Filosofis Historis Puasa dan Haji
A. Pengertian puasa dalam Islam
Kata
puasa merupakan arti dari kata “syiam” kata bentukan masdar dari kata sama. Secara bahasa berarti menahan
diri. Dalam arti yang lebih luas siyam berarti
meninggalkan parbuatan, termasuk meninggalkan makan, bicara atau bergerak
kesuatu tempat, seperti halnya puasa yang dilakukan oleh Maryam untuk menahan
diri dari berbicara.[1]
Sacara
shar’i puasa adalah meninggalkan makan, minum dan berhubungan seksual sejak
terbitnya fajar sadiq sampai terbenammnya matahari dengan disertai niat. Puasa merupakan salah satu
bentuk ibadah yang bersejarah dan yang paling tua serta yang paling luas
tersebar di kalangan umat manusia.[2]
Bahkan sejak Nabi Adam pun telah dikenal adanya puasa, meskipun aturan dan tata
caranya sedikit berbeda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu
tempat ke tempat yang lain. Demikan juga motif puasa, bisa berbeda-beda. Di
antaranya untuk menghormati sesembahan mereka atau musibah tertentu yang
menimpa mereka.
B. Karakteristik puasa dalam Islam
Seperti
apa yang telah diulas pada bab sebelumnya bahwa puasa mempunyai sebuah
karakteristik yang unik. Dalam pembahasan ini akan diulas secara singkat
mengenai karakteristik puasa, antara lain:
· Puasa pada masa pra Islam
Seperti
apa yang telah diterangkan dalam Alquran dalam Surah al-Baqarah 183, dijelaskan
bahwa puasa juga diwajibkan kepada umat-umat terdahulu.
183. Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Al-baghdadi
menjelasakan bahwa yang dimaksud umat terdahulu adalah umat semenjak masa Nabi Adam
AS. Menurut al-Hasan dan al-Sha’bi yang dimaksud dengan agama terdahulu adalah
agama Nasrani.
Terlepas
dari perbedaan tersebut, secara realistis puasa telah banyak dilakukan oleh
orang-orang terdahulu. Menurut Encyclopedia
Britanica hanya Konfusianisme yang tidak mengenal adanya puasa. Sementara
Zoroastrianisme, yang sering dianggap tidak mengenal adanya puasa, ternyata
juga memerintahkan puasa, paling tidak kapada pendeta-pendetanya,
sekurang-kurangnya setiap lima tahun sekali.[3]
Yesus
Kristus melaksanakan puasa 40 hari dan juga melaksanakan puasa pada hari
penebusan dosa seperti orang Yahudi. Ia juga memerintahkan puasa kepada para
pengikutnya. Dalam Kisah Para Rasul 13:2,3 dan 14: 23 diterangkan bahwa orang
Kristen pertama juga melakukan puasa. Sementara itu Santa Paulus juga melakukan
puasa.
Sedangkan
orang-orang ahli kitab (Nasrani) diwajibkan puasa Ramadhan selama 30 hari
selama 30 hari berturut-turut. Mereka tidak boleh makan, minum, dan mengumpuli
istri sesudah Isya’. Puasa ini adakalanya jatuh pada musim dingin. Hal ini
mereka anggap sangat memberatkan. Karenanya mereka memindahkannya pada
musim-musim tertentu yang terletak di antara kedua musim tersebut, dimana suhu
tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Untuk menebus kesalahan mereka ini,
mereka menambahkan lagi puasa 20 hari, sehingga menjadi 50 hari.
Bangsa-bangsa
purba juga telah mengenal dan mempunyai tradisi puasa, seperti bangsa Mesir
kuno, Yunani kuno, Hindu purba dan masyarakat Cina sampai kini masih mengenal
puasa. Juga suku-suku bangsa primitif sampai hari ini yang terdapat di Amerika,
Afrika, Asia mempunyai tradisi puasa. Bagitu juga suku –suku bersahaja yang
terdapat di Indonesia seperti Toraja, Dayak, Badui Banten semuanya mengenal
Puasa. [4]
Dari
beberapa uraian diatas jelaslah bahwa umat terdahulu pun sudah melaksanakan
puasa. Allah juga telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum Nasrani, akan
tetapi mereka merubah mekanismenya, baik waktu maupun jumlahnya.
· Puasa pada masa Islam
Pensyariatan
ibadah puasa dalam Islam, sebagaimana pensyariatan hukum lain, juga melalui
proses dan tahapan. Proses dan tahapan tersebut antara lain:
1. Sebelum
puasa bulan Ramadhan
Riwayat
Muadz bin Jabal menyatakan bahwa “ketika Rasulllah tiba di Madinah beliau
berpuasa hari Ashura dan tiga hari
setiap bulan”. Kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadhan dengan turunya ayat 183
Surah al-Baqarah.
Ini
menunjukkan bahwa sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, kaum muslimin telah
melakukan ibadah puasa, yaitu puasa Ashura
dan tiga hari setip bulan. Dalam melakukan puasa ini kaum muslimin tidak
boleh makan, minum dan menggauli istri setelah waktu Isya’.
2. Setelah
wajib puasa bulan Ramadhan
Puasa
Ramadhan diwajibkan bagi kaum muslimin pada tahun kedua Hijriyah, sebelum
terjadinya perang Badar. Parang badar terjadi hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan
tahun 2 H. Nabi Muhammad SAW sendiri melakukan puasa Ramadhan sebanyak 9 kali
selama hidupnya.[5]
Adapun
masalah penetapan puasa yakni dengan menggunakan kalender hijriyah yang mana
menggunakan penetapan bulan sebagai penentu awal dan akhir bulan. Seperti yang
telah dijelasakan dalam hadis nabi:
حديث
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، ذَكَرَ
رَمَضَانَ، فَقَالَ: لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Artinya: Abdullah bin
Umar r.a. berkata: Rasulullah ketika menyebut Ramadhan bersabda: Jangan puasa
sehingga kalian melihat hilal (bulan sabit) dan jangan berhari raya sehingga
melihat hilal, maka jika tertutup oleh awan maka perkirakanlah. (Bukhari,
Muslim).[6]
· Syarat sah, wajib, rukun, dan hal
yang membatalkan puasa
Seperti
apa yang telah di jelaskan pada bab sebelumnya. Bahwa ibadah dalam Islam
mempunyai karakteristik tersendiri. Hal itu harus disandarkan oleh syariat
(perundangan Ilahi) agar ibadah itu mempunyai nilai dan makna dihadapan Allah
SWT. Oleh karena itu pada pembahasan ini akan di ulas secara singkat mengenai
syarat sah, wajib, rukun dan hal yang membatalkan puasa[7],
antara lain:
a. Syarat
sah dan wajib puasa
1. Beragama
Islam.
2. Baligh
3. Aqil
(berakal).
4. Kuasa
menegrjakannya.
5. Suci
dari hadast dan nifas bagi perempuan
6. Pada
waktu yang diperbolehkan.
b. Rukun
(Fardhu) puasa
1. Niat
pada malam hari.
2. Menahan
diri dari segala hal yang membatalakan puasa dari terbit fajar hingga
terbenamnya matahari.
c. Hal-hal
yang membatalakan puasa
1. Makan
dan minum yang disengaja setelah terbit fajar hingga sebelum matahari terbenam.
2. Muntah
dengan cara yang disengaja.
3. Bersetubuh
pada siang hari.
4. Gila,
hilang ingatan.
5. Keluar
air mani karena bersetubuh dengan perempuan atau berbagai hal lain.
· Hikmah puasa dalam pandangan Islam
Berpuasa
bukan sekedar menghentikan makan dan minum yang jadi tujuan utama dari ibadat
puasa. Akan tetapi ada makna hakiki yang tertanam pada ibadah puasa, yaitu untuk
menanamkan perasaan ingat selalu kepada Allah dan tabah (sabar) didalam jiwa
setiap mukmin. [8]
Atau
dengan kata lain, hikmah utama puasa yakni melatih dan membiasakan seorang
mukmin untuk selalu mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya, sehingga mampu
mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang teramat mulia
dan dimuliakan.
Bahkan
dalam ajaran Islam sendiri tidak hanya puasa Ramadhan saja, akan tetapi ada
juga puasa sunnah yang lain seperti puasa senin-kamis, puasa Nabi Daud dll. Yang
mana hal itu semua untuk memanifestasikan rasa selalu ingat kepada Allah SWT
dalam jiwa setiap orang mukmin. Adapaun puasa sunnah yang paling utama sebagai
mana yang telah dijelasakan Nabi melului hadisnya ialah puasa Nabi Daud.
حديث
عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو، قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
أَنِّي أَقُولُ، وَاللهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا
عِشْتُ؛ فَقُلْتُ لَهُ: قَدْ قُلْتُهُ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي قَالَ: فَإِنَّكَ
لاَ تَسْتَطِيع ذلِكَ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ
ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، وَذلِكَ مِثْلُ
صِيَامِ الدَّهْرِ قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ قَالَ: فَصُمْ
يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ قَالَ:
فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا، فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ
السَّلاَمُ، وَهُوَ أَفْضَلُ الصِّيَامُ فَقُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ
ذلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ
Artinya: Abdullah bin Amr r.a. berkata: Nabi saw. diberitahu bahwa aku
bersumpah: Demi Allah aku akan puasa tiap siang dan akan bangun tiap malam
selama hidup. Maka ketika aku ditanya, aku jawab: Aku telah terlanjur sumpah
sedemikian, maka sabda Nabi saw.: Anda tidak dapat berbuat itu, puasalah dan
berbukalah (tidak puasa), bangun malam dan tidurlah, puasalah tiap bulan tiga
hari maka sesungguhnya tiap hasanat itu berlipat sepuluh kali, dan itu menyamai
puasa sepanjang masa. Aku jawab: Aku kuat lebih dari itu. Sabda Nabi saw.:
Puasalah sehari dan tidak puasa dua hari. Jawabku: Aku kuat lebih dari itu.
Sabda Nabi saw.: Puasalah sehari dan tidak puasa sehari, itu puasanya Nabi
Dawud a.s. dan itu puasa yang paling utama. Jawabku: Aku kuat lebih dari itu.
Sabda Nabi saw.: Tidak ada lebih utama dari itu. (Bukhari, Muslim).[9]
C. Pengertian ibadah Haji dalam Islam
Secara etimologi haji berarti berziarah, mengunjungi,
dan bermaksud.[10]
Dalam pegertian awalnya, haji berarti berkunjung ke tempat-tempat tertentu
dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan yang menjadi sesembahan umat
terdahulu.[11]
Sampai pada saatnya Allah SWT memerintahkan Ibrahim AS untuk membanggun Bait
al-Haram (Ka’bah) di Mekkah. Sejak itulah Ibrahim menyeragamkan sistem haji,
sebagai ibadah yang dilakukan secara khusus di baitullah (Mekkah).
Sementara secara terminologi yang mempunyai arti
khusus, yakni ziarah (berkunjung) ke tempat tertentu (Ka’bah dan Arafah), pada
masa tertentu pula untuk mengerjakan amalan-amalan tertentu, seperti thawaf di
Mekkah dan wukuf di Arafah. Dengan demikian makna haji yang semula setiap
berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap suci oleh umat terdahulu, mengarah
pada arti kunjungan ke Ka’bah (Baitullah) untuk melaksanakan ibadah haji
menurut cara-cara yang telah di syariatkan oleh Allah SWT.
D. Karakteristik ibadah Haji dalam Islam
Sebagaimana ibadah-ibadah lain dalam Islam, Haji juga
mempunyai sebuah karakteristik yang mana hal itu tentunya juga disandarkan pada
landasan syari yakni Alquran dan Hadis. Adapun karakteristik ibadah Haji dalam
Islam, ialah antara lain sebagai berikut:
·
Haji
dalam lintasan sejarah
Haji merupakan ibadah yang telah dikenal sejak lama,
jauh sebelum risalah Muhammad SAW. Haji juga berbeda dengan ibadah lainya. Ia
memerlukan kesanggupan yang multidimensi, baik yang berkaitan dengan spirit,
fisik maupun materi.
Sejak zaman Nabi Ibrahim AS itu seluruh bangsa Arab
menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dan tempat haji mereka. Ibadah haji mereka
lakukan dengan tuntunan Ibrahim AS atas perintah Allah. Dalam perjalan masa
yang cukup panjang, sejak masa Ibrahim AS hingga masa Muhammad SAW, telah
terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem haji. Haji berdasarkan tauhid
telah berubah dan bercampur dengan syirik (politeisme).[12]
Penyimpangan yang fundamental itu memunculkan paganisme
yang berefek pada ketidakmurnian ibadah. Dalam realitas ibadah diliputi
berhalanisme itu, Muhammad SAW diutus sebagai reformer. Dia bertugas
meluruskan, mereformasi dan mempurifikasi akidah dan ibadah manusia, terutama
syariat Ibrahim AS tentang ibadah haji. Sejarah haji yang di awali oleh Ibrahim
AS dan dilanjutkan Muhammad SAW dengan format baru yang sedikit ada perubahan
secara tekhnis menjadi tonggak sejarah penting dalam kehidupan umat Islam.
·
Hukum
Haji
Allah mewajibkan haji atas orang-orang mukmin dengan
landasan Syar’i yakni seperti yang telah dijelaskan dalam Alquran surah Ali
Imran: 97
97. padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)
maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang
yang sanggup Mengadakan perjalanan ke BaitullahBarangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.
Kewajiban haji menurut gaya bahasa Alquran berbeda
dengan kewajiban ibadah lain seperti sholat, puasa, dan sebagainya. Allah
menggunakan kata “wlillahi” yakni
menggunakan lam li al ijab wa al-ilzam (mewajibakan
dan memastikan) yang kemudian dikuatkan dengan lafal ‘ala. Ungkapan ini sebagai penguat lafal wajib yang biasa digunakan
dalam dialektika orang arab.[13]
Allah mewajibkan haji dengan tujuan yang sangat penting
lagi mulia. Penekanan wajib haji itu tentunya untuk menunjukkan keagaungan dan
kemuliaan. Bahkan bila dicermati lebih jauh akan semakin tampak nyata bahwa di
dalam ibadah haji terhimpun keempat rukun Islam yang lain, mulai syahadat,
shalat, zakat dan puasa. Maka tepatlah
kalau Rasul menetapkan sebagai rukun Islam yang paling puncak. Dialah agaknya
satu-satunya ibadah yang sekaligus berdimensi jasmaniah, ruhiyah, maliyah.
Karena beratnya, maka ia pun hanya diwajibkan sekali seumur hidup.
Menurut al-Shafi’i, al-Thauri, al-Auzai dan Muhammad
ibn Hasan, kewajiban haji tidak harus segera , yakni dapat dilakukan kapan
saja. Orang yang mampu tidaklah berdosa menta’khirkan. Dasarnya adalah
pengguhan ibadah haji Rasulullah sendiri yang baru dilaksanakan pada tahun 10H.
Padahal haji telah diwajibkan kurang lebih tiga tahun sebelumnya.
Tentang syariat istita’ah,
para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan bahwa istita’ah itu adalah bekal dan
kendaraan. Jika tidak memiliki keduanya (bekal dan kendaraan) atau hanya
memiliki salah satunya, belumlah wajib. Hanya saja pengertian kendaraan tidak
dalam pengertian yang sempit, artinya jika seseorang itu mampu ke Baitullah
dengan jalan kaki, dia juga wajib haji.Jika sesorang telah mencapai istita’ah, sedang ia mempunyai
tanggungan lain seperti hutang yang harus dipenuhi, ulama sepakat bahwa dia
tidak wajib haji.
·
Hikmah
Haji
Seperti ibadah-ibadah yang lain dalam Islam, haji
tentunya juga mempunyai sebuah hikmah. Haji adalah ibadah yang mempunyai
multidimensi, antara lain dimensi jasmaniyah, ruhaniyah, maliyah. Sementara
dalam rukun Islam, haji merupakan puncak dari segala ibadah. Diantara hikmah
ibadah haji adalah sebagai berikut:
1)
Menyempurnakan Islam seseorang dengan terlaksanakannya
rukun Islam ke lima, dimana didalamnya terhimpun semua rukun yang lain,
sehingga haji menjadi ibadah Ruhiyah, badaniyah dan sekaligus Maliyah. Sebab di
dalam haji ada syahadat, ada shalat, ada zakat, ada puasa.
2)
Salah satu wujud syukur yang terbaik atas segala
anugrah Allah, limpahan rahmat dan curahan nikmatnya.
3)
Meningatkan akan persamaan kawajiban dan hak antar umat
manusia di hadapan Allah dan pentingnya solidaritas dan kepedulian sosial.
4)
Menyadarkan kita bahwa Islam adalah agama seluruh nabi
dan rasul, karenanya haji juga ajaran Nabi terdahulu.
[1] H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Historis Filosofis, (Surabaya: Al Fath Press,
2004), 77.
[2] Mahmud Shaltut, Al-Islam Aqidah wa Shari’ah, ter. Fachrudin HS, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1994), 113.
[3] H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Filosofis Historis, (Surabaya: Al Fath Press,
2004), 78-79.
[4]
Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT Maarif, 1973), 259.
[5]
H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan
Historis Filosofis, (Surabaya: Al Fath Press, 2004), 82.
[6] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu’ wa al-Marjan, no.653.
[7] Munir, Dasar-Dasar
Agama Islam MKDU, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 191-194.
[8] Mahmud Shaltut, Al-Islam Aqidah wa Shari’ah, ter. Fachrudin HS, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1994), 115.
[9] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu’ wa al-Marjan, no.714.
[10] Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 256.
[11] Mahmud Shaltut, Al-Islam Aqidah wa Shari’ah, ter. Fachrudin HS, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1994), 121.
[12] H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Historis Filosofis, (Surabaya: Al Fath Press,
2004), 90.
[13] Ibid,
97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar