Senin, 15 Desember 2014

PROBLEM WUJUD TUHAN ANTARA BEING DAN BECOMING

A.    Pendahuluan
Wujud Tuhan merupakan sebuah kajian yang sangat asik untuk didiskusikan dari waktu ke waktu. Problem ini terkait dengan hal metafisika, sehingga hal ini menjadi suatu problem yang menimbulkan berbagai perbedaan pandangan terkait dengan wujud Tuhan. Selain itu problem ketuhanan tidak pernah bisa lepas dengan kehidupan manusia karena perlu diketahui bahwa sebagai fitrahnya manusia adalah makhluk spiritual (bertuhan). Oleh karena maka sudah barang tentu bahwa problem wujud Tuhan tetap eksis didiskusikan hingga sekarang.
Jika kita melihat awal mula dari kelahiran filsafat maka tema-tema yang didiskusikan adalah hakekatnya bersifat metafisik. Umumnya para filosof saat itu menanyakan apa unsur dasar dari alam semesta. Dari satu pertanyaan tersebut maka muncul berbagai variasi jawaban. Ini merupakan sebuah pertanyaan ontologis yang diajukan oleh para filosof. Sebenarnya yang mereka tuju hakekatnya adalah metafisika.
Plato sendiri yang terkenal sebagai filosof besar pada zamannya, pola konstruk pemikirannya yakni idealis-rasionalis. Ini menandakan bahwa Plato sangat tertarik sekali dengan metafisika. Ia mengatakan bahwa yang benar secara hakikat dan tak berubah adalah dunia ide, yang nampak ini hanyalah sebuah gambaran semu saja. Sehingga dari pernyataan tersebut dapat diatarik sebuah kesimpulan bahwa Plato meyakini ada realitas diluar alam yang sejati dan tak berubah-ubah (tuhan). Ini tidak terjadi pada Plato saja akan tetapi pada beberapa filosof yang lain.
Hingga pada abad pertengahan yang menjadi pusat diskusi adalah problem iman dan wahu, atau bisa disebut problem ketuhanan. para filosof abad pertengahan ini umumnya adalah seorang pendeta gereja. Sehingga bisa dikatakan konstruk berfikir filosofisnya terpengaruhi sebuah keimanan kepada Tuhan. Pada era abad pertengahan ini masalah metafisika atau Ketuhanan seolah-oleh menemukan momentumnya. Para filosof saat itu sangat tertarik untuk mendiskusikan masalah wujud Tuhan, iman dan wahyu, dan berbagai aspek metafisika lainnya.
Kemudian pada era modern yang dirintis sejak abad ke 16 di Italia, maka problem ketuhanan mulai disingkirkan dari objek kajian filsafat. Para filosof era modern berpandangan bahwa manusia mampu berfikir mandiri dengan rasionalitasnnya murni tanpa bergantung pada hal-hal yang berbau metafisik. Sifat subjektifitas pada abad modern ini sangat kuat terasa. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mampu secara mandiri berpikir, bertindak, dan berucap. Terlebih lagi setelah munculnya aliran positivisme yang diusung oleh August Comte maka problem ketuhanan mulai hilang dari permukaan sejarh filsafat. Karena pola aliran positivisme yang hanya mengakui realitas empiris dan rasionalis belaka. Namun sebagaimana disebutkan pada paragradf sebelumnya bahwa manusia secara fitrahnya adalah makhluk yang berketuhanan maka hingga saat ini problem wujud ketuhanan tetap didiskusikan oleh berbagai pemikir.
Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang paling rumit. Membutuhkan energi intelektual besar untuk menekuninya.Sehingga, edikit sekali orang terjun, berbasah-basah, dengan metafisika. Terkait dengan hal metafisika maka hasil terkait pandangan-pandangan wujud Tuhan tentunya tidak bisa disepakati. Sesuatu yang tidak bisa disepakati maka tentunya menghasilkan pandangan yang sangat bervariasi, walaupn objek kajiannya hanya satu yakni wujud Tuhan. Ini terjadi karena masing-masing orang memiliki pemahaman yang berbeda-beda dan juga terpengaruh oleh kondisi lingkungan sekitarnya.
Setiap pandangan-pandangan terkait dengan wujud Tuhan, maka ada sebuah argumentasi untuk menguatkannya. Argumen tersebut berangkat dari berbagai faktor, antara lain, pengalaman spiritual, fakta empiris. Kemudian dari faktor tersebut diolah dengan rasionalitas dan sistematis. Inilah merupakan cara berfikir filsafat. Pola berpikir filsafat yakni rasional, radikal, universal, dan sistematis. Dari cara berpikir inilah filsafat memiliki bermacam objek kajian diantaranya yakni ketuhanan.
Filsafat yang mengkaji tentang Tuhan disebut sebagai filsafat ketuhanan. Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan (teologi naturalis) tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggaris bawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontingen tidak dapat dipahami akal.  oleh karenanya masalah ketuhanan yang juga wujud Tuhan ditelaah secara filosofis. Dari penalaahan tersebut maka dihasilkan dua pandangan besar terkait dengan wujud Tuhan yakni being dan becoming. Dua pandangan tersebut merupakan landasan seseorang baik dalam berpikir, bertindak maupun berucap terkait dengan penghayatan wujud ketuhanan.
Problem antara being dan becoming ini sangatlah kompleks landasannya, baik secara normatif maupun secara historis. Kedua pandangan wujud Tuhan tersebut masing-masing memiliki argumentasi untuk menguatkan pendapatnya. Mengingat problem wujud Tuhan ini merupakan sebuah dialektika pemikiran ketuhanan maka tentunya sifatnya bersifat historis dan tidaklah bebas oleh nilai. Antara being dan becoming dalam wujud ketuhanan maka disitu terdapat sebuah kepentingan yang menjadi tujuan utama oleh para penganutnya.  Oleh karena itu sangatlah menarik untuk diulas apa saja yang menjadi landasan baik wujud Tuhan secara being maupun becoming, kemudian apa sajakah hal-hal yang terkait dengan dua pandangan wujud Tuhan.

B.    Wujud Tuhan Antara Being dan Becoming
Problem wujud Tuhan antara being dan becoming ini tentunya memiliki sebuah karakteristik yang berbeda. Kedua pandangan wujud Tuhan ini merupakan sebuah hasil dari dialektika masalah ketuhanan pada masa lampau. Ini menandakan bahwa pandangan wujud Tuhan antara being dan becoming bersifat historis dan tidak bisa dilepaskan dari kondisi keadaan lingkungan sekitarnya. Oleh karenanya dirasa sangat perlu untuk menjelaskan karakteristik masing-masing kedua pandangan tersebut.
·         Karakteristik wujud Tuhan secara being
Wujud Tuhan secara being ini menganggap bahwa Tuhan itu ada secara mutlak, Tuhan merupakan realitas tertinggi, Tuhan merupakan sebuah realitas yang tidak pernah berubah. Tuhan dalam pendangan ini bersifat transenden yakni eksistensi Tuhan berada diluar realitas manusia atau alam. Sehingga dalam pandangan ini Tuhan adalah sebagai pencipta alam semesta dan Tuhan tidak bergantung dengan ciptaannya.
Tuhan dalam pandangan secara being ini maka Tuhan bersifat personal. Tuhan yang personal terdapat dalam paham agama-agama semitik, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam. Konsep tuhan dalam agama ini jelas identitas diri-Nya (setiap agama memiliki nama Tuhan) dan aktif serta memiliki berbagai sifat kesempurnaan. Yang jelas Tuhan personal bukan hasil ide atau pikiran manusia, tetapi didapati dari informasi wahyu yang dibawa oleh para utusan Tuhan. Personifikasi Tuhan tercantum dalam Kitab Suci, yaitu Tuhan adalah pencipta alam semesta dan sekaligus pemeliharaannya. Tuhan juga dalam Kitab Suci disebut sebagai Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Tahu, dll yang mana menunjukkan kesempurnaan.
Pada prinsipnya, Tuhan yang personal yaitu:
1)   Tuhan personal menekankan pada identitas Tuhan sebagai zat yang sempurna dan perlu disembah sebagai wujud pengabdian makhluk kepada penciptanya.
2)   Tuhan personal barasal dari petunjuk Wahyu, oleh karena itu tuhan dalam agama adalah zat Pencipta, dan sekaligus pemelihara alam.
3)   Tuhan personal mengakui bahwa Tuhan adalah Zat yang sama sekali berbeda dengan makluk.
4)   Tuhan personal menonjolkan perbedaan antara makhluk dengan Tuhan sebagai pencipta.[1]
Wujud Tuhan secara being ini sebagaimana yang dijelakan pada paragraf sebelumnya yakni berstifat transenden, maka pandangan ini juga tidak jauh berbeda dengan deisme. Karena aliran deisme memandang bahwa Tuhan ada sebagai pencipta alam semesta tanpa kemudian turut campur dalam penyelenggarakaan berjalannya aktivitas alam semesta. Disini akan sedikit diulas mengenai deisme.
·         Deisme
Kata deisme berasal dari bahasa Latin deus yang berarti Tuhan. Dari akar kata ini kemudian menjadi dewa., bahkan kata Tuhan sendiri masih dianggap berasal dari deus. Menurut pandangan ini , tuhan berada jauh diluar alam semesta. Tuhan menciptakan alam dan sesudahnya alam diciptakan, Ia tidak lagi memperhatikan dan memelihara alam lagi. Alam berjalan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan ketika proses penciptaan. Peraturan-peraturan tersebut tidak berubah-ubah dan sangat sempurna. Dalam paham deisme, Tuhan diibaratkan dengan tukang pembuat jam yang sangat ahli, sehingga setelah jam itu selasai tidak membutuhkan si pembuatnya lagi. Jam itu berjalan sesuai dengan mekanisme yang telah tersusun rapi.
Deisme mulai muncul pada abad ke-17, yang dipelopori oleh Newton. Deisme adalah bentuk monoteisme yang meyakini bahwa Tuhan itu ada, Maha Esa, Maha Baik, Tuhan selalu dilekati dengan sifat yang baik-baik. Namun demikian, seorang deis menolak gagasan bahwa Tuhan ikut campur di dalam dunia dikarenakan jika Tuhan ikut campur terhadap urusan duniawi, sebagaimana yang dikenal dalam ajaran gereja, berarti Tuhan tidak lagi baik. Tuhan telah berbuat otoriter karena membelenggu kebebasan manusia dalam berkarya. Sifat ke-baik-an Tuhan ini hanya dapat dikenal melalui nalar dan pengamatan terhadap alam. Karena itu, seorang deis menolak hal-hal yang ajaib (wahyu) dan klaim bahwa suatu agama atau kitab suci memiliki pengenalan akan Tuhan.
Istilah “deist” pertama kali dipergunakan oleh Pierre Viret, seorang murid Calvin yang dituangkan di dalam karyanya “Intruction Chrestiene” (Geneva,1564). Viret menganggap sebagai istilah yang sama sekali baru, yang dipergunakan sebagai lawan kata “atheist”. Menurutnya, deist adalah orang yang mengaku percaya kepada Tuhan sebagai pencipta langit dan bumi tetapi menolak Tuhan Jesus berikut ajaran-ajarannya.
