Senin, 15 Desember 2014

ONTOLOGI EKSISTENSIALISME (Studi Pemikiran Jean Paul Sartre)

Man is not a substance that thinks, but a separation from all substance: I am not, therefore I think. But the separation is never complete, for it is separation from a contingent substance which is not merely its occassion but also its mode and instrument: this is facticity[1]
[Manusia itu bukan substansi yang berpikir, tetapi suatu pemisahan dari semua substansi: Aku bukan, oleh karena Aku berpikir. Tetapi pemisahan ini tidak pernah sempurna, baginya adalah pemisahan dari suatu substansi yang kontingen yang tidak semata-mata kebetulan namun juga ragamnya dan instrumen; ini adalah fakticitas].

A.    Biografi J.P Sarte
J.P Sartre merupakan eksponen utama eksistensialisme ateis. Ia dikenal sebagai novelis, kritikus, dan juga filosof. Namun dalam kehidupannya kemudian ia meninggalkan eksistensialisme dan kemudian lebih intens terhadap sosiologi Marxisme gayanya sendiri.[2] Dia dilahirkan di Paris, Perancis, pada tanggal 21 Juni 1905. Dan meninggal pada tanggal 15 April 1980, hari sabtu jam 19.00 GMT, (sabtu tanggal 16 April 1980 jam 02.00 WIB).[3]
Keluarga Sartre bukan termasuk kaya atau miskin, namun tergolong sedang sedang saja. Ayahnya seorang penganut agama Katolik, sedang ibunya penganut agama Protestan. Ayahnya meninggal dunia dikala sedang melaksanakan tugas negara sebagai seorang perwira Angkatan Laut di Indocina. Kakeknya seorang Profesor dalam bahasa-bahasa modern di Universitas Sorbone.
Sejak kecil Sartre terkenal sebagai bocah yang keadaan fisiknya sangat lemah, akan tetapi peka sekali perasaannya. Pada masa muda dia belajar pada Ecole Normale Superieuri tahun 1924-1928. Pada usia 21 tahun dia menempuh ujian sarjana lengkap dengan lulus predikat cukup. Pada tahun 1928 sesudah lulus dari sekolah tersebut, ia mencoba ujian untuk menjadi dewan pengajar. Akan tetapi ia belum beruntung, baru pada ujian berikutnya ia lulus.[4]
Pada tahun 1933-1935 dia menjadi seorang mahasiswa penyelidik di Institus Perancis, Berlin, dan di Universitas Freiburg. Pada saat di Jerman itulah dia bertemu dan belajar pada Husserl, ini merupakan nilai sejarah tersendiri bagi perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari. Melalui metode fenomenologi Husserl itulah dia betul-betul memantapkan kedudukannya sebagai seorang filosof yang mempunyai corak kekhasan tersendiri. Dengan metode fenomenologi dia mengembangkan filsafat eksistensi manusia.
Disamping seorang filosof, Sartre adalah sastrawan yang cukup terkenal dengan pandangannya yang khas. Keyakinannya tentang kebebasan membawa konsekwensi dalam hidupnya yang tidak menikmati; Sartre menentang apa yang dinamakan dengan “bourgeois mariage”, akan tetapi selama menjadi seorang mahasiswa ia menjalin hubungan intim dengan Simon de Beauvoir dan menjadi pendamping hidupnya. Pada tahun 1946, Sartre mengadakan suatu ceramah yang diberi judul “eksistensialisme dan humanisme”, kemudian ceramah tersebut dibukukan dan sangat terkenal.
Jean Paul Sartre, sebagai seorang filosof, tidak dapat dipisahkan dengan posisinya sebagai seorang sastrawan, karena sifat gandanya pada dirinya sudah demikian manunggal. Ini dapat dibuktikan dalam mengungkap filsafatnya sering ia menggunakan drama, roman, dan novel.
B.     Konstruk pemikiran J.P Sartre
Sebagaimana yang berlaku dimana-mana, kehidupan seseorang, entah itu seniman atau filosof selalu erat sekali dengan latar belakang sosial budaya  yang mengitarinya. Demikian juga Sartre , tak lepas dari masalah tersebut, mengingat hidup Sartre pun tidak lepas dari dimensi ruang dan waktu, serta kesejarahannya. Dimana dia mendapatkan pengaruh dari filosof-filosof sebelumnya.
Meskipun sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang religius, akan tetapi kebalikannya justru ia anti agama dan Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak ateis, maka tak heran jika ia dari awal-awal sangat simpatik dengan Marx. Sehingga buku Sartre “Critique of Dialectical Reason”, secara eksplisit bertujuan mengkombinasi Marxisme dan eksistensialisme.[5] Kultur filsafat dan corak pemikiran Sartre tidak sepenuhnya dipengaruhi tradisi continental; Rasionalisme dan idealisme, yaitu dari Descartes sampai Kant, dan dari Hegel sampai fenomenologi Husserl serta Heidegger. Meskipun haruslah diakui bahwa mereka semuanya itu sangat penting nilainya bagi Sartre, namun kritik yang dilancarkannya pun tak kalah tajamya.
Sartre sebagain seorang pemikir yang besar, tidak sekaligus membangun filsafatny, akan tetapi melalui tahap demi tahap sampai kedudukannya mantap sebagai  seorang filosof besar. Tahap-tahap tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:
Tahap pertama: tahap ini meliputi kandungan-kandungan fenomenologi yang dikaitkan dengan psikologi, yaitu melalui Heidegger dan Husserl. Kedua filosof tersebut banyak mempengaruhi pondasi pemikiran Sartre. Dengan melalui pendekatan fenomenologi itulah Sartre mengembangkan konstruk filosofisnya.
Tahap kedua: muncul karya utamanya Being and Nothingness, dan berorientasi pada pandangannya ontologi yang cukup radikal. Dalam karyanya yang monumental ini jelas sekali meminjam pola pemikiran Heidegger. Sarte menggunakan dari analisa Hidegger tentang “Dasein”, dan memperkenalkan posisi kesadaran manusia. Meskipun dalam tahap ini pandangannya yang khas adalah ontologi, akan tetapi disamping pengaruh Heidegger, pengaruh Hegel juga tidak dapat diabaikan meski dia mengkritik Hegel juga. Khususnya karya Hegel yang berjudul The Phenomenology of Mind, diambil dan digunakan dengan detail dalam Being and Nothingness.
Tahap ketiga: berlainan dengan tahap pertama dan tahap kedua, pada tahap ini ada perubahan dalam pandangan Sartre, akan tetapi tidak begitu berarti dalam masalah kebebasan. Dia agak condong kepada Marxisme. Sarte meskipun mengritik dialektika Marx, dia mengakui bahwa: “Marxisme adalah filsafat yang mengerti zaman kini, tetapi Marxisme harus belajar kepada eksistensialisme, bahwa individu konkret itu lain dengan kolektivitas”. Serta memandang individu sebagai kebebasan. Sartre juga mengakui, bahwa pilihan seseorang toh dibatasi dengan kondisi sosialnya. Pada tahap ini ada pergesaran dalam pemikiran Sartre.
Itulah tahap-tahap corak pemikiran Sartre dalam mengembangkan filsafat eksistensialismenya. Dari berbagai tahap tersebut membuat konstruk filsafat eksistensialisme Sartre menjadi unik dan khas yang mana sering dituangkannya dalam bentuk sastra.
C.    Filsafat Eksistensialisme
Seperti yang dijelaskan pada sub-bab sebelumnya bahwa pemikiran filsafat tidak lahir begitu saja, akan tetapi terdapat faktor sosial budaya yang mengitarinya. Ini juga berlaku pada filsafat eksistensialisme. Eksistensialisme berkembangan pada abad XX di Prancis dan Jerman, bukan akibat langsung dari suatu keadaan atau sebab tertentu, tetapi sebuah respons yang dialami secara mendalam atas runtuhnya berbagai bangunan didunia barat yang sebelumnya telah dianggap mapan. Meletusnya Perang Dunia I pada akhirnya menghancurkan keyakinan akan berlanjutnya kemajuan peradaban menuju kebenaran dan kebebasan, kedamaian dan kesejahteraan yang dimunculkan pada Abad Pertengahan dan bertahan sampai pecahnya perang ini.
Peristiwa itu berimplikasi kepada peradaban barat yang mulai goyah baik dari aspek politik, ekonomi (pertentangan komunisme dan kapitalisme), bahkan dimensi intelektual. Ilmu pengetahuan kehilangan kesan pastinya. Dan segala macam bagunan filsafat berguguran, ditambah lagi filsafat mendapat serangan dari para penganut empirisme dan memanasnya ilmu pengetahuan abad XX. Serta filsafat dipandang sebagai realitivitas sejarah, bahkan lebih buruk lagi, dianggap berfungsi sebagai ideologi untuk kepentingan kelompok khusus.[6]
Dengan melemahnya dan jatuhnya sedemikian banyak struktur kekuasaan pasca PD I seluruh struktur kehilangan legitimasinya, dan kekuasaannya atas individu jadi terasa sudah tidak lagi bisa ditolelir. Karena ditentang dan dianggap sudah tidak lagi memiliki legitimasi., kekuasaan eksternal pemerintahan, sistem ekonomi,dan dunia ilmu pengetahuan. Logikanya, para eksistensialis kembali kepada pada diri manusia sebagai pusat filsafat dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi.
Namun apa yang dimaksud dengan eksistensialisme tersebut. eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya “ex”, keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[7] Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Ahmad Tafsir mengatakan bahwa filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Ini merupakan salah satu dari ragam filsafat. Adapaun yang dimaksud dengan filsafat eksistensialisme, rumusannya lebih sulit daripada eksistensi. Sejak munculnya filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.[8]
Dalam filsafat Idealisme, wujud-nyata (eksitensi) dianggap mengikuti kepada hakekatnya (esensi). Jadi “hakekat manusia” yang mempunyai cirin khas tertentu yang menyebabkan dia berbeda dengan makhluk lain. Dengan kata lain esensi mendahului eksistensi jika menurut pandangan filsafat Idealisme. Hal ini berbeda sekali dengan filsafat eksistensialisme yang sebagiamana telah diulas diatas bahwa secara singkat eksistensi mendahului esensi.
Filsafat eksistensialisme semenjak Kierkegard menolak cara pemikiran ideliasme tersebut. bahkan diantara orang-orang eksistensialisme ada yang mengatakan bahwa “wujud manusia” ini tanpa esensi (hakekat). Menurut pandangan yang lain juga, “wujud manusia” itulah yang mendahului “esensinya”, bukan sebaliknya.
Pada mulanya manusia tidak mempunyai “esensi”, karena ketika dilahirkan, ia tidak sempurna bentuknya. Manusia adalah satu-satunya makhluk, dimana “wujudnya” terletak kepada kebebasannya. Dengan demikian, maka manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain, karena perbuatan-perbuatannya dikuasai oleh hukum diluar kemampuan manusia.
 Esensi (hakekat) pohon misalnya terletak pada kemampuan (kekuatan-kekuatan) yang terdapat pada biji (benihnya). Oleh karena itu, maka esensi pohon tersebut mendahului wujudnya yang nyata. Akan tetapi manusia menolak tidak mempunyai esensi sebelum wujudnya, karena ia mempunyai kebebasan, dimana ia bisa memilih suatu sikap tertentu dan bukan sikap lainya, dan sikap inilah yang membentuk esensinya. Jadi manusia dalam pandangan filsafat eksistensialisme adalah makhluk yang dapat membentuk esensinya. Hal ini sangat bertalian erat dengan kebebasan manusia yang diusung juga oleh eksponen eksistensialisme, bahkan bisa dikatakan tidak ada perbedaan antara kebebasan itu dengan wujud manusia sendiri.[9]
Terdapat statemen yang dilontarkan oleh seorang eksponen eksistensialisme yang berkaitan dengan kebebasan manusia dalam wujudnya (eksistensi), yakni “manusia dikutuk untuk bebas”. Ini menandakan bahwa secara hakiki manusia dapat dan harus bertindak secara bebas sesuai dengan pilihannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia adalah berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Perbedaannya terletak pada eksistensinya yang mendahului esensi (hakekat). Jika manusia masih terkungkung oleh kekuatan diluar dirinya maka ia belum bisa dikatakan bebas (eksis), sebaliknya jika manusia ingin dikatakan eksis maka ia harus bisa membebaskan dirinya dari apa yang diluar dirinya bahkan sekaliber Tuhan pun. Inilah pola pemikiran dari filsafat eksistensialisme.
Secara general eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dengan benda tidaklah sama. Manusia berada didalam dunia ; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, manghadapi dengan mengerti yang dihadapinya. Artinya ialah bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya menyadari, yang sadar. Sementara barang yang disadarinya ialah objek. Namun dalam makalah ini akan dikrucutkan pembahasannya pada filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre.
D.    Filsafat eksitensialisme ala J.P Sartre
Filsafat eksistensialisme yang diusung oleh Sartre merupakan sebuah kajian ontologi, mengingat tema sentra yang dibahas ialah tentang wujud ke”ada”an manusia terhadap dunia. Kajian ontologi ini akan sulit dipahami jika tidak terlebih dahulu memahami dasar-dasar ontologi sartre dalam mengembangkan filsafat eksitensialismenya.
·         Dasar-dasar ontologi Sartre
Dasar-dasar ontologi Sartre akan sulit dipahami tenpa mengaitkannya dengan Heidegger sebagai gurunya. Dan dia pun tak dapat dilepaskan dengan Husserl dan Hegel. Ia tidak dapat disamakan dengan Descartes. Hal itu sangat penting artinya, karena fenomenologi yang diusung oleh Husserl secara praktis membatasi diri pada penelaahan kesadaran, dengan menyatakan bahwa keasadaran itu intensional. Sartre menunjukkan kritik terhadap Descartes yang mengatakan “Cogito Ergo Sum”.
Heidegger yang dipengaruhi oleh Husserl dapat dilihat dengan pendekatan fenomenologinya yang memperhatikan gejala-gejala ber”ada”nya manusia. Dia dengan gamblang menguraikan langkah-langkah bagaimana manusia tampil dalam cara beradanya. Fenomena cara beradanya manusia diselami kesaripatinya dan dikupas dengan prasangka. Manusia mau dilepas dan dilihat dengan pemunculannya yang apa adanya (khas) dalam dunia ini. Dan inilah pernyataan Heidegger yang terkenal iti; “Mengapa ada sesuatu dan bukan ketiadaan”. Ternyata manusia adalah makhluk yang menanyakan makna tentang “ada”. Maka Heidegger memulai analisanya terhadap “dasein”.
Sartre, meski mengikuti jalan Heidegger, melangkah lebih jauh dari gurunya dalam menganalisa “dasein” semata-mata untuk dapat menjawab pertanyaan tentang makna “ada” yang sebenarnya. Dalam masalah ini, Sartre melengkapi ajaran tentang ada “ada” meskipun dasarnya dari Heidegger. Dasar ajaran tentang “ada” yang membentuk tema-tema utama dari karya-karya Sartre.
Akan tetapi tema-tema utama tentang yang “ada” tersebut bukan dalam arti penuh sebagaimana yang dimaksud dengan Heidegger, melainkan dalam arti kesadaran. Oleh karena itu, dalam pembicaraan tentang dasar-dasar ontologi Sartre, mau tidak mau harus menyinggung reaksi sartre itu sendiri terhadap tesis Descartes “Cogito Ergo Sum”, yang artinya “Aku Berpikir oleh karena itu Aku Ada”, namun yang dimaksud dengan berpikir disini adalah “menyadari”.
Pernyataan “Cogito Ergo Sum”, dalam hubungannya dengan “aku”, secara aktual menurut Sartre bukanlah kesadaran yang memikir. Sehingga Descartes mengacaukan antara “keraguan yang spontan”, yaitu kesadaran, dengan “keraguan metodis”, yaitu suatu tindakan. Jika seseorang melihat objek, mungkin timbul kesadaran yang meragukan terhadap objek yang tidak menentu. Akan tetapi cogito Descartes menempatkan kesadaran diri sendiri sebagai suatu objek. Dan “cogito” Cartesian tidak menyatu dengan kesadaran yang sedang ragu, akan tetapi telah merefleksikan keraguan itu.
Kesadaran yang diragukan sekarang direfleksikan pada “cogito” yang tidak pernah diri sendiri merefleksikan. Kemudian Sartre menyimpulkan bahwa yang utama dari semua keasadaran ialah “pra-Refleksi cogito”. Oleh karena itu bukti ontologi sartre bukan seperti dalam Descartes, yakni kesadaran murni dan identik dengan dirinya sendiri. Namun bagi Sartre, kesadaran itu selalu keluar dari dirinya sendiri dan mengatasi objek. Keasaran ridak pernah identik dengan dirinya sendiri.[10]
Sartre memberikan pengertian ontologi sebagai: “The study of the structure of being of the existence taken as a totality”. (studi tentang struktur yang ada dari yang mengada diambil sebagai totalitas. Kemudian ia mengatakan lebih lanjut: “ontologi describes being it-self, the conditions by which “there is” a world, human reality...”. Jadi disini menggambarkan yang ada dengan syarat-syarat “adanya” suatu dunia, yakni realitas manusia. Dengan demikian ontologi yang dipahami Sartre menggambarkan struktur tentang ada, bagaimana kesadaran kehadiran manusia didunia yang bukan substansi atau proses, serta dihubungkan dengan kebutuhannya, situasinya dunia.[11]
Oleh karena itu dengan tegas membedakan ontologi dengan metafisika, bahkan karya-karyanya tidak berhubungan dengan metafisika. Sebagaimana dikemukakan dalam makna ontologi diatas, ia menjawab pertanyaan “how” dan “why”, dan ini lebih merupakan deskripsi daripada eksplanasi. 
Disini Sartre meletakkan dasar seluruh pandangan ontologinya. Yang pertama, dia mengikuti Husserl, bahwa seluruh kesadaran adalah kesadaran terhadap sesuatu, keasadaran yang intensional, langsung mengarah pada objek dan mengatasinya sebagai yang lain dari diri sendiri. Dasar kedua adalah Pra-reflektif “cogito”, yaitu keasadaran dari “ada kesadaran” terhadap objek.  
Manusia bagi Sartre bukan substansi berpikir, akan tetapi sebagai “ada” yang sadar dengan totalitasnya, terpisah dari semua substansi dan ini terdapat dalam penadapatnya:
Man is not a substance that thinks, but a separation from all substance: I am not, therefore I think. But the separation is never complete, for it is separation from a contingent substance which is not merely its occassion but also its mode and instrument: this is facticity.[12]
[Manusia itu bukan substansi yang berpikir, tetapi suatu pemisahan dari semua substansi: Aku bukan, oleh karena Aku berpikir. Tetapi pemisahan ini tidak pernah sempurna, baginya adalah pemisahan dari suatu substansi yang kontingen yang tidak semata-mata kebetulan namun juga ragamnya dan instrumen; ini adalah fakticitas].
Dengan pendapat tersebut diatas tersimpulkan bahwa manusia sebagai “ada” yang berkesadaran bukanlah merupakan substansi, dan pada kenyataanya kesadaran manusia itu tidak pernah padat, ia selalu membelah, ia adalah “is not”, maka tidak pernah identik dengan diri sendiri, akan tetapi fakticitas yang tak dapat dielakkan.
Dalam perkembangan mengenai “ada” yang sadar akan dirinya, Sartre dalam mengembangkan dasar-dasar ontologinya tersebut mempunyai dua bentuk yang sekaligus ia bedakan secara radikal. Pertama “being for-itself” bisa juga disebut “for-itself”. Dan yang kedua ialah “being in-itself”, yang selanjutnya akan ditulis dengan “in-itself”. Kedua bentuk atau pola “ada” tersebut diutarakan secara paradoksal. Untuk lebih jelasnya akan sedikit diulas secara singkat kedua pola tersebut.
1.      Being for-itself
Dalam konteks filsafat Sartre, “for-itself” adalah “ada” yang berkesadaran. Itulah manusia yang berbeda dengan “ada” yang tidak berkesadaran. Dia menghadapi realitas yang bukan dirinya, yang mampu mengatasinya. Prinsip dari “for-itself” adalah kemampuan untuk bertanya dan menerima jawaban baik positif maupun negatif. Kesadaran tampil terhadap objek, dia menanyakan dan yang ditanyakan itu tidaklah dirinya sendiri sebagai kesadaran.
Oleh karena itu, kesadaran tidak pernah identik dengan dirinya sendiri. Dia juga tidak mempunyai identitas karena dia tidak bisa dekat dengan dirinya sendiri. Ini berarti ada pemisahan antara subyek dengan dirinya sendiri, pemisahan itu adalah ketiadaan (nothingness). Itu sebabnya, kesadaran tidak pernah padat, dia merupakan kekuarangan dari keberadaannya.
Sedangkan kekurangan dari keberadaan itu, ada dalam pertanyaan, dengan munculnya kesadaran itu maka “ada” terancam oleh ketiadaan. Sartre mengatakan bahwa kehadiran manusia dirinya sendiri sebagai “ada” yang menyebabkan ketiadaan muncul di bumi. Dan ketiadaan yang muncul di dunia, menyebabkan manusia memeluk kebebasannya; suatu kebebasan yang membuat kecemasan.
Sebagai ada yang berkesadaran, “for-itself” menghadapi suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari yaitu faktisitas. Pengertian faktisitas ialah “the for-itself necessary conection with the in-self, hence with the world ang its own past”. Jadi keharusan bagi “for-Itself yang tidak bisa lepas dari dunia serta temporalitasnya. Sedangkan “for-itself” tidak bisa lepas juga dari kebebasannya, dan itulah yang dinamakan faktisitas kebebasan.[13]
2.      Being in-itself
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa Sartre, sebagai penganut ontologi, membedakan secara radikal tentang “ada”. Pertama disebutkan sebagai “for-itself” ada yang berkesadaran, dalam hal ini manusia. Sedangkan dalam sub-bab ini akan disebutkan yang kedua yakni “in-itself”, yakni “ada” yang tidak berkesadaran. Dalam ontologi Sartre “for-itself” bukan hanya ada atau sadar berada dalam dunia ini, akan tetapi sadar akan beradanya didunia ini.
Dia sadar diri ditengah-tengah dunia ini, dan “for-itself” mendapatkan ada yang tidak berkesadaran. Sedang kursi, meja, pisau, batu, dan benda-benda material yang lainnya adalah ada yang tidak berkesadaran, mereka telah ditentukan esensinya dan beradanya, dan itulah yang dinamakan “in-itself”. “in-itself” adalah ada diri yang konsisten. Begitu sempurnanya dan padatnya sehingga ketiadaan (nothingness) tidak bisa masuk kedalamnya. Sehingga adanya memang tanpa dasar atau alasan apapun.
“in-itself” adalah suatu imanensi yang tidak dapat merealisasikan dirinya sendiri, dia tidak pernah dipisahkan dengan dirinnya sendiri baik dalam refleksi maupun temporalitas, oleh karena itu disebut dengan “ada dalam dirinya sendiri”.
Dari keterangan diatas dapat dilihat bahwa apa yang dimaksud dengan “in-itself” adalah “ada itu sendiri”; benda-benda, peristiwa-peristiwa dan kenyataan disekeliling “for-itself” yang dikonfrontir dengannya. Dan dapat dilihat juga dalam pandangan Sartre, bahwa “in-itself” dipnadang sebagai hal yang ada sebagai kontingensi, yang berhubungan erat dengan sikap ateisnya. Dia tidak meyakini bahwa benda-benda itu ada yang mengadakan (Tuhan). Sartre tidak akan sejauh itu. Dia tidak dapat mempercayai Tuhan sebagai pencita dalam arti dari tiada menjadi ada, bahkan dia beralasan jika “in-itself” tidak dapat diterangkan, karena mangatasi penciptaan.[14] Bahkan ditegaskan Sartre dalam bukunya yakni eksitensialisme dan humanisme bahwa manusia modern harus menghadapi fakta bahwa Tuhan tidak ada. Dunia dan benda-benda yang membentuknya yang ada tanpa alasan dan tujuan. Tidak tercipta, tanpa alasan untuk hidup, mereka sekedar ada.[15]
Sartre hanya menyatakan, bahwa ada yang tidak berkesadaran itu hanya merupakan “being is”, “beinin-itself”. Lalu bagaimanakah terjadi jalinan antara “for-itself” dengan “in-itself”? disini berhubungan dengan ciri khas manusia yaitu subyektifitas, kesadaran akan dunia, dimana dia hadir didunia ini bersama dengan kebutuhannya, sebagai faktisitas dan sekaligus merupakan situasi kesadaran. Peran subyektifitas, yaitu khas kesadaran dan kebutuhan yang dihayati, serta realitas lainnya merupakan uraian ontologi Sartre.
Keterangan dan uraian itu, nampak dalam pengalaman sehari-hari. Jika seseorang melihat pisang diatas meja dan memakan pisang tersebu; maka sebagai objek, benda tersebut disajikan kepada “aku” bersamaan dengan pengalaman subyektif tentang melihat dan memakan. Jadi kebutuhan yang dihayati, tampak dalam kaitannya dengan objek dan dunia. Subyektifitas panca indra dan subyektifitas seluruh tubuh tampak “disana”, pada benda-benda didepanya, dalam rangka situasi dimana manusia itu berada.
Dengan demikian, jelas apa yang dimaksudkan Sartre dengan “in-itself” dalam bab ini beserta jalinannya dengan “for-itself”. Lalu kalau dikatakan “in-itself” sudah mempunyai kodrat dan esensinya lebih dahulu, apakah kodrat dan esensi dari “for-itself” itu? Ini berhubungan dengan “for-itself” sebagai manusia yang eksistensinya mendahului esensi. Ini berartin manusia adalah kebebasan yang otonom. Dan ini tergantung kepada kebebasanya; manusia sebagai “ada” yang berkesadran adalah bebas, menampakkan diri dalam cara yang khas, yang memungkinkan mengatasi diri serta situasi dimana kebetulan ia berada, serta berhadapan dengan “in-itself”.
Sartre sebagai seorang ontologis, juga dapat disebut sebagai penganut “dualisme”, akan tetapi berbeda dengan dualisme Descartes maupun Kant. Dalam dualisme Kant, sebagaimana diketahui adanya “numena” dan “fenomena”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kant, “noumena” itu tidak dapat diketahui oleh manusia, yang dapat diketahui oleh manusia adalah “fenomena” dan ini berarti ada realitas yang terlepas dari subyek, karena ia tidak diketahui oleh “ada” yang berkesadaran, dan terletak diluar pengelamannya. Dan manusia hanya mengetahui gejela-gejala yang slalu merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang dan waktu.
Menurut Sartre, apa yang disebut dengan “noumena” dalam istilahnya “in-itself”, dan “fenomena” dalam istilahnya “for-itself” itulah eksistensi manusia yang berkesadaran dan subyektif, sedangkan “in-itself” adalah objek dari eksistensi itu. Justru dalam pandangan Sartre “fenomena” itu mengatasi “noumena”, dan diatasinya dengan kebebasan, bahkan “noumena” tetap tingga padat.
Ini sesuai dengan pandangan umum tentang filsafat eksistensialisme yakni eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dengan tumbuhan, hewan, dan bebatuan yang mana esensinya mendahului eksistensinya. Jadi hakikat manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu menyebabkan manusia berbeda dengan makhluk yang lainnya.[16]
E.     Kesimpulan
J.P Sartre merupakan eksponen utama eksistensialisme ateis. Ia dikenal sebagai novelis, kritikus, dan juga filosof. Namun dalam kehidupannya kemudian ia meninggalkan eksistensialisme dan kemudian lebih intens terhadap sosiologi Marxisme gayanya sendiri. Dia dilahirkan di Paris, Perancis, pada tanggal 21 Juni 1905. Dan meninggal pada tanggal 15 April 1980, hari sabtu jam 19.00 GMT, (sabtu tanggal 16 April 1980 jam 02.00 WIB).
Jean Paul Sartre, sebagai seorang filosof, tidak dapat dipisahkan dengan posisinya sebagai seorang sastrawan, karena sifat gandanya pada dirinya sudah demikian manunggal. Ini dapat dibuktikan dalam mengungkap filsafatnya sering ia menggunakan drama, roman, dan novel.
eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa latin yang artinya “ex”, keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri. Secara umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidaklah sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Dasar pondasi filsafat eksitensialisme dari Sartre berangkat dari fenomenologi Hussrel dan Heidegger. Namun dalam perkembangannya Sartre kemudian mengkritik tesis Descartes tentang “cogito ergo sum” yang diartikan oleh sartre bukan aku berpikir oleh karena aku ada tapi berpikir disini adalah menyadari akan ke”ada”an dirinya. Sehingga eksistensinya mendahului esensi.
Dalam konstruk ontologi eksistensialismenya, Sartre membedakan secara radikal antara “ada” yang berkesadaran yakni “for-itself” dengan “ada” yang tidak sadar yakni “in-itself”. Keduanya dapat berhubungan dengan subyektivitas manusia yang khas. Yang paling ditekankan oleh Sartre ialah eksistensi haruslah mendahului esensi. Sebagai impilikasinya ialah ia sangat mendewakan kebebasaan, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai subyektifitas manusia itu sendiri.



                                                     Daftar Pustaka
Blackhman, H.J. 1978. Six Existensialist Thinkers. London: Routledge & Kegean Paul.
Collinson, Diane. 2001. Fifty Major Philosophers, trj: Mufti Ali. Jakarta: PT RajaGarfindo persada.
Hasan, Fuad. 1974. Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Lavine, T.Z. 2002. From Socrates to Sartre: the Philosophic Quest. trj: Andi Iswanto. Yogyakarta: Jendela.
Martin, Vincent. 2001. Filsafat Eksitensialisme: Kierkegaard, Jean-paul Sartre, Albert Camus. trj. Taufiqurrahman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muzairi. 2002. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syadali, ahmad dan Mudzakir. 2004. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Rosda.


[1] H.J. Blackham, Six Existensialist Thinkers, (London: Routledge & Kegan Paul, 1978), 113.
[2] DianeCollinson, Fifty Major Philosophers, trj: Mufti Ali, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 232.
[3] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), 71.
[4] Fuad Hasan, Berkenalan Dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1974, 101.
[5] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), 78.
[6] T.Z. Lavine, From Socrates to Sartre: the Philosophic Quest, trj: Andi Iswanto, (Yogyakarta: Jendela, 2002),314.
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006),218.
[8] Ibid, 218-219.
[9] A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), 91.
[10] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), 104-105.
[11] Ibid,99.
[12] H.J. Blackham, Six Existensialist Thinkers, (London: Routledge & Kegan Paul, 1978), 113.
[13] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), 117.
[14] Ibid, 124.
[15] Vincent Martin, Filsafat Eksitensialisme: Kierkegaard, Jean-paul Sartre, Albert Camus, trj. Taufiqurrahman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 29.
[16] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate