Minggu, 23 Juni 2013

Filosofis Historis Puasa dan Haji



 Filosofis Historis Puasa dan Haji


A.  Pengertian puasa dalam Islam
Kata puasa merupakan arti dari kata “syiam” kata bentukan masdar dari kata sama. Secara bahasa berarti menahan diri. Dalam arti yang lebih luas siyam berarti meninggalkan parbuatan, termasuk meninggalkan makan, bicara atau bergerak kesuatu tempat, seperti halnya puasa yang dilakukan oleh Maryam untuk menahan diri dari berbicara.[1]
Sacara shar’i puasa adalah meninggalkan makan, minum dan berhubungan seksual sejak terbitnya fajar sadiq sampai terbenammnya matahari dengan  disertai niat. Puasa merupakan salah satu bentuk ibadah yang bersejarah dan yang paling tua serta yang paling luas tersebar di kalangan umat manusia.[2] Bahkan sejak Nabi Adam pun telah dikenal adanya puasa, meskipun aturan dan tata caranya sedikit berbeda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu tempat ke tempat yang lain. Demikan juga motif puasa, bisa berbeda-beda. Di antaranya untuk menghormati sesembahan mereka atau musibah tertentu yang menimpa mereka.
B.  Karakteristik puasa dalam Islam
Seperti apa yang telah diulas pada bab sebelumnya bahwa puasa mempunyai sebuah karakteristik yang unik. Dalam pembahasan ini akan diulas secara singkat mengenai karakteristik puasa, antara lain:
·      Puasa pada masa pra Islam
Seperti apa yang telah diterangkan dalam Alquran dalam Surah al-Baqarah 183, dijelaskan bahwa puasa juga diwajibkan kepada umat-umat terdahulu.
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Al-baghdadi menjelasakan bahwa yang dimaksud umat terdahulu adalah umat semenjak masa Nabi Adam AS. Menurut al-Hasan dan al-Sha’bi yang dimaksud dengan agama terdahulu adalah agama Nasrani.
Terlepas dari perbedaan tersebut, secara realistis puasa telah banyak dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Menurut Encyclopedia Britanica hanya Konfusianisme yang tidak mengenal adanya puasa. Sementara Zoroastrianisme, yang sering dianggap tidak mengenal adanya puasa, ternyata juga memerintahkan puasa, paling tidak kapada pendeta-pendetanya, sekurang-kurangnya setiap lima tahun sekali.[3]
Yesus Kristus melaksanakan puasa 40 hari dan juga melaksanakan puasa pada hari penebusan dosa seperti orang Yahudi. Ia juga memerintahkan puasa kepada para pengikutnya. Dalam Kisah Para Rasul 13:2,3 dan 14: 23 diterangkan bahwa orang Kristen pertama juga melakukan puasa. Sementara itu Santa Paulus juga melakukan puasa.
Sedangkan orang-orang ahli kitab (Nasrani) diwajibkan puasa Ramadhan selama 30 hari selama 30 hari berturut-turut. Mereka tidak boleh makan, minum, dan mengumpuli istri sesudah Isya’. Puasa ini adakalanya jatuh pada musim dingin. Hal ini mereka anggap sangat memberatkan. Karenanya mereka memindahkannya pada musim-musim tertentu yang terletak di antara kedua musim tersebut, dimana suhu tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Untuk menebus kesalahan mereka ini, mereka menambahkan lagi puasa 20 hari, sehingga menjadi 50 hari. 
Bangsa-bangsa purba juga telah mengenal dan mempunyai tradisi puasa, seperti bangsa Mesir kuno, Yunani kuno, Hindu purba dan masyarakat Cina sampai kini masih mengenal puasa. Juga suku-suku bangsa primitif sampai hari ini yang terdapat di Amerika, Afrika, Asia mempunyai tradisi puasa. Bagitu juga suku –suku bersahaja yang terdapat di Indonesia seperti Toraja, Dayak, Badui Banten semuanya mengenal Puasa. [4]
Dari beberapa uraian diatas jelaslah bahwa umat terdahulu pun sudah melaksanakan puasa. Allah juga telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum Nasrani, akan tetapi mereka merubah mekanismenya, baik waktu maupun jumlahnya.