Para penganut deisme sepakat bahwa Tuhan Esa dan jauh  dari alam, serta maha sempurna. Mereka juga sepakat bahwa Tuhan tidak melakukan interbensi pada alam lewat kekuatan supernatural.  Bagaimanapun, tidak semua penganut deisme setuju tentang keterlibatan Tuhan dalam alam dan kehidupan sesudah mati. Karena itu, atas dasar perbedaan tersebut deisme dapat dibadi atas empat, yaitu:
Ø  Tuhan tidak terlibat dengan pengaturan alam. Dia menciptakan alam dan memprogramkan perjalanannya, tetapi dia tidak menghiraukan apa yang telah terjadi atau apa yang akan terjadi.
Ø  Tuhan terlibat dengan kejadian-kejadian yang sedang terlangsung dialam, tetapi bukan mengenai perbuatan moral manusia. Manusia memiliki kebebasan utnuk berbuat baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral, dan jujur atau bohong, semuanya itu bukan urusan Tuhan
Ø  Tuhan mengatur alam dan sekaligus memperhatikan perbuatan moral manusia. Sesungguhnya Tuhan ingin menegaskan bahwa manusia harus tunduk pada hukum moral yang telah dia tetapkan dijagad raya. Bagaimanapun, manusia tidak akan hidup sesudah mati. Ketika seseorang mati, maka babak terakhir kehidupannya ditutup.
Ø  Tuhan mengatur alam dan mengharapkan manusia mematuhi hokum moral yang berasal dari alam. Pandangan ini berpendapat bahwa ada kehidupan setelah mati. Seseorang yang berbuat baik akan dapat pahala dan yang berbuat jahat akan dapat hukuman.[2]
Deisme sendiri dapat dianggap sebagai pandangan teologis yang menetapkan bahwa keberadaan Tuhan sangat transendental terhadap alam semesta ini, sehingga seluruh keteraturan dan ketertiban alam semesta hanya bisa dipahami melalui hukum-hukumnya tersendiri.
Secara umum pengertian dari deisme terbagi menjadi dua yakni deisme dalam kefilsafatan dan deisme dalam kesejarahan. Deisme dalam kefilsafatan pada hakekatnya adalah pemikiran teologis yang secara implisit menyatakan bahwa Tuhan bersifat transenden dari alam semesta ini. Ide-ide deisme sebagai kefilsafatan telah ada sejak zaman kuno bersama  dengan pandangan naturalisme. Sehingga dapat dikatakan seorang filosof naturalis adalah juga seorang deist secara implisit. Yakni, menganggap bahwa alam semesta ini terdiri dari hukum-hukum yang bersifat universal dan abadi, sehingga tidak membutuhkan lagi penjelasan tentang adanya suatu oknum di luarnya untuk mengaturnya. Sedangkan deisme kesejarahan merupakan sebuah paham yang dianut oleh para teolog dan ilmuwan pada abad 17 dan 18, terutama di Inggris sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan alam.
·         Karakteristik Wujud Tuhan Secara Becoming
Pandangan tentang wujud Tuhan secara becaming maka ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah sebagai sebuah proses yang terus bergerak dan berpengaruh kepada realitas ciptaannya. Tuhan dikatakan sebagai sebab atas segala entitas sesuatu. Wujud Tuhan becoming ini seperti aliran imanensi, yakni berpandangan bahwa Tuhan berada didalam ciptaannya sendiri. Imanensi merupakan lawan kata dari transendensi yang berpandangan bahwa Tuhan berada di jauh alam ciptan-Nya.
Istilah imanensi berasal dari Bahasa Latin immanere yang berarti "tinggal di dalam". Imanen adalah lawan kata dari transenden. Pertama kali, istilah ini diajukan oleh Aristoteles yang memiliki arti "batin" dari suatu obyek, fenomena atau gejala. Kemudian dikembangkan oleh Kant dan berlaku sampai sekarang. Dalam bidang aliran agama, imanensi sangat ditekankan oleh ajaran Panteisme untuk menentang transendensi. Hal ini dimaksudkan agar manusia lebih akrab dengan Tuhan dalam kehidupannya. Namun terdapat pandangan bahwa hal ini hanya akan membatasi Allah yang maha kuasa atas kehidupan manusia, Allah kehilangan unsur misterinya.[3] Namun disinin akan sedikit diuaraikan tentang aliran yang terkait dengan pandangan wujud Tuhan secara becoming.
·         Panteisme
Panteisme terdiri atas tiga kata, yaitu pan, berarti seluruh, theo, berarti Tuhan, dan isme berartin faham. Jadi, panteisme adalah paham bahwa seluruhnya Tuhan. Pantesime berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam. Benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indra merupakan bagian dari Tuhan. Paham ini bertolak belakang dengan deisme.
Panteisme memiliki sejarah panjang di timur tengah dan di barat. Dari mistisme Hindu di timur sampai rasionalisme permenides di barat. Dalam islam paham ini dikenal sebagai wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikemukakan oleh ibn Arabi. Antara paham wahdat al-wujud dengan panteisme selain memiliki persamaan akan tetapi juga memiliki perbedaan. Dalam panteisme alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam sedangkan dalam wahdat al-wujud alam bukan Tuhan, akan tetapi bagian dari Tuhan. Karena itu, dalam pandangan wahdat al-wujud alam dan Tuhan tidak identik, sedangkan dalam panteisme identik.[4]
Salah satu tokoh dari pemikir panteisme emanasin adalah Plotinus. Menurutnya, alam mengalir dari Tuhan dan berasal dari-Nya. Tuhan tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung arti banyak. Yang banyak mengalir dari yang satu lewat proses emanasi, yakni hanya satu yang bisa keluar dari yang satu. Plotinus menegaskan hanya ada satu yang wajib ada, sederhana dan absolut. Disinilah letak perbedaan antara teisme dengan panteisme. Dalam teisme Tuhan adalah zat yang personal yang menciptakan alam tetapi dalam pandangan panteisme Tuhan adalah kesatuan umum (impersonal), yang mengungkapkan dirinya dengan alam. Ateisme merupakan representasi dari wujud Tuhan yang Being sementara panteisme adalah represnetasi dari wujud Tuhan secara becoming.
Tuhan yang impersonal ini tidak mementingkan apakah Tuhan itu pencipta atau tidak. Yang penting dalam ajaran filsafat Tuhan itu adalah awal dan akhir segala sesuatu. Aktivitas Tuhan di alam dunia, dalam pandangan Tuhan yang impersonal, tidak diperlukan karena akan mengurangi kesempurnaan-Nya. Jadi disini Tuhan bersifat abstrak dan masih berupa ide-ide.
Pada prinsipnya Tuhan yang impersonal yaitu:
1)   Tuhan impersonal tidak mementingkan identitas Tuhan, tetapi yang terpenting adalah ide tentang Tuhan merupakan konsekuensi logis dari keberadaan wujud. Karena itu, Tuhan impersonal tidak disembah dan dipuja.
2)   Tuhan impersonal berasal dari kesimpulan pemikiran manusia.
3)   Tuhan yang impersonal perbedaan antara Tuhan dan makhluk hilang sama sekali, sehingga bisa dikatakan panteisme.
Konsekuensi dari Tuhan impersonal ialah seseorang penganut agama tidak akan mendapatkan efek atau manfaat psikologis dari keberadaan Tuhan tersebut karena dia tidak dapat berhubungan dengan-Nya. Tuhan impersonal terutama dalam panteisme konsep dosa dan pahala menjadi kabur.
·         Naturalisme
Naturalisme sebagai istilah umum atau historisnya, banyak dipergunakan pada berbagai lapangan baik dalam ilmu pengetahuan, seni sastra, maupun seni lukis.Tetapi secara umum istilah ini memuat pengertian dasar sebagai sikap pandang atau tindakan yang timbul dari atau didasarkan kepada hasrat dan naluri alamiah. Yakni, suatu sikap pandang atau tindakan yang mengikat diri dengan setia kepada hal-hal yang bersifat natural maupun yang realistik. Naturalisme dalam pengertian ini lebih banyak terkait dengan situasi ruhani pada abad pencerahan atau abad ke 19, dimana penemuan-penemuan dibidang ilmu pengetahuan alam telah menyadarkan manusia akan arti pentingnya eksistensi alam semesta.[5]
Sedangkan naturalisme sebagai istilah kefilsafatan pada dasarnya merupakan sikap pandang kefilsafatan monisme yang menganggap bahwa realitas atau alam semesta ini merupakan satu-satunya fakta yang ada. Dan realitas atau alam semesta ini merupakan totalitas dari keberadaan benda-benda atau peristiwa yang bersifat alamiah. Dalam arti seluruh susunan dan strukturnya dapat dipahami oleh akal pikiran baik melalui analisa kefilsafatan maupun terutama melalui metode-metode ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian, sebagai istilah kefilsafatan ini, naturalisme dapat diungkapkan sebagai pandangan yang menolak suatu paham yang berpendirian tentang adanya benda-benda atau peristiwa di luar batas-batas penjelasan akal atau ilmiah. naturalisme lebih banyak menimbulkan pandangan kefilsafatan yang bermuara pada pembentukan agama natural dan ateisme-materialisme.

C.     Analisis Terhadap Kedua Pandangan Wujud Tuhan
Antara being dan becoming dalam memandang wujud Tuhan, maka disini perlu penelaahan secara mendalam. Wujud Tuhan secara being dan becoming ini merupakan sebuah hasil dari perenungan akan ketuhanan. manusia sebagai makhluk yang bertuhan maka sudah sepantasnyalah merenungi dimensi ketuhan. Jika dilihat dari kacamata fenomenologi, maka antara being dan becoming dalam memandang wujud Tuhan maka penuh dengan kesadaran. Tentu yang dimaksud sadar dalam hal ini adalah subjek yang berfikir.
Metode fenomenologi yang digunakan dalam pendekatan analisis ini didasarkan pada sistem filsafat yang dikembangkan oleh Edmund Husserl dengan fokus penelitiannya ditekankan pada struktur kesadaran atau struktur pengalaman, baik struktur dasar maupun srtuktur-struktur lain yang berasal dari struktur dasar. Struktur dasar disini adalah intensionalitas. Pandangan fenomenologi ini kemudian dikenal dengan istilah intersubyektivitas. Sistem pemikiran fenomenologis lebih bersifat terbuka, karena Subyek memandang obyek juga mempunyai kesadaran seperti subyek, sehingga Subyek selalu dalam relasional dengan subyek lain (obyek). Disinilah relasi subyek dan obyek bersifat intersubyektif.[6]
Sebnarnya kedua pandangan tersebut berawal dari sebuah objek yang sama dan berangkat dari realitas empiris. Namun kemudian terlahirlah kedua pandangan yang berbeda karena olah pikiran manusia yang berbeda dengan tingkat pemahaman yang berbeda pula. Dan juga konstruk pemikiran seseorang juga terpengaruh oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Oleh karenanya kedua pandangan wujud Tuhan ini mempunyai landasan dan argumen yang tidak bisa disalahkan.
Berangkat dari perenungan Ketuhanan dengan penuh kesadaran maka antara being dan becoming merupakan dua hal yang saling menguatkan akan eksistensi Tuhan. Jika dalam pandangan wujud Tuhan secara being, maka Tuhan digambarkan sebagai pencipta alam semesta yang transenden, realitas tertinggi, dan bersifat personal. Yang jelas Tuhan personal bukan hasil ide atau pikiran manusia, tetapi didapati dari informasi wahyu yang dibawa oleh para utusan Tuhan.  Oleh karenanya, para penganut paham being ini umumnya adalah dari agama semitik yaitu, Yahudi, Kristen, Islam. Yang mana ketiga agama tersebut memiliki wahyu sebagai otoritas keberanan.
Kebanyakan orang yang menganut wujud Tuhan secara being ini berlandaskan kepada wahyu yang kemudian wahyu tersebut direnungkan secara filosofis dengan penuh kesadaran. Inilah yang kemudian melahirkan pandangan seperti transendensi Tuhan, dan lain sebagainya. Argumen yang mereka gunakan dalam hal ini juga berangkat dari wahyu.
Dari faham being (ada) ini kemudian juga muncul aliran deisme. Yang berpandangan bahwa Tuhan berada jauh diluar alam semesta. Tuhan menciptakan alam dan sesudahnya alam diciptakan, Ia tidak lagi memperhatikan dan memelihara alam lagi. Alam berjalan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan ketika proses penciptaan. Peraturan-peraturan tersebut tidak berubah-ubah dan sangat sempurna. Ini merupakan konsekwensi logis dari transendensi Tuhan.
Sementara wujud Tuhan secara becoming (menjadi) berangkat dari realitas kehidupan secara alami (natural). Orang yang berpandangan ini melihat bahwa kehidupan ini berjalan secara alamiah dan teratur, maka Tuhan pun haruslah ikut dalam proses penyelenggarakan kehidupan. Tuhan sebagai zat yang Maha Pengatur maka sudah barang tentu Tuhan ikut berproses dalam kehidupan. Pemahaman inilah yang kemudian  melahirkah imanensi Tuhan. Yakni bahwa Tuhan berada didalam  alam itu sendiri.
Selain itu faham wujud Tuhan secara becoming ini juga merupakan sebuah kosntruk berpikir dari panteisme. panteisme adalah paham bahwa seluruhnya Tuhan. Pantesime berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam. Benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indra merupakan bagian dari Tuhan. Paham ini bertolak belakang dengan deisme. Kedua pandangan tersebut antara being dengan becoming merupakan sebuah penegasan akan eksistensi Tuhan, namun memiliki jalan yang berbeda. Ini terjadi sesuai dengan tingkat pemahaman seseorang atas penghayatan ketuhanan.

D.     Sikap Akademisi Terhadap Kedua Pandangan Wujud Tuhan
Sebagai seorang akademisi maka sudah selayaknya dalam mengkaji suatu problem haruslah secara bijaksana. Seorang akademisi dalam mengkaji suatu permaslahan haruslah berangkat dari objektivitas dan bukan dari subjektifitas. Terkait dengan masalah wujud Tuhan antara being dan becoming maka kedua pandangan tersebut tentu memiliki sebuah landasan epistemologi yang jelas. Sehingga hasil yang dicapaipun dapat dipertanggung jawabkan.
Sebagai sebuah pandangan yang mempunyai landasan epistemologis yang dapat dipertanggung jawabkan maka sudah selayaknya tidak perlu untuk dipermasalahkan. Sebagai contoh memperdebatkan antara wujud Tuhan being (ada) dengan becoming (menjadi) tidak perlu dipermaslahkan. Sikap awal yang harus dimiliki seorang akademisi yaitu keyakinan akan landasan epistemologi yang digunakannya. Sehingga tidak perlu untuk diperkeruh oleh sifat fanatisme terhadap suatu pandangan tertentu. Inilah yang sering menimbilkan konflik dalam masyarakat.
 Jika sikap fanatisme terhadap salah satu pandangan tersebut dilakukan maka akan memicu timbulnya konflik. Pandang fanatisme sebenarnya baik untuk mempertahankan apa yang telah diyakini, namun pandangan itu menjadi buruk mana kala seseorang dihadapkan dengan pandangan yang berbeda dari apa yang diyakininya. Maka sikap mengontrol emosi dirasa perlu untuk mendewasakan sikap dan perilaku seseorang.
Terkait dengan masalah wujud Tuhan antara being dan becoming maka perlu adanya sikap yang arif dan bijaksana. Dan seharusnya sebagain akademisi mengkaji kedua permasalahan tersebut secara mendalam dan sesuai dengan disiplin keilmuan, karena landasan epistemologi perlu digunakan untuk menelaah sebuah problem secara mendalam. Ini dilakukan agar tidak terjadi sebuah kesalahpahaman dan untuk meminimalisir terjadinya sebuah konflik. Perlu diketahui juga bahwa sebuah pemahaman tidak lahir dalam realitas yang kosong artinya ia hadir akibat dari refleksi dari keadaan sosio-budaya disekitarnya. Maka tidak perlu untuk dipermasalahkan secara terus menerus.

E.    Kesimpulan
Problem wujud Tuhan antara being dan becoming ini tentunya memiliki sebuah karakteristik yang berbeda. Kedua pandangan wujud Tuhan ini merupakan sebuah hasil dari dialektika masalah ketuhanan pada masa lampau. Wujud Tuhan secara being menganggap bahwa Tuhan itu ada secara mutlak, Tuhan merupakan realitas tertinggi, Tuhan merupakan sebuah realitas yang tidak pernah berubah. Tuhan dalam pendangan ini bersifat transenden yakni eksistensi Tuhan berada diluar realitas manusia atau alam.
Tuhan dalam pandangan secara being ini maka Tuhan bersifat personal. Tuhan yang personal terdapat dalam paham agama-agama semitik, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam. Konsep tuhan dalam agama ini jelas identitas diri-Nya. Dari paham ini kemudian muncul aliran deisme, transendensi Tuhan.
Semantara dalam pandanga wujud Tuhan secara becoming (menjadi), maka Tuhan ikut berproses dalam penyelenggarakan kehidupan ciptaan-Nya. Tuhan sebagai pengatur alam semesta maka Tuhan sudah barang tentu harus ikut berproses. Tuhan dalam pandangan ini bersifat impersonal, yakni tidak mementingkan apakah Tuhan itu pencipta atau tidak. Yang penting dalam ajaran filsafat Tuhan itu adalah awal dan akhir segala sesuatu. Dari pandangan ini muncul aliran panteisme yang menganggap bahwa Tuhan dan  alam semesta identik.
Kemudian terkait sikap dalam menghadapi kedua pandangan wujud Tuhan tersebut ialah kita seharusnya bersikap arif dan bijaksana. Dengan menganalisis dari apa yang telah terjadi dalam upaya penghayatan masyarakat akan wujud ketuhanan. Masing-masing kedua paham tersebut haruslah ditealaah secara mendalam agar tidak terjadi sebuah kesalahpahaman dan untuk meminimalisir terjadinya sebuah konflik. Sebagai sebuah pandangan yang mempunyai landasan epistemologis yang dapat dipertanggung jawabkan maka sudah selayaknya tidak perlu untuk dipermasalahkan.  Perlu diketahui juga bahwa sebuah pemahaman tidak lahir dalam realitas yang kosong artinya ia hadir akibat dari refleksi dari keadaan sosio-budaya disekitarnya. Maka tidak perlu untuk dipermasalahkan secara terus menerus.



                                                      Daftar Pustaka

Affandi, Abdullah Khozin. 2007. Fenomenologi: Pemahaman terhadap pikiran-pikiran Edmund Husserl. Surabaya: eLKAF.
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Agama Wisata pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Warsito, Loekisno Choiril. 2003. Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan Pokok-Pokok Ajarannya. Surabaya: eLKAF.
wikipedia.org/wiki/Imanen.


[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 195-202.
[2] Ibid, 90.
[3] wikipedia.org/wiki/Imanen.
[4] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang: 1973), 93.
[5] Loekisno Choiril Warsito, Paham Ketuhanan Modern Sejarah Dan Pokok-Pokok Ajarannya, (Surabaya: Elkaf, 2003), 47.
[6] Abdullah Khozin Afandi, Fenomenologi: Pemahaman terhadap pikiran-pikiran Edmund Husserl (Surabaya: eLKAF, 2007), 37-40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate