a. Pengartian
Manaqib
Pengertian
manaqib menurut bahasa adalah kisah kekeramatan para wali.[1]
Sementara menurut istilah, manaqib adalah cerita-cerita mengenai kekeramatan
para wali yang biasanya dapat didengar pada juru kunci makam, pada keluarga dan
muridnya, atau dibaca dalam sejarah-sejarah hidupnya.[2]
Manaqib secara
leksikal al-Manaqib berarti kebaikan sifat dan sesuatu yang mengandung berkah.
Dalam dunia tarekat, manaqib adalah catatan riwayat hidup Syekh tarekat yang
memaparkan kisah ajaib dan hagiografis (sanjungan) dengan menyertakan ikhtisar
hikayat, legenda, kekeramatan, dan nasihatnya. Semuanya ditulis oleh pengikut
tarekat yang dirangkum dari cerita para murid, orang dekat, keluarga, dan
sahabatnya.
Yang dimaksud dengan manaqib secara istilah adalah
membaca kisah tentang orang-orang sholeh, seperti kisah Nabi atau auliya’ (para
kekasih Allah). Dalam tradisinya, kisah-kisah tersebut ditulis dengan
menggunakan bahasa yang sangat indah dengan susunan kalimatnya yang benar-benar
indah.

Manaqib tentang
Syekh Abdul Qadir al-Jilani cukup banyak, antara lain sebagai berikut. 1)
bahjat al-Asrar, yang ditulis oleh asy-Syattanawi (w. 713 H/ 1313 M), merupakan
biografi tertua dan terbaik tentang Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang penuh
dengan kisah keajaiban sang wali dan menjadi rujukan penulis berikutnya. 2)
Khulasah al-Mafakhir, yang ditulis oleh al-Yafi’i (w. 768 H/ 1367 M) sebagai
apologinya tentang Syekh Abdul Qadir, memuat 200 kisah legenda tentang
kesalehan tokohnya dan sekitar 40 kisah mistik lainnya. Naskah ini di dalam
bahasa Jawa dikenal sebagai hikayah Abdul Qadir al-Jilani yang hanya memuat 100
kisah, termasuk dalam 79 tembang. 3) Khalaid al-Jawahir karya al-Tadifi.
Penyusunannya bersifat historis yang dimulai dari pembahasan kehidupan, keturunan
dan lingkungan wali dan kisah ilustratif. 4) Natijah at-Tahqiq oleh Abdullah
Muhammad ad-Dilai (w. 1136 H/ 1724 M) memuat deskripsi kehidupan Syekh Abdul
Qadir al-Jilani dan ucapannya yang menunjukkan. Kebesaran sang wali. 5) an-Nur
al-Burhani fi Tarjamah al-Lujaini ad-Dani fi Manaqib Sayyid Abdul Qadir
al-Jilani oleh Abu Luthfi al-Hakim Muslih bin Abdurahman al-Maraqi, memuat
legenda dan kisah ajaib Syekh Abdul Qadir al-Jilani. 6) Lubab al-Ma’ani fi
Tarjamah lujain ad-Dani fi Manaqib Sayyidi asy Syekh Abdul Qadir oleh Abu
Muhammad Salih Mustamir al-Hajian al-Juwani memuat kisah kehidupan dan
kekeramatan Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Kitab Manaqib Syekh Abdul Qadir
al-Jilani telah dikaji secara luas oleh para sarjana muslim dan Barat, seperti:
az-Zahabi, Ibnu Hajar al-Asqolani, Poerbatjaraka, Walther Braune, Snouck
Hurgronje, dan Drewes. Manakib Syekh Abdul Qadir menjelaskan bahwa Syekh Abdul
Qadir al-Jilani masih keturunan Nabi Muhammad SAW melalui putrinya Fatimah.
Ibunya bernama Fatimah binti Syekh Abdullah as-Sauma’i, seorang tokoh yang
terkenal dan dimuliakan karena perbuatan kebajikannya. Dijelaskan pula di
samping seorang tokoh sufi, wali, pendiri tarekat, Abdul Qadir al-Jilani juga
dikenal sebagai Muhyiddin (yang menghidupkan agama kembali). Syekh Abdul Qadir
menguasai berbagai macam ilmu, seperti tafsir, hadis, fikih, ushul, nahwu dan
sharaf.[4]
Syekh Abdul
Qadir al-Jilani yang nama lengkapnya Abu Muhammad Abdul Qadir Jilani bin Abi
Sholih Janki Dausat bin Abdillah bin Yahya bin Muhammad bin Daud bin Musa
ats-Tsani bin Abdillah ats-Tsani bin Musa al-Jun bin Abdillah al-Mahdi bin
Hasan al-Mutsanna bin Hasan bi Ali bin Abi Tholib adalah seorang guru sufi yang
sempurna dan waspada serta arif, yang telah sampai pada cita-citanya, mempunyai
kedudukan tinggi lagi mulia, pendirian yang kuat dan ketetapan yang mantab,
berbudi pekerti yang luhur dan kesempurnaan yang megah, dan juga seorang wali
yang dekat dengan Allah SWT.
Syekh Abdul
Qadir al-Jilani adalah seorang yang mempunyai hubungan darah atau garis
keturunan langsung bersambung sampai Rasulullah. Beliau dilahirkan pada hari
Senin saat terbitnya fajar pada tanggal 1 Ramdhan 470 H atau 1077M.[5]
di desa Jailan (bisa juga disebut Jilan, Kailan, Kilan, atau al-Jil).[6]
Nama desa itu kemudian dinisbatkan kepada nama akhir beliau yakni al-Jailani
ataupun al-Jilani. Letak desa ini berada di kota terpencil yakni Tabaristan
yang kini masuk wilayah Iran. Sedangkan untuk tahun kelahira beliau yakni tahun
470 H.[7]
ini berdasarkan ucapan beliau kepada putranya (Abdul Razaq) bahwa baliau
berusia 18 tahun ketika tiba di Baghdad, bertepatan dengan wafatnya ulama
terkemuka yakni al-Tamimi pada tahun 488 H.[8]
Keistimewaan
Syekh Abdul Qadiral-Jilani Nampak sejak beliau baru lahir, tepatnya pada
tanggal 1 Ramadhan. Hal ini dikarenakan sejak masih bayi ia ikut puasa dengan
tidak menetek kepada ibunya pada siang hari. Ini berdasarkan penuturan Sayyidah
Fatimah (ibunda Syekh Abdul Qadir al-Jilani). Dalam kisah ini, sang ibu
menuturkan: “Semenjak aku melahirkan anakkku, ia tidak pernah menetek disiang
bulan Ramadhan.” Dan pernah suatu ketika, lantaran hari berawan mendung,
orang-orang bingung karena tidak bisa melihat matahari guna menetukan telah
masuknya waktu berbuka puasa. Mereka menanyakan pada Sayyidah Fatimah akan perihal
ini, karena mereka tahu bahwasanya bayi dari Sayyidah Fatimah tidak pernah
menetek di siang bulan Ramadhan. Dan ketika itu pula mereka mendapatkan
jawaban, bahwasannya sang bayi (Abdul Qadir kecil) sudah menetek. Hal ini
menunjukkan telah masuk waktu berbuka puasa.[9]
Syekh Abdul
Qadir al-Jilani bukanlah sosok yang mudah putus asa ataupun selalu berpangku
tangan. Namun beliau merupakan sosok yang mempunyai semangat belajar dan rasa
keingintahuan yang menggebu-gebu. Akhirnya, beliau mempunyai tekad yang bulat
untuk memenuhi segala keinginannya tersebut. Hal ini terjadi ketika beliau
mengetahui bahwasanya menuntut ilmu adalah wajib hukumnya. Maka beliau pun
memutuskan untuk menimba ilmu di Baghdad pada tahun 488 H. usia beliau ketika
itu sekitar 18 tahun.[10]
Periode
Syekh Abdul Qadir al-Jilani selama 37 tahun menetap di Baghdad, tepatnya pada
periode lima Khalifah dari pemerintahan dinasti Abbasiyyah. Pertama kali masuk
di Baghdad kunci kekhalifahan dipegang oleh al-Mustadhir Biamrillah, lalu Abul
Abbas (w. 512H) setelah itu kursi kekhalfahan diduduki oleh al-Mustarsyid ,
lalu ar-Rasyid, kemudian al-Muqtafi Liamrilah dan selanjutnya kursi
kekhalifahan diduduki oleh al-Mustanjid Billah. Pada periode itulah kehidupan
Syekh Abdul Qadir disibukkan denga berbagai aktivitas rohani seperti penyucian
jiwa. Hingga tahun 512H, yakni pada usia yang ke 51 tahun tak pernah memikirkan
pernikahan. Bahkan menurutnya hal itu merupakan penghambat dalam upaya
aktivitas penyucian rohani atau jiwa. Namun demikian Syekh Abdul Qadir al-Jilani
tak sampai meninggalkan sunnah RAsul tersebut. Sehingga pada usia lanjutpun
menikah dan memiliki empat istri. Dari keempat istrinya itulah melahirkan empat
puluh sembilan anak.
Syekh Abdul
Qadir al-Jilani memperoleh ilmu yang cukup banyak di Baghdad berkat ketulusan
dan kesungguhannya. Beliau belajar ilmu fiqh kepada ulama besar dizamannya,
misalnya Abdul Wafa bin Agil Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abul Hasan
Muhammad bin al-Qadhi, Abul Khattab al-Kalawazani. Belajar ilmu sastra kapada
Abu Zakariyah al-Tirbrizi dan belajar ilmu thoriqoh atau tasawuf kepada Abul
Khoir Hammad bin Muslim ad-Dabbas hingga memperoleh ijabah tinggi dari al-Qadli
Abu Said al-Muhkrami.
Selama
belajar di Baghdad Syekh Abdul Qadir al-Jilani selalu hidup dalam keadaan prihatin
dan menahan derita dengan tabah. Berkat kejujuran dan keikhlasannya, sehingga
ia cepat menerima dan menguasai ilmu dari para gurunya. Dan ia telah berhasil
menyusun tiga buah kitab yang diberi judul; Futuhul Ghaib, Fathurrabbani,
Qosyidiyah al-Ghausiyah.
Disamping
seorang ahli hukum dan sastrawan, beliau juga dikenal sebagai tokoh yang
kharismatik, yaitu tokoh spiritual muslim yang mempunyai pengaruh besar baik
pada masanya hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan tunduknya seorang
khalifah pada masanya, pujian tokoh pada masanya hingga masa sesudahnya,
penamaan lembaga tarekat yang dinisbahkan kepada namanya, serta kultus
masyarakat. Pengaruh tersebut disebabkan oleh antara lain, karena Syekh Abdul
Qadir al-Jilani mampunya nasab yang bersambung hingga Rasulullah SAW, kedalaman
spiritual dan karomah yang dimilikinya, serta kepercayaan masyarakat terhadap
berkah yang bisa diperolehnya.
Syekh Abdul
Qadir al-Jilani juga sebagai orang yang tekun dalam berdakwah, bermujahadah dan
mengajar orang-orang. Tugas-tugasnya ini beliau laksanakan hingga menjelang
wafat. beliau wafat pada tanggal 10 Rabi’ul Akhir tahun 561 H/ 1168 M. dalam
usia 91 tahun. Beliau di makamkan di Bab al-Azaj, Baghdad. [11]Maka
cita-cita luhur Syekh Abdul Qadir al-Jilani setelah wafatnya ini diteruskan
oleh para muridnya yang senantiasa setia
terhadap dakwah Islamiyyah. Mereka terdiri dari para ilmuwan dakwah dan
ilmuwan-ilmuwan yang ahli dalam bidang pengajaran. Peran mereka dalam
pemeliharaan ajaran-ajaran Islam sangat besar sekali, seperti hidupnya kembali
api keimanan, agitasi dalam tugas berdakwah dan berjihad. Bersaman dengan itu
semua telah tumbuh pula manusia-manusia yang berpotensi tinggi untuk
menyebarkan Islam ke negeri-negeri yang belum pernah terjamah oleh para tentara
Islam atau yang belum pernah bernaung dibawah hukum Islam. Oleh karena itu maka
tersebarlah Islam kebagian benua Afrika, Indonesia, Jazirah Hindia bagian
dalam, Cina dan Hinduistan.
Komunitas
sufi memandang Syekh Abdul Qadir al-Jilani sebagai Shultonul Auliya’ (Raja para wali), sedangkan di Barat dikenal
sebagai Sulthan of The Saints (Raja
orang-orang suci). Nama beliau akan tetap selalu harum sepanjang zaman karena
ilmunya, amaliyahnya, dan karomah-karomahnya.[12]
Sehingga tidaklah mengherankan jika seantero dunia Islam, tanpa terkecuali
Indonesia beredar ajaran-ajaran beliau yang tertuang dalam manqib Syekh Abdul
Qadir al-Jilani yang berisi biografi, karomah-karomah dan ajaran-ajaran beliau.
Dan manaqib beliau ini sering dibaca oleh kalangan muslim, khususnya lagi oleh
para penganut jamaah tarekat Qadiriyyah.
Dari
beberapa uraian diatas, dapatlah disumpulkan bahwa; Syekh Abdul Qadir al-Jilani
adalah seorang diantara sederatan orang-orang yang berpengaruh dalam dunia
Islam. Beliau adalah seorang mujahid yang paling tidak menyukai dan menolak
kehidupan mewah sehingga melupakan Allah dn perkara lain yang tidak ada didalam
ajaran Islam. Dan beliau benar-benar seorang ulama besar yang sudah tak asing
lagi bagi dunia tasawuf khususnya dan dunia Islam pada umunya. Jadi sudah
selayaknya pribadi yang besar ini dicintai dan bahkan kebesarannya itu
diceritakan baik lewat lisan maupun tulisan-tulisan yang tersusun rapi dengan
maksud agar dapat dijadikan sebagai pembelajaran untuk umat Islam.
b. Sejarah
Timbulnya Manaqib di Indonesia
Sejarah
timbulnya manaqib di Indonesia erat sekali kaitannya dengan sejarah tersebarnya
ajaran tasawuf di Indonesia. Sebab ajaran-ajaran tasawuf inilah timbul berbagai
macam amalan dalam Islam, seperti thoriqoh yang kemudian berkembang menjadi amalan
yang lain seperti halnya manaqib.
Dalam kajian sejarah dijelaskan bahwa sejak zaman
prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang
sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute
pelayarandan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di
daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa
kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi
yang dijual disana menarik bagi para pedagang menjadi daerah lintasan antara
Cina dan India.[13]
Umumnya daerah yang ada di pesisir pulau Jawa dan Sumatra pada abad ke-1 dan
ke-7 M menjadi pelabuhan-pelabuhan penting yang sering disinggahi oleh para
pedagang.
Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia, dan India
juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M
(abad 1H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur tengah. Menurut J.C.
van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan sejak 674 M
ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatra, yaitu di Barus, daerah penghasil
kapur barus terkenal.
Masuknya Islam melalui India ini menurut sebagian
pengamat mengakibatkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia ini bukan Islam yang
murni dari pusatnya yakni Timur Tengah, tetapi Islam yang sudah banyak di
pengaruhi paham mistik, sehingga banyak kejanggalan dalam pelaksanaannya.
Selain itu, dikatakan bahwa Islam yang berlaku di Indonesia ini tidak
sepenuhnya selaras dengan apa yang digariskan Al-Quran dan Sunnah sebab Islam
yang datang kepada masyarakat Indonesia itu bukan Islam yang langsung dari
sumbernya, tetapi berdasarkan kitab-kitab fiqih dan teologi yang telah ada
semenjak abad ketiga hijriah.[14]
Berbeda pendapat dengan di atas, S.M.N. al-Attas
berpendapat bahwa pada tahap pertama Islam di Indonesia yang menonjol adalah
aspek hukumnya bukan aspek mistik karena ia melihat bahwa kecenderungan
penafsiran Al-Quran secara mistik itu baru terjadi antara tahun 1400-1700 M.[15]
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, menurut
kenyataan nilai-nilai tradisional Hindu-Budha telah banyak mempengaruhi
substansi pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Snouck Hourgronye dalam
tulisannya De Islam in Nederlandsch Indie
yang kemudian dikutip oleh Syamsul Wahidin dan Abdurahman[16]
mengemukakan pengamatannya bahwa agama Islam yang diterima oleh masyarakat
Indonesia itu sebelumnya sudah mengalami proses penyesuaian dengan agama Hindu
sehingga dengan mudah dapat menyelaraskan dirinya dengan agama Hindu campuran
yang ada di Jawa dan Sumatera. Dengan demikian, tampak bahwa Islam di Indonesia
lebih banyak menonjol aspek mistik daripada aspek hukum sebagai corak aslinya.
Ini dapat dimaklumi mengingat peranan mistik dari masa
pra-Islam dan dari ajaran Hindu-Budha sangat besar pengaruhnya sebelum
datangnya Islam. Namun justru dengan warna Islam yang sudah bercampur dengan
mistik inilah yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia waktu itu
sehingga dapat cepat tersebar. Semua ini semua merupakan sebuah strategi yang
dilancarakan oleh para pendakwah Islam.
Nama lain dari ajaran mistik yang dibawa oleh para
pedagang yang juga sebagai pendakwah Islam yakni tasawuf. Di dalam Islam,
tasawuf merupakan salah satu dari dimensi ajaran Islam yakni esoteris. Ini
merupakan dimensi Islam yang bergerak pada ranah ruhaniah. Para sufi (pelaku
tasawuf) dalam dakwahnya tentu akan lebih menonjolkan aspek ruhani daripada
aspek lahiriyah (noramtif). Para sufi yang berdagang hingga singgah di
Indonesia, kemudian juga mendakwahkan Islam tentunya muatan nilai-nilai
dakwahnya bersifat sufistik atau mistik.
Berbeda dengan masuknya Islam ke negara-negara di
bagian dunia lainnya yakni dengan kekuatan militer, masuknya Islam ke Indonesia
itu dengan cara damai disertai dengan jiwa toleransi dan saling menghargai
antara penyebar dan pemeluk agama baru
dengan penganut-penganut agama lain (Hindu-Budha).[17]
Tersebarnya
ajaran tasawuf di Indonesia tercatat sejak masuknya ajaran Islam di negeri ini.
Ketika para pedagang-pedagang muslim mengislamkan orang-orang Indonesia, tidak
hanya dengan menggunakan pendekatan bisnis akan tetapi juga menggunakan
pendekatan tasawuf.[18]
Karena tasawuf mempunyai sifat spesifik yang sudah diterima oleh masyarakat
yang bukan Islam kepada lingkungannya dan memang terbukti bahwa tersebarnya ajaran
Islam di seluruh Indonesia oleh sebagian besar jasa para sufi baik yang
tergabung dalam thoriqoh maupun yang lepas dari thoriqoh.
Tokoh-tokoh yang
menyebarkan Islam itu dalam setiap dakwahnya selalu mengikut sertakan
paham-paham tasawufnya sebagaimana para sufi, seperti Hamzah Fansuri, Abdurrauf
Singkel, Nuruddin ar-Raniri, Samsuddin Sumatrani sangat berjasa dalam
perkembangan Islam di Sumatera. Dan di Jawa tersebarnya Islam dipimpin oleh
para wali sembilan yang juga tergolong sebagai sufi. para wali sembilan
tersebut sering diistilahkan dengan wali
songo. Para wali songo sangat ahli dalam menentukan taktik dan
stretegi ketika menyebarkan dakwahnya. Pendekatan tasawuf yang dipilih oleh wali songo sebagai sarana untuk
mengislamkan masyarakat Jawa. Hal itu dilakukan karena diketahui bahwa penduduk
Jawa tersebut dilatarbelakangi oleh kepercayaan agama Hindu dan Budha yang inti
ajarannya adalah kehidupan mistik. Kesamaan dimensi mistik inilah yang kemudian
menjadikan perjalanan dakwa Islam oleh para wali
songo ini dapat berjalan lancar. Dan memang kenyataannya demikian akhirnya
para wali memperkenalkan ajaran Islam pada masyarakat yang beragama Hindu dan
Budha, maka mereka banyak yang tertarik untuk menganutnya. Meskipun ketika itu
mereka mengamalkan ajaran Islam masih sering di campurbaurkan dengan ajaran
yang pernah mereka anut sebelumnya.[19]
Para ulama Jawa
mendapatkan sebutan wali songo karena
dianggap sebagai penyebar agama Islam terpenting. Mereka giat sekali menyiarkan
Islam dan mengajarkann pokok-pokok ajaran Islam. Para ulama ini mempunyai
keistimewaan yang lebih tinggi dibanding mereka yang masih memeluk agama lain.
Keistimewaan tersebut terletak pada pada segi kekeramatan. Kekeramatan ulama
merupakan hal yang istimewa bagi masyarakat, disamping itu juga mempunyai
kekuatan batin yang lebih, mempunyai ilmu yang tinggi, terlebih lagi dalam
menyiarkan Islam selalu menggabungkan dengan kehidupan kerohanian di dalam
Islam.
Demikian halnya
dengan timbulnya manaqib yang sudah menjadi tradisi yang terus berkembang
ditengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia, terutama di Jawa tidak lepas
dari peranan ulama atau wali yang menyebarkan Islam. Dalam permulaan awal
penyebaran Islam terutama di Jawa para ulama Islam yang dipimpin oleh wali songo telah mengajarkan kepada
masyarakat Islam tentang ilmu thoroqoh, manaqib dan amalan-amalan lain yang
selaras dengan itu. Praktek-praktek tersebut ternyata berjalan dan berkembang
terus sampai sekarang bahkan oleh masyarakat Islam hal itu dijadikan sebagai
sarana dakwah Islamiyyah.[20]
Dari perkembangan sejarah penyebaran
agama Islam ini maka wajar sekali pada masa itu juga berkembang pesat
amalan-amalan tersebut. sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
timbulnya manaqib di Indonesia ini adalah sejak para ulama Islam yang dipimpin
oleh para sufi mengajarkan Islam di Indonesia.
c. Manaqib Dalam Islam
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya
bahwa manaqib adalah cerita-cerita mengenai kekeramatan para wali yang biasanya
dapat didengar melalui juru kunci makam, pada keluarga dan muridnya, ata dibaca
dalam sejarah-sejarah hidupnya.
Sejak zaman dahulu, baik dimasa sebelum Nabi Muhammad
SAW lahir maupun sesudah wafatnya, manaqib sudah ada dan diterangkan di dalam
Al-Quran. Seperti dapat dilihat bahwa dalam Al-Quran telah diceritakan dengan
jelas adanya manaqib Maryam, manaqib Dzulqarnain, manaqib Ashabul Kahfi dan
lain-lain. Demikian pula setelah Nabi wafat ada manaqib Abu Bakar, manaqib Umar
bin Khattab, manaqib Ali bin Abi Thalib, manaqib Hamzah, manaqib Abi Sa’id, manaqib at-Tijani, manaqib Syekh Abdul Qadir
al-Jilani dan sebagainya.
Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
ôs)s9ur $uZù=yör& Wxßâ `ÏiB y7Î=ö7s% Oßg÷YÏB `¨B $oYóÁ|Ás% y7øn=tã Nßg÷YÏBur `¨B öN©9 óÈÝÁø)tR øn=tã 3
Artinya:
“dan Sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara
mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang
tidak Kami ceritakan kepadamu.”[21]
Artinya:
“Dan
semua kisah dari rasul-rasul
Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu;
dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan
peringatan bagi orang-orang yang beriman.”[22]
Dari ayat-ayat diatas mengandung pengertian bahwa, sejarah
para nabi dan para auliya’ banyak pula yang tidak disebutkan di dalam Al-Quran.
Ini secara tidak langsung kita dianjurkan oleh Allah untuk mencari atau
meneliti sejarah-sejarah tersebut, baik dari Hadist Nabi maupun yang bersumber
lain yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Tujuan daripada penyelenggaraan aktivitas manaqib
adalah untuk mencintai dan menghormati keluarga dan keturunan Nabi SAW,
mencintai para orang sholeh dan auliya’, mencari berkah dan safaat dari Syekh
Abdul Qadir al-Jilani, bertawassul dengan Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan
melaksanakan nadzar karena Allah semata bukan karena maksiat.
Tradisi membaca manaqib tersebut biasanya dilakukan
oleh masyarakat yang berfaham teologi Ahlussunah wal Jama’ah, khususnya kaum
Nahdliyin (NU) dan biasanya dibaca ketika ada hajatan khusus, seperti majelis
tahlil, lamaran, akad nikah, walimat al-‘arusy, walimat al-hamli (7 bulan masa
kehamilan), walimat al-tazmiyah (pemberian nama dan potong rambut), haul (satu
tahun meninggalnya seseorang), dan juga termasuk miladiyyah (ulang tahun
kelahiran) seseorang atau bahkan sebuah institusi (pondok pesantren).
Banyak sekali manfaat, keberkahan dan hikmah serta
kebaikan-kebaikan yang terdapat didalamya, bahkan manqib akan menarik perhatian
orang-orang yang mendengarkannya, menguatkan dan mengokohkan hati para
jamaahnya serta akan membangkitkan semangat orang yang telah sampai dan
disampaikan bersimpuh kehadirat Allah SWT.
Kalau berfikir secara jernih dan objektif, mau
mengambil pelajaran dan berfikir panjang, niscaya kita akan mendapatkan sesuatu
yang banyak, besar dan agung yang tercakup dan terkandung di dalam Al-Quran,
yakni cerita-cerita para nabi dan rasul, umat-umat yang telah lalu baik umat
yang beriman, taat, sholeh, kafir, syirik, munafik, menentang atau yang
melakukan dosa-dosa besar.
[4] J. Suyuti
Pulungan, “Manakib,” Ensiklopedi Islam, Vol.
4, ed. Nina Armando, et. al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 264.
[5] Zainur Rofiq
al-Shadiqi, Biografi Syekh Abdul Qadir
al-Jilani , (Jombang: Darul Hikmah, 2011), 41.
[6] Ibid,. 40.
[7] Anding Mujahidin, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, (Jakarta:
Zaman, 2011), 16.
[8] Syekh Muhammad Yahya
al-Tadafi, Mahkota Para Auliya: Syekh
Abdul Qadir al-Jilani, Penerjemah Kasyful Anwar, (Jakarta: Prenada Media:
2003), 339.
[9] Zainur
Rofiq al-Shadiqi, Biografi Syekh Abdul
Qadir al-Jilani , (Jombang: Darul Hikmah, 2011), 42-43.
[11] Syekh
Abdul Qadir al-Jilani, Jangan Abaikan
Syariat: Adab-AdabPerjalan Spiritual, terj. Tatang Wahyudin, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2007), 50.
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Rajawali Perss, 2011), 191.
[14] Ajid Tohir, Perkemabangan Peradaban di Kawasan Dunia
Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 292.
[15] Ibid., 292.
[16] Syamsul Wahidin dan
Abdurahman, Perkembangan Ringkas Hukum
Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Presindo, 1984), 290.
[17] Roeslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Antar Kota, 1983), 26-27.
[20] Imron Abu Umar, Kitab Manaqib Tidak Merusak Aqidah
Islamiyyah, (Kudus: Menara Kudus: 1989), 11.
[21] QS. Al-Mukmin: 78.
[22] QS. Hud: 120