A. Pendahuluan
Wujud Tuhan merupakan sebuah kajian yang sangat asik
untuk didiskusikan dari waktu ke waktu. Problem ini terkait dengan hal
metafisika, sehingga hal ini menjadi suatu problem yang menimbulkan berbagai
perbedaan pandangan terkait dengan wujud Tuhan. Selain itu problem ketuhanan
tidak pernah bisa lepas dengan kehidupan manusia karena perlu diketahui bahwa
sebagai fitrahnya manusia adalah makhluk spiritual (bertuhan). Oleh karena maka
sudah barang tentu bahwa problem wujud Tuhan tetap eksis didiskusikan hingga
sekarang.
Jika kita melihat awal mula dari kelahiran filsafat
maka tema-tema yang didiskusikan adalah hakekatnya bersifat metafisik. Umumnya
para filosof saat itu menanyakan apa unsur dasar dari alam semesta. Dari satu
pertanyaan tersebut maka muncul berbagai variasi jawaban. Ini merupakan sebuah
pertanyaan ontologis yang diajukan oleh para filosof. Sebenarnya yang mereka
tuju hakekatnya adalah metafisika.
Plato sendiri yang terkenal sebagai filosof besar
pada zamannya, pola konstruk pemikirannya yakni idealis-rasionalis. Ini
menandakan bahwa Plato sangat tertarik sekali dengan metafisika. Ia mengatakan
bahwa yang benar secara hakikat dan tak berubah adalah dunia ide, yang nampak
ini hanyalah sebuah gambaran semu saja. Sehingga dari pernyataan tersebut dapat
diatarik sebuah kesimpulan bahwa Plato meyakini ada realitas diluar alam yang
sejati dan tak berubah-ubah (tuhan). Ini tidak terjadi pada Plato saja akan
tetapi pada beberapa filosof yang lain.
Hingga pada abad pertengahan yang menjadi pusat
diskusi adalah problem iman dan wahu, atau bisa disebut problem ketuhanan. para
filosof abad pertengahan ini umumnya adalah seorang pendeta gereja. Sehingga
bisa dikatakan konstruk berfikir filosofisnya terpengaruhi sebuah keimanan
kepada Tuhan. Pada era abad pertengahan ini masalah metafisika atau Ketuhanan
seolah-oleh menemukan momentumnya. Para filosof saat itu sangat tertarik untuk
mendiskusikan masalah wujud Tuhan, iman dan wahyu, dan berbagai aspek
metafisika lainnya.
Kemudian pada era modern yang dirintis sejak abad ke
16 di Italia, maka problem ketuhanan mulai disingkirkan dari objek kajian
filsafat. Para filosof era modern berpandangan bahwa manusia mampu berfikir
mandiri dengan rasionalitasnnya murni tanpa bergantung pada hal-hal yang berbau
metafisik. Sifat subjektifitas pada abad modern ini sangat kuat terasa. Manusia
dipandang sebagai makhluk yang mampu secara mandiri berpikir, bertindak, dan berucap.
Terlebih lagi setelah munculnya aliran positivisme yang diusung oleh August
Comte maka problem ketuhanan mulai hilang dari permukaan sejarh filsafat.
Karena pola aliran positivisme yang hanya mengakui realitas empiris dan
rasionalis belaka. Namun sebagaimana disebutkan pada paragradf sebelumnya bahwa
manusia secara fitrahnya adalah makhluk yang berketuhanan maka hingga saat ini
problem wujud ketuhanan tetap didiskusikan oleh berbagai pemikir.
Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat
yang paling rumit. Membutuhkan energi intelektual besar untuk
menekuninya.Sehingga, edikit sekali orang terjun, berbasah-basah, dengan
metafisika. Terkait dengan hal metafisika maka hasil terkait
pandangan-pandangan wujud Tuhan tentunya tidak bisa disepakati. Sesuatu yang
tidak bisa disepakati maka tentunya menghasilkan pandangan yang sangat
bervariasi, walaupn objek kajiannya hanya satu yakni wujud Tuhan. Ini terjadi
karena masing-masing orang memiliki pemahaman yang berbeda-beda dan juga
terpengaruh oleh kondisi lingkungan sekitarnya.
Setiap pandangan-pandangan terkait dengan wujud
Tuhan, maka ada sebuah argumentasi untuk menguatkannya. Argumen tersebut
berangkat dari berbagai faktor, antara lain, pengalaman spiritual, fakta
empiris. Kemudian dari faktor tersebut diolah dengan rasionalitas dan
sistematis. Inilah merupakan cara berfikir filsafat. Pola berpikir filsafat
yakni rasional, radikal, universal, dan sistematis. Dari cara berpikir inilah
filsafat memiliki bermacam objek kajian diantaranya yakni ketuhanan.
Filsafat yang mengkaji tentang Tuhan disebut sebagai
filsafat ketuhanan. Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran
adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan
(teologi naturalis) tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut
hanya ingin menggaris bawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang
tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontingen tidak dapat
dipahami akal. oleh karenanya masalah
ketuhanan yang juga wujud Tuhan ditelaah secara filosofis. Dari penalaahan
tersebut maka dihasilkan dua pandangan besar terkait dengan wujud Tuhan yakni
being dan becoming. Dua pandangan tersebut merupakan landasan seseorang baik
dalam berpikir, bertindak maupun berucap terkait dengan penghayatan wujud
ketuhanan.
Problem antara being dan becoming ini sangatlah
kompleks landasannya, baik secara normatif maupun secara historis. Kedua
pandangan wujud Tuhan tersebut masing-masing memiliki argumentasi untuk
menguatkan pendapatnya. Mengingat problem wujud Tuhan ini merupakan sebuah
dialektika pemikiran ketuhanan maka tentunya sifatnya bersifat historis dan
tidaklah bebas oleh nilai. Antara being dan becoming dalam wujud ketuhanan maka
disitu terdapat sebuah kepentingan yang menjadi tujuan utama oleh para
penganutnya. Oleh karena itu sangatlah
menarik untuk diulas apa saja yang menjadi landasan baik wujud Tuhan secara
being maupun becoming, kemudian apa sajakah hal-hal yang terkait dengan dua
pandangan wujud Tuhan.
B.
Wujud
Tuhan Antara Being dan Becoming
Problem wujud Tuhan antara being dan becoming ini
tentunya memiliki sebuah karakteristik yang berbeda. Kedua pandangan wujud
Tuhan ini merupakan sebuah hasil dari dialektika masalah ketuhanan pada masa
lampau. Ini menandakan bahwa pandangan wujud Tuhan antara being dan becoming
bersifat historis dan tidak bisa dilepaskan dari kondisi keadaan lingkungan
sekitarnya. Oleh karenanya dirasa sangat perlu untuk menjelaskan karakteristik
masing-masing kedua pandangan tersebut.
·
Karakteristik
wujud Tuhan secara being
Wujud
Tuhan secara being ini menganggap bahwa Tuhan itu ada secara mutlak, Tuhan
merupakan realitas tertinggi, Tuhan merupakan sebuah realitas yang tidak pernah
berubah. Tuhan dalam pendangan ini bersifat transenden yakni eksistensi Tuhan
berada diluar realitas manusia atau alam. Sehingga dalam pandangan ini Tuhan
adalah sebagai pencipta alam semesta dan Tuhan tidak bergantung dengan
ciptaannya.
Tuhan
dalam pandangan secara being ini maka Tuhan bersifat personal. Tuhan
yang personal terdapat dalam paham agama-agama semitik, seperti Yahudi,
Kristen, dan Islam. Konsep tuhan dalam agama ini jelas identitas diri-Nya
(setiap agama memiliki nama Tuhan) dan aktif serta memiliki berbagai sifat
kesempurnaan. Yang jelas Tuhan personal bukan hasil ide atau pikiran manusia,
tetapi didapati dari informasi wahyu yang dibawa oleh para utusan Tuhan.
Personifikasi Tuhan tercantum dalam Kitab Suci, yaitu Tuhan adalah pencipta
alam semesta dan sekaligus pemeliharaannya. Tuhan juga dalam Kitab Suci disebut
sebagai Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Tahu, dll yang mana menunjukkan
kesempurnaan.
Pada
prinsipnya, Tuhan yang personal yaitu:
1)
Tuhan personal menekankan pada
identitas Tuhan sebagai zat yang sempurna dan perlu disembah sebagai wujud
pengabdian makhluk kepada penciptanya.
2)
Tuhan personal barasal dari petunjuk
Wahyu, oleh karena itu tuhan dalam agama adalah zat Pencipta, dan sekaligus
pemelihara alam.
3)
Tuhan personal mengakui bahwa Tuhan
adalah Zat yang sama sekali berbeda dengan makluk.
4)
Tuhan personal menonjolkan perbedaan
antara makhluk dengan Tuhan sebagai pencipta.[1]
Wujud Tuhan
secara being ini sebagaimana yang dijelakan pada paragraf sebelumnya yakni
berstifat transenden, maka pandangan ini juga tidak jauh berbeda dengan deisme.
Karena aliran deisme memandang bahwa Tuhan ada sebagai pencipta alam semesta
tanpa kemudian turut campur dalam penyelenggarakaan berjalannya aktivitas alam
semesta. Disini akan sedikit diulas mengenai deisme.
·
Deisme
Kata deisme
berasal dari bahasa Latin deus yang
berarti Tuhan. Dari akar kata ini kemudian menjadi dewa., bahkan kata Tuhan
sendiri masih dianggap berasal dari deus.
Menurut pandangan ini , tuhan berada jauh diluar alam semesta. Tuhan
menciptakan alam dan sesudahnya alam diciptakan, Ia tidak lagi memperhatikan
dan memelihara alam lagi. Alam berjalan sesuai dengan peraturan-peraturan yang
telah ditetapkan ketika proses penciptaan. Peraturan-peraturan tersebut tidak
berubah-ubah dan sangat sempurna. Dalam paham deisme, Tuhan diibaratkan dengan
tukang pembuat jam yang sangat ahli, sehingga setelah jam itu selasai tidak
membutuhkan si pembuatnya lagi. Jam itu berjalan sesuai dengan mekanisme yang
telah tersusun rapi.
Deisme mulai
muncul pada abad ke-17, yang dipelopori oleh Newton. Deisme adalah bentuk monoteisme
yang meyakini bahwa Tuhan itu ada, Maha Esa, Maha Baik, Tuhan selalu dilekati
dengan sifat yang baik-baik. Namun demikian, seorang deis menolak gagasan bahwa
Tuhan ikut campur di dalam dunia dikarenakan jika Tuhan ikut campur terhadap
urusan duniawi, sebagaimana yang dikenal dalam ajaran gereja, berarti Tuhan
tidak lagi baik. Tuhan telah berbuat otoriter karena membelenggu kebebasan
manusia dalam berkarya. Sifat ke-baik-an Tuhan ini hanya dapat dikenal melalui
nalar dan pengamatan terhadap alam. Karena itu, seorang deis menolak hal-hal
yang ajaib (wahyu) dan klaim bahwa suatu agama atau kitab suci memiliki
pengenalan akan Tuhan.
Istilah “deist” pertama kali
dipergunakan oleh Pierre Viret, seorang murid Calvin yang dituangkan di dalam
karyanya “Intruction Chrestiene” (Geneva,1564).
Viret menganggap sebagai istilah yang sama sekali baru, yang dipergunakan
sebagai lawan kata “atheist”.
Menurutnya, deist adalah orang yang mengaku percaya kepada Tuhan sebagai
pencipta langit dan bumi tetapi menolak Tuhan Jesus berikut ajaran-ajarannya.
Para penganut deisme
sepakat bahwa Tuhan Esa dan jauh dari alam, serta maha sempurna. Mereka
juga sepakat bahwa Tuhan tidak melakukan interbensi pada alam lewat kekuatan
supernatural. Bagaimanapun, tidak semua penganut deisme setuju tentang keterlibatan
Tuhan dalam alam dan kehidupan sesudah mati. Karena itu, atas dasar perbedaan
tersebut deisme dapat dibadi atas empat, yaitu:
Ø Tuhan tidak terlibat dengan pengaturan alam. Dia menciptakan alam dan
memprogramkan perjalanannya, tetapi dia tidak menghiraukan apa yang telah
terjadi atau apa yang akan terjadi.
Ø Tuhan terlibat dengan kejadian-kejadian yang sedang terlangsung dialam,
tetapi bukan mengenai perbuatan moral manusia. Manusia memiliki kebebasan utnuk
berbuat baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral, dan jujur atau bohong,
semuanya itu bukan urusan Tuhan
Ø Tuhan mengatur alam dan sekaligus memperhatikan perbuatan moral manusia.
Sesungguhnya Tuhan ingin menegaskan bahwa manusia harus tunduk pada hukum moral
yang telah dia tetapkan dijagad raya. Bagaimanapun, manusia tidak akan hidup
sesudah mati. Ketika seseorang mati, maka babak terakhir kehidupannya ditutup.
Ø Tuhan mengatur alam dan mengharapkan manusia mematuhi hokum moral yang
berasal dari alam. Pandangan ini berpendapat bahwa ada kehidupan setelah mati.
Seseorang yang berbuat baik akan dapat pahala dan yang berbuat jahat akan
dapat hukuman.[2]
Deisme sendiri dapat dianggap sebagai pandangan teologis yang
menetapkan bahwa keberadaan Tuhan sangat transendental terhadap alam semesta
ini, sehingga seluruh keteraturan dan ketertiban alam semesta hanya bisa
dipahami melalui hukum-hukumnya tersendiri.
Secara umum pengertian dari deisme
terbagi menjadi dua yakni deisme
dalam kefilsafatan dan deisme dalam kesejarahan. Deisme dalam kefilsafatan pada
hakekatnya adalah pemikiran teologis yang secara implisit menyatakan bahwa
Tuhan bersifat transenden dari alam semesta ini. Ide-ide deisme sebagai
kefilsafatan telah ada sejak zaman
kuno bersama dengan pandangan
naturalisme. Sehingga dapat dikatakan seorang filosof naturalis adalah juga
seorang deist secara implisit. Yakni, menganggap bahwa alam semesta ini terdiri
dari hukum-hukum yang bersifat universal dan abadi, sehingga tidak membutuhkan
lagi penjelasan tentang adanya suatu oknum di luarnya untuk mengaturnya.
Sedangkan deisme kesejarahan merupakan sebuah paham yang dianut oleh para
teolog dan ilmuwan pada abad 17 dan 18, terutama di Inggris sebagai akibat dari
perkembangan ilmu pengetahuan alam.
·
Karakteristik
Wujud Tuhan Secara Becoming
Pandangan
tentang wujud Tuhan secara becaming maka ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah
sebagai sebuah proses yang terus bergerak dan berpengaruh kepada realitas
ciptaannya. Tuhan dikatakan sebagai sebab atas segala entitas sesuatu. Wujud
Tuhan becoming ini seperti aliran imanensi, yakni berpandangan bahwa Tuhan
berada didalam ciptaannya sendiri. Imanensi merupakan lawan kata dari
transendensi yang berpandangan bahwa Tuhan berada di jauh alam ciptan-Nya.
Istilah
imanensi berasal dari Bahasa Latin
immanere yang berarti "tinggal di dalam". Imanen adalah lawan
kata dari transenden. Pertama kali, istilah ini diajukan oleh Aristoteles yang
memiliki arti "batin" dari suatu obyek, fenomena atau gejala.
Kemudian dikembangkan oleh Kant
dan berlaku sampai sekarang. Dalam bidang aliran agama, imanensi sangat
ditekankan oleh ajaran Panteisme untuk menentang transendensi. Hal ini
dimaksudkan agar manusia lebih akrab dengan Tuhan dalam kehidupannya. Namun
terdapat pandangan bahwa hal ini hanya akan membatasi Allah yang maha kuasa
atas kehidupan manusia, Allah kehilangan unsur misterinya.[3]
Namun disinin akan sedikit diuaraikan tentang aliran yang terkait dengan pandangan
wujud Tuhan secara becoming.
·
Panteisme
Panteisme
terdiri atas tiga kata, yaitu pan,
berarti seluruh, theo, berarti Tuhan, dan isme
berartin faham. Jadi, panteisme adalah paham bahwa seluruhnya Tuhan. Pantesime
berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam.
Benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indra merupakan bagian dari Tuhan.
Paham ini bertolak belakang dengan deisme.
Panteisme
memiliki sejarah panjang di timur tengah dan di barat. Dari mistisme Hindu di
timur sampai rasionalisme permenides di barat. Dalam islam paham ini dikenal
sebagai wahdat al-wujud (kesatuan
wujud) yang dikemukakan oleh ibn Arabi. Antara paham wahdat al-wujud dengan panteisme selain memiliki persamaan akan
tetapi juga memiliki perbedaan. Dalam panteisme alam adalah Tuhan dan Tuhan
adalah alam sedangkan dalam wahdat
al-wujud alam bukan Tuhan, akan tetapi bagian dari Tuhan. Karena itu, dalam
pandangan wahdat al-wujud alam dan
Tuhan tidak identik, sedangkan dalam panteisme identik.[4]
Salah satu
tokoh dari pemikir panteisme emanasin adalah Plotinus. Menurutnya, alam
mengalir dari Tuhan dan berasal dari-Nya. Tuhan tidak terbagi-bagi dan tidak
mengandung arti banyak. Yang banyak mengalir dari yang satu lewat proses
emanasi, yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang satu. Plotinus menegaskan
hanya ada satu yang wajib ada, sederhana dan absolut. Disinilah letak perbedaan
antara teisme dengan panteisme. Dalam teisme Tuhan adalah zat yang personal yang
menciptakan alam tetapi dalam pandangan panteisme Tuhan adalah kesatuan umum
(impersonal), yang mengungkapkan dirinya dengan alam. Ateisme merupakan
representasi dari wujud Tuhan yang Being sementara panteisme adalah
represnetasi dari wujud Tuhan secara becoming.
Tuhan yang
impersonal ini tidak mementingkan apakah Tuhan itu
pencipta atau tidak. Yang penting dalam ajaran filsafat Tuhan itu adalah awal
dan akhir segala sesuatu. Aktivitas Tuhan di alam dunia, dalam pandangan Tuhan
yang impersonal, tidak diperlukan karena akan mengurangi kesempurnaan-Nya. Jadi
disini Tuhan bersifat abstrak dan masih berupa ide-ide.
Pada
prinsipnya Tuhan yang impersonal yaitu:
1)
Tuhan impersonal tidak mementingkan
identitas Tuhan, tetapi yang terpenting adalah ide tentang Tuhan merupakan
konsekuensi logis dari keberadaan wujud. Karena itu, Tuhan impersonal tidak
disembah dan dipuja.
2)
Tuhan impersonal berasal dari
kesimpulan pemikiran manusia.
3)
Tuhan yang impersonal perbedaan antara
Tuhan dan makhluk hilang sama sekali, sehingga bisa dikatakan panteisme.
Konsekuensi
dari Tuhan impersonal ialah seseorang penganut agama tidak akan mendapatkan
efek atau manfaat psikologis dari keberadaan Tuhan tersebut karena dia tidak
dapat berhubungan dengan-Nya. Tuhan impersonal terutama dalam panteisme konsep
dosa dan pahala menjadi kabur.
·
Naturalisme
Naturalisme sebagai istilah umum atau historisnya, banyak dipergunakan
pada berbagai lapangan baik dalam ilmu pengetahuan, seni sastra, maupun seni
lukis.Tetapi secara umum istilah ini memuat pengertian dasar sebagai sikap
pandang atau tindakan yang timbul dari atau didasarkan kepada hasrat dan naluri
alamiah. Yakni, suatu sikap pandang atau tindakan yang mengikat diri dengan
setia kepada hal-hal yang bersifat natural maupun yang realistik. Naturalisme
dalam pengertian ini lebih banyak terkait dengan situasi ruhani pada abad
pencerahan atau abad ke 19, dimana penemuan-penemuan dibidang ilmu pengetahuan
alam telah menyadarkan manusia akan arti pentingnya eksistensi alam semesta.[5]
Sedangkan
naturalisme sebagai istilah kefilsafatan pada dasarnya merupakan sikap pandang
kefilsafatan monisme yang menganggap bahwa realitas atau alam semesta ini
merupakan satu-satunya fakta yang ada. Dan realitas atau alam semesta ini
merupakan totalitas dari keberadaan benda-benda atau peristiwa yang bersifat alamiah.
Dalam arti seluruh susunan dan strukturnya dapat dipahami oleh akal pikiran
baik melalui analisa kefilsafatan maupun terutama melalui metode-metode ilmu
pengetahuan alam. Dengan demikian, sebagai istilah kefilsafatan ini,
naturalisme dapat diungkapkan sebagai pandangan yang menolak suatu paham yang
berpendirian tentang adanya benda-benda atau peristiwa di luar batas-batas
penjelasan akal atau ilmiah. naturalisme lebih banyak menimbulkan pandangan kefilsafatan yang
bermuara pada pembentukan agama natural dan ateisme-materialisme.
C.
Analisis
Terhadap Kedua Pandangan Wujud Tuhan
Antara being dan
becoming dalam memandang wujud Tuhan, maka disini perlu penelaahan secara
mendalam. Wujud Tuhan secara being dan becoming ini merupakan sebuah hasil dari
perenungan akan ketuhanan. manusia sebagai makhluk yang bertuhan maka sudah
sepantasnyalah merenungi dimensi ketuhan. Jika dilihat dari kacamata
fenomenologi, maka antara being dan becoming dalam memandang wujud Tuhan maka
penuh dengan kesadaran. Tentu yang dimaksud sadar dalam hal ini adalah subjek
yang berfikir.
Metode
fenomenologi yang digunakan dalam pendekatan analisis ini didasarkan pada sistem
filsafat yang dikembangkan oleh Edmund Husserl dengan fokus penelitiannya
ditekankan pada struktur kesadaran atau struktur pengalaman, baik struktur
dasar maupun srtuktur-struktur lain yang berasal dari struktur dasar. Struktur
dasar disini adalah intensionalitas. Pandangan fenomenologi ini kemudian
dikenal dengan istilah intersubyektivitas. Sistem pemikiran fenomenologis lebih
bersifat terbuka, karena Subyek memandang obyek juga mempunyai kesadaran
seperti subyek, sehingga Subyek selalu dalam relasional dengan subyek lain
(obyek). Disinilah relasi subyek dan obyek bersifat intersubyektif.[6]
Sebnarnya kedua
pandangan tersebut berawal dari sebuah objek yang sama dan berangkat dari
realitas empiris. Namun kemudian terlahirlah kedua pandangan yang berbeda
karena olah pikiran manusia yang berbeda dengan tingkat pemahaman yang berbeda
pula. Dan juga konstruk pemikiran seseorang juga terpengaruh oleh keadaan
lingkungan sekitarnya. Oleh karenanya kedua pandangan wujud Tuhan ini mempunyai
landasan dan argumen yang tidak bisa disalahkan.
Berangkat dari
perenungan Ketuhanan dengan penuh kesadaran maka antara being dan becoming
merupakan dua hal yang saling menguatkan akan eksistensi Tuhan. Jika dalam
pandangan wujud Tuhan secara being, maka Tuhan digambarkan sebagai pencipta
alam semesta yang transenden, realitas tertinggi, dan bersifat personal.
Yang jelas Tuhan personal bukan hasil ide atau pikiran manusia, tetapi didapati
dari informasi wahyu yang dibawa oleh para utusan Tuhan. Oleh karenanya, para penganut paham being ini
umumnya adalah dari agama semitik yaitu, Yahudi, Kristen, Islam. Yang mana
ketiga agama tersebut memiliki wahyu sebagai otoritas keberanan.