·      Puasa pada masa Islam
Pensyariatan ibadah puasa dalam Islam, sebagaimana pensyariatan hukum lain, juga melalui proses dan tahapan. Proses dan tahapan tersebut antara lain:
1.    Sebelum puasa bulan Ramadhan
Riwayat Muadz bin Jabal menyatakan bahwa “ketika Rasulllah tiba di Madinah beliau berpuasa hari Ashura dan tiga hari setiap bulan”. Kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadhan dengan turunya ayat 183 Surah al-Baqarah.
Ini menunjukkan bahwa sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, kaum muslimin telah melakukan ibadah puasa, yaitu puasa Ashura dan tiga hari setip bulan. Dalam melakukan puasa ini kaum muslimin tidak boleh makan, minum dan menggauli istri setelah waktu Isya’.
2.    Setelah wajib puasa bulan Ramadhan
Puasa Ramadhan diwajibkan bagi kaum muslimin pada tahun kedua Hijriyah, sebelum terjadinya perang Badar. Parang badar terjadi hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H. Nabi Muhammad SAW sendiri melakukan puasa Ramadhan sebanyak 9 kali selama hidupnya.[5]
Adapun masalah penetapan puasa yakni dengan menggunakan kalender hijriyah yang mana menggunakan penetapan bulan sebagai penentu awal dan akhir bulan. Seperti yang telah dijelasakan dalam hadis nabi:
حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، ذَكَرَ رَمَضَانَ، فَقَالَ: لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Artinya: Abdullah bin Umar r.a. berkata: Rasulullah ketika menyebut Ramadhan bersabda: Jangan puasa sehingga kalian melihat hilal (bulan sabit) dan jangan berhari raya sehingga melihat hilal, maka jika tertutup oleh awan maka perkirakanlah. (Bukhari, Muslim).[6]

·      Syarat sah, wajib, rukun, dan hal yang membatalkan puasa
Seperti apa yang telah di jelaskan pada bab sebelumnya. Bahwa ibadah dalam Islam mempunyai karakteristik tersendiri. Hal itu harus disandarkan oleh syariat (perundangan Ilahi) agar ibadah itu mempunyai nilai dan makna dihadapan Allah SWT. Oleh karena itu pada pembahasan ini akan di ulas secara singkat mengenai syarat sah, wajib, rukun dan hal yang membatalkan puasa[7], antara lain:
a.    Syarat sah dan wajib puasa
1.   Beragama Islam.
2.   Baligh
3.   Aqil (berakal).
4.   Kuasa menegrjakannya.
5.   Suci dari hadast dan nifas bagi perempuan
6.   Pada waktu yang diperbolehkan.
b.    Rukun (Fardhu) puasa
1.      Niat pada malam hari.
2.      Menahan diri dari segala hal yang membatalakan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
c.    Hal-hal yang membatalakan puasa
1.      Makan dan minum yang disengaja setelah terbit fajar hingga sebelum matahari terbenam.
2.      Muntah dengan cara yang disengaja.
3.      Bersetubuh pada siang hari.
4.      Gila, hilang ingatan.
5.      Keluar air mani karena bersetubuh dengan perempuan atau berbagai hal lain.
·      Hikmah puasa dalam pandangan Islam
Berpuasa bukan sekedar menghentikan makan dan minum yang jadi tujuan utama dari ibadat puasa. Akan tetapi ada makna hakiki yang tertanam pada ibadah puasa, yaitu untuk menanamkan perasaan ingat selalu kepada Allah dan tabah (sabar) didalam jiwa setiap mukmin. [8]
Atau dengan kata lain, hikmah utama puasa yakni melatih dan membiasakan seorang mukmin untuk selalu mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya, sehingga mampu mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang teramat mulia dan dimuliakan.
Bahkan dalam ajaran Islam sendiri tidak hanya puasa Ramadhan saja, akan tetapi ada juga puasa sunnah yang lain seperti puasa senin-kamis, puasa Nabi Daud dll. Yang mana hal itu semua untuk memanifestasikan rasa selalu ingat kepada Allah SWT dalam jiwa setiap orang mukmin. Adapaun puasa sunnah yang paling utama sebagai mana yang telah dijelasakan Nabi melului hadisnya ialah puasa Nabi Daud.
حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو، قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي أَقُولُ، وَاللهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ؛ فَقُلْتُ لَهُ: قَدْ قُلْتُهُ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي قَالَ: فَإِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيع ذلِكَ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، وَذلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ قَالَ: فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ قَالَ: فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا، فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَهُوَ أَفْضَلُ الصِّيَامُ فَقُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ
Artinya: Abdullah bin Amr r.a. berkata: Nabi saw. diberitahu bahwa aku bersumpah: Demi Allah aku akan puasa tiap siang dan akan bangun tiap malam selama hidup. Maka ketika aku ditanya, aku jawab: Aku telah terlanjur sumpah sedemikian, maka sabda Nabi saw.: Anda tidak dapat berbuat itu, puasalah dan berbukalah (tidak puasa), bangun malam dan tidurlah, puasalah tiap bulan tiga hari maka sesungguhnya tiap hasanat itu berlipat sepuluh kali, dan itu menyamai puasa sepanjang masa. Aku jawab: Aku kuat lebih dari itu. Sabda Nabi saw.: Puasalah sehari dan tidak puasa dua hari. Jawabku: Aku kuat lebih dari itu. Sabda Nabi saw.: Puasalah sehari dan tidak puasa sehari, itu puasanya Nabi Dawud a.s. dan itu puasa yang paling utama. Jawabku: Aku kuat lebih dari itu. Sabda Nabi saw.: Tidak ada lebih utama dari itu. (Bukhari, Muslim).[9]
C.  Pengertian ibadah Haji dalam Islam
Secara etimologi haji berarti berziarah, mengunjungi, dan bermaksud.[10] Dalam pegertian awalnya, haji berarti berkunjung ke tempat-tempat tertentu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan yang menjadi sesembahan umat terdahulu.[11] Sampai pada saatnya Allah SWT memerintahkan Ibrahim AS untuk membanggun Bait al-Haram (Ka’bah) di Mekkah. Sejak itulah Ibrahim menyeragamkan sistem haji, sebagai ibadah yang dilakukan secara khusus di baitullah (Mekkah).
Sementara secara terminologi yang mempunyai arti khusus, yakni ziarah (berkunjung) ke tempat tertentu (Ka’bah dan Arafah), pada masa tertentu pula untuk mengerjakan amalan-amalan tertentu, seperti thawaf di Mekkah dan wukuf di Arafah. Dengan demikian makna haji yang semula setiap berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap suci oleh umat terdahulu, mengarah pada arti kunjungan ke Ka’bah (Baitullah) untuk melaksanakan ibadah haji menurut cara-cara yang telah di syariatkan oleh Allah SWT.
D.  Karakteristik ibadah Haji dalam Islam
Sebagaimana ibadah-ibadah lain dalam Islam, Haji juga mempunyai sebuah karakteristik yang mana hal itu tentunya juga disandarkan pada landasan syari yakni Alquran dan Hadis. Adapun karakteristik ibadah Haji dalam Islam, ialah antara lain sebagai berikut:
·      Haji dalam lintasan sejarah
Haji merupakan ibadah yang telah dikenal sejak lama, jauh sebelum risalah Muhammad SAW. Haji juga berbeda dengan ibadah lainya. Ia memerlukan kesanggupan yang multidimensi, baik yang berkaitan dengan spirit, fisik maupun materi.
Sejak zaman Nabi Ibrahim AS itu seluruh bangsa Arab menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dan tempat haji mereka. Ibadah haji mereka lakukan dengan tuntunan Ibrahim AS atas perintah Allah. Dalam perjalan masa yang cukup panjang, sejak masa Ibrahim AS hingga masa Muhammad SAW, telah terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem haji. Haji berdasarkan tauhid telah berubah dan bercampur dengan syirik (politeisme).[12]
Penyimpangan yang fundamental itu memunculkan paganisme yang berefek pada ketidakmurnian ibadah. Dalam realitas ibadah diliputi berhalanisme itu, Muhammad SAW diutus sebagai reformer. Dia bertugas meluruskan, mereformasi dan mempurifikasi akidah dan ibadah manusia, terutama syariat Ibrahim AS tentang ibadah haji. Sejarah haji yang di awali oleh Ibrahim AS dan dilanjutkan Muhammad SAW dengan format baru yang sedikit ada perubahan secara tekhnis menjadi tonggak sejarah penting dalam kehidupan umat Islam.
·      Hukum Haji
Allah mewajibkan haji atas orang-orang mukmin dengan landasan Syar’i yakni seperti yang telah dijelaskan dalam Alquran surah Ali Imran: 97
97. padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke BaitullahBarangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Kewajiban haji menurut gaya bahasa Alquran berbeda dengan kewajiban ibadah lain seperti sholat, puasa, dan sebagainya. Allah menggunakan kata “wlillahi” yakni menggunakan lam li al ijab wa al-ilzam (mewajibakan dan memastikan) yang kemudian dikuatkan dengan lafal ‘ala. Ungkapan ini sebagai penguat lafal wajib yang biasa digunakan dalam dialektika orang arab.[13]
Allah mewajibkan haji dengan tujuan yang sangat penting lagi mulia. Penekanan wajib haji itu tentunya untuk menunjukkan keagaungan dan kemuliaan. Bahkan bila dicermati lebih jauh akan semakin tampak nyata bahwa di dalam ibadah haji terhimpun keempat rukun Islam yang lain, mulai syahadat, shalat, zakat  dan puasa. Maka tepatlah kalau Rasul menetapkan sebagai rukun Islam yang paling puncak. Dialah agaknya satu-satunya ibadah yang sekaligus berdimensi jasmaniah, ruhiyah, maliyah. Karena beratnya, maka ia pun hanya diwajibkan sekali seumur hidup.
Menurut al-Shafi’i, al-Thauri, al-Auzai dan Muhammad ibn Hasan, kewajiban haji tidak harus segera , yakni dapat dilakukan kapan saja. Orang yang mampu tidaklah berdosa menta’khirkan. Dasarnya adalah pengguhan ibadah haji Rasulullah sendiri yang baru dilaksanakan pada tahun 10H. Padahal haji telah diwajibkan kurang lebih tiga tahun sebelumnya.
Tentang syariat istita’ah, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan bahwa istita’ah itu adalah bekal dan kendaraan. Jika tidak memiliki keduanya (bekal dan kendaraan) atau hanya memiliki salah satunya, belumlah wajib. Hanya saja pengertian kendaraan tidak dalam pengertian yang sempit, artinya jika seseorang itu mampu ke Baitullah dengan jalan kaki, dia juga wajib haji.Jika sesorang telah mencapai istita’ah, sedang ia mempunyai tanggungan lain seperti hutang yang harus dipenuhi, ulama sepakat bahwa dia tidak wajib haji.
·      Hikmah Haji
Seperti ibadah-ibadah yang lain dalam Islam, haji tentunya juga mempunyai sebuah hikmah. Haji adalah ibadah yang mempunyai multidimensi, antara lain dimensi jasmaniyah, ruhaniyah, maliyah. Sementara dalam rukun Islam, haji merupakan puncak dari segala ibadah. Diantara hikmah ibadah haji adalah sebagai berikut:
1)   Menyempurnakan Islam seseorang dengan terlaksanakannya rukun Islam ke lima, dimana didalamnya terhimpun semua rukun yang lain, sehingga haji menjadi ibadah Ruhiyah, badaniyah dan sekaligus Maliyah. Sebab di dalam haji ada syahadat, ada shalat, ada zakat, ada puasa.
2)   Salah satu wujud syukur yang terbaik atas segala anugrah Allah, limpahan rahmat dan curahan nikmatnya.
3)   Meningatkan akan persamaan kawajiban dan hak antar umat manusia di hadapan Allah dan pentingnya solidaritas dan kepedulian sosial.
4)   Menyadarkan kita bahwa Islam adalah agama seluruh nabi dan rasul, karenanya haji juga ajaran Nabi terdahulu.



[1]  H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Historis Filosofis, (Surabaya: Al Fath Press, 2004), 77.
[2]  Mahmud Shaltut, Al-Islam Aqidah wa Shari’ah, ter. Fachrudin HS, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 113.
[3]  H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Filosofis Historis, (Surabaya: Al Fath Press, 2004), 78-79.
[4]  Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT Maarif, 1973), 259.
[5] H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Historis Filosofis, (Surabaya: Al Fath Press, 2004), 82.
[6]  Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu’ wa al-Marjan, no.653.
[7]  Munir, Dasar-Dasar Agama Islam MKDU, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 191-194.
[8]  Mahmud Shaltut, Al-Islam Aqidah wa Shari’ah, ter. Fachrudin HS, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 115.

[9]  Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu’ wa al-Marjan, no.714.
[10]  Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 256.
[11]  Mahmud Shaltut, Al-Islam Aqidah wa Shari’ah, ter. Fachrudin HS, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 121.
[12]  H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Historis Filosofis, (Surabaya: Al Fath Press, 2004), 90.
[13]  Ibid, 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate