FAHAM TASAWUF ABU YAZID AL-BUSTAMI
A.
Biografi Abu Yazid al-Bistami
Sufi Persia yang satu ini merupakan salah satu di antara generasi
pertama kaum sufi yang berperan penting dalam membangun sistematika sejarah
tasawuf. Nama lengkapnya yakni Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia
lahir sekitar tahun 200H/814M di Bustam, timur laut Persia. Di Bustam pulalah
ia meninggal pada tahun 216H/875M. Dan makamnya masih ada hingga saat ini.
Makammya yang terletak di tengah kota menarik banyak pengunjung dari berbagai
tempat.
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam
menurut madzhab Hanafi. Abu Yazid adalah seorang Zahid yang terkenal. Baginya
Zahid itu adalah seseorang yang menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan
dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase yaitu Zuhud terhadap dunia,
Zuhud terhadap akhirat, Zuhud terhadap selain Allah.
Sebagai master mistik yang tidak ingin dipuja dan dikenal oleh
banyak orang, terutama bila dilihat dari sebagian perilakunya yang masuk dalam
kategori Malamatiyah (kelompok yang suka mencela diri sendiri). Abu
Yazid adalah seorang sufi yang membawa ajaran berbeda dengan ajaran-ajaran
tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya benyak bertentangan dengan para fuqaha
sehingga berimplikasi keluar masuk penjara. Namun demikian ia mempunyai banyak
pengikut yang mana para pengikutnya menamakan diri Taifur.
Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang
sebagai pembawa faham fana’ dan Baqa’ serta sekaligus pencetus paham
al-Ittihad. Dan A.J. Arberry menyebutnya sebagai first of the intoxicated
sufis (Sufi pertama yang mabuk kepayang).
Pada umur 10 tahun Abi yazid mulai mengembara dalam mencari ilmu
dan memilih hidup sebagai seorang sufi. Ia berkelana ke berbagai daerah selama
30 tahun. Sepanjang pengembaraannya, ia banyak belajar kepada guru-guru mistik,
dan selalu selektif dalam mencari pembimbing spiritualnya. Begitu pentingnya
kedudukan seorang guru bagi Abu Yazid al-Bustami.
Pada usia 40 tahun ia mulai kembali ke daerah asalnya dan mulai
memberikan pengajaran spiritual kepada para pengikutnya. Banyak nama-nama sufi
yang melakukan kontk dengannya, mulai dari Abu Musa al-dyabuli, Ahmad bi
Khadruyah, Dhu al-Nun al- Misri, tetapi yang paling menjadi sorotan adalah
ketika Abu Yazid berguru pada Abu Ali al-Sindi. Yang mana menurut salah seorang
peneliti bahwa faham tentang fana’ ialah berasal dari Abu ali al-Sindi.
Kejadian ini pula membuat sejumlah orientalis beranggapan bahwa ajaran Abu
Yazid itu terpengaruh oleh ajaran mistik-filsafat Hinduisme India dan teks suci
Vedenta-nya, sebab Abu Ali al-Sindi berasala dari kawasan yang amat kental
dengan ajaran filasaf kuno tersebut.[1]
Sebagai seorang
figur yang mendapat kritik dari kalangan lahiriyah-literalisme, Abu Yazid
sebetulnya adalah seorang sufi yang tekun dalam menjalankan shariah bakan
seprti yang dikelaskan didepan bahwa ia mempelajari fiqih bermadzab Hanafi,
berdedikasi moral yang tinggi, dan mengagumi pribadi Nabi Muhammad SAW. Abu
Yazid tidak meninggalkan sebuah tulisan, tetpi para pengikutnya yang mengumpulkan
ucapan dan ajaran-ajarannya.[2]
B.
Faham al-Fana’ dan al-Baqa’
Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan
Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami, yang sekeligus pembawa ajaran fana’
dan baqa’. Faham ini merupakan peningkatan dari faham ma’rifah
dan mahabbah. Irfan Abd al-Hamid Fattah mengatakan bahwa dalam sejarah
perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran
“ kesatuan wujud “ atau ittihad. Perkembangan ajaran Tasawuf ini
digambarkan oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh sebagai berikut:
Lalu
sampailah pada abad ke-3 orang membicarakan latihan rohani, yang dapat membawa
manusia kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad ke-2 ajaran sufi merupakan
kezuhudan (asketisme), dalam abad ke-3 ini orang sudah meningkat kepada wusul
dan ittihad dengan Tuhan (mistisme). Orang sudah ramai membicarakan
tentang lenyap dalam kecintaan, fana fil mahbub, brsatu dengan Tuhan, liqa’,
dan menjadi satu dengan Dia, ‘ainul jama’ sebagai mana yang diucapkan
oleh Abu Yazid Bustami.[3]
Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan
(ittihad), ia harus terlebih dahulu dapat melenyapkan kesadarannya melalui fana’.
Pelenyapan kesadaran diri itu dalam khasanah sufi itu diiringi dengan baqa’.
Secara lugawi atau estimologis, fana’ berarti hancur, lebur,
musnah, lenyap, hilang atau tiada. Sementara baqa’ berarti tetap, kekal,
abadi, atau hidup terus (kebalikan dari fana’). Fana’ dan baqa’
merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanya fana’ menunjukkan adanya baqa’.[4]
Hal ini memang dapat dilihatdari faham-faham sufi sebagai berikut:
· Jika kejahilan dari seseorang hilang (fana’), yang akan
tinggal (baqa’) ialah pengetahuannya.
· Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal
ialah takwanya.
· Siapa yang menghancurkan sifat-sifat buruk, tinggal baginya
sifat-sifat baik.
· Siapa yang meninggalkan sifat-sifatnya, ia akan mempunyai
sifat-sifat Tuhan.[5]
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’an
al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’an al-nafs ialah hancurnya
perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujut tubuh kasarnya dan alam
sekitar. Sehubungan dengan hal itu al-Qusyairi mendefiniskan fana’ sebagai
berikut :
Fana’nya
seseorang dari dirinya dan makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran
tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan
demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada
dirinya.
Dr. Ibrahim Basyuni setelah mengumpulkan beberapa definisi, ia
merumuskan pengertian fana’ ini sebagai berikut :
Fana’ialah kondisi batin yang merasakan hilangnya hubungan seseorang
dengan alam dan bahkan dengan dirinya sendiri, tanpa hilangnya sifat-sifat
kemanusiaannya.
Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah fana’
kata Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan semuannya dapat
diringkas sebagai berikut:
1.
Transformasi
moral yang dicapai melalui pengendalian nafsu dan keinginan
2.
Abstraksi
mental pada seluruh objek persepsi, pemikiran, tinbdakan, dan perasaan; yang
kemudian memusatkan pikiran pada Tuhan.
3.
Berhentinya
pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana’ yang tertinggi akan
tercapai apabila kesadaran tentang fana’ itu sendiri juga hilang. Inilah
yang oleh para sufi dikenal fana’ dalam kefana’an atau lenyapnya
kesadaran tetang tiada.[6]
Selanjutnya kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah
lenyaplah kesadaran diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari
baqa’yang artinya berkesinambungan dalam
Tuhan.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana’ ini, materi
manusia tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya
kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi
jasad kasarnya.
Abu yazid yang dalam sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi pertama
yang membawa faham fana’ dan baqa’ ini mengartikan fana’
sebagai hilangnya kesadaran aksistensi diri pribadi (al-fana an al-nafs)
sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia.
Kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan wujudNya.
Lebih jelas paham ini tersimpul dalam kata-katanya : “Aku tahu pada Tuhan
melalui diriku, hingga aku hancur, kemudia aku tahu padaNya melalui dirinNya
maka akupun hidup.” Dan katanya pula: “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku
gila padaNya dan akupun hidup. Aku berkata: gila pada diriku adalah kehancuran
dan gila padaMu adalah kelanjutan hidup.” [7]
Jadi kalau seorang sufi telah mencapai al-fana’ an al-nafs,
yaitu kalau wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya
lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya, dan ketika itu dapatlah ia
“bersatu” dengan Tuhan. Dan kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi
langsung setelah tercapainya al-fana an al-nafs.
Dalam konsep fana’ ini al-Qusyairi menguatkan dengan sebuah
ilustrasi sebagai berikut: barangkali anda pernah melihat seseorang datang
menemui seorang penguasa atau seorang yang berpengaruhpada saat seperti itu,
orang tersebut terkadang lupa terhadap dirinya dan orang-orang yang ada
disekitarnya, karena perasaan yang bergejolak yang dialaminya, sehingga kalau
ditanya setelah ia keluar dari pertemuan itu dan gejolak dalam dadanya telah
mereda serta dirinya telah tenang dia tidak bisa cerita tentang apa yang
dialaminya.
keadaan seperti yang digambarkan diatas dikuatkan oleh al-Qusyairi
dengan ayat Alquran. Beliau berkata Allah SWT berfirman : maka tatkala wanita
–wanita itu melihatnya mereka kagum pada ( keelokan rupa)-Nya. Dan mereka melukai
(jari) tangannya sendiri.[8]
fana’ menurut
kalangan sufi adalah karunia Allah sebagai pemberian kepada hambanya. Fana’
tersebut tidak bisa diperoleh lewat usaha atau latihan. Al-Kalabazi juga
menegaskan: “ seseorang yang mengalami keadaan fana’ bukanlah disebabkan
hilangnya kesadaran (pingsan), bukan karena kebodohan dan bukan pula sirnanya
sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya sehingga dia menjadi malaikat atau seorang
spiritualis, tetapi fana’ dari penyaksian akal hal-hal yang berkenan
dengan dirinya. “ dengan demikian, keadaan fana’ yang dialami seseorang
tidaklah menyebabkannya dapat menanggalkan kewajiban agama. Karena itu dapatlah
dipahami mengapa al-Thusi dalam kitabnya al-Luma’ memperingatkan bahaya yang
mungkin timbul dari keadaan fana’, yaitu antara lain adanya anggapan
bahwa kefanaan adalah kefanaan sifat-sifat kemanusiaan dan dia bersifatkan
dengan sifat-sifat ketuhanan; padahal sifat kemanusiaan tidak dapat sirna dari
manusia.
C.
Konsep Ittihad
Konsep ittihad
ini merupakan imbas dari konsep sebelumnya yaitu fana’ dan baqa’
sebagaimana telah di uraikan di atas.
Ittihad ini timbul
sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat sufi bahwa jiwa manusia adalah
pancaran dari Nur Ilahi. Atau dengan kata lain,” Aku”nya manusia itu adalah
pancaran dari yang Mahasa Esa.[9]
Siapapun yang bisa membebaskan diri dari alam lahiriahnya atau mampu meniadakan
kepribadian dari kesadaranya, maka dia akan mendapat jalan menuju sumber yang
asal.
Pengertian ittihad sendiri
dalam sudut pandang etimologi yaitu persatuan. dalam kamus sufisme berarti
persatuan antara manusia dengan Tuhan.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution,
yang dimaksud dengan ittihad kelihatannya ialah satu tingkatan tasawuf
di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan: suatu tingkatan
di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.[10]
Dalam
tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad
identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan,
karena fana’-nya tak
mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana’ dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.
Pengalaman
kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya
dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia
berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab:
“Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku
tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu.
Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka
itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam
ungkapan berikut: “Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah
makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku
adalah Engkau.”
Terputus
munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata
kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata,
“Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah
engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.”Dalam ittihad kelihatannya lidah
berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun
pada lahirnya ia berkata demikian.
Suatu ketika
seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa
yang engkau cari?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata,
“Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan
kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena
ucapannya membingungkan golongan awam.[11]
Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, tidak
berarti ia sebagai Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang
disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti
Fir’aun. Proses Ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat
Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan
pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah.
Bahkan, dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya
terlebur dalam dia yang dilihat.
Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya
sebagai Tuhan, namun perkataannya menimbulkan berbagai tanggapan. At-Thusi
mengatakan: Ucapan ganjil (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah
atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan. Seorang
Sufi yang sedang sakaw tidak bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam
qalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan mengungkapkan kata-kata yang sulit
dipahami oleh pendengarnya. Oleh sebab itu, menurut at-Thusi, bila seorang sufi
sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia
kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu tidak dapat sirna dari diri
manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap
kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat
ketuhanan.[12]
Terlepas dari semua itu, hal yang paling utama dan
mungkin bisa membebaskan Abu Yazid dari justifikasi negatif yang ditimpakan
padanya adalah bahwa ungkapan Syatahat itu hanya muncul ketika Abu Yazid
sedang dalam keadaan “mabuk ilahi”; tidak sadar dan terjebak dalam situasi fana’.
Karena itu, tidaklah salah jika Abu Yazid dikenal sebagai sufi pertama yang
berhasil mengoperasikan gagasan fana’ dalam sistematika ajaran
tasawufnya.[13]
Sejauh yang tampak dari ucapan eksperimental itu,
terlibat fase bertahap yang dialami Abu Yazid dalam upayanya mencari Allah.
Akan tetapi yang paling dramatis adalah beritanya yang menyebutkan jika ia
sudah pernah terbang tinggi (Mi’raj) menuju keharibaan Allah. Mengenai
hal yang satu ini, Abu Yazid adalah sufi pertama yang memvisualisasikan
pengalaman spiritualnya dalam tajuk mi’raj, yakni sebuah perjalanan
surgawi yang dahulu juga pernah dilakukan Nabi Muhammad.[14]
Diceritakan Abu Yazid telah mengarungi tujuh tingkatan
surga, menolak segala tawaran hadiah yang ada di dalamnya, dan hanya
berkeinginan untuk bertemu Allah SWT. Ia mengutarakan pengalamannya ini: “...
dan ketika Allah sepenuhnya mengetahui ketulusanku bahwa aku hanya ingin
bertemu dengan-Nya, maka ia memanggilku, “Mari, datanglah mendekat pada-Ku.
Lihatlah dataran kemuliaan-Ku dan area cahaya-Ku. Duduklah di atas karpet
kesucian-Ku sampai kau melihat lembutnya ke-Akuan-Ku. Kamu adalah pilihan-Ku,
kekasih-Ku, dan ciptaan-Ku yang paling bagus”. Mendengar perkataan-Nya itu, aku
merasa seakan-akan meleleh seperti timah yang sedang mencair. Lantas Dia
memberiku minuman dari mata air kasih sayang-Nya dalam sebuah cangkir
keakraban. Lalu membawaku ke dalam kedaan yang tidak bisa ku gambarkan. Dia
membawaku mendekat kepada-Nya, sangat dekat; hingga lebih dekat daripada jiwa
dengan sebatang tubuh”.[15]
Pengalaman mi’raj ini dijadikan Abu Yazid
sebagai sufi yang paling unik dan eksentrik untuk ukuran masanya, bahkan
sesudahnya. Bersamaan dengan hal itu, puncak dari segala kontroversial Abu
Yazid tentu saja adalah keluarnya sejumlah syatahat dari mulutnya.
Sejumlah kalangan kemudian mengidentifikasi ucapan-ucapan ekstase Abu Yazid
sebagai bentuk persatuan (Ittihad) antara Abu Yazid dengan Tuhan.
Abu Yazid dilaporkan pernah berkisah; Di suatu
kesempatan, Ia mengangkatku ke atas, menempatkanku di depan-Nya, dan berkata
kepadaku: “Wahai Abu Yazid, makhluk ciptaan-Ku pasti akan senang untuk
mencarimu.” Lalu aku berkata: “Hiasilah aku dengan sifat tunggal-Mu (Wahdaniyah),
pakaianilah aku dengan subjektifitas-Mu (Ananiyah), dan bawalah aku
menuju keesaan-Mu (Ahadiyah), sampai kelak ketika ciptaan-Mu melihatku,
maka mereka akan berkata, “Kami sudah melihatmu,” padahal Engkaulah yang ada di
situ, dan aku tidak berada dihadapan mereka”.[16]
Atau sebagaimana yang terjadi di lain waktu, tentang
Abu Yazid yang sedang kedatangan tamu. “Seseorang mendatangi Abu Yazid dan
mengetuk pintu rumahnya. Abu Yazid bertanya, “Siapakah yang hendak kau cari?”
Orang itu menjawab, “Abu Yazid”. Abu Yazid lantas menyahut, “Pergilah, di rumah
ini tidak ada Abu Yazid; yang ada dalam jubah ini hanyalah Allah SWT.[17]
Ia juga berkata; “Maha suci aku, Maha suci aku (Subhani,
Subhani) alangkah agungnya kebesaranku. Sesungguhnya aku adalah Allah,
tidak ada lagi Tuhan selain aku; maka menyembahlah kepadaku”.[18]
Abu Yazid juga memberikan pesan tentang kedudukan fana’;
“Tidak ada hal yang lebih baik bagi seorang manusia daripada menjadi ‘tidak
ada’, tanpa asketisme, tanpa teori, dan tanpa praktek. Ketika seseorang tanpa
semuanya, maka sebenarnya ia dengan semuanya.”
“Makhluk hanyalah sebuah subjek menuju keadaan, tapi
orang yang memilih menjadi gnostik tidaklah memiliki keadaan, sebab bekasnya
telah terhapus dan indivualitanya sudah melebur dalam individualitas yang lain.
Jejaknya juga ditutupi dengan jejak yang lain.”[19]
Sepertinya sudah ada hal yang lumrah bila syatahat
itu kemudian hanya bisa terjadi pada sufi yang sudah tidak mengenali dirinya
sendiri. Abu Yazid bisa sampai pada ‘stasiun’ ini dikarenakan ia telah
melenyapkan dirinya hingga untuk sementara waktu ia sanggup mencapai dunia
kesatuan antara dia dengan Allah. Kesatuan yang dialaminya tentu hanya bersifat
rohaniah semata.
Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar tentu tidak
bisa dikenakan hukum atas segala perkataannya. Ketidak sadaran atau fana’
menjadi basis yang sangat penting dalam memahami kemunculan syatahat
sehingga substansi kekontroversialannya sebetulnya bermuara dari ketidakmampuan
seorang sufi untuk mengedalikan dirinya, karena dirinya tersebut telah menjadi
tidak ada. Kondisi ini sering diiliustraasikan dengan air yang bervolume
banyak, tetapi mengalir dalam sungai yang sempit. Sebagai efeknya tentu terjadi
luapan air yang menggenang ke sejumlah tempat.[20]
Akibat ini pula, terdapat penafsiran lain yang menilai
keluarnya syatahat itu bukanlah ucapan Abu Yazid sendiri, melainkan
sabda Allah yang disuarakan melalui perantara lidah Abu Yazid.
Abu Yazid telah mempraktekkan hampir 35 tahun untuk
bersikap zuhud dan belajar membumi-hanguskan kepribadiannya. Layaknya seekor
ular yang melepaskan kulit luarnya, sehingga yang tersisa seakan-akan yang
tersisa dalam dirinya hanyalah pengaruh Tuhan yang senantiasa
menggerak-gerakkan kadar kemauannya.
Sufi yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat
sebuah terompet yang sedang ditiup oleh nafas Tuhan; Tuhanlah yang memainkan
nada-Nya sendiri. Saat Abu Yazid berteriak, Subhani; maka hal itu
merupakan perkataan Tuhan melalui dirinya.[21]
Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan agaknya menjadi perhatian khusus tatkala
sebagian kalangan menganggap kondisi seperti itu adalah puncak dari segala
perjalanan spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana’
yang dialami Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.[22]
Sewaktu timbulnya ucapan syatahat, di samping
terjadi dalam keadaan tidak sadar (fana’), Abu Yazid pada dasarnya tidak
berkenaan terhadap munculnya ucapan-ucapan eksentrik seperti itu; sebab ada
juga riwayat yang menyebutkan ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya
itu, Abu Yazid lantas beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak dalam
situasi itu dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang Maha Agung dan
tidak ada sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.
Pada hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu
hanyalah sebagian dari karunia yang diberikan Allah, seperti yang tersirat
dalam pengakuannya, “Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami sesuatu
selain Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan Tuhan.
Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah
perubahan pola dan sikap misktik Abu Yazud yang tidak lagi bisa dikategorikan
pada arus kelompok ’sufi mabuk’ (sukr); tidak juga menganggap petualang
teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.[23]
D. Kritik al-Ghazali terhadap faham Ittihad
Bahwa imam
al-Ghazali adalah ulama besar yang mengkompromikan antara syariat dan hakikat
atau tasawuf. Beliau sanggup mengikat tasawuf dengan dalil-dalil Alquran dengan
Sunnah nabi yang mana berimplikasi kepada umat Islam yang mulai berbondong-bondong
mendalami ilmu tasawuf.
al-Ghazali
merupakan seorang sufi dalam bidang amali. Sistem pemikiran al-Ghazali
merupakan upaya untuk membatasai penghayatan mistik dengan penghayatan qurbah
(amat dekat dengan dzat Tuhan). Oleh karena itu dalam kitan munqidz min
al-dhalal al-ghazali menyalahkan faham seperti hulul, Ittihad, wihdatul
wujud, sebagai paham union-mistik atas dasar khayyal belaka. Kemudian
al-ghazali menulis kitab ihya’ ulumuddin sebagai suatu sistem ajaran tasawuf
yang dipandang ideal, yang menjalin keselarasan antara syariat dan tasawuf.
Sedangkan menurut kesimpulan Mahmud Qasim tentang faham ittihad dalam
pandangan Al Ghazali, pada dasarnya ittihad itu tidak dapat dibenarkan (karena
bertentangan dengan akal), tetapi kalau ada seorang sufi melepas kata-kata
ittihad dan mengucapkan kata-kata
hu…hu…hu…, hanyalah sekedar perluasan istilah dan alegoris saja yang
sesuai dengan tradisi sufi dan penyair tetapi Al Ghazali menetapkan bahwa di
waktu sadar wajib bagi sufi agar menjaga lidahnya dari kata-kata yang
menimbulkan kesamaan antara Allah dan hambaNya atau menimbulkan pengertian
ittihad.
Masalah syathahat, yang merupakan kelanjutan dari ittihad, juga mendapat reaksi dari kaum
ulama, karena syathahat yang dikeluarkan oleh seorang sufi ketika dalam keadaan fana dan ittihad
mengandung persamaan antara Allah dan hambaNya. Menurut al-ghazali, hal ini dianggap membawa kepada kekafiran dan
bertentangan dengan syari’at. Al-ghazali sangatlah
keras dalam mengkritik faham union-mistik.
[1]
Aun Falesten. Tasawuf
Falsafi Persia dimasa Islam klasik.(Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007),
92-93.
[2]
Aboebakar
Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi&Tasawuf. (Solo: Ramadhani, 1984), 259.
[3]
Ibid,
57.
[4]
Asmaran AS, Pengantar
Studi Tasawuf. ( Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada,1994), 152.
[6]
Asmaran AS, Pengantar
Studi Tasawuf. ( Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada,1994), 154-155.
[8]
QS. 12:31
[9]
.Asmaran AS, Pengantar
Studi Tasawuf. ( Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada,1994), 158
[13]
AunFalestien Faletehan,
Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam, (Surabaya: Dakwah Digital
Press, 2007), hlm. 101.
[15]
Ibid.
98
[16]
. Ibid,
99.
[17]
. Ibid,
99.
[18]
. Ibid,
100.
[19]
. Ibid,
103.
[20]
. Ibid,
104.
[21]
. Ibid,
105-106.
[22]
. Ibid,
106.