Kebanyakan orang
yang menganut wujud Tuhan secara being ini berlandaskan kepada wahyu yang
kemudian wahyu tersebut direnungkan secara filosofis dengan penuh kesadaran.
Inilah yang kemudian melahirkan pandangan seperti transendensi Tuhan, dan lain
sebagainya. Argumen yang mereka gunakan dalam hal ini juga berangkat dari
wahyu.
Dari faham being
(ada) ini kemudian juga muncul aliran deisme. Yang berpandangan bahwa Tuhan
berada jauh diluar alam semesta. Tuhan menciptakan alam dan sesudahnya alam
diciptakan, Ia tidak lagi memperhatikan dan memelihara alam lagi. Alam berjalan
sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan ketika proses penciptaan.
Peraturan-peraturan tersebut tidak berubah-ubah dan sangat sempurna. Ini
merupakan konsekwensi logis dari transendensi Tuhan.
Sementara wujud
Tuhan secara becoming (menjadi) berangkat dari realitas kehidupan secara alami
(natural). Orang yang berpandangan ini melihat bahwa kehidupan ini berjalan
secara alamiah dan teratur, maka Tuhan pun haruslah ikut dalam proses
penyelenggarakan kehidupan. Tuhan sebagai zat yang Maha Pengatur maka sudah
barang tentu Tuhan ikut berproses dalam kehidupan. Pemahaman inilah yang
kemudian melahirkah imanensi Tuhan.
Yakni bahwa Tuhan berada didalam alam
itu sendiri.
Selain
itu faham wujud Tuhan secara becoming ini juga merupakan sebuah kosntruk
berpikir dari panteisme. panteisme adalah paham bahwa seluruhnya Tuhan. Pantesime
berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam.
Benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indra merupakan bagian dari Tuhan.
Paham ini bertolak belakang dengan deisme. Kedua pandangan tersebut antara
being dengan becoming merupakan sebuah penegasan akan eksistensi Tuhan, namun
memiliki jalan yang berbeda. Ini terjadi sesuai dengan tingkat pemahaman
seseorang atas penghayatan ketuhanan.
D.
Sikap
Akademisi Terhadap Kedua Pandangan Wujud Tuhan
Sebagai
seorang akademisi maka sudah selayaknya dalam mengkaji suatu problem haruslah
secara bijaksana. Seorang akademisi dalam mengkaji suatu permaslahan haruslah
berangkat dari objektivitas dan bukan dari subjektifitas. Terkait dengan
masalah wujud Tuhan antara being dan becoming maka kedua pandangan tersebut
tentu memiliki sebuah landasan epistemologi yang jelas. Sehingga hasil yang
dicapaipun dapat dipertanggung jawabkan.
Sebagai
sebuah pandangan yang mempunyai landasan epistemologis yang dapat dipertanggung
jawabkan maka sudah selayaknya tidak perlu untuk dipermasalahkan. Sebagai
contoh memperdebatkan antara wujud Tuhan being (ada) dengan becoming (menjadi)
tidak perlu dipermaslahkan. Sikap awal yang harus dimiliki seorang akademisi
yaitu keyakinan akan landasan epistemologi yang digunakannya. Sehingga tidak
perlu untuk diperkeruh oleh sifat fanatisme terhadap suatu pandangan tertentu.
Inilah yang sering menimbilkan konflik dalam masyarakat.
Jika sikap fanatisme terhadap salah satu
pandangan tersebut dilakukan maka akan memicu timbulnya konflik. Pandang
fanatisme sebenarnya baik untuk mempertahankan apa yang telah diyakini, namun
pandangan itu menjadi buruk mana kala seseorang dihadapkan dengan pandangan
yang berbeda dari apa yang diyakininya. Maka sikap mengontrol emosi dirasa perlu
untuk mendewasakan sikap dan perilaku seseorang.
Terkait dengan
masalah wujud Tuhan antara being dan becoming maka perlu adanya sikap yang arif
dan bijaksana. Dan seharusnya sebagain akademisi mengkaji kedua permasalahan
tersebut secara mendalam dan sesuai dengan disiplin keilmuan, karena landasan
epistemologi perlu digunakan untuk menelaah sebuah problem secara mendalam. Ini
dilakukan agar tidak terjadi sebuah kesalahpahaman dan untuk meminimalisir
terjadinya sebuah konflik. Perlu diketahui juga bahwa sebuah pemahaman tidak
lahir dalam realitas yang kosong artinya ia hadir akibat dari refleksi dari
keadaan sosio-budaya disekitarnya. Maka tidak perlu untuk dipermasalahkan
secara terus menerus.
E.
Kesimpulan
Problem wujud
Tuhan antara being dan becoming ini tentunya memiliki sebuah karakteristik yang
berbeda. Kedua pandangan wujud Tuhan ini merupakan sebuah hasil dari dialektika
masalah ketuhanan pada masa lampau. Wujud Tuhan secara being menganggap bahwa
Tuhan itu ada secara mutlak, Tuhan merupakan realitas tertinggi, Tuhan
merupakan sebuah realitas yang tidak pernah berubah. Tuhan dalam pendangan ini
bersifat transenden yakni eksistensi Tuhan berada diluar realitas manusia atau
alam.
Tuhan dalam
pandangan secara being ini maka Tuhan bersifat personal. Tuhan
yang personal terdapat dalam paham agama-agama semitik, seperti Yahudi,
Kristen, dan Islam. Konsep tuhan dalam agama ini jelas identitas diri-Nya. Dari
paham ini kemudian muncul aliran deisme, transendensi Tuhan.
Semantara dalam
pandanga wujud Tuhan secara becoming (menjadi), maka Tuhan ikut berproses dalam
penyelenggarakan kehidupan ciptaan-Nya. Tuhan sebagai pengatur alam semesta
maka Tuhan sudah barang tentu harus ikut berproses. Tuhan dalam pandangan ini
bersifat impersonal, yakni tidak mementingkan apakah Tuhan itu pencipta atau
tidak. Yang penting dalam ajaran filsafat Tuhan itu adalah awal dan akhir
segala sesuatu. Dari pandangan ini muncul aliran panteisme yang menganggap
bahwa Tuhan dan alam semesta identik.
Kemudian
terkait sikap dalam menghadapi kedua pandangan wujud Tuhan tersebut ialah kita
seharusnya bersikap arif dan bijaksana. Dengan menganalisis dari apa yang telah
terjadi dalam upaya penghayatan masyarakat akan wujud ketuhanan. Masing-masing
kedua paham tersebut haruslah ditealaah secara mendalam agar tidak terjadi
sebuah kesalahpahaman dan untuk meminimalisir terjadinya sebuah konflik.
Sebagai sebuah pandangan yang mempunyai landasan epistemologis yang dapat
dipertanggung jawabkan maka sudah selayaknya tidak perlu untuk
dipermasalahkan. Perlu diketahui juga
bahwa sebuah pemahaman tidak lahir dalam realitas yang kosong artinya ia hadir
akibat dari refleksi dari keadaan sosio-budaya disekitarnya. Maka tidak perlu
untuk dipermasalahkan secara terus menerus.
Daftar Pustaka
Affandi, Abdullah Khozin. 2007. Fenomenologi:
Pemahaman terhadap pikiran-pikiran Edmund Husserl. Surabaya: eLKAF.
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Agama
Wisata pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan
Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Warsito, Loekisno Choiril. 2003. Paham
Ketuhanan Modern Sejarah Dan Pokok-Pokok Ajarannya. Surabaya: eLKAF.
wikipedia.org/wiki/Imanen.
[1]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata
pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012), 195-202.
[2]
Ibid, 90.
[3]
wikipedia.org/wiki/Imanen.
[4]
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme
Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang: 1973), 93.
[5]
Loekisno
Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern
Sejarah Dan Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: Elkaf, 2003), 47.
[6]
Abdullah Khozin Afandi, Fenomenologi:
Pemahaman terhadap pikiran-pikiran Edmund Husserl (Surabaya: eLKAF, 2007),
37-40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar