Rabu, 15 Mei 2013

Idealisme Hegel


Idealisme Absolut Hegel
A.      Biografi Hegel
Hegel tokoh terbesar dari filsafat idealis lahir di kota Stuttgart pada tanggal 27 Agustus 1770 dari keluarga pegawai negeri, ayahnya merupakan pekerja di kantor keuangan kerajaan Wurtenberg. Idealisme Jerman memuncak pada era Hegel. Walaupun usianya lebih tua daripada Schelling, Hegel menyusun karyanya yang terpenting ketika Schelling sudah menjadi filosof terkenal. Mula-mula ia dianggap sebagai murid Schelling, tetpi lama-kelamaan ia berdiri sendiri dan banyak berbeda dengan pemikiran Schelling.[1]
Filosof Amerika M.R. Cohen menyebut Hegel sebagai filosof terbesar abad ke-19. Kalau melihat pengaruhnya pada Marx saja agaknya pernyataan Cohen cukup beralasan. Dalam pengantar bukunya, das kapital edisi kedua Marx mengatakan bahwa dirinya adalah murid Hegel sekalipun “dialektika saya berlawanan dengan dialektika Hegel”.
Pada tahun kelihirannya yakni 1770 yang mana pada masa itu terjadinya era-era revolusi Perancis, juga merupakan masa-masa berbunganya kesusastraan Jerman. Lessing, Goethe, dan Shciller hidup pada periode ini. Friedrich Holderlin, sastrawan puisi Jerman terbesar, adalah kawan dekat Hegel, juga lahir pada tahun 1770, sama dengan pengarang lagu kondang, Beethoven.
Tahun 1788 dia masuk sekolah teologi yaitu Universitas Tuebingen. Di sana dia mengenal penyair Holderlin dan Schelling. Pada awalnya dia sangat tertarik dengan teologi, dia bahkan menganggap filasafat adalah teologi dalam pengertian penyelidikan terhadap Yang Absolut. Dari tahun 1790 sampai 1800 bisa dibilang Hegel hanya menghasilkan karya-karya yang berbau teologi antara lain “The Positivity of Christian Religion” tahun 1796 dan “The Spirit of Christianity” tahun 1799.
Hegel selanjutnya setelah sempat tinggal di Swiss, mengajar di Universitas Jena tahun 1801, di sana dia selain mengajar dia juga bekerjasama dengan Schelling dalam menyunting jurnal filsafat. Tahun 1807 terbitlah “Die Phanomenologie des Geistes” (Fenomenologi Roh) yang merupakan dasar dari sistem filsafatnya.
Hegel sendiri juga terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa ia hidup. Peristiwa itu adalah dikalahkannya pasukan Prusia oleh tentara Prancis di bawah pimpinan Napoleon tahun 1806. Dengan demikian Prusia dikuasai oleh pemerintahan Napoleon. Dalam pemerintahan Napoleon rakyat Prusia hidup dalam iklim yang jauh lebih demokratis, kebebasan pers misalnya sangatlah dijunjung tinggi. Namun ternyata Napoleon tidak dapat bertahan lama menguasai Prusia, karena lewat peperangan sengit antara Leipzig dan Waterloo, Napoleon pun dikalahkan tahun 1816. Kekaisaran Prusia kembali dipulihkan dan pemerintahan yang bersifat otoritarian kembali dijalankan di seluruh wilayah Prusia.
Perlu diketahui Hegel yang pada masa revolusi Prancis bersimpati pada gerakan Jacobin yang radikal, ternyata pengagum Napoleon. Dia menyebut Napoleon sebagai Roh Dunia dan kagum atas kejeniusan dan kekuatan Napoleon. Namun ketika kekaisaran Prusia direstorasi dia juga menyatakan diri sebagai pengagum kekaisaran Prusia bahkan menjadi seorang propaganda aktifnya.
Tahun 1818 dia menggantikan Fichte sebagai Profesor di Universitas Berlin dan di sana dia mempublikasikan sebuah karya yang sangat berpengaruh terhadap filsafat politik dan filsafat hukum, buku yang terbit tahun 1820 itu berjudul “Grundlinien der Philosophie des Rechts” (Garis Besar Filsafat Hukum). Selanjutnya terbit juga buku-buku lain yang merupakan hasil dari kuliahnya di Universitas Berlin, yang terpenting dari beberapa karyanya itu adalah “Philosophy of History”. Hegel meninggal di Berlin tahun 1831 sama dengan nasib anaknya yang tidak diakuinya yang meninggal di Jakarta –dulu Batavia—saat menunaikan tugasnya sebagai tentara Belanda tahun 1831.
B.       Latar Belakang Pemikirannya
Berangkat dari masalah pokok yang hendak dicari Hegel jawabannya muncul dari suasana perpecahan keyakinan Kristen dan penuhanan akal sebagaimana muncul dalam revolusi Perancis 1789. Ini adalah masalah nasib manusia, masalah kebermaknaan eksistensi manusia.[2]
Latar belakang pemikiran Hegel banyak dipengaruhi oleh Kant. Akan tetapi, Hegel tidak pernah menjadi pengikut Kant. Perbedaan antara keduanya lebih besar daripada perbedaan antara Plato dengan Aristoteles, Hegel tidak akan menemukan metode dialektikanya tanpa memulainya dari dialektika transendental yang dikembangkan oleh Kant dalam Critique of Pure Reason.[3] Dengan kata lain Imanuel Kant sebagai batu pijakan dari pemikiran idealisme Hegel, mengingat bahwa pengaruh Krtik Kant terhadap dua pemikiran besar saat itu banyak mempengarui para filosof setelahnya.
Selain itu ia juga banyak bergaul dengan para pemikir-pemikir idealisme sejamannya seperti Fichte, Scheling. Seperti yang telah disebutkan didepan, bahwa pada tahun 1801, ia bergabung dengan Schelling di Universitas Jena manjadi pengajar mata kuliah filsafat. Pada saat inilah ia sering mendiskusikan pemikirannya kepada Schelling. Mengingat Scheling adalah seorang filosof yang telah mencapai kematanga intelektual pada saat muda maka suda barang tentu pemikiran sceling sedikit banyak telah menginspirasi Hegel.
Bagitu juga peranan Fichte terhadap pemikiran Hegel. Ia seorang filosof Jerman. Berkenalan dengan filsafat Kant di Leipzig 1790 M. Berkelana ke Konigsberg untuk menemui Kant dan menulis Critique of Revelation pada zaman Kant. Oleh karena itu ada sebuah mata rantai pemikiran antara Kant dengan Hegel melalui Fichte dan Schelling.
Pada tahun 1801 tampaklah perbedaan yang mencolok antara Hegel dan Fichte di satu pihak dan Schelling di pihak lain. Memang benar, bahwa bak Fichte maupun Schelling mengenal akan arti pemandangan intelektual dan mencari identitas antara subyek dan obyek di dalam idea, namun menurut Hegel, Fichte macet dalam usahanya itu, karena secara sepihak ia terlalu memberi tekanan pada obyektivitas idea sehingga persoalan tentang “benda dalam dirinya”, yang menjadi batu sentuhan itu menjadi pokok yang gelap.[4] Oleh karena iti Hegel bersintesa bahwa”yang Mutlak” adalah suatu totalitas, di mana tiap hal dalam asasnya telah tercakup di manan tiap bagian sekaligus mewujudkan keseluruhan.
Menurut Ficthe, seluruh isi dunia sama dengan isi kesadaran. Sementara Schelling menganggap pengertian polaritas sebagai hal yang penting. Baik di dalam kesadaran manusia maupun di dalam alam terdapat suatu proses yang dinamis. Maka dari itu Hegel berusaha mengatasi dua pemikiran tersebut dengan pengertian sintese. Berangkat dari tese dan antitese dengan mengatakan bahwa keduanya itu bukan dibatasi, melainkan aufgehoben yang berarti: mengesampingkan, merawat atau ditempatkan pada dataran yang lebih tinggi, dimana keduanya baik tese maupun antitese tidak lagi berfungsi sebagai lawan yang saling mengucilkan.
Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Setelah Hegel mempelajari pemikiran Kant, ia merasa tidak puas tentang ilmu pengetahuan yang dibatasai secara kritis. Menurut pendapatnya, segala peristiwa didunia ini hanya dapat dimengerti jika suatu syarat dipenuhi, yaitu jika peristiwa-peristiwa sudah secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasannya. Ide yang berpikir itu sebenarnya adalah gerak yang menimbulkan gerak yang lain. Artinya, gerak yang menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan antitesis (gerak yang bertentangan), kemudian timbul sintesis yang merupakan tesis baru, yang nantinya menimbulkan antitesis dan  seterusnya. Inilah yang disebutnya sebagai dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala peristiwa.[5]


C.      Idealisme Hegel
Dalam filsafat ada beberapa aliran salah satunya adalah aliran idealisme. Plato adalah generasi awal yang telah membangun prinsip-prinsip filosofi aliran idealis. George WE Hegel kemudian merumuskan aliran idealisme ini secara komprehensif ditinjau secara filosofi maupun sejarah.
Menurut sebuah kamus filsafat, idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang sebenarnya adalah ide (idea); bahwa ide-ide ada sebelum keberadaan sesuatu yang lain; bahwa ide-ide merupakan dasar dari ke-ada-an sesuatu. Dalam kamus lain dijelaskan bahwa idealisme adalah sistem atau doktrin yang dasar penafsirannya yang fundamental adalah ideal. Berlawanan dengan materialisme yang menekankan ruang, sensibilitas, fakta, dan hal yang bersifat mekanistik, idealisme menekankan supra-ruang, non-sensibilitas, penilaian, dan ideologis. Dalam tataran epistemologis, idealisme berpendapat bahwa dunia eksternal hanya dapat dipahami hanya dengan merujuk pada ide-ide dan bahwa pandangan kita tentang alam eksternal selalu dimediasi oleh tindakan pikiran.
Idealisme mempunyai argumenepistemologi tersendiri.Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung pada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan olehi dealisme. Mereka menggunakan argumen yang mengatakan bahwa objek-objek fisik pada akhirnya adalah ciptaan tuhan, argumen orang-orang idealsmengatakan bahwa objek-objek fisik tidak dapat dipaham iter lepas dari spirit.
Idealisme secara umum selalu berhubungan dengan rasionalisme. Ini adalah mazhab epistemologi yang mengajarkan bahwa pengetahuan apriori atau deduktif dapat diperoleh manusia dengan akalnya. Lawan rasionalisme dalam epistemologi ialah empiris yang mengatakan bahwa pengetahuan bukan diperoleh melalui rasio (akal), melainkan melalui pengalaman empiris. Orang-orang empiris amat sulit menerima paham bahwa semuar ealitas adalah mental atau bergantung kepada jiwa atau roh karena pan dan  itu melibatkan dogma metafisik[6]
Idealisme adalah mencari suatu dasar  yakni suatu metafisika yang di temukan lewat dasar tindakan sebagai sumber yang sekonkret-konkretnya. Titiktolaktersebutdipakaisebagaidasaruntukmembuatsuatukesimpulantentangkeseluruhan yang ada.[7]
Aliran Idealisme dinamakan juga dengan spiritualisme. Idealisme berarti serba cita, sedangkan spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme berasal dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel dikenal sebagai filosof yang menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang empiris indrawi.
Menurut hegel yang mutlak adalah roh yang mengungkapkan diri di dalam alam, dengan maksud agar dapat sadar akan dirinya sendiri. Hakikat roh adalah ide atau pikiran.[8] Pernyataan Hegel yang terkenal adalah semuanya yang real bersifat rasional dan semuanya yang rasional bersifat real. Maksudnya adalah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas.
Menurut Hegel, seluruh proses dunia adalah suatu perkembangan Roh. Sesuai dengan hukum dialektika Roh meningkatkan diri, tahap demi tahap, menuju kepada yang Mutlak. Sesuai dengan perkembangan Roh ini maka filsafat Hegel disusun dalam tiga tahap, yaitu:
a)    Tahap ketika Roh berada dalam keadaan “ada dalam dirinya sendiri”. ilmu filsafat yang mebicarakan Roh dalam keadaan ini disebut logika.
b)   Dalam tahap kedua Roh berada dalam keadaan “ berbeda dengan dirinya sendiri”, berbeda dengan “yang lain”. Roh disini keluar dari dirinya sendiri, menjadikan dirinya “diluar” dirinya dalam bentuk alam, yang terikat pada ruang dan waktu. Ilmun filsafat yang membicarakan tahap ini disebutnya filsafat alam.
c)    Akhirnya tahap ketiga, yaitu tahap ketika Roh kembali pada dirinya sendiri, yaitu kembali daripada berada diluar dirinya, sehingga roh berada dalam keadaan “ dalam dirinya sendiri dan bagi dirinya sendiri”. tahap ini menjadi sasaran filsafat roh.
Hegel Mengelompokkan idealisme menjadi tiga bagian yaitu :
1)   Filsafat idealisme Subyektif, yakni idealisme yang berpangkal kepada subyek.
2)   Filsafat idealisme obyektif, yakni idealisme yang memandang bahwa ego berada di dalam alam, dan alam berada di dalam ego
3)   Filsafat idealisme mutlak (idealisme absolut) adalah idealismeyang merupakan sintese dari idelaisme subyektif dan idealisme obyektif.
Idealisme Absolut Hegel
Dari perspektif umum sejarah filsafat, filsafat Hegel adalah usaha untuk merehabilitasi metafisika usai dikotomi Kantian yang memisahkan antara noumena dan fenomena. Ia berusaha untuk mengetahui yang absolut dan tak terbatas melalui nalar murni.
Menurut Hegel, berkebalikan dari kaum empiris, konsep lebih penting daripada objek dan ide-ide mental. Idealisme Hegel bersifat metafisik, hal ini terlihat dari tesis dasarnya yang menyatakan bahwa segala sesuatu dalam alam dan sejarah adalah manifestasi dari ide absolut. Ide di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang berada dalam pikiran manusia. Tentang idealisme dalam filsafat, Hegel menulis ”Idealisme dalam filsafat tidak lain adalah pengakuan bahwa yang terbatas tidaklah memiliki eksistensi yang sebenarnya.”
Bagi Hegel yang terbatas adalah sesuatu yang berhenti meng-ada (ceases to be). Dengan demikian, idealisme bagi Hegel tidak hanya terbatas pada objek persepsi saja, sebagai dipahami pendahulunya, tapi mencakup semua yang terbatas. Dia menyimpulkan bahwa wujud yang terbatas adalah wujud yang tergantung dan, karenanya, tidak sepenuhnya nyata. Wujud yang terbatas bergantung kepada yang tak terbatas yang oleh Hegel disebut idea.
Ide absolut yang menjadi gantungan segala sesuatu dipahami oleh Hegel secara teleologis, yakni bahwa ia adalah tujuan tunggal—yang mewujudkan dan mengatur dirinya sendiri—dari segala sesuatu. Bahwa segala sesuat hanya merupakan manifestasi dari ide absolut ini berarti bahwa segala sesuatu bergerak dan meng-ada untuk tujuan tunggal tersebut. Ada tiga hal yang mendasari tesis Hegel ini.
Hal pertama adalah monisme yang menyatakan bahwa semesta tidak terdiri dari substansi yang beragam dan jamak, alih-alih, ia menyatakan bahwa semesta hanya terdiri dari substansi tunggal. Bagi Hegel, hal-hal yang bersifat fisik dan mental hanyalah penampakan dari substansi universal yang tunggal. Monisme Hegel tidak berarti bahwa realitas adalah ke-satu-an yang murni; ketunggalan yang tidak terbedakan tanpa perbedaan dalam dirinya sendiri. Idealisme absolute, bagi Hegel, haruslah mampu menjelaskan kenyataan keragaman benda-benda.
Hal kedua yang mendasari tesis Hegel adalah organisisme yang menyatakan bahwa realitas adalah keseluruhan yang hidup (living whole) atau terbentuk dalam satu proses hidup tunggal. Menurutnya, proses ini mengalami tiga tahap: kesatuan yang belum sempurna (yang melahirkan identitas), diferensiasi (yang menimbulkan perbedaan), dan kesatuan dari kedua tahapan (yang mewujud dalam identitas dalam perbedaan). Ide tentang organisime ini menyiratkan perkembangan dalam idealisme absolut Hegel berarti yang idea mengaktualisasi diri. Konsep perkembangan yang secara umum dipahami dalam konteks ruang dan waktu, direkonseptualisasi oleh Hegel dengan terma logika yang didasarkan pada konsep negasi. Negasi digunakan untuk mengkonseptualisasi mekanisme perkembangan. Kerangka negasi ini yang kemudian menjadi konsep kunci yang digunakan Hegel untuk menjelaskan realitas sebagai keseluruhan yang berkembang (developing whole).
Hal ketiga adalah rasionalisme yang menyatakan bahwa proses hidup ini memiliki tujuan atau sesuai dengan idea yang dipahami bukan sebagai sesuatu yang bersifat mental atau subjektif manusiawi. Hegel memahami idea sebagai arketip yang memanifestasikan dirinya dalam yang subjektif dan objektif; mental dan material.
Hegel sangat mementingkan rasio ataupun pikiran. Hal ini menunjukkan dia sebagai seoarang yang sangat idealis. Menurutnya, pikiran yang dimaksudnya bukan hanya pada manusia perorangan, tetapi adalah sebuah rasio atau pikiran pada subjek yang absolut, karena Hegel juga menerima prinsip idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu objek.
Dalil Hegel yang kemudian terkenal berbunyi :  “Semua yang real (nyata) bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real (nyata)”. Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran dan ide yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan Hegel bahwa seluruh realitas adalah spirit yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya.[9]
Metode yang digunakan Hegel untuk membuktikan tesisnya tentang pengetahuan rasional tentang yang absolut adalah metode dialektika. Metode ini muncul sebagai reaksi atas pembatasan Kant atas pengetahuan hanya pada yang sensible dan pendapat Kant yang memustahilkan pengetahuan rasional murni atas yang absolut. Tidak seperti Kant yang membatasi pengetahuan pada pengalaman (phenomena), Hegel memilih untuk memahami keseluruhan yang menjadi dasar semua pengalaman. Metode dialektik yang diadopsi Hegel berbeda dengan dialektika yang dikenal sebelumnya. Karena, bagi Hegel, dialektika Plato, misalnya, tidaklah murni dialektik karena ia bermula dari proposisi yang telah diasumsikan, yang karenanya tidak bersumber dari masing-masing elemen dialektik.
Menurut Hegel, dialektik terdiri dari tiga aspek secara berurutan. Yang pertama adalah aspek abstraksi, dimana pemahaman mengasumsikan bahwa sebuah konsep adalah tidak terikat dan sepenuhnya terlepas dari hal lain. Aspek kedua adalah aspek negasi ketika pemahaman menemukan bahwa ternyata konsepnya tidaklah sepenuhnya terlepas dari yang lain, ia harus dipahami dalam kaitannya dengan hal lain. Pada titik ini, pemahaman terperangkap dalam kontradiksi; disatu sisi ia harus mengasumsikan ada yang tak terikat untuk mengakhiri rangkaian ikatan-ikatan, tapi disisi lain ia tidak bisa mengasumsikan yang tak terikat karena ia selalu menemukan batasan yang mengikatnya. Tahap ketiga adalah tahap spekulatif atau rasional yang mengakhiri kontradiksi antar dua tahapan sebelumnya dengan memandang bahwa yang tak terikat bukanlah sesuatu yang tersendiri melainkan keseluruhan dimana segala yang terbatas hanyalah bagian darinya. Dengan demikian bagi Hegel, keseluruhan mendahului bagian-bagiannya.
D.      Perbandingan pemikiran Hegel, fichte, dan schelling.
Fichte adalah idealisme subjektif karena bagi fichte dunia adalah suatu tempat memahami subjektif. Solipsisme, suatu pandangan metafisik yang mengatakan bahwa, yang dapat dipahami hanyalah diri sendiri , dapat digolongkan kedalam idealisme sebjektif. Fichte, tokoh yang berpendapat bahwa kemauan moral sebagai yang utama di dalam idealisme, dianggap sebagai pendiri idealisme jerman.
Schelling menyebut filsafatnya pada masa pertengahan perkembangan pemikirannya idealisme objektif, karEna menurut pendapatnya , alam adalah sekedar “inteligasi yang dapat dilihat”. Kalau begitu, maka seluruh filosof yang berusaha mengidentifikasi realitas dengan idea, rasio, atau sepirit, seperti berkeley dan seluruh filosof panpsikisme, dapat digolongkan ke dalam jalur idealisme objektif.
Hegel dapat menerima adanya penggolongan menjadi idealisme subjektif dan idealisme objektif. Dari sini ia mengemukakan filsafatnya tesis antitesis, dan ia mendirikan alur pemikirannya sendiri yang disebut idealisme absolut sebagai sintesis-antitesis, dan mendirikan alur pemikirannya sendiri yang disebut idealisme absolut sebagai sintesis tertinggi dibandingkan dengan idealisme subjektif (tesis) dan idealisme objektif (antitesis) sejak hegel mengemukakan idealisme absolut, banyak filisof yang mulai menemukan pemikirannya pada yang absolut. Di antara tokoh idealisme absolut ialah Bradley,T.H.Green, Bernard Bosanquest, dan josiah Royce.
E.       Kritik terhadap filsafat idealisme Hegel
Istilah materialisme bukanlah tentang orang yang hanya berpikir tentang uang atau harta, namun berarti bahwa kegiatan manusia dalam hidupnya adalah dalam kegiatan sosial bukanlah pikirannya. Menurut Marx, berdasarkan asas materialisme, kesadaran tidaklah menentukan realitas namun realitaslah yang menentukan kesadaran. Kesadaran hanyalah efek samping dari proses-proses material dan materi merupakan hal yang sungguh-sungguh nyata menurut pandangan metafisis
Materialisme muncul karena adanya sikap dan pemikiran kritis tentang pemikiran idealisme yang kemudian mengubah pemikiran idealisme menjadi materialisme. Tokoh yang mengkritik merupakan mantan pengikut Hegel yaitu Feuerbach dan Karl Marx. Feuerbach sendiri berpikir bahwa pemikiran Hegel tidak dapat diterima secara inderawi dan tidak konkret sebab pemikiran Hegel adalah pemikiran yang abstrak.
Hegel merupakan orang yang religius, oleh karena itu dialektika ia gunakan untuk menjelaskan alam ciptaan Tuhan, bahwa Tuhan menciptakan sesuatu juga dengan lawannya. Sebagai contoh adalah kebaikan (tesis) dan kejahatan (antitesis). Dua hal yang bertentangan ini Hegel sebut sebagai sintesis. Proses sintesis artinya adalah proses penggabungan antara dua hal yang bertentangan kemudian menjadi sesuatu yang baru dan berbeda dari bentuk asalnya. Akan tetapi dalam pengambilan sintesis tidaklah menolak kedua proposisi (tesis dan Sintesis).
Memang perlu diakui bahwa idealisme Hegel bersifat abstrak sehingga dalam hal epistemologi perlu adanya pengkajian yang mendalam. Inti filsafat Hegel ialah konsep spirit(roh), suatu istilah yang di ilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang yidak mutlak. Yang mutlak ialah roh atau jiwa, menjelma pada alam sehingga sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya idea, yang artinya berpikir.[10]
Sebenarnya filsafat idealisme hegel berangkat dari pemikiran kritik Kant yang kemudian ia sintesiskan melalui metodologi dielektikanya. Filsafat Kant sangat berpengaruh pada diri Hegel, akan tetapi ia bukan pengikut Kant. Hanya sekedar pengkrikik dari apa yang telah di telorkan oleh Kant. Menurutnya Kant sangatlah membatasi ilmun pengetahuan sehingga perlu adanya kritik yang dilakukan terhadap Kant.
Sebelum hegel menelorkan idealisme absolutnya, terlebih dulu ia juga terpengaruh terhadap filosof idealisme pendahulunya yakni, Fichte dan schelling. Yang mana mereka dalam filsafatnya telah membagi idealisme menjadi dua yakni, idealisme subyaktif dan idealisme objektif. Kemudian hegel dengan dialektikanya mensintesiskan kedua pemikiran falsafi tersebut dengan menghasilkan konsep Idealisme Absolut. Sehingga dapat dikatakan Hegel adalah seorang filosof yang hanya mensintesikan berbagai pemikiran filsafat di Jerman saat itu. Dan memang harus diakui bahwa berkat pemikiran idealisme Hegel maka generasi setelahnya dapat mengembangkan pemikiran filsafat yang lebih elegan, segar dan inovatif.




[1]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum.(Bandung: Rosda, 2010), 151.
[2]Ibid,152.
[3]Atang Abdul Hakim,Filsafat Umum. ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), 265.
[4]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 98-99.
[5]Asmoro Achmadi, Filssafat Umum. (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 2012), 120.
[6]Ibid, Atang Abdul Hadi,hal, 260.
[7]Ibid, Asmoro Achmadi,hal, 120.
[8]Ibid, Harun Hadiwijono, hal , 100.
[9]Ibid, Ahmad Tafsir, hal, 150.
[10]Atang Abdul Hakim,Filsafat Umum. ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), 265.

Translate