A. PENDAHULUAN
Dalam
era kontemporer saat ini banyak sekali bermacam-macam bentuk pemikiran mulai
dari filsafat, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial hingga ilmu
tentang kebudayaan. Ini menandakan bahwa terdapat lapangan kajian atau
observasi yang lebih kompleks dan mendalam. Masing-masing bidang keilmuan
menalaah sebuah problem secara kritis dan mendalam sehingga hasil penelitian
tersebut bersifat ilmiah maupun alamiah. Kesemuanya ini merupakan sebuah
konstruk pemikiran filsafat yang mana filsafat berupaya membahas sebuah problem
secara radikal, kritis, universal dan sistematis.
Filsafat tidak melihat setiap kejadian secara deskriptif,
atau memandang hanya di permukaan. Filsafat merenungkan setiap kejadian secara
mendalam, dasariah dan menguak apa yang ada dibalik penjelasan fisik. Filsafat
itu perangkat lunak pemikiran yang berhubungan dengan pembahasan mengenai
segala hal baik yang lunak maupun yang keras. Filsafat datang memadamkan mitos.
Filsafat tiba membawa penawaran berbeda kepada manusia tentang bagaimana
mestinya teknik melihat sebuah problem dalam kehidupan. Filsafat menginsyafi
potensi rasional manusia, memanfaatkannya untuk kemudian melembagakannya bagi
masa depan pengetahuan. Pada mulanya, filsafat adalah pencerahan bagi mitos, irrasionalitas atau bagi suprarasionalitas.
Objek
material filsafat yakni tidak terbatas kepada hal-hal yang bersifat fisik namun
juga hal-hal yang berupa metafisik. Hal-hal yang metafisik tersebut dapat
berupa moralitas, etika, dan bahkan ketuhanan. Pada era abad pertengahan di
Barat, kajian filsafat saat itu terfokus kepada masalah ketuhanan. Tema-tema
yang dibahas oleh filsafat saat itu adalah mengenai iman, hubungan akal dan
wahyu, eksistensi (wujud) Tuhan dsb. Ini menandakan bahwa filsafat tentang
ketuhanan sangatlah asyik untuk dibahas dan didalami secara filosofis.
Pada
abad pertengahan di Barat, yang
berkecimpung dalam kaijan filsafat bukan hanya mereka yang sebagai filosof saja
akan tetapi mereka selain filosof juga seorang teolog. Diantara mereka yakni
ada St. Anselmus, St. Agustinus, St. Thomas Aquinas dsb. Para teolog ini
berusaha menjelaskan masalah ketuhanan secara filosofis dengan titik tolak awal
yakni wahyu Tuhan. Problem yang terjadi saat itu yakni apakah dirasa masih
perlu untuk berfilsafat karena wahyu Tuhan yang merupakan sumber otoritatif
kenbenaran telah ada. Maka pada saat itulah para teolog merumuskan berbagai
teori mengenai tema-tema ketuhanan.
Teologi
yang berkembang sejak abad pertengahan tersebut mengalami kelahirannya kembali
pada era kontemporer saat ini. Dimana setalah lebih dari 400 tahun tema-tema
ketuhanan telah digeser oleh berbagai bentuk pemikiran filsafat pada abad
modern. Era modern tersebut sangat mengedepankan aspek empirisme-analitik dan
subyektifitas. Dalam hal ini makna subyektifitas pada masa modern bukan
diartikan sebagai lawan kata objektifisme, namun subjektifisme diartikan
sebagai “subyek” yang berkesadaran. Nilai-nilai “aku” disini pada era modern
menjadi tema yang sentral sehingga munculah berbagai pemikiran filosofis
seperti rasionalisme, empirisme, positivisme, eksistensialisme, dsb. Yang mana
kesemuanya itu merupakan wujud dari upaya untuk menggeser tema-tema metafisik
seperti ketuhanan.
Namun
demikian pada era kontemporer ini tema teologi menemukan kelahirannya kembali
dan menjadi pembahasan yang bergengsi oleh para filosof. Mereka mengkritik para
filosof modern dengan mengataka bahwa tema-tema ketuhanan merupakan sebuah tema
yang menjadi inti filsafat mulai era Yunani kuno hingga sekarang. Namun pada
era modern, tema ketuhanan digeser dengan tema subyaktifisme dengan dalih untuk
memajukan peradaban manusia. Namun era modern tersebut justru manjauhkan
manusia dari fitrahnya sebagai makhluk yang berketuhanan dan sudah selayaknya
manusia untuk berfilsafat tentang tuhan kembali.
Teologi
pada era kontemporer ini berkembang secara signifikan. Pada awalnya terdapat
sebuah pemikiran yakni teologi naturalis, yakni sebuah bentuk pemikiran teologi
yang didasarkan kepada aspek rasionalitas filosofis. Teologi naturalis merupakan
sebuah bentuk derivasi dari filsafat ketuhanan, sehingga corak konstruk
pemikirannya pun sebagaimana induknya filsafat yakni rasional, radikal, dan
sistematis. Kelanjutan dari teologi naturalis tersebut kemudian muncul istilah
teologi modern. Yakni sebuah teologi yang tema-tema bahasannya terintegrasi
dengan pemikiran modern seperti subyektifisme, ateisme, dsb.
Sebagai
sebuah teologi modern maka secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem
beripikir masyarakat dalam hal berteologi. Teologi modern merupakan kritik
terhadap teologi naturalis yang mana dalam teologi modern menganggap jika
teologi hanya berkutat pada masalah ketuhanan saja dan tidak ada upaya untuk
mengaitkan diskursus pada persoalan kemanusiaaan universal, maka lambat laun
teologi akan menjadi out of date.
Sebab teologi yang bercorak demikan dapat dipastikan akan kehilangan relevansi
sosial dengan tantangan aktual masa kini.[1]
Oleh
karena secara pasti terdapat pengaruh-pengaruh yang diberikan oleh pemikiran
teologi modern kepada paradigma masyarakat tentang ketuhanan. Ini merupakan
sebuah tujuan praxis dari pemikiran
teologi modern yakni mengaitkan masalah-masalah ketuhanan dengan dimensi sosial
masyarakat. Selain berpengaruh terhadap paradigma berpikir masyarakat tentang
ketuhanan maka juga akan berpengaruh kepada sebuah sistem kebudayaan dari
sebuah masyarakat.
Keterpengarhuan
masyarakat akan sebuah pemikiran teologi modern membawa konsekwensi logis yakni
peradaban suatu masyarakat akan ketuhanan akan berubah, baik secara penghayatan
maupun tingkah laku. Pola-pola tingkah laku utama penenghayatan ketuhanan umat
manusia memperlihatkan betapa besar variasi penghayatan umat manusia terhadap
ketuhanan tersebut. Ini semakin mecolok bahwa dalam realitasnya tidak ada
wilayah dan masyarakat yang tidak dalam salah satu bentuk menghayati Tuhan.
Ini
artinya bahwa dalam realitas masyarakat terjadi bervariasi bentuk penghayatan
kepada Tuhan mulai dari teisme, naturalisme, deisme, hingga ateisme. Yang ini
semua merupakan bentuk pengaruh-pengaruh dari teologi modern terhadap paradigma
berfikir masyarakat dan peradaban akan penghayatan Tuhan. Oleh karenanya di
dalam makalah ini akan diulas mengenai pengaruh-pengaruh teologi modern
terhadap perkembangan kebudayaan masyarakat.
B. Deskripsi Terhadap Pengaruh Teologi
Modern Kepada Masyarakat
Dalam
realitas kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikan berbagai macam variasi
pengayatan masyarakat akan ketuhanan. Yang mana hal itu semua merupakan wujud
dari upaya dalam menghayati realitas ketuhanan. Masyarakat dalam menghayati
masalah ketuhanan maka akan terpengaruhi oleh keadaan sosial-budaya yang
mengitarinya. Sehingga hasil dari masalah ketuhanan tersebut merupakan bentuk
refleksi terhadap kebudayaan masyarakat.
Pengaruh
teologi modern kepada masyarakat sangatlah kompleks. Ini mengingat bahwa
teologi modern akan berinteraksi juga terhadap keadaan sosial-budaya sebuah
masyarakat sehingga mengasilkan sebuah penghayatan ketuhan yang bervariasi.
Dalam kehidupan masyarakat kita sering melihat penghayatan ketuhanan dalam dua
bentuk besar yakni transendensi dan imanensi Tuhan. Dari kedua bentuk
pengayatan ketuhanan tersebut maka akan melahirkan berbagai bentuk paham baru
dalam hal ketuhanan. Bisa disitilahkan transendensi dan imanensi merupakan
sebuah teori ketuhanan, dan paham baru akan ketuhanan merupakan sebuah praksis
dari teori tersebut.
Faham
transendensi ketuhanan berpandangan bahwa eksistensi Tuhan berada diluar
realitas manusia. Sementara paham imanensi berpandangan bahwa realitas Tuhan
berada dalam diri manusia sendiri, ini merupakan kebalikan dari paham
transendensi. Dalam kehidupan sehari kita sering melihat realitas masyarakat
menganut kedua paham tersebut. Kedua pandangan tersebut masing-masing akan mempengaruhi
sebuah kebudayaan masyarakat dan juga mempengaruhi sebuah paradigma berfikir. Antara
faham transendensi dan imanensi masing-masing memiliki pengikut yang bisa
dikatakan sama banyaknya.
Kita
sering melihat dalam realitas masyarakat menganut faham transendensi Tuhan,
seperti contohnya dalam sebuah perkataan yang kita sering mendengarnya “ya kita
pasrahkan saja sama yang diatas (Tuhan) sana”. Kata-kata diatas tersebut
merupakan sebuah contoh dari sebuah bentuk penghayatan transendensi Tuhan.
Meraka yang berfaham seperti itu berpandangan Tuhan ada diluar realitas
kehidupan. Sehingga manusia beranggapan bahwa Tuhan itu sesuatu yang jauh
berada diluar alam, Tuhan dalam pandangan meraka ini bersifat mutlak pencipta
dan personal.
Faham
transendensi ketuhanan tersebut akan juga berpengaruh kepada kebudayaan
masyarakat. sebuah tatanan masyarakat yang menganut faham tersebut akan
beranggapan bahwa Tuhan itu jauh keberadaannya sehingga harus ada upaya untuk
mendekati. Sebagai contoh dari upaya untuk mendekati Tuhan antara lain dengan
diadakannya sedekah bumi di suatu masyarakat pedasan. Memang dalam realitasnya
disuatu desa masih banyak telihat masyarakat yang menganut faham transendensi.
Itu jika dilihat pada keumuman sebuah masyarakat. Namun tidak tertutup kemungkinan ada juga faham transendensi menghinggapi
orang-orang yang bisa dikatakan akademisi.
Di
dalam masyarakat modern yang tentunya menggunakan rasionya untuk mengukur
segala sesuatu apakah benar atau salah. Maka hal itu juga berlaku kepada
masalah-masalah penghayatan ketuhanan. masyarakat modern saat ini juga banyak
menganut faham transendensi Tuhan. Mereka berusaha untuk merasionalisasikan
dimensi ketuhanan. mereka berpandangan didalam keasadaran sehari-hari termuat
keasadaran akan realitas mutlak,
transenden, dan personal. Mutlak bukan hanya karena memang harus
ada realitas mutlak, melainkan pengalaman-pengalaman itu sendiri haruslah
bersifat mutlak. Transenden, karena
dalam kita menyatakan sesuatu, mengahayati sesuatu, memilih sesuatu, merasakan
sesuatu makna yang melampaui segala realitas dunia pengalaman yang terbatas.
Dan memang, kemutlakan tidak ditemukan diantara objek-objek pengalaman, jadi
dengan sendirinya haruslah bersifat transenden.[2]
Oleh karenanya mereka berpandangan transendensi ketuhanan.
Jika
di dalam masyarakat muslim, faham transendensi ini banyak diikuti oleh para
ahli-ahli syariat. Hal ini meraka hayati karena banyak rambu-rambu dalam
al-Quran yang menekankan transendensi Tuhan. Seperti Tuhan yang Maha Melihat,
Maha Mendengar, Maha Berkuasa dsb. Ini membuat para teolog muslim berpandangan
bahwa Tuhan ada diluar realitas kehidupan sehingga Tuhan bersifat personal
sebagaimana manusia namun ada perbedaan yang sangat fundamental yang membedakan
manusia dengan Tuhan yakni terdapatnya kata “Maha”. Kata tersebut yang tidaklah
dimiliki oleh manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Konstruk
pemikiran transendensi tersebut akan menjadikan kebudayaan masyarakat dalam
berteologi bisa dikatakan agak kaku. Ini terjadi di dalam masyarakat muslim
bahwa umumnya Tuhan yang dihayati oleh para fuqaha (ahli hukum) adalah bersifat
transenden, seolah-olah Tuhan menjadi seorang hakim yang siap menjatuhi hukuman
kepada hambanya yang melakukan kesalahan. Tuhan berada diluar realitas
masyarakat. dalam hal ibadah pun sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan maka seorang penganut faham transendensi akan beranggapan bahwa Tuhan ada
diluar dirinya dan harus disembah sebagaimana mestinya yang sesuai dengan
aturan syariat yang telah ditentukan. Tuhan tidak dapat dihayatai sebagaiman
para pelaku kebatinan atau mistisme, akan tetapi harus ada upaya lahiriyah
untuk mendekati Tuhan.
Dengan
penghayatan Tuhan secara transendensi tersebut maka berimplikasi kepada
kesadaran terhadap realitas ketuhanan. seseorang yang menggunakan faham
tersebut akan menjadi lebih hati-hati dalam perilakunya karena ia menghayati
Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan mutlak berkuasa. Tentunya Tuhan yang
dimaksud adalah Tuhan yang secara realitas berada diluar alam (ciptaan).
Logika
para penganut faham transenden ini ialah, bahwa tidak mungkin Tuhan yang
berkuasa menciptakan segala makhluknya itu kemudian masuk dalam realitas
ciptaan. Sebagaimana contohnya sebuah pabrik yang merupakan pembuat barang
produksi tersebut kemudian masuk dalam realitas barang ciptaanya sendiri.
Secara tempat pun tidak mungkin karena pabrik tentunya lebih besar daripada
barang yang diproduksinya, begitu juga sifat-sifat pabrik tidaklah sama dengan
barang yang diproduksinya. inilah yang menjadi analogi logika yang dianut oleh
faham transendensi.
Pernah
suatu ketika penulis berhadap dengan
orang yang berfaham transendensi, ia mengatakan bahwa dalam kehidupan
beragama tentunya harus seseorang melaksanakan apa yang disyariatkan seperti
sholat, puasa, dsb. Ini semua untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kalimant
mendekatkan diri tersebut menindikasikan bahwa ada jarak antara Tuhan dengan
hamban-Nya. Oleh karenanya seseorang harus dengan penghayatan yang mutlak untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Memang
harus diakui bahwa faham transendensi tersebut terkesan menekankan dimensi
normatif dalam agama atau berteologi. Aspek normativitas sangatlah penting bagi
faham ini, dan ini telah menjadi budaya masyarakat penganut transendensi.
Sebuah tatanan masyarakat yang menganut faham ini maka dimensi eksoterisme
(syariah) sangatlah penting dan menjadi sebuah “aturan” yang harus dijalankan.
Ini merupakan kebalikan dari faham imanensi penghayatan kepada Tuhan.
Pandangan
transendensi ini yang juga mengilhami adanya aliran deisme. Pandangan deisme
ini merupakan produk khas dimasa pencerahan. Yang dimaksud oleh pandangan ini
bahwa Tuhan tidak lagi dipahami sebagai dekat dengan manusia, yang terus
menerus memelihara alam semesta. Pandangan ini mendasarkan bahwa setelah Tuhan
menciptakan manusia maka Tuhan tidak perlu memperhatikannya lagi. Proses
terjadinya alam semesta berjalan secara teratur dan disitu tidak menunjukkan
adanya campur tangan Tuhan dalam setiap prosesnya.
Pandangan
ini banyak dianut oleh para ilmuwan yang hanya menggunakan rasionalitasnya saja
untuk mengahayati ketuhanan. orang yang menganut deisme tetap percaya akan
adanya Tuhan namun Tuhan tidak ada kaitannya sama sekali dengan barjalannya
dunia. Karena Tuhan telah menciptakan aturan-aturan kepada alam semesta dan kemudian
alam tersebut berjalan sesuai dengan aturan yang telah dibuatnya. Aliran deisme
ini merupakan benang merah dari tansendensi Tuhan.
Dalam
sebuah masyarakat yang ilmiah (akademisi) tidak sedikit yang menganut faham
deisme. Kebanyakan mereka memahami Tuhan hanya sebatas kulit luarnya saja tanpa
ada sebuah refleksi penghayatan yang mendalam mengenai ketuhanan. orang-orang
yang pendekatannya saintis maka mereka hanya mengobservasi keteraturan alam
saja, sehingga lama-kelamaan meraka akan menganggap bahwa kehidupan dunia ini
telah digariskan oleh hukum-hukum alamiah. Maka secara tidak langsung akan
menegasikan akan kehadiaran Tuhan dalam hidupnya. Problem ini menjakiti
masyarakat pada era abad 21.
Sementara
dalam pandangan imanensi sebagaimana yang telah disebutkan pada paragraf awal
tadi bahwa faham ini berpandangan realitas Tuhan berada didalam diri alam
(ciptaan) sendiri. Ia tidak berada diluar jauh dari ciptaannya. Ini merupakan
lawan dari faham transendensi. Dalam realitas kehidupan masyarakat kita juga
sering melihat orang yang berandangan imanensi dalam pengayatan ketuhanannya.
Umumnya orang yang menggunakan faham tersebut merupakan pelaku spiritiual atau
kalau dalam istilah Islam yakni tasawuf.
Para
pelaku spiritual selalu berpandangan bahwa Tuhan itu ada di dalam realitas
kehidupan sehari-hari. Tidak perlu mencari Tuhan diluar realitas diri sendiri
karena Tuhan akan selalu berada bersama makhluknya. Biasa orang-orang yang
berfaham imanensi dalam hal penghayatan ketuhanan maka lebih mengutamakan pengolahan
batin atau yang lebih dikenal dimensi esoterisme. Sehingga para pelaku tersebut
secara lahiriyah nampak biasa saja dalam pengahayatannya namun dalam dimensi
sepiritualitasnya ia sangat mengagumkan.
Sebuah
tatanan yang masyarakatnya menghayati ketuhanan secara imanensi akan tercipta
sistem masyarakat yang realitif damai jika dibandingkan dengan masyarakat yang
mengahayati secara transenden. Namun juga tidak tertutup kemungkinan juga
terdapat sebuah konflik yang terjadi jika masing-masing penganut kedua faham
tersebut saling fanatik. Seseorang yang manghayati secara imanensi maka mereka
akan berperilaku secara arif dan bijak karena mereka sadar akan kehadiran Tuhan
dalam kehidupannya. Sebagai contoh adalah seseorang yang menganut faham
imanensi akan tidak berani untuk mengeksploitasi alam secara berlebihan karena
dibalik realitas alam maka disitu terdapat Tuhan. Jika ia rusak alam sama saja
ia berkhianat akan adanya realitas Tuhan yang imanen.
Sesorang
kejawen yang mana tentunya ia berfaham imanensi beranggapan, tak perlu ada
upaya untuk mendekat kepada Tuhan. Karena bagi pandangan meraka Tuhan itu dekat
dan cukup dengan pengahayatan yang mendalam secara batin saja. Sehingga meraka
terkadang orang-orang kejawen tidak melakukan ritualitas formal sebagaimana
penganut transendensi. Faham inilah yang nantinya juga mengilhami akan adanya
pandangan panteisme.
Pandangan
panteisme ialah bahwa alam semesta ini merupakan sebuah perwujudan Tuhan.
Sehingga antara alam dan Tuhan itu satu realitas wujud. Kebanyakan masyarakat
yang menganut faham panteisme ialah masyarakat yang lebih mendahulukan aspek
esoterisme seperti para pelaku kebatinan, sufi (pelaku tasawuf), pelaku
mistisme. Meraka semua tentunya memandang antara alam dan Tuhan yakni satu
realitas. Memang ini merupakan terdapat benang merah antara faham imanensi
dengan faham panteisme.
Pengaruh
teologi modern terhadap kebudayaan sedemikian hebatnya dan tentunya
mempengaruhi sebuah tatanan masyarakat dalam menghayati ketuhanan. perlu untuk
diketahui bahwa di dalam sebuah masyarakat tidak harus ada satu bentuk
penghayatan kepada Tuhan saja akan tetapi akan bervariasi sesuai dengan tingkat
pemahaman dan pengaruh lingkungan sekitar. Antara transendensi dan imanensi
keduanya merupakan pengaruh dari teologi modern. Sehingga bisa dikatakan
keduanya merupakan hasil pengaruh dari teologi modern. Masing-masing kedua
faham tersebut akan berimplikasi kepada kebudayaan sebuah masyarakat. baik
kebudayaan konstruk berpikirnya, maupun kebudayan berperilakunya.
C. Analisis Terhadap Pengaruh Teologi
Modern
Dalam
sebuah analisis perlu adanya sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengupas
sebuah permasalahan. Hal ini juga perlu untuk mengupas dari apa masalah-masalah
penghayatan ketuhanan tersebut. untuk menganalisis permasalahan tersebut maka
penulis menggunakan pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini dipilih oleh
penulis karena masalah-masalah ketuhanan erat kaitannya dengan
fenomena-fenomena sebagai sebuah bentuk refleksi kehidupan. Namun untuk lebih
jelasnya maka di dalam makalah ini akan sedikit diulas pengertian fenomenologi.
Diharapakan nanti tidak ada perbedaan interpretatif terhadap analisis yang
digunakan.
Metode
fenomenologi merupakan pendekatan analisis yang didasarkan pada sistem filsafat
yang dikembangkan oleh Edmund Husserl dengan fokus penelitiannya ditekankan
pada struktur kesadaran atau struktur pengalaman, baik struktur dasar maupun
srtuktur-struktur lain yang berasal dari struktur dasar. Struktur dasar disini adalah
intensionalitas. Pandangan fenomenologi ini kemudian dikenal dengan istilah intersubyektivitas.
Sistem pemikiran fenomenologis lebih bersifat terbuka, karena Subyek memandang
obyek juga mempunyai kesadaran seperti subyek, sehingga Subyek selalu dalam
relasional dengan subyek lain (obyek). Disinilah relasi subyek dan obyek
bersifat intersubyektif.[3]
Metode
fenomenologi dalam penelitian ini adalah usaha untuk menemukan makna yang
esensi dari obyek pengalaman melalui suatu penelitian yang dilakukan untuk
membebaskan diri dari praduga-praduga atau yang dikonsepsikan. Karena masalah
penghayatan Tuhan merupakan sebuah tindakan-tindakan yang mana akan mengarah
pada sebuah hal yang telah dikonsepsikan. Oleh karenanya pendekatan
fenomenologi ini dipandang perlu untuk digunakan sebagai pisau analisis dengan
harapan untuk dapat menemukan makna esensi dari refleksi penghayatan ketuhanan.
Dalam pemikiran fenomenologi bahwa suatu gejala tidak perlu harus diamati oleh
panca indera, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniyah.[4]
Untuk
lebih mengetahui pengaruh-pengaruh dari teologi modern terhadap penghayatan
masyarakat kepada ketuhanan maka ada baiknya untuk lebih mengetahui terlebih
dahulu tentang teologi modern. Ini dirasa penting untuk dilakukan agar dalam
analisis tidak terjadi kesalahpahaman. Teologi modern merupakan derivasi dari
teologi naturalis. Naturalisme sebagai istilah umum atau historisnya, banyak
dipergunakan pada berbagai lapangan baik dalam ilmu pengetahuan, seni sastra,
maupun seni lukis. Tetapi secara umum istilah ini memuat pengertian dasar
sebagai sikap pandang atau tindakan yang timbul dari atau didasarkan kepada
hasrat dan naluri alamiah. Yakni, suatu sikap pandang atau tindakan yang
mengikat diri dengan setia kepada hal-hal yang bersifat natural maupun yang
realistik. Sementara teologi adalah sebuah disiplin ilmu tentang ketuhanan
disertai dengan berbagai aspeknya seperti eksistensi, sifat dsb. Maka teologi
natural bisa dikatakan paham ketuhanan yang didasarkan kepada pandangan sikap hasrat
dan naluri secara alamiah. Tentunya teologi modern dalam menghayatai masalah
ketuhanan menggunakan rasionalitasnya, sebagai naluri alamiyahnya.
Paham
transendensi dan imanensi Tuhan sebenarnya merupakan sebuah bentuk konstruk
dari pikiran manusia itu sendiri sesuai dengan tingkat pemahamannnya terhadap
Tuhan. Fenomena tersebut tentunya tidak bisa lepas dari kondisi sosio-budaya
yang mengitarinya. Sehingga bisa dikatakan kedua bentuk penghayatan ketuhanan
tersebut merupakan produk dari manusia. Manusia sebagai makhluk yang
berkesadaran maka ia akan berusaha secara penuh untuk menghayati Tuhan. Sebagaimana
dengan filsafat fenomenologi, maka bentuk penghayatan tersebut termanifestasi
dengan dua paham besar yakni transendenis dan imanensi.
Sebagai
subyek yang berkesadaran dalam artian yang berfikir maka Tuhan disini dijadikan
objek yang juga penuh kesadaran sehingga subyek selalu dalam relasional dengan
subyek lain (obyek). Disinilah relasi subyek dan obyek bersifat intersubyektif.
Maka penghayatan akan ketuhanan disini berangkat dari kesadaran subjek dalam memandang objek
(Tuhan) maka antara transendensi dan imanensi merupakan sama-sama bersifat
ilmiah. Pada tansendensi Tuhan masyarakat disini untuk diajak dengan penuh
kesadaran bahwa Tuhan berada di luar realitas alam (ciptaannya) sehingga
masyarakat yang menganut faham ini haruslah ada upaya untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan, karena terdapat jarak antar keduanya. Relasi interseubjektif
antara Tuhan dan manusia ini termanifestasikan dalam bentuk ritual-ritual. Yang
mana ritual tersebut merupakan implikasi dari hasil refleksi penghayatan
ketuhanan. sebenarnya tujuan dari paham transendensi Tuhan ialah untuk
membedakan secara tegas antara Tuhan sebagai pencipta dengan makhluk sebagai
ciptaan-Nya.
Sebagaimana
tujuan dari fenomenologi yakni untuk mencapai esensi dari sebuah pengalaman
maka makna esensi dari penghayatan transendensi Tuhan ialah untuk membedakan
antara Tuhan dengan makhluknya secara penuh kesadaran. Hal itu akan tertuang
dalam bentuk pengalaman-pengalaman spiritual sebagai upaya untuk memberikan
jarak antara Tuhan dengan makluknya. Sebuah masyarakat yang menganut faham
tersebut bahkan mungkin akan terjatuh pada faham deisme. Mereka tetap percaya
akan adanya Tuhan, namun Tuhan hanya sebatas pencipta saja tanpa memperhatikan
lagi ciptaannya, karena Tuhan telah menetapkan hukum-hukum kepada makhluknya
dan akan berjalan sesuai dengan hukum yang telah dibuatnya.
Hal
ini (deisme) terlalu berlebihan dalam membatasi antara Tuhan dengan makhluknya.
Sehingga nantinya tidak tertutup kemungkinan juga akan terjatuh pada ateisme.
Karena Tuhan dipandang sebagai objek diluar realitas subyek yang berkesadaran.
Namun ateisme itu terjadi jika memang dalam sebuah konstruk awal dari
pemikirannya telah menegasikan eksistensi Tuhan. Inilah yang menjadi analisis
terhadap transendensi Tuhan.
Terkait
dengan imanensi Tuhan dengan telaah kacamata fenomenologi, maka imanensi juga
memandang realitas Tuhan sebagai objek dengan penuh kesadaran sebagaimana
subjek yang berkesadaran. Sehingga dalam imanensi Tuhan ini terjadi sebuah
relasi intersebujektif antara subjek dan objek. Maka faham imanensi
berpandangan bahwa realitas Tuhan itu bukan diluar alam akan tetapi berada
dalam alam itu sendiri. Tidak perlu jauh-jauh mencari realitas Tuhan cukup
dengan merfleksikan diri sendiri akan dimensi ketuhanan maka Tuhan dapat
ditemukan realitasnya.
Subjek
yang berkesadaran dalam memandang objek ini maka tujuannya ialah untuk
mengharmoniskan antara Tuhan dengan makhluknya. Tidak seperti paham
transendensi yang memberikan jarak antara manusia dengan Tuhannya. Akan tetapi
dalam imanensi ini Tuhan diibaratkan menyatu dengan makhluknya. Akan tetapi
manusia tetap sadar sepenuhnya bahwa bagaimanapun juga ia adalah makhluk yang
tidak biasa disamakan dengan Tuhan. Namun dalam realitas masyarakat terdapat
faham panteisme yang merupakan benang merah dari imanensi Tuhan. Meraka umumnya
berpandangan bahwa Tuhan dan makhluknya ialah satu realitas. Ini telah
menyalahi sistem berfikir jika kita menggunakan pandekatan fenomenologis.
Bagaimanapun juga antara subjek (manusia) dengan objek (tuhan) tetap terjadin
relasi interseubjektif sehingga tidak mungkin antara subjek dan objek menjadi
satu realitas. Namun satu dalam hal kesadaran masih dimungkinkan.
Harmonisasi
antara Tuhan dengan makhluknya inilah yang menjadi makna esensi dari imanensi
Tuhan. Masyarakat yang menganut faham ini maka dalam kehidupannya ia tidak akan
berani untuk merusak alam atau sesama makhluk karena itu juga akan sama saja mendzalimi
Tuhan. Jadi harmonisasi antara alam dan Tuhan dirasa sangat perlu dan ini
menjadi sebuah esensi penghayatan Tuhan jika dilihat dari sudut fenomenologi.
D. Sikap Akademis Dalam Menyikapi
Permasalah Ketuhanan tersebut
Sebagai
akademisi sudah selayaknya untuk bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi
bentuk-bentuk penghayatan Ketuhanan yang multidimensi, tidak terbatas dengan
paham transendensi dan imanensi Tuhan saja. Dalam kehidupan sehari kita sering
melihat seseorang yang berpandangan tantang Ketuhanan secara bervariasi sesuai
dengan tingkat pemahaman dan kondisi lingkungan sekitarnya. Tentunyan
masing-masing sebuah pemahaman akan ketuhanan memiliki landasan epistemologis
yang bisa dipertanggung jawabkan. Sehingga tidak perlu untuk diperkeruh oleh
sifat fanatisme terhadap suatu pandangan tertentu. Inilah yang sering
menimbilkan konflik dalam masyarakat.
Sebagai
sebuah pandangan yang mempunyai landasan epistemologis yang dapat dipertanggung
jawabkan maka sudah selayaknya tidak perlu untuk dipermasalahkan. Sebagai
contohnya pandang orang yang ateisme tidak perlu diperdebatkan dengan pandangan
orang teisme. Masing-masing kedua pandangan tersebut perlu diyakini terlebih
dahulu bahwa memiliki landasan epsitemologis jika kita mau manganalisis secara
lebih mendalam. Jika sikap fanatisme terhadap salah satu pandangan tersebut
dilakukan maka akan memicu timbulnya konflik. Pandang fanatisme sebenarnya baik
untuk mempertahankan apa yang telah diyakini, namun pandangan itu menjadi buruk
mana kala seseorang dihadapkan dengan pandangan yang berbeda dari apa yang
diyakininya. Maka sikap mengontrol emosi dirasa perlu untuk mendewasakan sikap
dan perilaku seseorang
Terkait
dengan paham transendensi dan imanensi Tuhan, maka sikap akademisi dalam
menyikapi dua paham tersebut yakni haruslah bijaksana. Dengan menganalisis dari
apa yang telah terjadi dalam upaya penghayatan masyarakat tentang ketuhanan.
masing-masing kedua paham tersebut haruslah ditealaah secara mendalam agar
tidak terjadi sebuah kesalahpahaman dan untuk meminimalisir terjadinya sebuah
konflik. Perlu diketahui juga bahwa sebuah pemahaman tidak lahir dalam realitas
yang kosong artinya ia hadir akibat dari refleksi dari keadaan sosio-budaya
disekitarnya. Maka tidak perlu untuk dipermasalahkan secara terus menerus.
Mengingat antara faham transendensi dengan imanensi saling bertolak belakang.
Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya titik temu antar keduanya.
E. Kesimpulan
Teologi
modern merupakan sebuah derivasi dari bentuk teologi naturalis. Yang mana dalam
teologi naturalis berpandangan menghayati masalah ketuhanan menggunakan
rasionalitasnya, sebagai naluri alamiyahnya. Dasar dari pandangannya yakni
naturaisme. Secara umum istilah ini memuat pengertian dasar sebagai sikap
pandang atau tindakan yang timbul dari atau didasarkan kepada hasrat dan naluri
alamiah. Teologi modern tentunya berpengaruh kepada sistem penghayatan
ketuhanan di dalam masyarakat. dampak tersebut bersifat multidimensional, namun
sebagai contoh kecil yang terjadi di masyarakat ialah faham transendensi dan
imanensi.
Faham
tersebut dalam realiatasnya saling berkebalikan satu sama lain. Jika
transendensi berpandangan bahwa realitas ketuhanan itu berada diluar alam maka
sebaliknya dalam pandangan imanensi yakni realitas katuhanan berada di dalam
alam itu sendiri. Namun jika hal itu ditelaah dengan analisis pendekatan
fenomenologi maka dapat diambil sebuah makna esensi masing-masing kedua
pandangan tersebut. yakni jika pada transendensi Tuhan maka ada sebuah
kesadaran yang penuh akan perbedaan antara Tuhan dengan makhluknya. Ini
dicirikan dengan adanya upaya memberikan jarak antara Tuhan dengan hambanya.
Sementara
esensi dari penghayatan Tuhan secara imanensi ialah adanya harmonisasi antara
Tuhan. Masyarakat yang menganut faham ini maka dalam kehidupannya ia tidak akan
berani untuk merusak alam atau sesama makhluk karena itu juga akan sama saja
mendzalimi Tuhan. Jadi harmonisasi antara alam dan Tuhan dirasa sangat perlu
dan ini menjadi sebuah esensi penghayatan Tuhan jika dilihat dari sudut
fenomenologi.
Kemudian
terkait sikap dalam menghadapi pengaruh teologi modern tersebut ialah kita
seharusnya bersikap arif dan bijaksana. Dengan menganalisis dari apa yang telah
terjadi dalam upaya penghayatan masyarakat tentang ketuhanan. masing-masing
kedua paham tersebut haruslah ditealaah secara mendalam agar tidak terjadi
sebuah kesalahpahaman dan untuk meminimalisir terjadinya sebuah konflik.
Sebagai sebuah pandangan yang mempunyai landasan epistemologis yang dapat
dipertanggung jawabkan maka sudah selayaknya tidak perlu untuk
dipermasalahkan. Perlu diketahui juga
bahwa sebuah pemahaman tidak lahir dalam realitas yang kosong artinya ia hadir
akibat dari refleksi dari keadaan sosio-budaya disekitarnya. Maka tidak perlu
untuk dipermasalahkan secara terus menerus. Mengingat antara faham transendensi
dengan imanensi saling bertolak belakang. Namun juga tidak menutup kemungkinan
adanya titik temu antar keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar