Jumat, 21 Desember 2012

Ushul Fiqh


PEMBAGIAN LAFAZH DITINJAU DARI SEGI PEMAKAIAN
PEMBAHASAN
A.      Haqiqat dan Majaz
1.    Mengenai pengertian, hal ini akan diulas dengan pengertian secara etimologi dan terminologi dari keduanya.
a.    Haqiqat
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il); sehingga memiliki arti ‘yang tetap’ atau objek (maf’ūl),yang,berarti‘ditetapkan’.
Pengertian Hakikat secara terminologi adalah suatu lafazh yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Umpamanya kata (kursi) menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, tapi saat ini kata kursi dapat diartikan kekuasan, namun tujuan semula kata kursi bukan itu, tempat duduk. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafazh yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu. Menurut Amir Syarifuddin, semua penjelasan tersebut mengandung makna terminologis tentang haqiqah, yaitu suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.[1] 
Oleh karena kehaqiqatannya itu dapat dikhususkan dalam bidang-bidang ilmu tertentu, maka ia mempunyai nama-nama sesuai dengan ilmu tempat ia pergunakan.
Jika pemakaianya sesuai dengan istilah bahasa, dinamai “Haqiqat lughawiyah”. Seperti lafazh “Insan” (manusia) yang arti hakikinya menurut bahasa adalah hayyawanun nathi ( binatak yang berakal).
Jika pemakaiannya sesuai dengan istilah syara’, disebut “Haqiqat syar’iyah”. Seperti lafazh “sholat” yang arti hakikinya menurut Syara’ adalah ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Islam dalam menyembah Allah.
Dikatakan “haqiqat ‘urfiyah ‘ammah” bila pemakaian artinya sesuai dengan istilah adat kebiasaan umum. Misalnya lafazh “dabbah” yang dipakai untuk menerjemahkan semua binatang yang berkaki empat.
Dan disebut “Haqiqat ‘urfiyah khashshah” lantaran pemakaiannya sesuai dengan adat kebiasaan yang khusus. Seperti lafazh-lafazh “rafa, nashab, dan jarr” yang dipakai oleh para ahli nahwu dalam pengertian yang khusus perihal perubahan bunyi akhir kata dalam suatu kalimat.
b.    Majaz
Pengertian Majaz adalah suatu lafazh yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafadz pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau keterkaitan baik antara makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks tersebut.
Penelitian lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin yang dimanifestasikan dalam bukunya Ushul Fiqh. Di sana, ia mengemukakan beberapa definisi. Pertama, As-Sarkhisi mendefinisikannya sebagai nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu Qudamah: lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan untuk pembentukan kata kedua karena adanya keterkaitan.
Dari ketiga definisi tersebut beliaumenyimpulkan rumusan definitif majaz, yaitu:
a.  Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang di kehendaki suatu bahasa.
b.  Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberikan arti kepada apa yang dimaksud.
c.    Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dengan lafaz itu memang ada kaitannya.
Sebagaimana halnya lafazh haqiqat itu terbagi kepada haqiqat lughawiyah, syar’iyah, dan urf’iyah. Demikian juga dengan lafazh majaz. Sebagai contoh lafazh. Majaz lughawi seperti lafat “asad” (singa) yang diberikan untuk sebutan bagi seorang pemberani. Sebagai contoh lafazh mjaz syar’i seperti lafazh “shalat”, bila digunakan untuk pengertian doa, dan sebagai contoh lafazh majaz urfi seperti lafazh “dabbah” bila untuk dipakai untuk arti setiap binatang melata diatas permukaan bumi.
Penamaan suatu lafazh dengan haqiqat dan majaz baru dapat ditetapkan setelah lafazh itu dirangkai dalam suatu kalimat atau dipakai dalam suatu pembicaraan. Untuk mengetahui arti hakikinya suatu lafazh ialah setelah mendengarkan bagaimana para ahli bahasa mengartikan. Cara yang demikian ini disebut dengan cara sama’i (hasil pendengaran). Sedang untuk mengetahui makna lafazh majazinya ialah setelah meneliti dan menemukan qarinah-qarinah yang menyertainya.[2]
2.    Hukum lafazh haqiqat dan majaz
Setiap lafazh haqiqat harus diamalkan menurut arti yang semulan diciptakan untuknya, baik bersifat ‘amm maupun khash dalam bentuk (fi’il) amr atau nahi. Misalnya firman Allah :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu . . .[3]
Arti yang dimaksud oleh lafazh “irka’u” dan “usjudu” dalam ayat tersebut adalah ruku’ dan sujud yang sejati, sebagaimana yang kita kenal. Kedua lafazh itu ialah khash (keduanya fi’il amr), sedang orang-orang yang diperintah melakukannya adalah umum.
Dan firman-Nya lagi
Artinya: dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar ...
Artinya membunuh yang terkandung dalam lafazh “la taqtulu” adalah membunuh yang sebenarnya. Lafazh adalah termasuk lafazh khas, karena fi’il nahyi, sedang orang yang menerima perintah larang adalah umum seluruh manusia.
Demikian juga setiap lafazh hendaklah diamalkan menurut arti yang dipinjam untuknya, seperti firman Allah
Artinya:  . . .atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) . .[4]
Makna majazi rangkaian kalimat “au ja’a ahadun minkum minal ghai’ith” ialah apabila seseorang berhadas kecil. Makna inilah yang dikehendaki oleh ayat tersebut. Bukan makna yang sebenarnya. “kembali ketempat buang air”
Apabila suatu lafazh dapat diartikan dengan artinya yang hakiki dan dapat pula diartikan dengan arti majazi, hendaklah diartikan menurut artinya yang hakiki. Karena arti yang menurut arti hakikilah itilah arti yang sebenarnya. Sedang arti yang majazi bukanlah arti yang asli lagi. Akan tetapi, kalau lafazh sukar unntuk diartikan menurut arti yang hakiki, hendaklah dialihkan kepada arti majazinya.

3.    Cara Mengetahui Lafas Hakikat dan Majaz
Pada dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata dengan makna hakikat, kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa pembicara untuk menggunakan makna majaz. Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl.
a)    Melalui normativitas teks dapat diketahui secara lugas dari pembicara yang menjelaskan bahwa ini adalah majaz sedangkan ini hakikat atau dengan menyatakan ini kata dipakaikan pada tempatnya sementara ini dipakaikan pada selaintempatnya.
b)   Dengan cara istidlāl, dapat diketahui melalui beberapa cara sebagai berikut:
Ø  Makna hakikat dapat difahami secara langsung oleh pendengar (tabādur al-ẓihni) sementara makna majaz tidak demikian.
Ø  Suatu kata yang bermakna majāzi dapat menerima term negatif (nafi), sementara pada waktu dan kata yang sama, hakikat tidak menerimanya.
Ø  Diskontinuitas pada majaz, dalam artian jika suatu kata majaz telah dipakaikan pada suatu kondisi, maka tidak lagi bisa dipakaikan pada yang lain. Seperti kata nakhlah yang berarti pohon kurma dipinjam untuk menjelaskan arti ‘laki-laki yang tinggi’, maka tidak lagi dipakaikan pada objek yang lain.
Ø  Hakikat berlaku pada makna global sementara majaz lebih parsial sebagaimana pada contoh “was’al al-qaryah” di atas.
Ø  Hakikat menerima derifasi kata, seperti kata “amara” yang bisa menjadi “ya’muru” dan sebagainya. Jika tidak dapat dipecah sebagaimana di atas, seperti kata “amru”, maka ia adalah majaz.
Ø  Jika terdapat perbedaan antara term plural dengan singular, maka salahsatunya adalah majaz.
Ø  Sebuah kata itu hakikat apabila ada ketergantungan makna kepada yang lain (ta’alluq). Sebagai contoh kata qudrah, apabila dimaksudkan dengannya ‘sifat kekuasaan’, maka ia mempunyai ketergantungan makna kepada objek yang dikuasai. Namun, pada opsi kedua ia juga bisa berarti objek kekuasaan secara langsung, seperti tumbuhan atau ciptaan lainnya, sehingga ia tak lagi mempunyai ketergantungan makna (ta’alluq) kepada yang lainnya. Selain itu, pada dasarnya kata hakikat dapat diketahui secara simā’i dari orang yang berbahasa. Ia tidak dapat diketahui dengan analogi (qiyās) sebagaimana biasa dilakukan dalam fiqh dan ushul fiqh. Sementara majaz dapat diketahui melalui usaha mengenal kebiasaan orang arab dalam penggunaan isti’ārah.[5]
4.    Penyebab Tidak Berlaku Hakikat dan Majaz
Sebagaimana disampaikan di atas, pada dasarnya, kata yang digunakan dalam percakapan adalah hakikat dan tidak boleh beralih kepada majaz kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat, dalam keadaan berikut:
Ø Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz yang menghendaki meninggalkan makna hakikat, seumpama kata shalat yang berarti doa. Pada kenyataannya, secara ‘urfi kata tersebut tidak lagi digunakan sesuai dengan makna hakikatnya, sebagai doa, melainkan menjadi suatu bentuk ibadah tertentu.
Ø Adanya petunjuk lafaz, seumpama kata daging yang pada hakikatnya mencakup seluruh daging. Namun, berikutnya kata daging dengan makna hakikat tersebut tidak lagi digunakan, ia mengecualikan daging ikan dan belalang, sehingga keduanya tidak lagi disebut daging.
Ø Adanya petunjuk dari sifat pembicara. Meskipun si pembicara mengungkapkan sesuatu sesuai haqiqah-nya, namun dari sifatnya dapat diketahui bahwa sebenarnya ia tidak menginginkan apa yang dibicarakannya tersebut.
Ø Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan. Dalam beberapa kondisi, terdapat petunjuk tempat yang menghalangi pemahaman secara hakikat. Umpanya firman Allah; al-Fāṭir: 19
وما يستوي الأعمى والبصير . Ketidaksamaan pada kalimat tersebut pada hakikatnya menyangkut semua hal, namun jika diperhatikan arah pembicaraan ayat di atas, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti pemahaman dengan haqiqah terhalangi.
B.     Sharih dan Kinayah
Seperti pada pembahasan sebelumnya, mengenai pengertian Sharih dan Kinayah dalam pembagian lafazh dari segi pemakaian arti di ushul fiqh akan berusaha kami jelaskan secara singkat.
Lafazh Sharih ialah lafazh yang maksudnya jelas sekali, lantaran sudah masyhur dalam pemakaian. Baik secara Haqiqi maupun Majazi. Menurut Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.
Sebagai contoh,lafazh Sharih haqiqi seperti seorang penjual berkata kepada  pembeli bahwa barang dagangannya telah dijual kepada pembeli dan pembeli menjawab bahwa ia telah membelinya (ijab&qabul). Perkatan menjual dan membeli adalah lafazh sharih, lantaran maksud dari perkataannya sudah sangat jelas sekali.
Sebagai contoh lafazh sharih majazi misalnya seorang mengatakan bahwa ia makan dari pohon tertentu, maka maksud dari ucapannya ialah bahwa ia makan dari buah-buahan yang dihasilkan pohon yang dikatakan itu.
Adapun dikatakan lafazh Kinayah ialah lafazh yang tersembunyi makna atau maksudnya. Dengan kata lain  Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. menurut Jumhur Ulama  kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran.
Sebagaimana lafazh Sharih, Lafazh Kinayah pun dibagi menjadi Haqiqi dan Majazi.
Ø  Kinayah haqiqi. Seperti bila seseorang berkata kepada seseorang  : “kawanmu telah menemui saya, lalu saya membicarakan masalah yang telah kamu ketahui.” Siapa yang dimaksud dengan kawan tersebut maka tidaklah jelas maksud atu tujuannya. Tetapi arti perkataan kawan itu yang dimaksud adalah maknanya yang haqiqi , bukan makna yang lain.
Ø  Kinayah majazi. Misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: “beriddahlah kamu!” maka perkataan “beriddahlah” adalah Kinayah (sindiran) untuk perceraian. Mengenai hal itu perkataan “beriddahlah” juga majaz. Karena perintah menghitung bukanlah dengan arti haqiqi, yaitu mengitung yang sebenarnya, melainkan dengan arti menunggu sampai hari-hari tertentu yang disebabkan karena adanya perceraian (Thalaq).
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh. Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya. Beliau berargumen bahwa amal perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya niat. Misalkan seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah. Contoh yang lain, seseorang melakukan sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa niat i'tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i'tikaf.
Mengenai lafazh hukum Sharih dan Kinayah. Lafazh sharih wajib diamalakan. Kecuali jika ada qarinah yang mengharuskan untuk diamalkannya. Dengan demikian lafazh sharih itu lebih tinggi derajatnya daripada lafazh kinayah.

Daftar pustaka
Yahya, Mukhtar. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam. Bandung:   Alma’arif.
Nata, Abuddin. 2003. Masail al-Fiqhiyah. Jakarta: PT kencana.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.
























[2]  Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan  Fiqh Islam. (Bandung : PT Almaarif), 260
[3]  QS. al-Hajj : 77
[4] QS. al-Maidah: 6

Translate