Rabu, 03 Juni 2015

Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani



a.       Pengartian Manaqib
Pengertian manaqib menurut bahasa adalah kisah kekeramatan para wali.[1] Sementara menurut istilah, manaqib adalah cerita-cerita mengenai kekeramatan para wali yang biasanya dapat didengar pada juru kunci makam, pada keluarga dan muridnya, atau dibaca dalam sejarah-sejarah hidupnya.[2]
Manaqib secara leksikal al-Manaqib berarti kebaikan sifat dan sesuatu yang mengandung berkah. Dalam dunia tarekat, manaqib adalah catatan riwayat hidup Syekh tarekat yang memaparkan kisah ajaib dan hagiografis (sanjungan) dengan menyertakan ikhtisar hikayat, legenda, kekeramatan, dan nasihatnya. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat yang dirangkum dari cerita para murid, orang dekat, keluarga, dan sahabatnya.
Yang dimaksud dengan manaqib secara istilah adalah membaca kisah tentang orang-orang sholeh, seperti kisah Nabi atau auliya’ (para kekasih Allah). Dalam tradisinya, kisah-kisah tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa yang sangat indah dengan susunan kalimatnya yang benar-benar indah.
Rounded Rectangle: 21Untuk lebih jelasnya lagi manaqib adalah sesuatu yang diketahui dan dikenal pada diri seseorang berupa perilaku dan perbuatan yang terpuji disisi Allah SWT, sifat-sifat yang manis lagi menarik, pembawaan dan etika yang baik lagi indah, suci lagi luhur, kesempurnaan-kesempurnaan yang tinggi lagi agung, serta karomah-karomah yang agung di sisi Allah SWT.[3]
Manaqib tentang Syekh Abdul Qadir al-Jilani cukup banyak, antara lain sebagai berikut. 1) bahjat al-Asrar, yang ditulis oleh asy-Syattanawi (w. 713 H/ 1313 M), merupakan biografi tertua dan terbaik tentang Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang penuh dengan kisah keajaiban sang wali dan menjadi rujukan penulis berikutnya. 2) Khulasah al-Mafakhir, yang ditulis oleh al-Yafi’i (w. 768 H/ 1367 M) sebagai apologinya tentang Syekh Abdul Qadir, memuat 200 kisah legenda tentang kesalehan tokohnya dan sekitar 40 kisah mistik lainnya. Naskah ini di dalam bahasa Jawa dikenal sebagai hikayah Abdul Qadir al-Jilani yang hanya memuat 100 kisah, termasuk dalam 79 tembang. 3) Khalaid al-Jawahir karya al-Tadifi. Penyusunannya bersifat historis yang dimulai dari pembahasan kehidupan, keturunan dan lingkungan wali dan kisah ilustratif. 4) Natijah at-Tahqiq oleh Abdullah Muhammad ad-Dilai (w. 1136 H/ 1724 M) memuat deskripsi kehidupan Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan ucapannya yang menunjukkan. Kebesaran sang wali. 5) an-Nur al-Burhani fi Tarjamah al-Lujaini ad-Dani fi Manaqib Sayyid Abdul Qadir al-Jilani oleh Abu Luthfi al-Hakim Muslih bin Abdurahman al-Maraqi, memuat legenda dan kisah ajaib Syekh Abdul Qadir al-Jilani. 6) Lubab al-Ma’ani fi Tarjamah lujain ad-Dani fi Manaqib Sayyidi asy Syekh Abdul Qadir oleh Abu Muhammad Salih Mustamir al-Hajian al-Juwani memuat kisah kehidupan dan kekeramatan Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Kitab Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani telah dikaji secara luas oleh para sarjana muslim dan Barat, seperti: az-Zahabi, Ibnu Hajar al-Asqolani, Poerbatjaraka, Walther Braune, Snouck Hurgronje, dan Drewes. Manakib Syekh Abdul Qadir menjelaskan bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jilani masih keturunan Nabi Muhammad SAW melalui putrinya Fatimah. Ibunya bernama Fatimah binti Syekh Abdullah as-Sauma’i, seorang tokoh yang terkenal dan dimuliakan karena perbuatan kebajikannya. Dijelaskan pula di samping seorang tokoh sufi, wali, pendiri tarekat, Abdul Qadir al-Jilani juga dikenal sebagai Muhyiddin (yang menghidupkan agama kembali). Syekh Abdul Qadir menguasai berbagai macam ilmu, seperti tafsir, hadis, fikih, ushul, nahwu dan sharaf.[4]
Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang nama lengkapnya Abu Muhammad Abdul Qadir Jilani bin Abi Sholih Janki Dausat bin Abdillah bin Yahya bin Muhammad bin Daud bin Musa ats-Tsani bin Abdillah ats-Tsani bin Musa al-Jun bin Abdillah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bi Ali bin Abi Tholib adalah seorang guru sufi yang sempurna dan waspada serta arif, yang telah sampai pada cita-citanya, mempunyai kedudukan tinggi lagi mulia, pendirian yang kuat dan ketetapan yang mantab, berbudi pekerti yang luhur dan kesempurnaan yang megah, dan juga seorang wali yang dekat dengan Allah SWT.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah seorang yang mempunyai hubungan darah atau garis keturunan langsung bersambung sampai Rasulullah. Beliau dilahirkan pada hari Senin saat terbitnya fajar pada tanggal 1 Ramdhan 470 H atau 1077M.[5] di desa Jailan (bisa juga disebut Jilan, Kailan, Kilan, atau al-Jil).[6] Nama desa itu kemudian dinisbatkan kepada nama akhir beliau yakni al-Jailani ataupun al-Jilani. Letak desa ini berada di kota terpencil yakni Tabaristan yang kini masuk wilayah Iran. Sedangkan untuk tahun kelahira beliau yakni tahun 470 H.[7] ini berdasarkan ucapan beliau kepada putranya (Abdul Razaq) bahwa baliau berusia 18 tahun ketika tiba di Baghdad, bertepatan dengan wafatnya ulama terkemuka yakni al-Tamimi pada tahun 488 H.[8]
Keistimewaan Syekh Abdul Qadiral-Jilani Nampak sejak beliau baru lahir, tepatnya pada tanggal 1 Ramadhan. Hal ini dikarenakan sejak masih bayi ia ikut puasa dengan tidak menetek kepada ibunya pada siang hari. Ini berdasarkan penuturan Sayyidah Fatimah (ibunda Syekh Abdul Qadir al-Jilani). Dalam kisah ini, sang ibu menuturkan: “Semenjak aku melahirkan anakkku, ia tidak pernah menetek disiang bulan Ramadhan.” Dan pernah suatu ketika, lantaran hari berawan mendung, orang-orang bingung karena tidak bisa melihat matahari guna menetukan telah masuknya waktu berbuka puasa. Mereka menanyakan pada Sayyidah Fatimah akan perihal ini, karena mereka tahu bahwasanya bayi dari Sayyidah Fatimah tidak pernah menetek di siang bulan Ramadhan. Dan ketika itu pula mereka mendapatkan jawaban, bahwasannya sang bayi (Abdul Qadir kecil) sudah menetek. Hal ini menunjukkan telah masuk waktu berbuka puasa.[9]
Syekh Abdul Qadir al-Jilani bukanlah sosok yang mudah putus asa ataupun selalu berpangku tangan. Namun beliau merupakan sosok yang mempunyai semangat belajar dan rasa keingintahuan yang menggebu-gebu. Akhirnya, beliau mempunyai tekad yang bulat untuk memenuhi segala keinginannya tersebut. Hal ini terjadi ketika beliau mengetahui bahwasanya menuntut ilmu adalah wajib hukumnya. Maka beliau pun memutuskan untuk menimba ilmu di Baghdad pada tahun 488 H. usia beliau ketika itu sekitar 18 tahun.[10]
Periode Syekh Abdul Qadir al-Jilani selama 37 tahun menetap di Baghdad, tepatnya pada periode lima Khalifah dari pemerintahan dinasti Abbasiyyah. Pertama kali masuk di Baghdad kunci kekhalifahan dipegang oleh al-Mustadhir Biamrillah, lalu Abul Abbas (w. 512H) setelah itu kursi kekhalfahan diduduki oleh al-Mustarsyid , lalu ar-Rasyid, kemudian al-Muqtafi Liamrilah dan selanjutnya kursi kekhalifahan diduduki oleh al-Mustanjid Billah. Pada periode itulah kehidupan Syekh Abdul Qadir disibukkan denga berbagai aktivitas rohani seperti penyucian jiwa. Hingga tahun 512H, yakni pada usia yang ke 51 tahun tak pernah memikirkan pernikahan. Bahkan menurutnya hal itu merupakan penghambat dalam upaya aktivitas penyucian rohani atau jiwa. Namun demikian Syekh Abdul Qadir al-Jilani tak sampai meninggalkan sunnah RAsul tersebut. Sehingga pada usia lanjutpun menikah dan memiliki empat istri. Dari keempat istrinya itulah melahirkan empat puluh sembilan anak.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani memperoleh ilmu yang cukup banyak di Baghdad berkat ketulusan dan kesungguhannya. Beliau belajar ilmu fiqh kepada ulama besar dizamannya, misalnya Abdul Wafa bin Agil Muhammad bin Hasan al-Baqilani, Abul Hasan Muhammad bin al-Qadhi, Abul Khattab al-Kalawazani. Belajar ilmu sastra kapada Abu Zakariyah al-Tirbrizi dan belajar ilmu thoriqoh atau tasawuf kepada Abul Khoir Hammad bin Muslim ad-Dabbas hingga memperoleh ijabah tinggi dari al-Qadli Abu Said al-Muhkrami.
Selama belajar di Baghdad Syekh Abdul Qadir al-Jilani selalu hidup dalam keadaan prihatin dan menahan derita dengan tabah. Berkat kejujuran dan keikhlasannya, sehingga ia cepat menerima dan menguasai ilmu dari para gurunya. Dan ia telah berhasil menyusun tiga buah kitab yang diberi judul; Futuhul Ghaib, Fathurrabbani, Qosyidiyah al-Ghausiyah.
Disamping seorang ahli hukum dan sastrawan, beliau juga dikenal sebagai tokoh yang kharismatik, yaitu tokoh spiritual muslim yang mempunyai pengaruh besar baik pada masanya hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan tunduknya seorang khalifah pada masanya, pujian tokoh pada masanya hingga masa sesudahnya, penamaan lembaga tarekat yang dinisbahkan kepada namanya, serta kultus masyarakat. Pengaruh tersebut disebabkan oleh antara lain, karena Syekh Abdul Qadir al-Jilani mampunya nasab yang bersambung hingga Rasulullah SAW, kedalaman spiritual dan karomah yang dimilikinya, serta kepercayaan masyarakat terhadap berkah yang bisa diperolehnya.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani juga sebagai orang yang tekun dalam berdakwah, bermujahadah dan mengajar orang-orang. Tugas-tugasnya ini beliau laksanakan hingga menjelang wafat. beliau wafat pada tanggal 10 Rabi’ul Akhir tahun 561 H/ 1168 M. dalam usia 91 tahun. Beliau di makamkan di Bab al-Azaj, Baghdad. [11]Maka cita-cita luhur Syekh Abdul Qadir al-Jilani setelah wafatnya ini diteruskan oleh para muridnya yang senantiasa  setia terhadap dakwah Islamiyyah. Mereka terdiri dari para ilmuwan dakwah dan ilmuwan-ilmuwan yang ahli dalam bidang pengajaran. Peran mereka dalam pemeliharaan ajaran-ajaran Islam sangat besar sekali, seperti hidupnya kembali api keimanan, agitasi dalam tugas berdakwah dan berjihad. Bersaman dengan itu semua telah tumbuh pula manusia-manusia yang berpotensi tinggi untuk menyebarkan Islam ke negeri-negeri yang belum pernah terjamah oleh para tentara Islam atau yang belum pernah bernaung dibawah hukum Islam. Oleh karena itu maka tersebarlah Islam kebagian benua Afrika, Indonesia, Jazirah Hindia bagian dalam, Cina dan Hinduistan.
Komunitas sufi memandang Syekh Abdul Qadir al-Jilani sebagai Shultonul Auliya’ (Raja para wali), sedangkan di Barat dikenal sebagai Sulthan of The Saints (Raja orang-orang suci). Nama beliau akan tetap selalu harum sepanjang zaman karena ilmunya, amaliyahnya, dan karomah-karomahnya.[12] Sehingga tidaklah mengherankan jika seantero dunia Islam, tanpa terkecuali Indonesia beredar ajaran-ajaran beliau yang tertuang dalam manqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang berisi biografi, karomah-karomah dan ajaran-ajaran beliau. Dan manaqib beliau ini sering dibaca oleh kalangan muslim, khususnya lagi oleh para penganut jamaah tarekat Qadiriyyah.
Dari beberapa uraian diatas, dapatlah disumpulkan bahwa; Syekh Abdul Qadir al-Jilani adalah seorang diantara sederatan orang-orang yang berpengaruh dalam dunia Islam. Beliau adalah seorang mujahid yang paling tidak menyukai dan menolak kehidupan mewah sehingga melupakan Allah dn perkara lain yang tidak ada didalam ajaran Islam. Dan beliau benar-benar seorang ulama besar yang sudah tak asing lagi bagi dunia tasawuf khususnya dan dunia Islam pada umunya. Jadi sudah selayaknya pribadi yang besar ini dicintai dan bahkan kebesarannya itu diceritakan baik lewat lisan maupun tulisan-tulisan yang tersusun rapi dengan maksud agar dapat dijadikan sebagai pembelajaran untuk umat Islam.
b.      Sejarah Timbulnya Manaqib di Indonesia
Sejarah timbulnya manaqib di Indonesia erat sekali kaitannya dengan sejarah tersebarnya ajaran tasawuf di Indonesia. Sebab ajaran-ajaran tasawuf inilah timbul berbagai macam amalan dalam Islam, seperti thoriqoh yang kemudian berkembang menjadi amalan yang lain seperti halnya manaqib.
Dalam kajian sejarah dijelaskan bahwa sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayarandan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang menjadi daerah lintasan antara Cina dan India.[13] Umumnya daerah yang ada di pesisir pulau Jawa dan Sumatra pada abad ke-1 dan ke-7 M menjadi pelabuhan-pelabuhan penting yang sering disinggahi oleh para pedagang.
Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abad 1H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur tengah. Menurut J.C. van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan sejak 674 M ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatra, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur barus terkenal.
Masuknya Islam melalui India ini menurut sebagian pengamat mengakibatkan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia ini bukan Islam yang murni dari pusatnya yakni Timur Tengah, tetapi Islam yang sudah banyak di pengaruhi paham mistik, sehingga banyak kejanggalan dalam pelaksanaannya. Selain itu, dikatakan bahwa Islam yang berlaku di Indonesia ini tidak sepenuhnya selaras dengan apa yang digariskan Al-Quran dan Sunnah sebab Islam yang datang kepada masyarakat Indonesia itu bukan Islam yang langsung dari sumbernya, tetapi berdasarkan kitab-kitab fiqih dan teologi yang telah ada semenjak abad ketiga hijriah.[14]
Berbeda pendapat dengan di atas, S.M.N. al-Attas berpendapat bahwa pada tahap pertama Islam di Indonesia yang menonjol adalah aspek hukumnya bukan aspek mistik karena ia melihat bahwa kecenderungan penafsiran Al-Quran secara mistik itu baru terjadi antara tahun 1400-1700 M.[15]
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, menurut kenyataan nilai-nilai tradisional Hindu-Budha telah banyak mempengaruhi substansi pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Snouck Hourgronye dalam tulisannya De Islam in Nederlandsch Indie yang kemudian dikutip oleh Syamsul Wahidin dan Abdurahman[16] mengemukakan pengamatannya bahwa agama Islam yang diterima oleh masyarakat Indonesia itu sebelumnya sudah mengalami proses penyesuaian dengan agama Hindu sehingga dengan mudah dapat menyelaraskan dirinya dengan agama Hindu campuran yang ada di Jawa dan Sumatera. Dengan demikian, tampak bahwa Islam di Indonesia lebih banyak menonjol aspek mistik daripada aspek hukum sebagai corak aslinya.
Ini dapat dimaklumi mengingat peranan mistik dari masa pra-Islam dan dari ajaran Hindu-Budha sangat besar pengaruhnya sebelum datangnya Islam. Namun justru dengan warna Islam yang sudah bercampur dengan mistik inilah yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia waktu itu sehingga dapat cepat tersebar. Semua ini semua merupakan sebuah strategi yang dilancarakan oleh para pendakwah Islam.
Nama lain dari ajaran mistik yang dibawa oleh para pedagang yang juga sebagai pendakwah Islam yakni tasawuf. Di dalam Islam, tasawuf merupakan salah satu dari dimensi ajaran Islam yakni esoteris. Ini merupakan dimensi Islam yang bergerak pada ranah ruhaniah. Para sufi (pelaku tasawuf) dalam dakwahnya tentu akan lebih menonjolkan aspek ruhani daripada aspek lahiriyah (noramtif). Para sufi yang berdagang hingga singgah di Indonesia, kemudian juga mendakwahkan Islam tentunya muatan nilai-nilai dakwahnya bersifat sufistik atau mistik.
Berbeda dengan masuknya Islam ke negara-negara di bagian dunia lainnya yakni dengan kekuatan militer, masuknya Islam ke Indonesia itu dengan cara damai disertai dengan jiwa toleransi dan saling menghargai antara penyebar  dan pemeluk agama baru dengan penganut-penganut agama lain (Hindu-Budha).[17]
Tersebarnya ajaran tasawuf di Indonesia tercatat sejak masuknya ajaran Islam di negeri ini. Ketika para pedagang-pedagang muslim mengislamkan orang-orang Indonesia, tidak hanya dengan menggunakan pendekatan bisnis akan tetapi juga menggunakan pendekatan tasawuf.[18] Karena tasawuf mempunyai sifat spesifik yang sudah diterima oleh masyarakat yang bukan Islam kepada lingkungannya dan memang terbukti bahwa tersebarnya ajaran Islam di seluruh Indonesia oleh sebagian besar jasa para sufi baik yang tergabung dalam thoriqoh maupun yang lepas dari thoriqoh.
Tokoh-tokoh yang menyebarkan Islam itu dalam setiap dakwahnya selalu mengikut sertakan paham-paham tasawufnya sebagaimana para sufi, seperti Hamzah Fansuri, Abdurrauf Singkel, Nuruddin ar-Raniri, Samsuddin Sumatrani sangat berjasa dalam perkembangan Islam di Sumatera. Dan di Jawa tersebarnya Islam dipimpin oleh para wali sembilan yang juga tergolong sebagai sufi. para wali sembilan tersebut sering diistilahkan dengan wali songo. Para wali songo  sangat ahli dalam menentukan taktik dan stretegi ketika menyebarkan dakwahnya. Pendekatan tasawuf yang dipilih oleh wali songo sebagai sarana untuk mengislamkan masyarakat Jawa. Hal itu dilakukan karena diketahui bahwa penduduk Jawa tersebut dilatarbelakangi oleh kepercayaan agama Hindu dan Budha yang inti ajarannya adalah kehidupan mistik. Kesamaan dimensi mistik inilah yang kemudian menjadikan perjalanan dakwa Islam oleh para wali songo ini dapat berjalan lancar. Dan memang kenyataannya demikian akhirnya para wali memperkenalkan ajaran Islam pada masyarakat yang beragama Hindu dan Budha, maka mereka banyak yang tertarik untuk menganutnya. Meskipun ketika itu mereka mengamalkan ajaran Islam masih sering di campurbaurkan dengan ajaran yang pernah mereka anut sebelumnya.[19]
Para ulama Jawa mendapatkan sebutan wali songo karena dianggap sebagai penyebar agama Islam terpenting. Mereka giat sekali menyiarkan Islam dan mengajarkann pokok-pokok ajaran Islam. Para ulama ini mempunyai keistimewaan yang lebih tinggi dibanding mereka yang masih memeluk agama lain. Keistimewaan tersebut terletak pada pada segi kekeramatan. Kekeramatan ulama merupakan hal yang istimewa bagi masyarakat, disamping itu juga mempunyai kekuatan batin yang lebih, mempunyai ilmu yang tinggi, terlebih lagi dalam menyiarkan Islam selalu menggabungkan dengan kehidupan kerohanian di dalam Islam.
Demikian halnya dengan timbulnya manaqib yang sudah menjadi tradisi yang terus berkembang ditengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia, terutama di Jawa tidak lepas dari peranan ulama atau wali yang menyebarkan Islam. Dalam permulaan awal penyebaran Islam terutama di Jawa para ulama Islam yang dipimpin oleh wali songo telah mengajarkan kepada masyarakat Islam tentang ilmu thoroqoh, manaqib dan amalan-amalan lain yang selaras dengan itu. Praktek-praktek tersebut ternyata berjalan dan berkembang terus sampai sekarang bahkan oleh masyarakat Islam hal itu dijadikan sebagai sarana dakwah Islamiyyah.[20]
Dari perkembangan sejarah penyebaran agama Islam ini maka wajar sekali pada masa itu juga berkembang pesat amalan-amalan tersebut. sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa timbulnya manaqib di Indonesia ini adalah sejak para ulama Islam yang dipimpin oleh para sufi mengajarkan Islam di Indonesia.
c.       Manaqib Dalam Islam
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa manaqib adalah cerita-cerita mengenai kekeramatan para wali yang biasanya dapat didengar melalui juru kunci makam, pada keluarga dan muridnya, ata dibaca dalam sejarah-sejarah hidupnya.
Sejak zaman dahulu, baik dimasa sebelum Nabi Muhammad SAW lahir maupun sesudah wafatnya, manaqib sudah ada dan diterangkan di dalam Al-Quran. Seperti dapat dilihat bahwa dalam Al-Quran telah diceritakan dengan jelas adanya manaqib Maryam, manaqib Dzulqarnain, manaqib Ashabul Kahfi dan lain-lain. Demikian pula setelah Nabi wafat ada manaqib Abu Bakar, manaqib Umar bin Khattab, manaqib Ali bin Abi Thalib, manaqib Hamzah, manaqib Abi Sa’id,  manaqib at-Tijani, manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
ôs)s9ur $uZù=yör& Wxßâ `ÏiB y7Î=ö7s% Oßg÷YÏB `¨B $oYóÁ|Ás% y7øn=tã Nßg÷YÏBur `¨B öN©9 óÈÝÁø)tR šøn=tã 3    
Artinya: “dan Sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.”[21]
Artinya: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.[22]
Artinya: “Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.[23]
Dari ayat-ayat diatas mengandung pengertian bahwa, sejarah para nabi dan para auliya’ banyak pula yang tidak disebutkan di dalam Al-Quran. Ini secara tidak langsung kita dianjurkan oleh Allah untuk mencari atau meneliti sejarah-sejarah tersebut, baik dari Hadist Nabi maupun yang bersumber lain yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Tujuan daripada penyelenggaraan aktivitas manaqib adalah untuk mencintai dan menghormati keluarga dan keturunan Nabi SAW, mencintai para orang sholeh dan auliya’, mencari berkah dan safaat dari Syekh Abdul Qadir al-Jilani, bertawassul dengan Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan melaksanakan nadzar karena Allah semata bukan karena maksiat.
Tradisi membaca manaqib tersebut biasanya dilakukan oleh masyarakat yang berfaham teologi Ahlussunah wal Jama’ah, khususnya kaum Nahdliyin (NU) dan biasanya dibaca ketika ada hajatan khusus, seperti majelis tahlil, lamaran, akad nikah, walimat al-‘arusy, walimat al-hamli (7 bulan masa kehamilan), walimat al-tazmiyah (pemberian nama dan potong rambut), haul (satu tahun meninggalnya seseorang), dan juga termasuk miladiyyah (ulang tahun kelahiran) seseorang atau bahkan sebuah institusi (pondok pesantren).
Banyak sekali manfaat, keberkahan dan hikmah serta kebaikan-kebaikan yang terdapat didalamya, bahkan manqib akan menarik perhatian orang-orang yang mendengarkannya, menguatkan dan mengokohkan hati para jamaahnya serta akan membangkitkan semangat orang yang telah sampai dan disampaikan bersimpuh kehadirat Allah SWT.
Kalau berfikir secara jernih dan objektif, mau mengambil pelajaran dan berfikir panjang, niscaya kita akan mendapatkan sesuatu yang banyak, besar dan agung yang tercakup dan terkandung di dalam Al-Quran, yakni cerita-cerita para nabi dan rasul, umat-umat yang telah lalu baik umat yang beriman, taat, sholeh, kafir, syirik, munafik, menentang atau yang melakukan dosa-dosa besar.


[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 533.
[2] Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: Romadloni, 1990), 355.
[3] Achmad Asrori al-Ishaqi, Apakah Manaqib itu?, (Surabaya: al-Wava, 2010), 9.
[4] J. Suyuti Pulungan, “Manakib,” Ensiklopedi Islam, Vol. 4, ed. Nina Armando, et. al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 264.
[5] Zainur Rofiq al-Shadiqi, Biografi Syekh Abdul Qadir al-Jilani , (Jombang: Darul Hikmah, 2011), 41.
[6] Ibid,. 40.
[7] Anding Mujahidin, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, (Jakarta: Zaman, 2011), 16.
[8] Syekh Muhammad Yahya al-Tadafi, Mahkota Para Auliya: Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Penerjemah Kasyful Anwar, (Jakarta: Prenada Media: 2003), 339.
[9] Zainur Rofiq al-Shadiqi, Biografi Syekh Abdul Qadir al-Jilani , (Jombang: Darul Hikmah, 2011), 42-43.
[10] Ibid,. 43.
[11] Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Jangan Abaikan Syariat: Adab-AdabPerjalan Spiritual, terj. Tatang Wahyudin, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), 50.
[12] Abdul Mujib, Tokoh-Tokoh Sufi, (Bandung: CV. Bintang Pelajar), 45.
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Perss, 2011), 191.
[14] Ajid Tohir, Perkemabangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 292.
[15] Ibid., 292.
[16] Syamsul Wahidin dan Abdurahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Presindo, 1984), 290.
[17] Roeslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983), 26-27.
[18] Mahjudin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), 93.
[19] Ibid, 94.
[20] Imron Abu Umar, Kitab Manaqib Tidak Merusak Aqidah Islamiyyah, (Kudus: Menara Kudus: 1989), 11.
[21] QS. Al-Mukmin: 78.
[22] QS. Hud: 120
[23] QS. Al-A’raf: 176

Translate