilakukan oleh NU untuk mengembalikan wibawa Majelis Syura tidak berhasil. Menurut NU dewan Pimpinan Partai Masyumi terlalu tenggelam dalam soal-soal politik, melupakan kepentingan Isalm yang saat itu menghadapi cobaan yang berat. Memang agak sulit peran semacam lembaga Majelis Syura Masyumi dapat efektif seperti lembaga Syuriyah NU karena perbedaan tradisi keduanya. Lemabaga Syuriah NU memang cukup efektif mengendalikan organisasi NU karena akar kelahiran NU dimotori oleh ulama-ulama dann kuatnya pengaruh pesantren di dalamya. Barangkali NU mengharapkan Majelis Syura Masyumi dapat berfungsi seperti Syuriyah NU. Tentu hal ini sulit dilaksanakan sebab di dalam Masyumi terdiri dari aneka ragam tradisi yang belum tentu sejalan dengan NU.[14] Berbagai faktor di ataslah yang menjadi penyebab NU keluar dari tubuh Masyumi.  


[1] Sayyid Abul A’la Maududi, Political Theory of Islam, (Lahore: Islamic Publicated Limited, 1960), 17-18.
[2] Ibid, 48.
[3] Taufik Abdullah,Islam dan masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987), 15.
[4]  A.G. Pringgono, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1974), 654.
[5]  Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), 3.
[6]  Ibid, 10.
[7]  Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikirian Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 231.
[8] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, (Jakarta: TERAJU, 2002), 115.
[9]  Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 230-231.
[10] Ibid. 232.
[11] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Sidoarjo: Al-maktabah, 2011), 144.
[12] Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangan di Indonesia, (Bandung; Almaarif, 1979), 460.
[13] Noer, Deliar,  Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965,  (
[14] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, (Sidoarjo: Al Maktabah,2011), 149.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate