Idealisme Absolut Hegel
A.
Biografi Hegel
Hegel tokoh terbesar dari filsafat
idealis lahir di kota Stuttgart pada tanggal 27 Agustus 1770 dari keluarga
pegawai negeri, ayahnya merupakan pekerja di kantor keuangan kerajaan
Wurtenberg. Idealisme Jerman memuncak pada era Hegel. Walaupun usianya lebih
tua daripada Schelling, Hegel menyusun karyanya yang terpenting ketika
Schelling sudah menjadi filosof terkenal. Mula-mula ia dianggap sebagai murid
Schelling, tetpi lama-kelamaan ia berdiri sendiri dan banyak berbeda dengan
pemikiran Schelling.[1]
Filosof Amerika M.R. Cohen menyebut
Hegel sebagai filosof terbesar abad ke-19. Kalau melihat pengaruhnya pada Marx
saja agaknya pernyataan Cohen cukup beralasan. Dalam pengantar bukunya, das
kapital edisi kedua Marx mengatakan bahwa dirinya adalah murid Hegel sekalipun
“dialektika saya berlawanan dengan dialektika Hegel”.
Pada tahun kelihirannya yakni 1770
yang mana pada masa itu terjadinya era-era revolusi Perancis, juga merupakan
masa-masa berbunganya kesusastraan Jerman. Lessing, Goethe, dan Shciller hidup
pada periode ini. Friedrich Holderlin, sastrawan puisi Jerman terbesar, adalah
kawan dekat Hegel, juga lahir pada tahun 1770, sama dengan pengarang lagu
kondang, Beethoven.
Tahun 1788 dia masuk sekolah teologi
yaitu Universitas Tuebingen. Di sana dia mengenal penyair Holderlin dan Schelling.
Pada awalnya dia sangat tertarik dengan teologi, dia bahkan menganggap
filasafat adalah teologi dalam pengertian penyelidikan terhadap Yang Absolut.
Dari tahun 1790 sampai 1800 bisa dibilang Hegel hanya menghasilkan karya-karya
yang berbau teologi antara lain “The Positivity of Christian Religion” tahun
1796 dan “The
Spirit of Christianity” tahun 1799.
Hegel selanjutnya setelah sempat
tinggal di Swiss, mengajar di Universitas Jena tahun 1801, di sana dia selain
mengajar dia juga bekerjasama dengan Schelling dalam menyunting jurnal
filsafat. Tahun 1807 terbitlah “Die Phanomenologie des Geistes” (Fenomenologi
Roh) yang merupakan dasar dari sistem filsafatnya.
Hegel sendiri juga terpengaruh oleh
peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa ia hidup. Peristiwa itu
adalah dikalahkannya pasukan Prusia oleh tentara Prancis di bawah pimpinan
Napoleon tahun 1806. Dengan demikian Prusia dikuasai oleh pemerintahan
Napoleon. Dalam pemerintahan Napoleon rakyat Prusia hidup dalam iklim yang jauh
lebih demokratis, kebebasan pers misalnya sangatlah dijunjung tinggi. Namun
ternyata Napoleon tidak dapat bertahan lama menguasai Prusia, karena lewat
peperangan sengit antara Leipzig dan Waterloo, Napoleon pun dikalahkan tahun
1816. Kekaisaran Prusia kembali dipulihkan dan pemerintahan yang bersifat
otoritarian kembali dijalankan di seluruh wilayah Prusia.
Perlu diketahui Hegel yang pada masa
revolusi Prancis bersimpati pada gerakan Jacobin yang radikal, ternyata
pengagum Napoleon. Dia menyebut Napoleon sebagai Roh Dunia dan kagum atas
kejeniusan dan kekuatan Napoleon. Namun ketika kekaisaran Prusia direstorasi
dia juga menyatakan diri sebagai pengagum kekaisaran Prusia bahkan menjadi
seorang propaganda aktifnya.
Tahun 1818 dia menggantikan Fichte
sebagai Profesor di Universitas Berlin dan di sana dia mempublikasikan sebuah
karya yang sangat berpengaruh terhadap filsafat politik dan filsafat hukum,
buku yang terbit tahun 1820 itu berjudul “Grundlinien der Philosophie des
Rechts” (Garis Besar Filsafat Hukum). Selanjutnya terbit juga buku-buku lain
yang merupakan hasil dari kuliahnya di Universitas Berlin, yang terpenting dari
beberapa karyanya itu adalah “Philosophy of History”. Hegel meninggal di Berlin
tahun 1831 sama dengan nasib anaknya yang tidak diakuinya yang meninggal di
Jakarta –dulu Batavia—saat menunaikan tugasnya sebagai tentara Belanda tahun
1831.
B.
Latar Belakang Pemikirannya
Berangkat dari masalah pokok yang
hendak dicari Hegel jawabannya muncul dari suasana perpecahan keyakinan Kristen
dan penuhanan akal sebagaimana muncul dalam revolusi Perancis 1789. Ini adalah
masalah nasib manusia, masalah kebermaknaan eksistensi manusia.[2]
Latar belakang pemikiran Hegel
banyak dipengaruhi oleh Kant. Akan tetapi, Hegel tidak pernah menjadi pengikut
Kant. Perbedaan antara keduanya lebih besar daripada perbedaan antara Plato dengan
Aristoteles, Hegel tidak akan menemukan metode dialektikanya tanpa memulainya
dari dialektika transendental yang dikembangkan oleh Kant dalam Critique of
Pure Reason.[3]
Dengan kata lain Imanuel Kant sebagai batu pijakan dari pemikiran idealisme
Hegel, mengingat bahwa pengaruh Krtik Kant terhadap dua pemikiran besar saat
itu banyak mempengarui para filosof setelahnya.
Selain itu ia juga banyak bergaul
dengan para pemikir-pemikir idealisme sejamannya seperti Fichte, Scheling.
Seperti yang telah disebutkan didepan, bahwa pada tahun 1801, ia bergabung
dengan Schelling di Universitas Jena manjadi pengajar mata kuliah filsafat.
Pada saat inilah ia sering mendiskusikan pemikirannya kepada Schelling. Mengingat
Scheling adalah seorang filosof yang telah mencapai kematanga intelektual pada
saat muda maka suda barang tentu pemikiran sceling sedikit banyak telah
menginspirasi Hegel.
Bagitu juga peranan Fichte terhadap
pemikiran Hegel. Ia seorang filosof Jerman. Berkenalan dengan filsafat Kant di
Leipzig 1790 M. Berkelana ke Konigsberg untuk menemui Kant dan menulis Critique
of Revelation pada zaman Kant. Oleh karena itu ada sebuah mata rantai pemikiran
antara Kant dengan Hegel melalui Fichte dan Schelling.
Pada tahun 1801 tampaklah perbedaan
yang mencolok antara Hegel dan Fichte di satu pihak dan Schelling di pihak
lain. Memang benar, bahwa bak Fichte maupun Schelling mengenal akan arti
pemandangan intelektual dan mencari identitas antara subyek dan obyek di dalam
idea, namun menurut Hegel, Fichte macet dalam usahanya itu, karena secara
sepihak ia terlalu memberi tekanan pada obyektivitas idea sehingga persoalan
tentang “benda dalam dirinya”, yang menjadi batu sentuhan itu menjadi pokok
yang gelap.[4] Oleh
karena iti Hegel bersintesa bahwa”yang Mutlak” adalah suatu totalitas, di mana
tiap hal dalam asasnya telah tercakup di manan tiap bagian sekaligus mewujudkan
keseluruhan.
Menurut Ficthe, seluruh isi dunia
sama dengan isi kesadaran. Sementara Schelling menganggap pengertian polaritas
sebagai hal yang penting. Baik di dalam kesadaran manusia maupun di dalam alam
terdapat suatu proses yang dinamis. Maka dari itu Hegel berusaha mengatasi dua
pemikiran tersebut dengan pengertian sintese. Berangkat dari tese dan antitese
dengan mengatakan bahwa keduanya itu bukan dibatasi, melainkan aufgehoben yang
berarti: mengesampingkan, merawat atau ditempatkan pada dataran yang lebih
tinggi, dimana keduanya baik tese maupun antitese tidak lagi berfungsi sebagai
lawan yang saling mengucilkan.
Seperti apa yang telah dijelaskan
sebelumnya. Setelah Hegel mempelajari pemikiran Kant, ia merasa tidak puas
tentang ilmu pengetahuan yang dibatasai secara kritis. Menurut pendapatnya,
segala peristiwa didunia ini hanya dapat dimengerti jika suatu syarat dipenuhi,
yaitu jika peristiwa-peristiwa sudah secara otomatis mengandung
penjelasan-penjelasannya. Ide yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang
menimbulkan gerak yang lain. Artinya, gerak yang menimbulkan tesis, kemudian
menimbulkan antitesis (gerak yang bertentangan), kemudian timbul sintesis yang
merupakan tesis baru, yang nantinya menimbulkan antitesis dan seterusnya. Inilah yang disebutnya sebagai
dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala peristiwa.[5]
C.
Idealisme Hegel
Dalam
filsafat ada beberapa aliran salah satunya adalah aliran idealisme. Plato
adalah generasi awal yang telah membangun prinsip-prinsip filosofi aliran
idealis. George WE Hegel kemudian merumuskan aliran idealisme ini secara
komprehensif ditinjau secara filosofi maupun sejarah.
Menurut
sebuah kamus filsafat, idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa
objek pengetahuan yang sebenarnya adalah ide (idea); bahwa ide-ide ada sebelum
keberadaan sesuatu yang lain; bahwa ide-ide merupakan dasar dari ke-ada-an
sesuatu. Dalam kamus lain dijelaskan bahwa idealisme
adalah sistem atau doktrin yang dasar penafsirannya yang fundamental adalah
ideal. Berlawanan dengan materialisme yang menekankan ruang, sensibilitas,
fakta, dan hal yang bersifat mekanistik, idealisme menekankan supra-ruang,
non-sensibilitas, penilaian, dan ideologis. Dalam
tataran epistemologis, idealisme berpendapat bahwa dunia eksternal hanya dapat
dipahami hanya dengan merujuk pada ide-ide dan bahwa pandangan kita tentang
alam eksternal selalu dimediasi oleh tindakan pikiran.
Idealisme mempunyai argumenepistemologi
tersendiri.Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung
pada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi
yang digunakan olehi dealisme. Mereka menggunakan argumen yang mengatakan bahwa
objek-objek fisik pada akhirnya adalah ciptaan tuhan, argumen
orang-orang idealsmengatakan bahwa objek-objek fisik tidak dapat dipaham iter
lepas dari spirit.
Idealisme secara umum selalu berhubungan
dengan rasionalisme. Ini adalah mazhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan
apriori atau deduktif dapat diperoleh manusia dengan akalnya. Lawan rasionalisme
dalam epistemologi ialah empiris yang mengatakan bahwa pengetahuan bukan diperoleh
melalui rasio (akal), melainkan melalui pengalaman empiris. Orang-orang empiris
amat sulit menerima paham bahwa semuar ealitas adalah mental atau bergantung kepada
jiwa atau roh karena pan dan itu melibatkan
dogma metafisik[6]
Idealisme adalah mencari suatu dasar yakni suatu metafisika yang di temukan lewat
dasar tindakan sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya. Titiktolaktersebutdipakaisebagaidasaruntukmembuatsuatukesimpulantentangkeseluruhan
yang ada.[7]
Aliran
Idealisme dinamakan juga dengan spiritualisme. Idealisme berarti serba
cita, sedangkan spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme berasal dari
kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Aliran
idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa.
Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa
terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap
oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan
yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata
hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta
penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Georg
Wilhelm Friedrich Hegel dikenal sebagai filosof yang menggunakan dialektika
sebagai metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang
dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan),
antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus
berupa konsep pengertian yang empiris indrawi.
Menurut
hegel yang mutlak adalah roh yang mengungkapkan diri di dalam alam, dengan
maksud agar dapat sadar akan dirinya sendiri. Hakikat roh adalah ide atau
pikiran.[8] Pernyataan Hegel yang
terkenal adalah semuanya yang real bersifat rasional dan semuanya yang rasional
bersifat real. Maksudnya adalah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya
realitas.
Menurut
Hegel, seluruh proses dunia adalah suatu perkembangan Roh. Sesuai dengan hukum
dialektika Roh meningkatkan diri, tahap demi tahap, menuju kepada yang Mutlak.
Sesuai dengan perkembangan Roh ini maka filsafat Hegel disusun dalam tiga
tahap, yaitu:
a) Tahap ketika Roh berada
dalam keadaan “ada dalam dirinya sendiri”. ilmu filsafat yang mebicarakan Roh
dalam keadaan ini disebut logika.
b) Dalam tahap kedua Roh
berada dalam keadaan “ berbeda dengan dirinya sendiri”, berbeda dengan “yang
lain”. Roh disini keluar dari dirinya sendiri, menjadikan dirinya “diluar”
dirinya dalam bentuk alam, yang terikat pada ruang dan waktu. Ilmun filsafat
yang membicarakan tahap ini disebutnya filsafat alam.
c) Akhirnya tahap ketiga,
yaitu tahap ketika Roh kembali pada dirinya sendiri, yaitu kembali daripada
berada diluar dirinya, sehingga roh berada dalam keadaan “ dalam dirinya
sendiri dan bagi dirinya sendiri”. tahap ini menjadi sasaran filsafat roh.
Hegel Mengelompokkan
idealisme menjadi tiga bagian yaitu :
1)
Filsafat idealisme Subyektif, yakni idealisme
yang berpangkal kepada subyek.
2)
Filsafat idealisme obyektif, yakni idealisme
yang memandang bahwa ego berada di dalam alam, dan alam berada di dalam ego
3) Filsafat idealisme
mutlak (idealisme absolut) adalah idealismeyang merupakan sintese dari
idelaisme subyektif dan idealisme obyektif.
Idealisme Absolut
Hegel
Dari perspektif umum
sejarah filsafat, filsafat Hegel adalah usaha untuk merehabilitasi metafisika
usai dikotomi Kantian yang memisahkan antara noumena dan fenomena. Ia berusaha
untuk mengetahui yang absolut dan tak terbatas melalui nalar murni.
Menurut Hegel,
berkebalikan dari kaum empiris, konsep lebih penting daripada objek dan ide-ide
mental. Idealisme Hegel bersifat metafisik, hal ini terlihat dari tesis
dasarnya yang menyatakan bahwa segala sesuatu dalam alam dan sejarah adalah
manifestasi dari ide absolut. Ide di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang
berada dalam pikiran manusia. Tentang idealisme dalam filsafat, Hegel menulis
”Idealisme dalam filsafat tidak lain adalah pengakuan bahwa yang terbatas
tidaklah memiliki eksistensi yang sebenarnya.”
Bagi Hegel yang terbatas
adalah sesuatu yang berhenti meng-ada (ceases to be). Dengan demikian,
idealisme bagi Hegel tidak hanya terbatas pada objek persepsi saja, sebagai
dipahami pendahulunya, tapi mencakup semua yang terbatas. Dia menyimpulkan bahwa
wujud yang terbatas adalah wujud yang tergantung dan, karenanya, tidak
sepenuhnya nyata. Wujud yang terbatas bergantung kepada yang tak terbatas yang
oleh Hegel disebut idea.
Ide absolut yang menjadi
gantungan segala sesuatu dipahami oleh Hegel secara teleologis, yakni bahwa ia
adalah tujuan tunggal—yang mewujudkan dan mengatur dirinya sendiri—dari segala
sesuatu. Bahwa segala sesuat hanya merupakan manifestasi dari ide absolut ini
berarti bahwa segala sesuatu bergerak dan meng-ada untuk tujuan tunggal
tersebut. Ada tiga hal yang mendasari tesis Hegel ini.
Hal pertama adalah
monisme yang menyatakan bahwa semesta tidak terdiri dari substansi yang beragam
dan jamak, alih-alih, ia menyatakan bahwa semesta hanya terdiri dari substansi
tunggal. Bagi Hegel, hal-hal yang bersifat fisik dan mental hanyalah penampakan
dari substansi universal yang tunggal. Monisme Hegel tidak berarti bahwa
realitas adalah ke-satu-an yang murni; ketunggalan yang tidak terbedakan tanpa
perbedaan dalam dirinya sendiri. Idealisme absolute, bagi Hegel, haruslah mampu
menjelaskan kenyataan keragaman benda-benda.
Hal kedua yang mendasari
tesis Hegel adalah organisisme yang menyatakan bahwa realitas adalah keseluruhan
yang hidup (living whole) atau terbentuk dalam satu proses hidup tunggal.
Menurutnya, proses ini mengalami tiga tahap: kesatuan yang belum sempurna (yang
melahirkan identitas), diferensiasi (yang menimbulkan perbedaan), dan kesatuan
dari kedua tahapan (yang mewujud dalam identitas dalam perbedaan). Ide tentang
organisime ini menyiratkan perkembangan dalam idealisme absolut Hegel berarti
yang idea mengaktualisasi diri. Konsep perkembangan yang secara umum dipahami
dalam konteks ruang dan waktu, direkonseptualisasi oleh Hegel dengan terma
logika yang didasarkan pada konsep negasi. Negasi digunakan untuk
mengkonseptualisasi mekanisme perkembangan. Kerangka negasi ini yang kemudian
menjadi konsep kunci yang digunakan Hegel untuk menjelaskan realitas sebagai
keseluruhan yang berkembang (developing whole).
Hal ketiga adalah rasionalisme
yang menyatakan bahwa proses hidup ini memiliki tujuan atau sesuai dengan idea
yang dipahami bukan sebagai sesuatu yang bersifat mental atau subjektif
manusiawi. Hegel memahami idea sebagai arketip yang memanifestasikan dirinya
dalam yang subjektif dan objektif; mental dan material.
Hegel sangat
mementingkan rasio ataupun pikiran. Hal ini menunjukkan dia sebagai seoarang
yang sangat idealis. Menurutnya, pikiran yang dimaksudnya bukan hanya pada
manusia perorangan, tetapi adalah sebuah rasio atau pikiran pada subjek yang
absolut, karena Hegel juga menerima prinsip idealistik bahwa realitas
seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu objek.
Dalil Hegel
yang kemudian terkenal berbunyi : “Semua
yang real (nyata) bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real
(nyata)”. Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas
seluruhnya adalah proses pemikiran dan ide yang memikirkan dirinya sendiri.
Atau dengan perkataan Hegel bahwa seluruh realitas adalah spirit yang lambat
laun menjadi sadar akan dirinya.[9]
Metode yang digunakan
Hegel untuk membuktikan tesisnya tentang pengetahuan rasional tentang yang
absolut adalah metode dialektika. Metode ini muncul sebagai reaksi atas
pembatasan Kant atas pengetahuan hanya pada yang sensible dan pendapat Kant
yang memustahilkan pengetahuan rasional murni atas yang absolut. Tidak seperti
Kant yang membatasi pengetahuan pada pengalaman (phenomena), Hegel memilih
untuk memahami keseluruhan yang menjadi dasar semua pengalaman. Metode
dialektik yang diadopsi Hegel berbeda dengan dialektika yang dikenal
sebelumnya. Karena, bagi Hegel, dialektika Plato, misalnya, tidaklah murni
dialektik karena ia bermula dari proposisi yang telah diasumsikan, yang
karenanya tidak bersumber dari masing-masing elemen dialektik.
Menurut Hegel, dialektik
terdiri dari tiga aspek secara berurutan. Yang pertama adalah aspek abstraksi,
dimana pemahaman mengasumsikan bahwa sebuah konsep adalah tidak terikat dan
sepenuhnya terlepas dari hal lain. Aspek kedua adalah aspek negasi ketika
pemahaman menemukan bahwa ternyata konsepnya tidaklah sepenuhnya terlepas dari
yang lain, ia harus dipahami dalam kaitannya dengan hal lain. Pada titik ini,
pemahaman terperangkap dalam kontradiksi; disatu sisi ia harus mengasumsikan
ada yang tak terikat untuk mengakhiri rangkaian ikatan-ikatan, tapi disisi lain
ia tidak bisa mengasumsikan yang tak terikat karena ia selalu menemukan batasan
yang mengikatnya. Tahap ketiga adalah tahap spekulatif atau rasional yang
mengakhiri kontradiksi antar dua tahapan sebelumnya dengan memandang bahwa yang
tak terikat bukanlah sesuatu yang tersendiri melainkan keseluruhan dimana
segala yang terbatas hanyalah bagian darinya. Dengan demikian bagi Hegel,
keseluruhan mendahului bagian-bagiannya.
D. Perbandingan
pemikiran Hegel, fichte, dan schelling.
Fichte adalah idealisme
subjektif karena bagi fichte dunia adalah suatu tempat memahami subjektif.
Solipsisme, suatu pandangan metafisik yang mengatakan bahwa, yang dapat
dipahami hanyalah diri sendiri , dapat digolongkan kedalam idealisme sebjektif.
Fichte, tokoh yang berpendapat bahwa kemauan moral sebagai yang utama di dalam
idealisme, dianggap sebagai pendiri idealisme jerman.
Schelling menyebut
filsafatnya pada masa pertengahan perkembangan pemikirannya idealisme objektif,
karEna menurut pendapatnya , alam adalah sekedar “inteligasi yang dapat
dilihat”. Kalau begitu, maka seluruh filosof yang berusaha mengidentifikasi
realitas dengan idea, rasio, atau sepirit, seperti berkeley dan seluruh filosof
panpsikisme, dapat digolongkan ke dalam jalur idealisme objektif.
Hegel dapat menerima
adanya penggolongan menjadi idealisme subjektif dan idealisme objektif. Dari
sini ia mengemukakan filsafatnya tesis antitesis, dan ia mendirikan alur
pemikirannya sendiri yang disebut idealisme absolut sebagai sintesis-antitesis,
dan mendirikan alur pemikirannya sendiri yang disebut idealisme absolut sebagai
sintesis tertinggi dibandingkan dengan idealisme subjektif (tesis) dan
idealisme objektif (antitesis) sejak hegel mengemukakan idealisme absolut,
banyak filisof yang mulai menemukan pemikirannya pada yang absolut. Di antara
tokoh idealisme absolut ialah Bradley,T.H.Green, Bernard Bosanquest, dan josiah
Royce.
E.
Kritik terhadap filsafat
idealisme Hegel
Istilah materialisme bukanlah
tentang orang yang hanya berpikir tentang uang atau harta, namun berarti bahwa
kegiatan manusia dalam hidupnya adalah dalam kegiatan sosial bukanlah
pikirannya. Menurut Marx, berdasarkan asas materialisme, kesadaran tidaklah
menentukan realitas namun realitaslah yang menentukan kesadaran. Kesadaran
hanyalah efek samping dari proses-proses material dan materi merupakan hal yang
sungguh-sungguh nyata menurut pandangan metafisis
Materialisme muncul karena adanya
sikap dan pemikiran kritis tentang pemikiran idealisme yang kemudian mengubah
pemikiran idealisme menjadi materialisme. Tokoh yang mengkritik merupakan
mantan pengikut Hegel yaitu Feuerbach dan Karl Marx. Feuerbach sendiri berpikir
bahwa pemikiran Hegel tidak dapat diterima secara inderawi dan tidak konkret
sebab pemikiran Hegel adalah pemikiran yang abstrak.
Hegel merupakan orang yang religius,
oleh karena itu dialektika ia gunakan untuk menjelaskan alam ciptaan Tuhan,
bahwa Tuhan menciptakan sesuatu juga dengan lawannya. Sebagai contoh adalah
kebaikan (tesis) dan kejahatan (antitesis). Dua hal yang bertentangan ini Hegel
sebut sebagai sintesis. Proses sintesis artinya adalah proses penggabungan
antara dua hal yang bertentangan kemudian menjadi sesuatu yang baru dan berbeda
dari bentuk asalnya. Akan tetapi dalam pengambilan sintesis tidaklah menolak
kedua proposisi (tesis dan Sintesis).
Memang perlu diakui
bahwa idealisme Hegel bersifat abstrak sehingga dalam hal epistemologi perlu
adanya pengkajian yang mendalam. Inti filsafat Hegel ialah konsep spirit(roh),
suatu istilah yang di ilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang
mutlak dengan yang yidak mutlak. Yang mutlak ialah roh atau jiwa, menjelma pada
alam sehingga sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya idea, yang
artinya berpikir.[10]
Sebenarnya filsafat
idealisme hegel berangkat dari pemikiran kritik Kant yang kemudian ia
sintesiskan melalui metodologi dielektikanya. Filsafat Kant sangat berpengaruh
pada diri Hegel, akan tetapi ia bukan pengikut Kant. Hanya sekedar pengkrikik
dari apa yang telah di telorkan oleh Kant. Menurutnya Kant sangatlah membatasi
ilmun pengetahuan sehingga perlu adanya kritik yang dilakukan terhadap Kant.
Sebelum hegel menelorkan
idealisme absolutnya, terlebih dulu ia juga terpengaruh terhadap filosof
idealisme pendahulunya yakni, Fichte dan schelling. Yang mana mereka dalam
filsafatnya telah membagi idealisme menjadi dua yakni, idealisme subyaktif dan
idealisme objektif. Kemudian hegel dengan dialektikanya mensintesiskan kedua
pemikiran falsafi tersebut dengan menghasilkan konsep Idealisme Absolut.
Sehingga dapat dikatakan Hegel adalah seorang filosof yang hanya mensintesikan
berbagai pemikiran filsafat di Jerman saat itu. Dan memang harus diakui bahwa
berkat pemikiran idealisme Hegel maka generasi setelahnya dapat mengembangkan
pemikiran filsafat yang lebih elegan, segar dan inovatif.
[1]Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum.(Bandung: Rosda, 2010), 151.
[3]Atang Abdul
Hakim,Filsafat Umum. ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), 265.
[4]Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. (Yogyakarta: Kanisius, 1980),
98-99.
[5]Asmoro Achmadi,
Filssafat Umum. (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2012), 120.
[6]Ibid,
Atang
Abdul Hadi,hal, 260.
[8]Ibid,
Harun
Hadiwijono, hal , 100.
[9]Ibid,
Ahmad
Tafsir, hal, 150.
[10]Atang Abdul
Hakim,Filsafat Umum. ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), 265.