Senin, 15 Desember 2014

Pengaruh-Pengaruh Teologi Modern Terhadap Kebudayaan ( Studi Analisis Fenomenologi Edmund Husserl)

A.      PENDAHULUAN
Dalam era kontemporer saat ini banyak sekali bermacam-macam bentuk pemikiran mulai dari filsafat, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial hingga ilmu tentang kebudayaan. Ini menandakan bahwa terdapat lapangan kajian atau observasi yang lebih kompleks dan mendalam. Masing-masing bidang keilmuan menalaah sebuah problem secara kritis dan mendalam sehingga hasil penelitian tersebut bersifat ilmiah maupun alamiah. Kesemuanya ini merupakan sebuah konstruk pemikiran filsafat yang mana filsafat berupaya membahas sebuah problem secara radikal, kritis, universal dan sistematis.
Filsafat tidak melihat setiap kejadian secara deskriptif, atau memandang hanya di permukaan. Filsafat merenungkan setiap kejadian secara mendalam, dasariah dan menguak apa yang ada dibalik penjelasan fisik. Filsafat itu perangkat lunak pemikiran yang berhubungan dengan pembahasan mengenai segala hal baik yang lunak maupun yang keras. Filsafat datang memadamkan mitos. Filsafat tiba membawa penawaran berbeda kepada manusia tentang bagaimana mestinya teknik melihat sebuah problem dalam kehidupan. Filsafat menginsyafi potensi rasional manusia, memanfaatkannya untuk kemudian melembagakannya bagi masa depan pengetahuan. Pada mulanya, filsafat adalah pencerahan bagi mitos, irrasionalitas atau bagi suprarasionalitas.
Objek material filsafat yakni tidak terbatas kepada hal-hal yang bersifat fisik namun juga hal-hal yang berupa metafisik. Hal-hal yang metafisik tersebut dapat berupa moralitas, etika, dan bahkan ketuhanan. Pada era abad pertengahan di Barat, kajian filsafat saat itu terfokus kepada masalah ketuhanan. Tema-tema yang dibahas oleh filsafat saat itu adalah mengenai iman, hubungan akal dan wahyu, eksistensi (wujud) Tuhan dsb. Ini menandakan bahwa filsafat tentang ketuhanan sangatlah asyik untuk dibahas dan didalami secara filosofis.
Pada abad pertengahan di Barat,  yang berkecimpung dalam kaijan filsafat bukan hanya mereka yang sebagai filosof saja akan tetapi mereka selain filosof juga seorang teolog. Diantara mereka yakni ada St. Anselmus, St. Agustinus, St. Thomas Aquinas dsb. Para teolog ini berusaha menjelaskan masalah ketuhanan secara filosofis dengan titik tolak awal yakni wahyu Tuhan. Problem yang terjadi saat itu yakni apakah dirasa masih perlu untuk berfilsafat karena wahyu Tuhan yang merupakan sumber otoritatif kenbenaran telah ada. Maka pada saat itulah para teolog merumuskan berbagai teori mengenai tema-tema ketuhanan.
Teologi yang berkembang sejak abad pertengahan tersebut mengalami kelahirannya kembali pada era kontemporer saat ini. Dimana setalah lebih dari 400 tahun tema-tema ketuhanan telah digeser oleh berbagai bentuk pemikiran filsafat pada abad modern. Era modern tersebut sangat mengedepankan aspek empirisme-analitik dan subyektifitas. Dalam hal ini makna subyektifitas pada masa modern bukan diartikan sebagai lawan kata objektifisme, namun subjektifisme diartikan sebagai “subyek” yang berkesadaran. Nilai-nilai “aku” disini pada era modern menjadi tema yang sentral sehingga munculah berbagai pemikiran filosofis seperti rasionalisme, empirisme, positivisme, eksistensialisme, dsb. Yang mana kesemuanya itu merupakan wujud dari upaya untuk menggeser tema-tema metafisik seperti ketuhanan.
Namun demikian pada era kontemporer ini tema teologi menemukan kelahirannya kembali dan menjadi pembahasan yang bergengsi oleh para filosof. Mereka mengkritik para filosof modern dengan mengataka bahwa tema-tema ketuhanan merupakan sebuah tema yang menjadi inti filsafat mulai era Yunani kuno hingga sekarang. Namun pada era modern, tema ketuhanan digeser dengan tema subyaktifisme dengan dalih untuk memajukan peradaban manusia. Namun era modern tersebut justru manjauhkan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk yang berketuhanan dan sudah selayaknya manusia untuk berfilsafat tentang tuhan kembali.
Teologi pada era kontemporer ini berkembang secara signifikan. Pada awalnya terdapat sebuah pemikiran yakni teologi naturalis, yakni sebuah bentuk pemikiran teologi yang didasarkan kepada aspek rasionalitas filosofis. Teologi naturalis merupakan sebuah bentuk derivasi dari filsafat ketuhanan, sehingga corak konstruk pemikirannya pun sebagaimana induknya filsafat yakni rasional, radikal, dan sistematis. Kelanjutan dari teologi naturalis tersebut kemudian muncul istilah teologi modern. Yakni sebuah teologi yang tema-tema bahasannya terintegrasi dengan pemikiran modern seperti subyektifisme, ateisme, dsb.
Sebagai sebuah teologi modern maka secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem beripikir masyarakat dalam hal berteologi. Teologi modern merupakan kritik terhadap teologi naturalis yang mana dalam teologi modern menganggap jika teologi hanya berkutat pada masalah ketuhanan saja dan tidak ada upaya untuk mengaitkan diskursus pada persoalan kemanusiaaan universal, maka lambat laun teologi akan menjadi out of date. Sebab teologi yang bercorak demikan dapat dipastikan akan kehilangan relevansi sosial dengan tantangan aktual masa kini.[1]     
Oleh karena secara pasti terdapat pengaruh-pengaruh yang diberikan oleh pemikiran teologi modern kepada paradigma masyarakat tentang ketuhanan. Ini merupakan sebuah tujuan praxis dari pemikiran teologi modern yakni mengaitkan masalah-masalah ketuhanan dengan dimensi sosial masyarakat. Selain berpengaruh terhadap paradigma berpikir masyarakat tentang ketuhanan maka juga akan berpengaruh kepada sebuah sistem kebudayaan dari sebuah masyarakat.
Keterpengarhuan masyarakat akan sebuah pemikiran teologi modern membawa konsekwensi logis yakni peradaban suatu masyarakat akan ketuhanan akan berubah, baik secara penghayatan maupun tingkah laku. Pola-pola tingkah laku utama penenghayatan ketuhanan umat manusia memperlihatkan betapa besar variasi penghayatan umat manusia terhadap ketuhanan tersebut. Ini semakin mecolok bahwa dalam realitasnya tidak ada wilayah dan masyarakat yang tidak dalam salah satu bentuk menghayati Tuhan.
Ini artinya bahwa dalam realitas masyarakat terjadi bervariasi bentuk penghayatan kepada Tuhan mulai dari teisme, naturalisme, deisme, hingga ateisme. Yang ini semua merupakan bentuk pengaruh-pengaruh dari teologi modern terhadap paradigma berfikir masyarakat dan peradaban akan penghayatan Tuhan. Oleh karenanya di dalam makalah ini akan diulas mengenai pengaruh-pengaruh teologi modern terhadap perkembangan kebudayaan masyarakat.
B.    Deskripsi Terhadap Pengaruh Teologi Modern Kepada Masyarakat
Dalam realitas kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikan berbagai macam variasi pengayatan masyarakat akan ketuhanan. Yang mana hal itu semua merupakan wujud dari upaya dalam menghayati realitas ketuhanan. Masyarakat dalam menghayati masalah ketuhanan maka akan terpengaruhi oleh keadaan sosial-budaya yang mengitarinya. Sehingga hasil dari masalah ketuhanan tersebut merupakan bentuk refleksi terhadap kebudayaan masyarakat.
Pengaruh teologi modern kepada masyarakat sangatlah kompleks. Ini mengingat bahwa teologi modern akan berinteraksi juga terhadap keadaan sosial-budaya sebuah masyarakat sehingga mengasilkan sebuah penghayatan ketuhan yang bervariasi. Dalam kehidupan masyarakat kita sering melihat penghayatan ketuhanan dalam dua bentuk besar yakni transendensi dan imanensi Tuhan. Dari kedua bentuk pengayatan ketuhanan tersebut maka akan melahirkan berbagai bentuk paham baru dalam hal ketuhanan. Bisa disitilahkan transendensi dan imanensi merupakan sebuah teori ketuhanan, dan paham baru akan ketuhanan merupakan sebuah praksis dari teori tersebut.
Faham transendensi ketuhanan berpandangan bahwa eksistensi Tuhan berada diluar realitas manusia. Sementara paham imanensi berpandangan bahwa realitas Tuhan berada dalam diri manusia sendiri, ini merupakan kebalikan dari paham transendensi. Dalam kehidupan sehari kita sering melihat realitas masyarakat menganut kedua paham tersebut. Kedua pandangan tersebut masing-masing akan mempengaruhi sebuah kebudayaan masyarakat dan juga mempengaruhi sebuah paradigma berfikir. Antara faham transendensi dan imanensi masing-masing memiliki pengikut yang bisa dikatakan sama banyaknya.
Kita sering melihat dalam realitas masyarakat menganut faham transendensi Tuhan, seperti contohnya dalam sebuah perkataan yang kita sering mendengarnya “ya kita pasrahkan saja sama yang diatas (Tuhan) sana”. Kata-kata diatas tersebut merupakan sebuah contoh dari sebuah bentuk penghayatan transendensi Tuhan. Meraka yang berfaham seperti itu berpandangan Tuhan ada diluar realitas kehidupan. Sehingga manusia beranggapan bahwa Tuhan itu sesuatu yang jauh berada diluar alam, Tuhan dalam pandangan meraka ini bersifat mutlak pencipta dan personal.
Faham transendensi ketuhanan tersebut akan juga berpengaruh kepada kebudayaan masyarakat. sebuah tatanan masyarakat yang menganut faham tersebut akan beranggapan bahwa Tuhan itu jauh keberadaannya sehingga harus ada upaya untuk mendekati. Sebagai contoh dari upaya untuk mendekati Tuhan antara lain dengan diadakannya sedekah bumi di suatu masyarakat pedasan. Memang dalam realitasnya disuatu desa masih banyak telihat masyarakat yang menganut faham transendensi. Itu jika dilihat pada keumuman sebuah masyarakat. Namun tidak tertutup  kemungkinan ada juga faham transendensi menghinggapi orang-orang yang bisa dikatakan akademisi.
Di dalam masyarakat modern yang tentunya menggunakan rasionya untuk mengukur segala sesuatu apakah benar atau salah. Maka hal itu juga berlaku kepada masalah-masalah penghayatan ketuhanan. masyarakat modern saat ini juga banyak menganut faham transendensi Tuhan. Mereka berusaha untuk merasionalisasikan dimensi ketuhanan. mereka berpandangan didalam keasadaran sehari-hari termuat keasadaran akan realitas mutlak, transenden, dan personal. Mutlak bukan hanya karena memang harus ada realitas mutlak, melainkan pengalaman-pengalaman itu sendiri haruslah bersifat mutlak. Transenden, karena dalam kita menyatakan sesuatu, mengahayati sesuatu, memilih sesuatu, merasakan sesuatu makna yang melampaui segala realitas dunia pengalaman yang terbatas. Dan memang, kemutlakan tidak ditemukan diantara objek-objek pengalaman, jadi dengan sendirinya haruslah bersifat transenden.[2] Oleh karenanya mereka berpandangan transendensi ketuhanan.
Jika di dalam masyarakat muslim, faham transendensi ini banyak diikuti oleh para ahli-ahli syariat. Hal ini meraka hayati karena banyak rambu-rambu dalam al-Quran yang menekankan transendensi Tuhan. Seperti Tuhan yang Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Berkuasa dsb. Ini membuat para teolog muslim berpandangan bahwa Tuhan ada diluar realitas kehidupan sehingga Tuhan bersifat personal sebagaimana manusia namun ada perbedaan yang sangat fundamental yang membedakan manusia dengan Tuhan yakni terdapatnya kata “Maha”. Kata tersebut yang tidaklah dimiliki oleh manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Konstruk pemikiran transendensi tersebut akan menjadikan kebudayaan masyarakat dalam berteologi bisa dikatakan agak kaku. Ini terjadi di dalam masyarakat muslim bahwa umumnya Tuhan yang dihayati oleh para fuqaha (ahli hukum) adalah bersifat transenden, seolah-olah Tuhan menjadi seorang hakim yang siap menjatuhi hukuman kepada hambanya yang melakukan kesalahan. Tuhan berada diluar realitas masyarakat. dalam hal ibadah pun sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan maka seorang penganut faham transendensi akan beranggapan bahwa Tuhan ada diluar dirinya dan harus disembah sebagaimana mestinya yang sesuai dengan aturan syariat yang telah ditentukan. Tuhan tidak dapat dihayatai sebagaiman para pelaku kebatinan atau mistisme, akan tetapi harus ada upaya lahiriyah untuk mendekati Tuhan.
Dengan penghayatan Tuhan secara transendensi tersebut maka berimplikasi kepada kesadaran terhadap realitas ketuhanan. seseorang yang menggunakan faham tersebut akan menjadi lebih hati-hati dalam perilakunya karena ia menghayati Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan mutlak berkuasa. Tentunya Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan yang secara realitas berada diluar alam (ciptaan).
Logika para penganut faham transenden ini ialah, bahwa tidak mungkin Tuhan yang berkuasa menciptakan segala makhluknya itu kemudian masuk dalam realitas ciptaan. Sebagaimana contohnya sebuah pabrik yang merupakan pembuat barang produksi tersebut kemudian masuk dalam realitas barang ciptaanya sendiri. Secara tempat pun tidak mungkin karena pabrik tentunya lebih besar daripada barang yang diproduksinya, begitu juga sifat-sifat pabrik tidaklah sama dengan barang yang diproduksinya. inilah yang menjadi analogi logika yang dianut oleh faham transendensi.
  Pernah suatu ketika penulis berhadap dengan  orang yang berfaham transendensi, ia mengatakan bahwa dalam kehidupan beragama tentunya harus seseorang melaksanakan apa yang disyariatkan seperti sholat, puasa, dsb. Ini semua untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Kalimant mendekatkan diri tersebut menindikasikan bahwa ada jarak antara Tuhan dengan hamban-Nya. Oleh karenanya seseorang harus dengan penghayatan yang mutlak untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Memang harus diakui bahwa faham transendensi tersebut terkesan menekankan dimensi normatif dalam agama atau berteologi. Aspek normativitas sangatlah penting bagi faham ini, dan ini telah menjadi budaya masyarakat penganut transendensi. Sebuah tatanan masyarakat yang menganut faham ini maka dimensi eksoterisme (syariah) sangatlah penting dan menjadi sebuah “aturan” yang harus dijalankan. Ini merupakan kebalikan dari faham imanensi penghayatan kepada Tuhan.
Pandangan transendensi ini yang juga mengilhami adanya aliran deisme. Pandangan deisme ini merupakan produk khas dimasa pencerahan. Yang dimaksud oleh pandangan ini bahwa Tuhan tidak lagi dipahami sebagai dekat dengan manusia, yang terus menerus memelihara alam semesta. Pandangan ini mendasarkan bahwa setelah Tuhan menciptakan manusia maka Tuhan tidak perlu memperhatikannya lagi. Proses terjadinya alam semesta berjalan secara teratur dan disitu tidak menunjukkan adanya campur tangan Tuhan dalam setiap prosesnya.
Pandangan ini banyak dianut oleh para ilmuwan yang hanya menggunakan rasionalitasnya saja untuk mengahayati ketuhanan. orang yang menganut deisme tetap percaya akan adanya Tuhan namun Tuhan tidak ada kaitannya sama sekali dengan barjalannya dunia. Karena Tuhan telah menciptakan aturan-aturan kepada alam semesta dan kemudian alam tersebut berjalan sesuai dengan aturan yang telah dibuatnya. Aliran deisme ini merupakan benang merah dari tansendensi Tuhan.
Dalam sebuah masyarakat yang ilmiah (akademisi) tidak sedikit yang menganut faham deisme. Kebanyakan mereka memahami Tuhan hanya sebatas kulit luarnya saja tanpa ada sebuah refleksi penghayatan yang mendalam mengenai ketuhanan. orang-orang yang pendekatannya saintis maka mereka hanya mengobservasi keteraturan alam saja, sehingga lama-kelamaan meraka akan menganggap bahwa kehidupan dunia ini telah digariskan oleh hukum-hukum alamiah. Maka secara tidak langsung akan menegasikan akan kehadiaran Tuhan dalam hidupnya. Problem ini menjakiti masyarakat pada era abad 21.
Sementara dalam pandangan imanensi sebagaimana yang telah disebutkan pada paragraf awal tadi bahwa faham ini berpandangan realitas Tuhan berada didalam diri alam (ciptaan) sendiri. Ia tidak berada diluar jauh dari ciptaannya. Ini merupakan lawan dari faham transendensi. Dalam realitas kehidupan masyarakat kita juga sering melihat orang yang berandangan imanensi dalam pengayatan ketuhanannya. Umumnya orang yang menggunakan faham tersebut merupakan pelaku spiritiual atau kalau dalam istilah Islam yakni tasawuf.
Para pelaku spiritual selalu berpandangan bahwa Tuhan itu ada di dalam realitas kehidupan sehari-hari. Tidak perlu mencari Tuhan diluar realitas diri sendiri karena Tuhan akan selalu berada bersama makhluknya. Biasa orang-orang yang berfaham imanensi dalam hal penghayatan ketuhanan maka lebih mengutamakan pengolahan batin atau yang lebih dikenal dimensi esoterisme. Sehingga para pelaku tersebut secara lahiriyah nampak biasa saja dalam pengahayatannya namun dalam dimensi sepiritualitasnya ia sangat mengagumkan.
Sebuah tatanan yang masyarakatnya menghayati ketuhanan secara imanensi akan tercipta sistem masyarakat yang realitif damai jika dibandingkan dengan masyarakat yang mengahayati secara transenden. Namun juga tidak tertutup kemungkinan juga terdapat sebuah konflik yang terjadi jika masing-masing penganut kedua faham tersebut saling fanatik. Seseorang yang manghayati secara imanensi maka mereka akan berperilaku secara arif dan bijak karena mereka sadar akan kehadiran Tuhan dalam kehidupannya. Sebagai contoh adalah seseorang yang menganut faham imanensi akan tidak berani untuk mengeksploitasi alam secara berlebihan karena dibalik realitas alam maka disitu terdapat Tuhan. Jika ia rusak alam sama saja ia berkhianat akan adanya realitas Tuhan yang imanen.
Sesorang kejawen yang mana tentunya ia berfaham imanensi beranggapan, tak perlu ada upaya untuk mendekat kepada Tuhan. Karena bagi pandangan meraka Tuhan itu dekat dan cukup dengan pengahayatan yang mendalam secara batin saja. Sehingga meraka terkadang orang-orang kejawen tidak melakukan ritualitas formal sebagaimana penganut transendensi. Faham inilah yang nantinya juga mengilhami akan adanya pandangan panteisme.
Pandangan panteisme ialah bahwa alam semesta ini merupakan sebuah perwujudan Tuhan. Sehingga antara alam dan Tuhan itu satu realitas wujud. Kebanyakan masyarakat yang menganut faham panteisme ialah masyarakat yang lebih mendahulukan aspek esoterisme seperti para pelaku kebatinan, sufi (pelaku tasawuf), pelaku mistisme. Meraka semua tentunya memandang antara alam dan Tuhan yakni satu realitas. Memang ini merupakan terdapat benang merah antara faham imanensi dengan faham panteisme.
Pengaruh teologi modern terhadap kebudayaan sedemikian hebatnya dan tentunya mempengaruhi sebuah tatanan masyarakat dalam menghayati ketuhanan. perlu untuk diketahui bahwa di dalam sebuah masyarakat tidak harus ada satu bentuk penghayatan kepada Tuhan saja akan tetapi akan bervariasi sesuai dengan tingkat pemahaman dan pengaruh lingkungan sekitar. Antara transendensi dan imanensi keduanya merupakan pengaruh dari teologi modern. Sehingga bisa dikatakan keduanya merupakan hasil pengaruh dari teologi modern. Masing-masing kedua faham tersebut akan berimplikasi kepada kebudayaan sebuah masyarakat. baik kebudayaan konstruk berpikirnya, maupun kebudayan berperilakunya.
C.  Analisis Terhadap Pengaruh Teologi Modern
Dalam sebuah analisis perlu adanya sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengupas sebuah permasalahan. Hal ini juga perlu untuk mengupas dari apa masalah-masalah penghayatan ketuhanan tersebut. untuk menganalisis permasalahan tersebut maka penulis menggunakan pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini dipilih oleh penulis karena masalah-masalah ketuhanan erat kaitannya dengan fenomena-fenomena sebagai sebuah bentuk refleksi kehidupan. Namun untuk lebih jelasnya maka di dalam makalah ini akan sedikit diulas pengertian fenomenologi. Diharapakan nanti tidak ada perbedaan interpretatif terhadap analisis yang digunakan.
Metode fenomenologi merupakan pendekatan analisis yang didasarkan pada sistem filsafat yang dikembangkan oleh Edmund Husserl dengan fokus penelitiannya ditekankan pada struktur kesadaran atau struktur pengalaman, baik struktur dasar maupun srtuktur-struktur lain yang berasal dari struktur dasar. Struktur dasar disini adalah intensionalitas. Pandangan fenomenologi ini kemudian dikenal dengan istilah intersubyektivitas. Sistem pemikiran fenomenologis lebih bersifat terbuka, karena Subyek memandang obyek juga mempunyai kesadaran seperti subyek, sehingga Subyek selalu dalam relasional dengan subyek lain (obyek). Disinilah relasi subyek dan obyek bersifat intersubyektif.[3]
Metode fenomenologi dalam penelitian ini adalah usaha untuk menemukan makna yang esensi dari obyek pengalaman melalui suatu penelitian yang dilakukan untuk membebaskan diri dari praduga-praduga atau yang dikonsepsikan. Karena masalah penghayatan Tuhan merupakan sebuah tindakan-tindakan yang mana akan mengarah pada sebuah hal yang telah dikonsepsikan. Oleh karenanya pendekatan fenomenologi ini dipandang perlu untuk digunakan sebagai pisau analisis dengan harapan untuk dapat menemukan makna esensi dari refleksi penghayatan ketuhanan. Dalam pemikiran fenomenologi bahwa suatu gejala tidak perlu harus diamati oleh panca indera, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniyah.[4]
Untuk lebih mengetahui pengaruh-pengaruh dari teologi modern terhadap penghayatan masyarakat kepada ketuhanan maka ada baiknya untuk lebih mengetahui terlebih dahulu tentang teologi modern. Ini dirasa penting untuk dilakukan agar dalam analisis tidak terjadi kesalahpahaman. Teologi modern merupakan derivasi dari teologi naturalis. Naturalisme sebagai istilah umum atau historisnya, banyak dipergunakan pada berbagai lapangan baik dalam ilmu pengetahuan, seni sastra, maupun seni lukis. Tetapi secara umum istilah ini memuat pengertian dasar sebagai sikap pandang atau tindakan yang timbul dari atau didasarkan kepada hasrat dan naluri alamiah. Yakni, suatu sikap pandang atau tindakan yang mengikat diri dengan setia kepada hal-hal yang bersifat natural maupun yang realistik. Sementara teologi adalah sebuah disiplin ilmu tentang ketuhanan disertai dengan berbagai aspeknya seperti eksistensi, sifat dsb. Maka teologi natural bisa dikatakan paham ketuhanan yang didasarkan kepada pandangan sikap hasrat dan naluri secara alamiah. Tentunya teologi modern dalam menghayatai masalah ketuhanan menggunakan rasionalitasnya, sebagai naluri alamiyahnya.
Paham transendensi dan imanensi Tuhan sebenarnya merupakan sebuah bentuk konstruk dari pikiran manusia itu sendiri sesuai dengan tingkat pemahamannnya terhadap Tuhan. Fenomena tersebut tentunya tidak bisa lepas dari kondisi sosio-budaya yang mengitarinya. Sehingga bisa dikatakan kedua bentuk penghayatan ketuhanan tersebut merupakan produk dari manusia. Manusia sebagai makhluk yang berkesadaran maka ia akan berusaha secara penuh untuk menghayati Tuhan. Sebagaimana dengan filsafat fenomenologi, maka bentuk penghayatan tersebut termanifestasi dengan dua paham besar yakni transendenis dan imanensi.
Sebagai subyek yang berkesadaran dalam artian yang berfikir maka Tuhan disini dijadikan objek yang juga penuh kesadaran sehingga subyek selalu dalam relasional dengan subyek lain (obyek). Disinilah relasi subyek dan obyek bersifat intersubyektif. Maka penghayatan akan ketuhanan disini berangkat dari  kesadaran subjek dalam memandang objek (Tuhan) maka antara transendensi dan imanensi merupakan sama-sama bersifat ilmiah. Pada tansendensi Tuhan masyarakat disini untuk diajak dengan penuh kesadaran bahwa Tuhan berada di luar realitas alam (ciptaannya) sehingga masyarakat yang menganut faham ini haruslah ada upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, karena terdapat jarak antar keduanya. Relasi interseubjektif antara Tuhan dan manusia ini termanifestasikan dalam bentuk ritual-ritual. Yang mana ritual tersebut merupakan implikasi dari hasil refleksi penghayatan ketuhanan. sebenarnya tujuan dari paham transendensi Tuhan ialah untuk membedakan secara tegas antara Tuhan sebagai pencipta dengan makhluk sebagai ciptaan-Nya.
Sebagaimana tujuan dari fenomenologi yakni untuk mencapai esensi dari sebuah pengalaman maka makna esensi dari penghayatan transendensi Tuhan ialah untuk membedakan antara Tuhan dengan makhluknya secara penuh kesadaran. Hal itu akan tertuang dalam bentuk pengalaman-pengalaman spiritual sebagai upaya untuk memberikan jarak antara Tuhan dengan makluknya. Sebuah masyarakat yang menganut faham tersebut bahkan mungkin akan terjatuh pada faham deisme. Mereka tetap percaya akan adanya Tuhan, namun Tuhan hanya sebatas pencipta saja tanpa memperhatikan lagi ciptaannya, karena Tuhan telah menetapkan hukum-hukum kepada makhluknya dan akan berjalan sesuai dengan hukum yang telah dibuatnya. 
Hal ini (deisme) terlalu berlebihan dalam membatasi antara Tuhan dengan makhluknya. Sehingga nantinya tidak tertutup kemungkinan juga akan terjatuh pada ateisme. Karena Tuhan dipandang sebagai objek diluar realitas subyek yang berkesadaran. Namun ateisme itu terjadi jika memang dalam sebuah konstruk awal dari pemikirannya telah menegasikan eksistensi Tuhan. Inilah yang menjadi analisis terhadap transendensi Tuhan.
Terkait dengan imanensi Tuhan dengan telaah kacamata fenomenologi, maka imanensi juga memandang realitas Tuhan sebagai objek dengan penuh kesadaran sebagaimana subjek yang berkesadaran. Sehingga dalam imanensi Tuhan ini terjadi sebuah relasi intersebujektif antara subjek dan objek. Maka faham imanensi berpandangan bahwa realitas Tuhan itu bukan diluar alam akan tetapi berada dalam alam itu sendiri. Tidak perlu jauh-jauh mencari realitas Tuhan cukup dengan merfleksikan diri sendiri akan dimensi ketuhanan maka Tuhan dapat ditemukan realitasnya.
Subjek yang berkesadaran dalam memandang objek ini maka tujuannya ialah untuk mengharmoniskan antara Tuhan dengan makhluknya. Tidak seperti paham transendensi yang memberikan jarak antara manusia dengan Tuhannya. Akan tetapi dalam imanensi ini Tuhan diibaratkan menyatu dengan makhluknya. Akan tetapi manusia tetap sadar sepenuhnya bahwa bagaimanapun juga ia adalah makhluk yang tidak biasa disamakan dengan Tuhan. Namun dalam realitas masyarakat terdapat faham panteisme yang merupakan benang merah dari imanensi Tuhan. Meraka umumnya berpandangan bahwa Tuhan dan makhluknya ialah satu realitas. Ini telah menyalahi sistem berfikir jika kita menggunakan pandekatan fenomenologis. Bagaimanapun juga antara subjek (manusia) dengan objek (tuhan) tetap terjadin relasi interseubjektif sehingga tidak mungkin antara subjek dan objek menjadi satu realitas. Namun satu dalam hal kesadaran masih dimungkinkan.   
Harmonisasi antara Tuhan dengan makhluknya inilah yang menjadi makna esensi dari imanensi Tuhan. Masyarakat yang menganut faham ini maka dalam kehidupannya ia tidak akan berani untuk merusak alam atau sesama makhluk karena itu juga akan sama saja mendzalimi Tuhan. Jadi harmonisasi antara alam dan Tuhan dirasa sangat perlu dan ini menjadi sebuah esensi penghayatan Tuhan jika dilihat dari sudut fenomenologi.
D.  Sikap Akademis Dalam Menyikapi Permasalah Ketuhanan tersebut
Sebagai akademisi sudah selayaknya untuk bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi bentuk-bentuk penghayatan Ketuhanan yang multidimensi, tidak terbatas dengan paham transendensi dan imanensi Tuhan saja. Dalam kehidupan sehari kita sering melihat seseorang yang berpandangan tantang Ketuhanan secara bervariasi sesuai dengan tingkat pemahaman dan kondisi lingkungan sekitarnya. Tentunyan masing-masing sebuah pemahaman akan ketuhanan memiliki landasan epistemologis yang bisa dipertanggung jawabkan. Sehingga tidak perlu untuk diperkeruh oleh sifat fanatisme terhadap suatu pandangan tertentu. Inilah yang sering menimbilkan konflik dalam masyarakat.
Sebagai sebuah pandangan yang mempunyai landasan epistemologis yang dapat dipertanggung jawabkan maka sudah selayaknya tidak perlu untuk dipermasalahkan. Sebagai contohnya pandang orang yang ateisme tidak perlu diperdebatkan dengan pandangan orang teisme. Masing-masing kedua pandangan tersebut perlu diyakini terlebih dahulu bahwa memiliki landasan epsitemologis jika kita mau manganalisis secara lebih mendalam. Jika sikap fanatisme terhadap salah satu pandangan tersebut dilakukan maka akan memicu timbulnya konflik. Pandang fanatisme sebenarnya baik untuk mempertahankan apa yang telah diyakini, namun pandangan itu menjadi buruk mana kala seseorang dihadapkan dengan pandangan yang berbeda dari apa yang diyakininya. Maka sikap mengontrol emosi dirasa perlu untuk mendewasakan sikap dan perilaku seseorang
Terkait dengan paham transendensi dan imanensi Tuhan, maka sikap akademisi dalam menyikapi dua paham tersebut yakni haruslah bijaksana. Dengan menganalisis dari apa yang telah terjadi dalam upaya penghayatan masyarakat tentang ketuhanan. masing-masing kedua paham tersebut haruslah ditealaah secara mendalam agar tidak terjadi sebuah kesalahpahaman dan untuk meminimalisir terjadinya sebuah konflik. Perlu diketahui juga bahwa sebuah pemahaman tidak lahir dalam realitas yang kosong artinya ia hadir akibat dari refleksi dari keadaan sosio-budaya disekitarnya. Maka tidak perlu untuk dipermasalahkan secara terus menerus. Mengingat antara faham transendensi dengan imanensi saling bertolak belakang. Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya titik temu antar keduanya.
E.   Kesimpulan
Teologi modern merupakan sebuah derivasi dari bentuk teologi naturalis. Yang mana dalam teologi naturalis berpandangan menghayati masalah ketuhanan menggunakan rasionalitasnya, sebagai naluri alamiyahnya. Dasar dari pandangannya yakni naturaisme. Secara umum istilah ini memuat pengertian dasar sebagai sikap pandang atau tindakan yang timbul dari atau didasarkan kepada hasrat dan naluri alamiah. Teologi modern tentunya berpengaruh kepada sistem penghayatan ketuhanan di dalam masyarakat. dampak tersebut bersifat multidimensional, namun sebagai contoh kecil yang terjadi di masyarakat ialah faham transendensi dan imanensi.
Faham tersebut dalam realiatasnya saling berkebalikan satu sama lain. Jika transendensi berpandangan bahwa realitas ketuhanan itu berada diluar alam maka sebaliknya dalam pandangan imanensi yakni realitas katuhanan berada di dalam alam itu sendiri. Namun jika hal itu ditelaah dengan analisis pendekatan fenomenologi maka dapat diambil sebuah makna esensi masing-masing kedua pandangan tersebut. yakni jika pada transendensi Tuhan maka ada sebuah kesadaran yang penuh akan perbedaan antara Tuhan dengan makhluknya. Ini dicirikan dengan adanya upaya memberikan jarak antara Tuhan dengan hambanya.
Sementara esensi dari penghayatan Tuhan secara imanensi ialah adanya harmonisasi antara Tuhan. Masyarakat yang menganut faham ini maka dalam kehidupannya ia tidak akan berani untuk merusak alam atau sesama makhluk karena itu juga akan sama saja mendzalimi Tuhan. Jadi harmonisasi antara alam dan Tuhan dirasa sangat perlu dan ini menjadi sebuah esensi penghayatan Tuhan jika dilihat dari sudut fenomenologi.
Kemudian terkait sikap dalam menghadapi pengaruh teologi modern tersebut ialah kita seharusnya bersikap arif dan bijaksana. Dengan menganalisis dari apa yang telah terjadi dalam upaya penghayatan masyarakat tentang ketuhanan. masing-masing kedua paham tersebut haruslah ditealaah secara mendalam agar tidak terjadi sebuah kesalahpahaman dan untuk meminimalisir terjadinya sebuah konflik. Sebagai sebuah pandangan yang mempunyai landasan epistemologis yang dapat dipertanggung jawabkan maka sudah selayaknya tidak perlu untuk dipermasalahkan.  Perlu diketahui juga bahwa sebuah pemahaman tidak lahir dalam realitas yang kosong artinya ia hadir akibat dari refleksi dari keadaan sosio-budaya disekitarnya. Maka tidak perlu untuk dipermasalahkan secara terus menerus. Mengingat antara faham transendensi dengan imanensi saling bertolak belakang. Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya titik temu antar keduanya.
 
 
 
 
 
 
 
 
 



[1] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodenisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) , 42.

[2] Suseno, F.Magnis. Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 192.

[3] Abdullah Khozin Afandi, Fenomenologi: Pemahaman terhadap pikiran-pikiran Edmund Husserl (Surabaya: eLKAF, 2007), 37-40

[4] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate