Man is not a substance that thinks,
but a separation from all substance: I am not, therefore I think. But the
separation is never complete, for it is separation from a contingent substance
which is not merely its occassion but also its mode and instrument: this is
facticity[1]
[Manusia itu bukan substansi yang
berpikir, tetapi suatu pemisahan dari semua substansi: Aku bukan, oleh karena
Aku berpikir. Tetapi pemisahan ini tidak pernah sempurna, baginya adalah
pemisahan dari suatu substansi yang kontingen yang tidak semata-mata kebetulan
namun juga ragamnya dan instrumen; ini adalah fakticitas].
A. Biografi J.P Sarte
J.P Sartre merupakan eksponen utama eksistensialisme
ateis. Ia dikenal sebagai novelis, kritikus, dan juga filosof. Namun dalam
kehidupannya kemudian ia meninggalkan eksistensialisme dan kemudian lebih
intens terhadap sosiologi Marxisme gayanya sendiri.[2]
Dia dilahirkan di Paris, Perancis, pada tanggal 21 Juni 1905. Dan meninggal
pada tanggal 15 April 1980, hari sabtu jam 19.00 GMT, (sabtu tanggal 16 April
1980 jam 02.00 WIB).[3]
Keluarga Sartre bukan termasuk kaya atau miskin,
namun tergolong sedang sedang saja. Ayahnya seorang penganut agama Katolik,
sedang ibunya penganut agama Protestan. Ayahnya meninggal dunia dikala sedang
melaksanakan tugas negara sebagai seorang perwira Angkatan Laut di Indocina.
Kakeknya seorang Profesor dalam bahasa-bahasa modern di Universitas Sorbone.
Sejak kecil Sartre terkenal sebagai bocah yang
keadaan fisiknya sangat lemah, akan tetapi peka sekali perasaannya. Pada masa
muda dia belajar pada Ecole Normale
Superieuri tahun 1924-1928. Pada usia 21 tahun dia menempuh ujian sarjana
lengkap dengan lulus predikat cukup. Pada tahun 1928 sesudah lulus dari sekolah
tersebut, ia mencoba ujian untuk menjadi dewan pengajar. Akan tetapi ia belum
beruntung, baru pada ujian berikutnya ia lulus.[4]
Pada tahun 1933-1935 dia menjadi seorang mahasiswa
penyelidik di Institus Perancis, Berlin, dan di Universitas Freiburg. Pada saat
di Jerman itulah dia bertemu dan belajar pada Husserl, ini merupakan nilai
sejarah tersendiri bagi perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari. Melalui
metode fenomenologi Husserl itulah dia betul-betul memantapkan kedudukannya
sebagai seorang filosof yang mempunyai corak kekhasan tersendiri. Dengan metode
fenomenologi dia mengembangkan filsafat eksistensi manusia.
Disamping seorang filosof, Sartre adalah sastrawan
yang cukup terkenal dengan pandangannya yang khas. Keyakinannya tentang
kebebasan membawa konsekwensi dalam hidupnya yang tidak menikmati; Sartre
menentang apa yang dinamakan dengan “bourgeois
mariage”, akan tetapi selama menjadi seorang mahasiswa ia menjalin hubungan
intim dengan Simon de Beauvoir dan menjadi pendamping hidupnya. Pada tahun
1946, Sartre mengadakan suatu ceramah yang diberi judul “eksistensialisme dan
humanisme”, kemudian ceramah tersebut dibukukan dan sangat terkenal.
Jean Paul Sartre, sebagai seorang filosof, tidak
dapat dipisahkan dengan posisinya sebagai seorang sastrawan, karena sifat
gandanya pada dirinya sudah demikian manunggal. Ini dapat dibuktikan dalam
mengungkap filsafatnya sering ia menggunakan drama, roman, dan novel.
B.
Konstruk
pemikiran J.P Sartre
Sebagaimana
yang berlaku dimana-mana, kehidupan seseorang, entah itu seniman atau filosof
selalu erat sekali dengan latar belakang sosial budaya yang mengitarinya. Demikian juga Sartre , tak
lepas dari masalah tersebut, mengingat hidup Sartre pun tidak lepas dari
dimensi ruang dan waktu, serta kesejarahannya. Dimana dia mendapatkan pengaruh
dari filosof-filosof sebelumnya.
Meskipun
sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang religius, akan tetapi kebalikannya
justru ia anti agama dan Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak
ateis, maka tak heran jika ia dari awal-awal sangat simpatik dengan Marx.
Sehingga buku Sartre “Critique of
Dialectical Reason”, secara eksplisit bertujuan mengkombinasi Marxisme dan
eksistensialisme.[5]
Kultur filsafat dan corak pemikiran Sartre tidak sepenuhnya dipengaruhi tradisi
continental; Rasionalisme dan idealisme, yaitu dari Descartes sampai Kant, dan
dari Hegel sampai fenomenologi Husserl serta Heidegger. Meskipun haruslah
diakui bahwa mereka semuanya itu sangat penting nilainya bagi Sartre, namun
kritik yang dilancarkannya pun tak kalah tajamya.
Sartre
sebagain seorang pemikir yang besar, tidak sekaligus membangun filsafatny, akan
tetapi melalui tahap demi tahap sampai kedudukannya mantap sebagai seorang filosof besar. Tahap-tahap tersebut
dapat disebutkan sebagai berikut:
Tahap pertama:
tahap ini meliputi kandungan-kandungan fenomenologi yang dikaitkan dengan
psikologi, yaitu melalui Heidegger dan Husserl. Kedua filosof tersebut banyak
mempengaruhi pondasi pemikiran Sartre. Dengan melalui pendekatan fenomenologi
itulah Sartre mengembangkan konstruk filosofisnya.
Tahap kedua:
muncul karya utamanya Being and
Nothingness, dan berorientasi pada pandangannya ontologi yang cukup
radikal. Dalam karyanya yang monumental ini jelas sekali meminjam pola
pemikiran Heidegger. Sarte menggunakan dari analisa Hidegger tentang “Dasein”, dan memperkenalkan posisi
kesadaran manusia. Meskipun dalam tahap ini pandangannya yang khas adalah
ontologi, akan tetapi disamping pengaruh Heidegger, pengaruh Hegel juga tidak
dapat diabaikan meski dia mengkritik Hegel juga. Khususnya karya Hegel yang
berjudul The Phenomenology of Mind, diambil
dan digunakan dengan detail dalam Being
and Nothingness.
Tahap ketiga: berlainan
dengan tahap pertama dan tahap kedua, pada tahap ini ada perubahan dalam
pandangan Sartre, akan tetapi tidak begitu berarti dalam masalah kebebasan. Dia
agak condong kepada Marxisme. Sarte meskipun mengritik dialektika Marx, dia
mengakui bahwa: “Marxisme adalah filsafat yang mengerti zaman kini, tetapi
Marxisme harus belajar kepada eksistensialisme, bahwa individu konkret itu lain
dengan kolektivitas”. Serta memandang individu sebagai kebebasan. Sartre juga
mengakui, bahwa pilihan seseorang toh dibatasi dengan kondisi sosialnya. Pada
tahap ini ada pergesaran dalam pemikiran Sartre.
Itulah tahap-tahap corak pemikiran
Sartre dalam mengembangkan filsafat eksistensialismenya. Dari berbagai tahap
tersebut membuat konstruk filsafat eksistensialisme Sartre menjadi unik dan
khas yang mana sering dituangkannya dalam bentuk sastra.
C.
Filsafat
Eksistensialisme
Seperti yang dijelaskan pada
sub-bab sebelumnya bahwa pemikiran filsafat tidak lahir begitu saja, akan
tetapi terdapat faktor sosial budaya yang mengitarinya. Ini juga berlaku pada
filsafat eksistensialisme. Eksistensialisme berkembangan pada abad XX di
Prancis dan Jerman, bukan akibat langsung dari suatu keadaan atau sebab
tertentu, tetapi sebuah respons yang dialami secara mendalam atas runtuhnya
berbagai bangunan didunia barat yang sebelumnya telah dianggap mapan.
Meletusnya Perang Dunia I pada akhirnya menghancurkan keyakinan akan
berlanjutnya kemajuan peradaban menuju kebenaran dan kebebasan, kedamaian dan
kesejahteraan yang dimunculkan pada Abad Pertengahan dan bertahan sampai pecahnya
perang ini.
Peristiwa itu berimplikasi kepada peradaban
barat yang mulai goyah baik dari aspek politik, ekonomi (pertentangan komunisme
dan kapitalisme), bahkan dimensi intelektual. Ilmu pengetahuan kehilangan kesan
pastinya. Dan segala macam bagunan filsafat berguguran, ditambah lagi filsafat
mendapat serangan dari para penganut empirisme dan memanasnya ilmu pengetahuan
abad XX. Serta filsafat dipandang sebagai realitivitas sejarah, bahkan lebih
buruk lagi, dianggap berfungsi sebagai ideologi untuk kepentingan kelompok
khusus.[6]
Dengan melemahnya dan jatuhnya
sedemikian banyak struktur kekuasaan pasca PD I seluruh struktur kehilangan
legitimasinya, dan kekuasaannya atas individu jadi terasa sudah tidak lagi bisa
ditolelir. Karena ditentang dan dianggap sudah tidak lagi memiliki legitimasi.,
kekuasaan eksternal pemerintahan, sistem ekonomi,dan dunia ilmu pengetahuan.
Logikanya, para eksistensialis kembali kepada pada diri manusia sebagai pusat
filsafat dan sebagai satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi.
Namun apa yang dimaksud dengan
eksistensialisme tersebut. eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist”
adalah bahasa latin yang artinya “ex”,
keluar dan “sistare” artinya berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri.[7] Secara
umum dalam membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidaklah
sama. Namun demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu
sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Ahmad Tafsir mengatakan bahwa
filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang
dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti
katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral. Ini merupakan salah satu dari ragam filsafat. Adapaun yang dimaksud
dengan filsafat eksistensialisme, rumusannya lebih sulit daripada eksistensi.
Sejak munculnya filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema
sentral pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara
begitu radikal menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada
eksistensialisme.[8]
Dalam filsafat Idealisme,
wujud-nyata (eksitensi) dianggap mengikuti kepada hakekatnya (esensi). Jadi
“hakekat manusia” yang mempunyai cirin khas tertentu yang menyebabkan dia
berbeda dengan makhluk lain. Dengan kata lain esensi mendahului eksistensi jika
menurut pandangan filsafat Idealisme. Hal ini berbeda sekali dengan filsafat
eksistensialisme yang sebagiamana telah diulas diatas bahwa secara singkat
eksistensi mendahului esensi.
Filsafat eksistensialisme semenjak
Kierkegard menolak cara pemikiran ideliasme tersebut. bahkan diantara
orang-orang eksistensialisme ada yang mengatakan bahwa “wujud manusia” ini
tanpa esensi (hakekat). Menurut pandangan yang lain juga, “wujud manusia”
itulah yang mendahului “esensinya”, bukan sebaliknya.
Pada mulanya manusia tidak
mempunyai “esensi”, karena ketika dilahirkan, ia tidak sempurna bentuknya.
Manusia adalah satu-satunya makhluk, dimana “wujudnya” terletak kepada
kebebasannya. Dengan demikian, maka manusia berbeda dengan makhluk-makhluk
lain, karena perbuatan-perbuatannya dikuasai oleh hukum diluar kemampuan
manusia.
Esensi (hakekat) pohon misalnya terletak pada
kemampuan (kekuatan-kekuatan) yang terdapat pada biji (benihnya). Oleh karena
itu, maka esensi pohon tersebut mendahului wujudnya yang nyata. Akan tetapi
manusia menolak tidak mempunyai esensi sebelum wujudnya, karena ia mempunyai
kebebasan, dimana ia bisa memilih suatu sikap tertentu dan bukan sikap lainya,
dan sikap inilah yang membentuk esensinya. Jadi manusia dalam pandangan
filsafat eksistensialisme adalah makhluk yang dapat membentuk esensinya. Hal
ini sangat bertalian erat dengan kebebasan manusia yang diusung juga oleh
eksponen eksistensialisme, bahkan bisa dikatakan tidak ada perbedaan antara
kebebasan itu dengan wujud manusia sendiri.[9]
Terdapat statemen yang dilontarkan
oleh seorang eksponen eksistensialisme yang berkaitan dengan kebebasan manusia
dalam wujudnya (eksistensi), yakni “manusia dikutuk untuk bebas”. Ini
menandakan bahwa secara hakiki manusia dapat dan harus bertindak secara bebas
sesuai dengan pilihannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia
adalah berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Perbedaannya terletak pada
eksistensinya yang mendahului esensi (hakekat). Jika manusia masih terkungkung
oleh kekuatan diluar dirinya maka ia belum bisa dikatakan bebas (eksis),
sebaliknya jika manusia ingin dikatakan eksis maka ia harus bisa membebaskan
dirinya dari apa yang diluar dirinya bahkan sekaliber Tuhan pun. Inilah pola
pemikiran dari filsafat eksistensialisme.
Secara
general eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dengan benda
tidaklah sama. Manusia berada didalam dunia ; ia mengalami beradanya di dunia
itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia,
manghadapi dengan mengerti yang dihadapinya. Artinya ialah bahwa manusia adalah
subyek. Subyek artinya menyadari, yang sadar. Sementara barang yang disadarinya
ialah objek. Namun dalam makalah ini akan dikrucutkan pembahasannya pada
filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre.
D.
Filsafat
eksitensialisme ala J.P Sartre
Filsafat eksistensialisme yang
diusung oleh Sartre merupakan sebuah kajian ontologi, mengingat tema sentra
yang dibahas ialah tentang wujud ke”ada”an manusia terhadap dunia. Kajian
ontologi ini akan sulit dipahami jika tidak terlebih dahulu memahami
dasar-dasar ontologi sartre dalam mengembangkan filsafat eksitensialismenya.
·
Dasar-dasar ontologi Sartre
Dasar-dasar ontologi Sartre akan
sulit dipahami tenpa mengaitkannya dengan Heidegger sebagai gurunya. Dan dia
pun tak dapat dilepaskan dengan Husserl dan Hegel. Ia tidak dapat disamakan
dengan Descartes. Hal itu sangat penting artinya, karena fenomenologi yang
diusung oleh Husserl secara praktis membatasi diri pada penelaahan kesadaran,
dengan menyatakan bahwa keasadaran itu intensional. Sartre menunjukkan kritik
terhadap Descartes yang mengatakan “Cogito Ergo Sum”.
Heidegger yang dipengaruhi oleh
Husserl dapat dilihat dengan pendekatan fenomenologinya yang memperhatikan
gejala-gejala ber”ada”nya manusia. Dia dengan gamblang menguraikan
langkah-langkah bagaimana manusia tampil dalam cara beradanya. Fenomena cara
beradanya manusia diselami kesaripatinya dan dikupas dengan prasangka. Manusia
mau dilepas dan dilihat dengan pemunculannya yang apa adanya (khas) dalam dunia
ini. Dan inilah pernyataan Heidegger yang terkenal iti; “Mengapa ada sesuatu
dan bukan ketiadaan”. Ternyata manusia adalah makhluk yang menanyakan makna
tentang “ada”. Maka Heidegger memulai analisanya terhadap “dasein”.
Sartre, meski mengikuti jalan
Heidegger, melangkah lebih jauh dari gurunya dalam menganalisa “dasein”
semata-mata untuk dapat menjawab pertanyaan tentang makna “ada” yang
sebenarnya. Dalam masalah ini, Sartre melengkapi ajaran tentang ada “ada”
meskipun dasarnya dari Heidegger. Dasar ajaran tentang “ada” yang membentuk
tema-tema utama dari karya-karya Sartre.
Akan tetapi tema-tema utama tentang
yang “ada” tersebut bukan dalam arti penuh sebagaimana yang dimaksud dengan
Heidegger, melainkan dalam arti kesadaran. Oleh karena itu, dalam pembicaraan
tentang dasar-dasar ontologi Sartre, mau tidak mau harus menyinggung reaksi
sartre itu sendiri terhadap tesis Descartes “Cogito Ergo Sum”, yang artinya
“Aku Berpikir oleh karena itu Aku Ada”, namun yang dimaksud dengan berpikir
disini adalah “menyadari”.
Pernyataan “Cogito Ergo Sum”, dalam
hubungannya dengan “aku”, secara aktual menurut Sartre bukanlah kesadaran yang
memikir. Sehingga Descartes mengacaukan antara “keraguan yang spontan”, yaitu
kesadaran, dengan “keraguan metodis”, yaitu suatu tindakan. Jika seseorang
melihat objek, mungkin timbul kesadaran yang meragukan terhadap objek yang
tidak menentu. Akan tetapi cogito Descartes menempatkan kesadaran diri sendiri
sebagai suatu objek. Dan “cogito” Cartesian tidak menyatu dengan kesadaran yang
sedang ragu, akan tetapi telah merefleksikan keraguan itu.
Kesadaran yang diragukan sekarang
direfleksikan pada “cogito” yang tidak pernah diri sendiri merefleksikan.
Kemudian Sartre menyimpulkan bahwa yang utama dari semua keasadaran ialah
“pra-Refleksi cogito”. Oleh karena itu bukti ontologi sartre bukan seperti
dalam Descartes, yakni kesadaran murni dan identik dengan dirinya sendiri.
Namun bagi Sartre, kesadaran itu selalu keluar dari dirinya sendiri dan
mengatasi objek. Keasaran ridak pernah identik dengan dirinya sendiri.[10]
Sartre memberikan pengertian
ontologi sebagai: “The study of the
structure of being of the existence taken as a totality”. (studi tentang
struktur yang ada dari yang mengada diambil sebagai totalitas. Kemudian ia
mengatakan lebih lanjut: “ontologi
describes being it-self, the conditions by which “there is” a world, human
reality...”. Jadi disini menggambarkan yang ada dengan syarat-syarat
“adanya” suatu dunia, yakni realitas manusia. Dengan demikian ontologi yang
dipahami Sartre menggambarkan struktur tentang ada, bagaimana kesadaran
kehadiran manusia didunia yang bukan substansi atau proses, serta dihubungkan
dengan kebutuhannya, situasinya dunia.[11]
Oleh karena itu dengan tegas
membedakan ontologi dengan metafisika, bahkan karya-karyanya tidak berhubungan
dengan metafisika. Sebagaimana dikemukakan dalam makna ontologi diatas, ia
menjawab pertanyaan “how” dan “why”, dan ini lebih merupakan deskripsi daripada
eksplanasi.
Disini Sartre meletakkan dasar
seluruh pandangan ontologinya. Yang pertama,
dia mengikuti Husserl, bahwa seluruh kesadaran adalah kesadaran terhadap
sesuatu, keasadaran yang intensional, langsung mengarah pada objek dan
mengatasinya sebagai yang lain dari diri sendiri. Dasar kedua adalah Pra-reflektif “cogito”, yaitu keasadaran dari “ada
kesadaran” terhadap objek.
Manusia bagi Sartre bukan substansi
berpikir, akan tetapi sebagai “ada” yang sadar dengan totalitasnya, terpisah
dari semua substansi dan ini terdapat dalam penadapatnya:
Man is not a
substance that thinks, but a separation from all substance: I am not, therefore
I think. But the separation is never complete, for it is separation from a
contingent substance which is not merely its occassion but also its mode and
instrument: this is facticity.[12]
[Manusia itu bukan substansi yang berpikir, tetapi
suatu pemisahan dari semua substansi: Aku bukan, oleh karena Aku berpikir.
Tetapi pemisahan ini tidak pernah sempurna, baginya adalah pemisahan dari suatu
substansi yang kontingen yang tidak semata-mata kebetulan namun juga ragamnya
dan instrumen; ini adalah fakticitas].
Dengan pendapat tersebut diatas
tersimpulkan bahwa manusia sebagai “ada” yang berkesadaran bukanlah merupakan
substansi, dan pada kenyataanya kesadaran manusia itu tidak pernah padat, ia
selalu membelah, ia adalah “is not”, maka tidak pernah identik dengan diri
sendiri, akan tetapi fakticitas yang tak dapat dielakkan.
Dalam perkembangan mengenai “ada”
yang sadar akan dirinya, Sartre dalam mengembangkan dasar-dasar ontologinya
tersebut mempunyai dua bentuk yang sekaligus ia bedakan secara radikal. Pertama
“being for-itself” bisa juga disebut “for-itself”. Dan yang kedua ialah “being
in-itself”, yang selanjutnya akan ditulis dengan “in-itself”. Kedua bentuk atau
pola “ada” tersebut diutarakan secara paradoksal. Untuk lebih jelasnya akan
sedikit diulas secara singkat kedua pola tersebut.
1. Being
for-itself
Dalam konteks filsafat Sartre,
“for-itself” adalah “ada” yang berkesadaran. Itulah manusia yang berbeda dengan
“ada” yang tidak berkesadaran. Dia menghadapi realitas yang bukan dirinya, yang
mampu mengatasinya. Prinsip dari “for-itself” adalah kemampuan untuk bertanya
dan menerima jawaban baik positif maupun negatif. Kesadaran tampil terhadap
objek, dia menanyakan dan yang ditanyakan itu tidaklah dirinya sendiri sebagai
kesadaran.
Oleh karena itu, kesadaran tidak
pernah identik dengan dirinya sendiri. Dia juga tidak mempunyai identitas
karena dia tidak bisa dekat dengan dirinya sendiri. Ini berarti ada pemisahan
antara subyek dengan dirinya sendiri, pemisahan itu adalah ketiadaan
(nothingness). Itu sebabnya, kesadaran tidak pernah padat, dia merupakan
kekuarangan dari keberadaannya.
Sedangkan kekurangan dari
keberadaan itu, ada dalam pertanyaan, dengan munculnya kesadaran itu maka “ada”
terancam oleh ketiadaan. Sartre mengatakan bahwa kehadiran manusia dirinya
sendiri sebagai “ada” yang menyebabkan ketiadaan muncul di bumi. Dan ketiadaan
yang muncul di dunia, menyebabkan manusia memeluk kebebasannya; suatu kebebasan
yang membuat kecemasan.
Sebagai ada yang berkesadaran,
“for-itself” menghadapi suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari yaitu
faktisitas. Pengertian faktisitas ialah “the
for-itself necessary conection with the in-self, hence with the world ang its
own past”. Jadi keharusan bagi “for-Itself yang tidak bisa lepas dari dunia
serta temporalitasnya. Sedangkan “for-itself” tidak bisa lepas juga dari
kebebasannya, dan itulah yang dinamakan faktisitas kebebasan.[13]
2. Being
in-itself
Sebagaimana telah disebutkan
terdahulu bahwa Sartre, sebagai penganut ontologi, membedakan secara radikal
tentang “ada”. Pertama disebutkan sebagai “for-itself” ada yang berkesadaran,
dalam hal ini manusia. Sedangkan dalam sub-bab ini akan disebutkan yang kedua
yakni “in-itself”, yakni “ada” yang tidak berkesadaran. Dalam ontologi Sartre
“for-itself” bukan hanya ada atau sadar berada dalam dunia ini, akan tetapi
sadar akan beradanya didunia ini.
Dia sadar diri ditengah-tengah
dunia ini, dan “for-itself” mendapatkan ada yang tidak berkesadaran. Sedang
kursi, meja, pisau, batu, dan benda-benda material yang lainnya adalah ada yang
tidak berkesadaran, mereka telah ditentukan esensinya dan beradanya, dan itulah
yang dinamakan “in-itself”. “in-itself” adalah ada diri yang konsisten. Begitu
sempurnanya dan padatnya sehingga ketiadaan (nothingness) tidak bisa masuk
kedalamnya. Sehingga adanya memang tanpa dasar atau alasan apapun.
“in-itself” adalah suatu imanensi
yang tidak dapat merealisasikan dirinya sendiri, dia tidak pernah dipisahkan
dengan dirinnya sendiri baik dalam refleksi maupun temporalitas, oleh karena
itu disebut dengan “ada dalam dirinya sendiri”.
Dari keterangan diatas dapat
dilihat bahwa apa yang dimaksud dengan “in-itself” adalah “ada itu sendiri”;
benda-benda, peristiwa-peristiwa dan kenyataan disekeliling “for-itself” yang
dikonfrontir dengannya. Dan dapat dilihat juga dalam pandangan Sartre, bahwa
“in-itself” dipnadang sebagai hal yang ada sebagai kontingensi, yang
berhubungan erat dengan sikap ateisnya. Dia tidak meyakini bahwa benda-benda
itu ada yang mengadakan (Tuhan). Sartre tidak akan sejauh itu. Dia tidak dapat
mempercayai Tuhan sebagai pencita dalam arti dari tiada menjadi ada, bahkan dia
beralasan jika “in-itself” tidak dapat diterangkan, karena mangatasi
penciptaan.[14]
Bahkan ditegaskan Sartre dalam bukunya yakni eksitensialisme dan humanisme
bahwa manusia modern harus menghadapi fakta bahwa Tuhan tidak ada. Dunia dan
benda-benda yang membentuknya yang ada tanpa alasan dan tujuan. Tidak tercipta,
tanpa alasan untuk hidup, mereka sekedar ada.[15]
Sartre hanya menyatakan, bahwa ada
yang tidak berkesadaran itu hanya merupakan “being is”, “beinin-itself”. Lalu
bagaimanakah terjadi jalinan antara “for-itself” dengan “in-itself”? disini
berhubungan dengan ciri khas manusia yaitu subyektifitas, kesadaran akan dunia,
dimana dia hadir didunia ini bersama dengan kebutuhannya, sebagai faktisitas
dan sekaligus merupakan situasi kesadaran. Peran subyektifitas, yaitu khas
kesadaran dan kebutuhan yang dihayati, serta realitas lainnya merupakan uraian
ontologi Sartre.
Keterangan dan uraian itu, nampak
dalam pengalaman sehari-hari. Jika seseorang melihat pisang diatas meja dan
memakan pisang tersebu; maka sebagai objek, benda tersebut disajikan kepada
“aku” bersamaan dengan pengalaman subyektif tentang melihat dan memakan. Jadi
kebutuhan yang dihayati, tampak dalam kaitannya dengan objek dan dunia.
Subyektifitas panca indra dan subyektifitas seluruh tubuh tampak “disana”, pada
benda-benda didepanya, dalam rangka situasi dimana manusia itu berada.
Dengan demikian, jelas apa yang
dimaksudkan Sartre dengan “in-itself” dalam bab ini beserta jalinannya dengan
“for-itself”. Lalu kalau dikatakan “in-itself” sudah mempunyai kodrat dan
esensinya lebih dahulu, apakah kodrat dan esensi dari “for-itself” itu? Ini
berhubungan dengan “for-itself” sebagai manusia yang eksistensinya mendahului
esensi. Ini berartin manusia adalah kebebasan yang otonom. Dan ini tergantung
kepada kebebasanya; manusia sebagai “ada” yang berkesadran adalah bebas,
menampakkan diri dalam cara yang khas, yang memungkinkan mengatasi diri serta
situasi dimana kebetulan ia berada, serta berhadapan dengan “in-itself”.
Sartre sebagai seorang ontologis,
juga dapat disebut sebagai penganut “dualisme”, akan tetapi berbeda dengan
dualisme Descartes maupun Kant. Dalam dualisme Kant, sebagaimana diketahui
adanya “numena” dan “fenomena”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kant,
“noumena” itu tidak dapat diketahui oleh manusia, yang dapat diketahui oleh
manusia adalah “fenomena” dan ini berarti ada realitas yang terlepas dari
subyek, karena ia tidak diketahui oleh “ada” yang berkesadaran, dan terletak
diluar pengelamannya. Dan manusia hanya mengetahui gejela-gejala yang slalu
merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari luar dengan bentuk ruang dan
waktu.
Menurut Sartre, apa yang disebut
dengan “noumena” dalam istilahnya “in-itself”, dan “fenomena” dalam istilahnya
“for-itself” itulah eksistensi manusia yang berkesadaran dan subyektif,
sedangkan “in-itself” adalah objek dari eksistensi itu. Justru dalam pandangan
Sartre “fenomena” itu mengatasi “noumena”, dan diatasinya dengan kebebasan,
bahkan “noumena” tetap tingga padat.
Ini
sesuai dengan pandangan umum tentang filsafat eksistensialisme yakni eksistensi
manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dengan tumbuhan, hewan, dan
bebatuan yang mana esensinya mendahului eksistensinya. Jadi hakikat manusia
mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu menyebabkan manusia berbeda dengan
makhluk yang lainnya.[16]
E.
Kesimpulan
J.P Sartre merupakan eksponen utama
eksistensialisme ateis. Ia dikenal sebagai novelis, kritikus, dan juga filosof.
Namun dalam kehidupannya kemudian ia meninggalkan eksistensialisme dan kemudian
lebih intens terhadap sosiologi Marxisme gayanya sendiri. Dia dilahirkan di
Paris, Perancis, pada tanggal 21 Juni 1905. Dan meninggal pada tanggal 15 April
1980, hari sabtu jam 19.00 GMT, (sabtu tanggal 16 April 1980 jam 02.00 WIB).
Jean Paul Sartre, sebagai seorang filosof, tidak
dapat dipisahkan dengan posisinya sebagai seorang sastrawan, karena sifat
gandanya pada dirinya sudah demikian manunggal. Ini dapat dibuktikan dalam
mengungkap filsafatnya sering ia menggunakan drama, roman, dan novel.
eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dengan kata dasar “ existency” yaitu “exist”. Kata “exist”
adalah bahasa latin yang artinya “ex”,
keluar dan “sistare” artinya berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri keluar dari diri sendiri. Secara umum dalam
membuat devinisi eksistensialisme, kaum eksistensialis tidaklah sama. Namun
demikian, ada suatu yang dapat disepakati oleh mereka, yaitu sama-sama
menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Dasar pondasi filsafat eksitensialisme dari Sartre
berangkat dari fenomenologi Hussrel dan Heidegger. Namun dalam perkembangannya
Sartre kemudian mengkritik tesis Descartes tentang “cogito ergo sum” yang
diartikan oleh sartre bukan aku berpikir oleh karena aku ada tapi berpikir
disini adalah menyadari akan ke”ada”an dirinya. Sehingga eksistensinya
mendahului esensi.
Dalam konstruk ontologi eksistensialismenya, Sartre
membedakan secara radikal antara “ada” yang berkesadaran yakni “for-itself”
dengan “ada” yang tidak sadar yakni “in-itself”. Keduanya dapat berhubungan
dengan subyektivitas manusia yang khas. Yang paling ditekankan oleh Sartre
ialah eksistensi haruslah mendahului esensi. Sebagai impilikasinya ialah ia
sangat mendewakan kebebasaan, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab
sesuai dengan nilai-nilai subyektifitas manusia itu sendiri.
Daftar
Pustaka
Blackhman, H.J. 1978.
Six Existensialist Thinkers. London: Routledge & Kegean Paul.
Collinson, Diane. 2001.
Fifty Major Philosophers, trj: Mufti
Ali. Jakarta: PT RajaGarfindo persada.
Hasan, Fuad. 1974.
Berkenalan Dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Lavine, T.Z. 2002. From
Socrates to Sartre: the Philosophic Quest.
trj: Andi Iswanto. Yogyakarta: Jendela.
Martin, Vincent. 2001. Filsafat
Eksitensialisme: Kierkegaard, Jean-paul Sartre, Albert Camus. trj.
Taufiqurrahman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muzairi. 2002.
Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syadali, ahmad dan
Mudzakir. 2004. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Umum
akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Rosda.
[1]
H.J. Blackham, Six Existensialist
Thinkers, (London: Routledge & Kegan Paul, 1978), 113.
[2]
DianeCollinson, Fifty Major Philosophers,
trj: Mufti Ali, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 232.
[3]
Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul
Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), 71.
[4]
Fuad Hasan, Berkenalan Dengan
Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1974, 101.
[5]
Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul
Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), 78.
[6]
T.Z. Lavine, From Socrates to Sartre: the
Philosophic Quest, trj: Andi Iswanto, (Yogyakarta: Jendela, 2002),314.
[7]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum akal dan Hati
Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung: Rosda, 2006),218.
[8]
Ibid, 218-219.
[9]
A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat
Barat, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981), 91.
[10]
Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul
Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), 104-105.
[11]
Ibid,99.
[12]
H.J. Blackham, Six Existensialist
Thinkers, (London: Routledge & Kegan Paul, 1978), 113.
[13]
Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul
Sartre, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2002), 117.
[14]
Ibid, 124.
[15]
Vincent Martin, Filsafat Eksitensialisme:
Kierkegaard, Jean-paul Sartre, Albert Camus, trj. Taufiqurrahman,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 29.
[16]
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat
Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar