PEMBAGIAN LAFAZH DITINJAU DARI SEGI PEMAKAIAN
PEMBAHASAN
A.
Haqiqat dan Majaz
1.
Mengenai
pengertian, hal ini akan diulas dengan pengertian secara etimologi dan
terminologi dari keduanya.
a.
Haqiqat
Secara
etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia bisa
bermakna subjek (fā’il); sehingga memiliki arti ‘yang tetap’ atau objek
(maf’ūl),yang,berarti‘ditetapkan’.
Pengertian
Hakikat secara terminologi adalah suatu lafazh yang digunakan menurut asalnya
untuk maksud tertentu. Umpamanya kata (kursi) menurut asalnya memang digunakan
untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, tapi saat ini kata kursi
dapat diartikan kekuasan, namun tujuan semula kata kursi bukan itu, tempat
duduk. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafazh yang digunakan
untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya
sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi
berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya
untuk hal tertentu. Menurut Amir Syarifuddin, semua penjelasan tersebut
mengandung makna terminologis tentang haqiqah, yaitu suatu lafaz yang digunakan
menurut asalnya untuk maksud tertentu.[1]
Oleh karena kehaqiqatannya itu dapat dikhususkan dalam
bidang-bidang ilmu tertentu, maka ia mempunyai nama-nama sesuai dengan ilmu
tempat ia pergunakan.
Jika pemakaianya sesuai dengan istilah bahasa, dinamai “Haqiqat
lughawiyah”. Seperti lafazh “Insan” (manusia) yang arti hakikinya menurut
bahasa adalah hayyawanun nathi ( binatak yang berakal).
Jika pemakaiannya sesuai dengan istilah syara’, disebut “Haqiqat
syar’iyah”. Seperti lafazh “sholat” yang arti hakikinya menurut Syara’ adalah
ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh
orang-orang Islam dalam menyembah Allah.
Dikatakan “haqiqat ‘urfiyah ‘ammah” bila pemakaian artinya sesuai
dengan istilah adat kebiasaan umum. Misalnya lafazh “dabbah” yang dipakai untuk
menerjemahkan semua binatang yang berkaki empat.
Dan disebut “Haqiqat ‘urfiyah khashshah” lantaran pemakaiannya
sesuai dengan adat kebiasaan yang khusus. Seperti lafazh-lafazh “rafa, nashab,
dan jarr” yang dipakai oleh para ahli nahwu dalam pengertian yang khusus
perihal perubahan bunyi akhir kata dalam suatu kalimat.
b.
Majaz
Pengertian
Majaz adalah suatu lafazh yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafadz pada
selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan
atau keterkaitan baik antara makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud
yang terkandung di dalam teks tersebut.
Penelitian
lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin yang dimanifestasikan
dalam bukunya Ushul Fiqh. Di sana, ia mengemukakan beberapa definisi. Pertama,
As-Sarkhisi mendefinisikannya sebagai nama untuk setiap lafaz yang dipinjam
untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu Qudamah:
lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang
dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan
untuk pembentukan kata kedua karena adanya keterkaitan.
Dari ketiga
definisi tersebut beliaumenyimpulkan rumusan definitif majaz, yaitu:
a. Lafaz itu
tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang di kehendaki
suatu bahasa.
b. Lafaz dengan bukan menurut
arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberikan arti kepada apa
yang dimaksud.
c. Antara
sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dengan
lafaz itu memang ada kaitannya.
Sebagaimana
halnya lafazh haqiqat itu terbagi kepada haqiqat lughawiyah, syar’iyah, dan
urf’iyah. Demikian juga dengan lafazh majaz. Sebagai contoh lafazh. Majaz
lughawi seperti lafat “asad” (singa) yang diberikan untuk sebutan bagi seorang
pemberani. Sebagai contoh lafazh mjaz syar’i seperti lafazh “shalat”, bila
digunakan untuk pengertian doa, dan sebagai contoh lafazh majaz urfi seperti
lafazh “dabbah” bila untuk dipakai untuk arti setiap binatang melata diatas
permukaan bumi.
Penamaan
suatu lafazh dengan haqiqat dan majaz baru dapat ditetapkan setelah lafazh itu
dirangkai dalam suatu kalimat atau dipakai dalam suatu pembicaraan. Untuk
mengetahui arti hakikinya suatu lafazh ialah setelah mendengarkan bagaimana
para ahli bahasa mengartikan. Cara yang demikian ini disebut dengan cara sama’i
(hasil pendengaran). Sedang untuk mengetahui makna lafazh majazinya ialah
setelah meneliti dan menemukan qarinah-qarinah yang menyertainya.[2]
2.
Hukum lafazh haqiqat dan majaz
Setiap
lafazh haqiqat harus diamalkan menurut arti yang semulan diciptakan untuknya,
baik bersifat ‘amm maupun khash dalam bentuk (fi’il) amr atau nahi. Misalnya
firman Allah :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu,
sujudlah kamu . . .[3]
Arti yang dimaksud oleh lafazh “irka’u” dan “usjudu” dalam ayat
tersebut adalah ruku’ dan sujud yang sejati, sebagaimana yang kita kenal. Kedua
lafazh itu ialah khash (keduanya fi’il amr), sedang orang-orang yang diperintah
melakukannya adalah umum.
Dan firman-Nya lagi
Artinya: dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar ...
Artinya membunuh yang terkandung dalam lafazh “la taqtulu” adalah
membunuh yang sebenarnya. Lafazh adalah termasuk lafazh khas, karena fi’il
nahyi, sedang orang yang menerima perintah larang adalah umum seluruh manusia.
Demikian juga setiap lafazh hendaklah diamalkan menurut arti yang
dipinjam untuknya, seperti firman Allah
Artinya: . .
.atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) . .[4]
Makna majazi rangkaian kalimat “au ja’a ahadun minkum minal
ghai’ith” ialah apabila seseorang berhadas kecil. Makna inilah yang dikehendaki
oleh ayat tersebut. Bukan makna yang sebenarnya. “kembali ketempat buang air”
Apabila suatu lafazh dapat diartikan dengan artinya yang hakiki dan
dapat pula diartikan dengan arti majazi, hendaklah diartikan menurut artinya
yang hakiki. Karena arti yang menurut arti hakikilah itilah arti yang
sebenarnya. Sedang arti yang majazi bukanlah arti yang asli lagi. Akan tetapi,
kalau lafazh sukar unntuk diartikan menurut arti yang hakiki, hendaklah
dialihkan kepada arti majazinya.
3.
Cara Mengetahui Lafas Hakikat dan
Majaz
Pada
dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata dengan makna hakikat,
kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa pembicara untuk menggunakan makna
majaz. Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara
menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya.
Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara;
normativitas teks atau istidlāl.
a) Melalui
normativitas teks dapat diketahui secara lugas dari pembicara yang menjelaskan
bahwa ini adalah majaz sedangkan ini hakikat atau dengan menyatakan ini kata
dipakaikan pada tempatnya sementara ini dipakaikan pada selaintempatnya.
b) Dengan cara
istidlāl, dapat diketahui melalui beberapa cara sebagai berikut:
Ø Makna
hakikat dapat difahami secara langsung oleh pendengar (tabādur al-ẓihni)
sementara makna majaz tidak demikian.
Ø Suatu kata
yang bermakna majāzi dapat menerima term negatif (nafi), sementara pada waktu
dan kata yang sama, hakikat tidak menerimanya.
Ø Diskontinuitas
pada majaz, dalam artian jika suatu kata majaz telah dipakaikan pada suatu
kondisi, maka tidak lagi bisa dipakaikan pada yang lain. Seperti kata nakhlah
yang berarti pohon kurma dipinjam untuk menjelaskan arti ‘laki-laki yang
tinggi’, maka tidak lagi dipakaikan pada objek yang lain.
Ø Hakikat
berlaku pada makna global sementara majaz lebih parsial sebagaimana pada contoh
“was’al al-qaryah” di atas.
Ø Hakikat
menerima derifasi kata, seperti kata “amara” yang bisa menjadi “ya’muru” dan
sebagainya. Jika tidak dapat dipecah sebagaimana di atas, seperti kata “amru”,
maka ia adalah majaz.
Ø Jika
terdapat perbedaan antara term plural dengan singular, maka salahsatunya adalah
majaz.
Ø Sebuah kata
itu hakikat apabila ada ketergantungan makna kepada yang lain (ta’alluq).
Sebagai contoh kata qudrah, apabila dimaksudkan dengannya ‘sifat kekuasaan’,
maka ia mempunyai ketergantungan makna kepada objek yang dikuasai. Namun, pada
opsi kedua ia juga bisa berarti objek kekuasaan secara langsung, seperti
tumbuhan atau ciptaan lainnya, sehingga ia tak lagi mempunyai ketergantungan makna
(ta’alluq) kepada yang lainnya. Selain itu, pada dasarnya kata hakikat dapat
diketahui secara simā’i dari orang yang berbahasa. Ia tidak dapat diketahui
dengan analogi (qiyās) sebagaimana biasa dilakukan dalam fiqh dan ushul fiqh.
Sementara majaz dapat diketahui melalui usaha mengenal kebiasaan orang arab
dalam penggunaan isti’ārah.[5]
4.
Penyebab Tidak Berlaku Hakikat dan
Majaz
Sebagaimana disampaikan di atas, pada dasarnya, kata
yang digunakan dalam percakapan adalah hakikat dan tidak boleh beralih kepada majaz
kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata
bermakna hakikat, dalam keadaan berikut:
Ø Adanya
petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz yang menghendaki
meninggalkan makna hakikat, seumpama kata shalat yang berarti doa. Pada
kenyataannya, secara ‘urfi kata tersebut tidak lagi digunakan sesuai dengan
makna hakikatnya, sebagai doa, melainkan menjadi suatu bentuk ibadah tertentu.
Ø Adanya
petunjuk lafaz, seumpama kata daging yang pada hakikatnya mencakup seluruh
daging. Namun, berikutnya kata daging dengan makna hakikat tersebut tidak lagi
digunakan, ia mengecualikan daging ikan dan belalang, sehingga keduanya tidak
lagi disebut daging.
Ø Adanya
petunjuk dari sifat pembicara. Meskipun si pembicara mengungkapkan sesuatu
sesuai haqiqah-nya, namun dari sifatnya dapat diketahui bahwa sebenarnya ia
tidak menginginkan apa yang dibicarakannya tersebut.
Ø Adanya
petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan. Dalam beberapa kondisi,
terdapat petunjuk tempat yang menghalangi pemahaman secara hakikat. Umpanya
firman Allah; al-Fāṭir: 19
وما يستوي الأعمى والبصير . Ketidaksamaan pada kalimat tersebut pada hakikatnya menyangkut semua hal, namun jika diperhatikan arah pembicaraan ayat di atas, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti pemahaman dengan haqiqah terhalangi.
وما يستوي الأعمى والبصير . Ketidaksamaan pada kalimat tersebut pada hakikatnya menyangkut semua hal, namun jika diperhatikan arah pembicaraan ayat di atas, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti pemahaman dengan haqiqah terhalangi.
B.
Sharih dan
Kinayah
Seperti pada pembahasan sebelumnya, mengenai
pengertian Sharih dan Kinayah dalam pembagian lafazh dari segi pemakaian arti
di ushul fiqh akan berusaha kami jelaskan secara singkat.
Lafazh Sharih ialah lafazh yang maksudnya jelas
sekali, lantaran sudah masyhur dalam pemakaian. Baik secara Haqiqi maupun
Majazi. Menurut Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, bahwa yang dimaksud dengan
sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan
tidak mengandung makna lain.
Sebagai contoh,lafazh Sharih haqiqi seperti seorang
penjual berkata kepada pembeli bahwa
barang dagangannya telah dijual kepada pembeli dan pembeli menjawab bahwa ia
telah membelinya (ijab&qabul). Perkatan menjual dan membeli adalah
lafazh sharih, lantaran maksud dari perkataannya sudah sangat jelas sekali.
Sebagai contoh lafazh sharih majazi misalnya seorang
mengatakan bahwa ia makan dari pohon tertentu, maka maksud dari
ucapannya ialah bahwa ia makan dari buah-buahan yang dihasilkan pohon
yang dikatakan itu.
Adapun dikatakan lafazh Kinayah ialah lafazh
yang tersembunyi makna atau maksudnya. Dengan kata lain Kinayah adalah lafadz yang memerlukan
penjelasan. menurut Jumhur Ulama kinayah adalah suatu ucapan talak yang
diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran.
Sebagaimana lafazh Sharih, Lafazh Kinayah pun dibagi
menjadi Haqiqi dan Majazi.
Ø
Kinayah haqiqi. Seperti bila
seseorang berkata kepada seseorang : “kawanmu
telah menemui saya, lalu saya membicarakan masalah yang telah kamu ketahui.”
Siapa yang dimaksud dengan kawan tersebut maka tidaklah jelas maksud atu
tujuannya. Tetapi arti perkataan kawan itu yang dimaksud adalah maknanya yang
haqiqi , bukan makna yang lain.
Ø
Kinayah majazi. Misalnya seorang
suami mengatakan kepada istrinya: “beriddahlah kamu!” maka perkataan
“beriddahlah” adalah Kinayah (sindiran) untuk perceraian. Mengenai hal itu
perkataan “beriddahlah” juga majaz. Karena perintah menghitung bukanlah dengan
arti haqiqi, yaitu mengitung yang sebenarnya, melainkan dengan arti menunggu sampai
hari-hari tertentu yang disebabkan karena adanya perceraian (Thalaq).
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat
mengenai akibat hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para
ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan
ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan kepada isterinya dengan niat
menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa
ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang
diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi
ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya
tetap jatuh. Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud
mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna
talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku
kecuali dia menghendakinya. Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam
tidak dinilai kecuali dengan adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan
aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat,
maka shalatnya tidak sah. Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan
ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini
tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf
maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i'tikaf.
Mengenai lafazh hukum Sharih dan Kinayah. Lafazh
sharih wajib diamalakan. Kecuali jika ada qarinah yang mengharuskan
untuk diamalkannya. Dengan demikian lafazh sharih itu lebih tinggi derajatnya
daripada lafazh kinayah.
Daftar
pustaka
Yahya, Mukhtar. 1986. Dasar-Dasar
Pembinaan Fiqh Islam. Bandung:
Alma’arif.
Nata, Abuddin. 2003. Masail al-Fiqhiyah. Jakarta: PT
kencana.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung :
Pustaka Setia.