Selasa, 27 November 2012

Nashiruddin al-Thusi


NASHIRUDDIN THUSI
Seorang intelektual dan filosuf terkenal di masa Hulagu Khan Orang yang berjasa membangun observatorium sebagai upaya penelitian astronomi, lembaga yang disejajarkan dengan baitul hikmah di Baghdad dan di Mesir. Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibnu Muhammad al-Hasan Nashir al-Din al-Thusi al-Muhaqqiq lahir di Thus Khurasan. Ia ahli matematika, astronomi, optik, geografi, filsafat, musik, dan mineralogi. Membangun observatirium di masa Hulagu Khan. Di timur ia dikenal sebagai filosuf dan di barat di kenal sebagai ahli matematika dan astronom. Sebagai seorang filosof tentunya ia mempunyai beberapa hal pemikiran yang mendalam. Diantara pemikiran-pemikirannya yakni antara lain :

1.                  Metafisika
Metafisikanya terdiri atas dua bagian:
a.         Ilmu ketuhanan ( ‘Ilmi Ilahi), mencakup persoalan ketuhanan, akal, jiwa dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti kenabian (Nubuwwat), Kepemimpinan spiritual (Imamat), dan hari pengadilan (Qiyamat).
b.        Filsafat pertama (Falsafah ula), meliputi alam semesta dan hal-hal yng berkaitan dengan alam semesta. Termasuk dalam hal ini ilmu pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian atau kemungkinan, esensi atau eksistensi, kekekalan atau ketidakkekalan.
Bagi Thusi, Tuhan tidak perlu dibuktikan secara logis. Eksistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan Di dalam Keseluruhan-Nya, termasuk membuktikan eksistensi-Nya.

2.                  Jiwa
Menurut Thusi, jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Keberadaan jiwa tidak memerlukan pembuktian. Jiwa mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alt tubuh. Berbagai ragam yang diterima oleh jiwa, seperti persoalan logika, fisika, matematika dan lain-lain tidak terjadi campurbaur, dan dapat di ingat dengan jelas. Tetu hal ini tidak mungkin terdapat pada suatu substansi materil yang kepastiannya terbatas. Karena itu jiwa adalah substansi immaterial.
Pembagian jiwa sebagaimana dipahami para filosof sebelumnya kepada jiwa vegetatif, hewani, dan manusia, oleh Thusi ditambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah di antara jiwa hewani dan jiwa manusiawi. Jiwa imanjinatif ini berkaitan dengan persepsi-persepsi disatu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional di pihak lain, sehingga jika ia disatukan dengan jiwa hewani maka ia akan menjadi bergantung kepadanya dan hancur bersamanya, tetapi jika ia dihubungkan dengan jiwa manusiawi , ia jadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya.
Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal, yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua macam: akal teoritis dan akal praktis. Akal teoritis merupakan suatu potensialitas yang perwujudannya mencakup empat tingkatan, yakni akal material, akal malaikat, akal aktif, dan akal perolehan. Pada tingkatan akal perolehan setiap bentuk konseptual yang terdapat di dalam jiwa menjadi nyata terlihat, seperti di dalam cermin. Adapun akal praktis, menyangkut dengan perbuatan-perbuatan sengaja dan tidak sengaja. Karena itu potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan moral, kerumahtanggaan dan politis.

3.                  Kosmologi
Dalam hal kosmologi, Thusi mendasarkan pemikiranya pada teori emansi al-Farabi. Herarki penciptaan demikian dalam periodisitas makhluk dengan keinginan Allah Maha Tinggi mencapai puncak dan kesempurnaannya pada derajat manusia  dan kemampuannya menerima kesempurnaan tersebut yang terdiri dari pemilikan sarana mental dan kemungkinan fisik yang mencadi ciri watak manusia. Nyatalah dari sini bahwa meskipun mineral, tumbuhan, dan hewan yang berbicara mendahului manusia dalam penciptaan, tujuan akhir semua (pemunculan eksistensi) ini adalah manusia, sesuai sesuai dengan ucapan: pada mulanya datang pikiran atau tindakan.
Berkenaan dengan perbedaan dalam bentuk berbagai kategori makhluk dapt dijelaskan sebagai dikarenakan keinginan Allah Maha Tinggi adalah untuk membuat semua yang potensial pada jiwa individual menjadi aktual dengan pengaruh langit-langit dan bintang-bintang. Tapi langit selalu berputar dalam gerak yang cepat. Karena itu perbedaan dari bintang-bintang dapat menghasilkan bentuk yang berbeda pada kategori dasar wujud. 
4.                  Moral
Dalam bukunya Akhlaqi Nasiri yang mana karya tersebut dengan menyetir al-farabi dan ibn Sina, karya tersebut juga merupakan hasil mengkritik pendapat Ibn Miskawaih yang menurutnya kurang lengkap dalam lingkup moralitas, di situ Thusi mengklasifikasikan pengetahuan kedalam spekulasi dan praktek. Pengetahuan spekulasi di bagi juga kedalam metafisika dan teologi, matematika, ilmu-ilmu alam. Sedangkan praktis termasuk etika, ekonomi domestik, dan politik.
Sebagai bentuk moral baik dan buruk tidak luput dari perhatian Thusi. Kebaikan datang dari Tuhan, sedangkan yang buruk lahir secara kebetulan dalam perjalanan yang baik. Kabaikan ibarat gandum yang ditanam dan disiram sehingga tumbuh dengan baik dan akhirnya dapat dipanen. Sedangkan keburukan, seperti busa yang muncul diatas permukaan air sebagai akibat gerakan air bukan berasal dari air. Jadi menurut Thusi tidak ada prisnip buruk di dunia ini, tetapi sebagai sesuatu kebetulan yang diperlukan atau hasil dari sesuatu hal. Keburukan itu sendiri juga dapat muncul sebagai akibat dari kebodohan atau cacat fisik, atau kekurangan sesuatu.
Menurut Thusi, bahwa kebaikan utama adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan lewat kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh. Athusi mendukung pemikiran Plato sebagai dikembangkan ibn Miskawaih bahwa kebaikan-kebaikan mengacu kepada kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan yang berasal dari tiga kekutan jiwa yakni, akal, kemarahan, dan hasrat. Thusi juga menempatkan kebajikan diatas keadilan, dan cinta sebagai sumber alami kesatuan, diatas kebajikan.
Tentang penyakit jiwa, bagi Thusi merupakan sebuah penyimpangan jiwa dari keseimbangan , baik dari segi jumlah, maupun darin segi mutu yang dinamakan Thusi sebagai perbuatan yang tidak wajar. Jadi penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yaitu : keberlebihan, kekurangan , dan ketakwajaran akal. Atas dasar itulah Thusi menggolongkan penyakit-penyakit fatal akal teoris menjadi kebingungan, kebodohan sederhana, dan kebodohan fatal. Kebingungan disebabkan oleh ketidak mampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan adanya bukti yang saling bertentangan atau kontroversian. Kebodohan sederhana disebabkan oleh kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan fatal ialah disebabkan kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal , tetapi ia merasa mengetahui hal itu. Menurut Thusi penyakit ini sulit untuk disembuhkan.
Bagi Thusi, masyarakat berperan menentukan kehidupan moral, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, bahkan kesempurnaanya terletak pada tindakan yang bersifat sosial. Lebih luas lagi dalam masalah moral, Thusi memasukkan urusan rumah tangga kedalamnya. Thusi mendefinisikan rumah sebagai hubungan istimewa natara suami, isteri, anaknya. Tujuan ilmu rumah tangga adalah mengembangkan sistem disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, sosial, mental. Atau dengan kata lain melalui rumah tangga aspek moralitas Thusi dapat tercapai dan terrealisasi.

5.                  Politik
Pemikiran politik al Tusi didasarkan  atas pandangan tentang kemanusiaan sebagai jalan tengah antara tingkatan intelektual dan spiritual yang lebih tinggi dengan tingkatan lahir yang fana. Ini mirip dengan pemikiran Al Farabi, bahwa setiap orang mampu mencapai kebahagiaan abadi, tergantung pada upaya pribadinya masing-masing. Pandangan tentang kebebasan manusia ini berjalan seiring dengan pandangan keluhuran fitrah manusia. Menurutnya manusia diciptakanoleh Tuhan sebagai makhluk paling mulia, akan tetapi kesempurnaanya menjadi tanggung jwab penalarannya sendiri yang merdeka. Mengenai kecenderungan moral manusia, al Tusi  menyatakan bahwa sebagian manusia menurut fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”.
Thusi menggunakan istilah siyasah al-mudum untuk ilmu kemasyarakatan dan ilmu pemerintahan. Manurut Thusi, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang mana membutuhkan makluk lain untuk melangsungkan kehidupannya. Kata tamaddun berasal dari kata madinah (kota) yang berarti kehidupan bersama manusia yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda dengan tujuan saling membantu dalam memenuhi kebutuhan manusia. Keinginan setiap manusia berbeda-beda dan begitu juga dengan dorongan yang membuat manusia mau bekerjasama. Setiap manusia mempunyai kepentingan masing-masing dalam hal kerjasama. Atas dasar itulah diperlukan pemerintah yang adil untuk melindungi hak, dan menjadi penengah kedua setelah hukum-hukum Tuhan. Pemerintah dapat membuat kebijakan yang sesuai dengan situasi dan kondisi, tanpa manyalahi prinsip-prinsip hukum Tuhan.
Menurut Thusi, suatu negara ditunjang oleh empat kelompok, yaitu ilmuan, prajurit, petani, dan pedagang. Tugas raja yang utama adalah mengukuhkan negara dengan meningkatkan persatuan antara keempat keolmpok tersebut di samping menumbuhkan rasa cinta di antara kawan-kawannya dan kebencian diantara musuh-musuhnya. Untuk itu seoarang raja harus memiliki latar belakang :
·      Keluarga terhormat
·      Bercita-cita tinggi
·      Adil dalam menilai
·      Teguh pendirian
·      Kukuh dalam menghadapi kesulitan
·      Lapang dada
·      Memiliki sahabat-sahabat yang berbudi baik.
Berkaitan juga dengan politik, Thusi juga membicarakan tentang etika perang. Kendati pun Thusi membenarkan muslihat lewat diplomasi dalam menghadapi  musuh, tetapi ia tidak menyatujui adanya pengkhianatan. Jika tak terelakkan terjadinya pertentangan, maka serangan harus dilakukan atas nama Tuhan dan dengan persetujuan seluryh anggota pasukan. Setelah kemenangan diperoleh tidak dibenarkan membunuh tawanan.

6.                  Kenabian
Menurut Thusi, manusia mempunyai kebebasan bertindak dan kelak akan dibangkitkan kembali tubuhnya. Pendapat ini membawa konsekwensi beragammya minat serta dimungkinkanya terjadi kekacauan dalam kehidupan sosial. Untuk itu diperlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu Tuhan di luar batas jangkauan indera, mak Ia mengutus para Nabi untuk menuntun manusia. Jadi kehadiran nabi sangat dibutuhkan manusia, termasuk dalam hal ini kepemimpinan spiritual untuk melanjutkan aturan suci yang diterapkan para nabi.
  
  

Rabu, 07 November 2012

Syah Waliyullah al-Dihlawi


BIOGRAFI SHAH WALIYULLAH AL-DIHLAWI
Nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad bin Abd al-Rahim bin Wajih al-Din al-Syahid bin Mu’azam bin Mansur bin Aḥmad bin Maḥmud bin Qiwam al-Din al-Dihlawi. Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 4 Syawal 1114 H atau 21 Februari 1703 M. di Phulat, sebuah kota kecil di dekat Delhi[1]. Ulama yang hidup di abad 18 ini merupakan pengikut sirhindi yang melanjutkan pembaharuan dalam situasi lingkungan di bawah kemunduran imperium Mughal. Kemunduran ini sendiri terjadi sepeninggal Raja Awrangzeb, sementara pengganti berikutnya lebih lemah dan tak bisa meneruskan estafet kepemimpinan dengan baik. Ketika kematian Awrangzeb ini terjadi, al-Dihlawi  berusia empat tahun. Adapun transformasi ide dan gerakannya dilakukan setelah ia melakukan pengembaraan intelektual dari Makkah, kota pusat kaum pembaharu. Ia menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Nabi dan keharusan memurnikan Islam (purifikasi) dari pemujaan pada para wali lantaran bertentangan tidak konsisten terhadap ajaran Nabi[2].
Waliyullah al-Dihlawi merupakan anak dari isteri kedua ayahnya. Pada saat menikah dengan ibunya, ayahnya (Shah Abd al-Rahim) berusia 60 tahun. Walaupun menerima kecaman dari beberapa orang sebab menikah di usia senja, akan tetapi ia mantap untuk melakukannya. Hal ini dikarenakan ia mendapat isyarat mistik bahwa akan mendapatkan seorang anak yang mencapai derajat mistik yang lebih tinggi. Kenyataanya, Shah Abd al-Raḥim masih hidup sampai al-Dihlawi berusia 17 tahun dan malah mendapatkan seorang anak laki-laki lain yang ia namai Ahlullah. Diceritakan pula, ibu al-Dihlawi adalah anak dari murid ayahnya sendiri yang bernama Syekh Muhammad.
Dari sisi genealogisnya (nasab), al-Dihlawi hidup dalam keluarga yang mempunyai silsilah keturunan dengan atribut sosial yang tinggi di masyarakatnya. Kakeknya (Syaikh Wajih al-Din) merupakan perwira tinggi dalam tentara kaisar Jahangir dan pembantu Awrangzeb[3] (1658-1707 M) dalam perang perebutan tahta. Sementara ayahnya, Syaikh Abd al-Raḥim (w. 1719 M./1131 H.), adalah seorang yang mempunyai keilmuan yang sangat tinggi, sufi yang membantu penyusunan kitab Fatawa-I-Alamghiri, sebuah buku tentang hukum Islam. Selain itu, ia juga menjadi ustadz di Madrasahnya sendiri “al-Rahimiyah”, sebuah Madrasah yang mencetak banyak regenerasi mujaddid (pembaharu), termasuk Shah Waliyullah al-Dihlawi. Apalagi jika nasabnya diruntut ke atas maka akan sampai pada Khalifah Umar bin Khattab dari jalur Abdillah[4]. Sementara dari jalur ibunya, maka ia akan sampai pada Musa al-Kazim, Imam ketujuh dari golongan Syiah Isna Asyariyah. Dengan demikian ia termasuk keturunan Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah[5].
Tatkala ia berusia 15 tahun, ayahnya menerima al-Dihlawi sebagai murid dalam tariqat Naqsyabandiyah dan ia mulai menjalankan pelatihan dan amalan sufi. Pada umur itu pula al-Dihlawi menyelesaikan sekolahnya dalam bidang agama Islam dan diizinkan oleh ayahnya untuk mengajar teman-temannya[6].
Menurut Sayyid Sābiq, perjalanan intelektual Shāh Waliyullah al-Dihlawi paling tidak terbagi menjadi tiga tahap. Pertama, menghafalkan al-Qur’an dan ia sanggup melakukannya pada usia tujuh tahun. Kedua, mempelajari kajian-kajian agama, seperti linguistik (lugah), tafsir, hadis, fikih, ushul, tasawwuf, aqidah, mantiq, kedokteran, filsafat, dan matematika. Ia memulai belajar pada usia sepuluh tahun dan dapat menyelesaikannya dalam usia 15 tahun. Ketiga, perjalanan menunaikan ibadah haji sekaligus mengembangkan karir intelektual ke Hijaz selama kurang dari dua tahun (14 bulan). Ia pergi ke Hijaz pada tahun 1143 H./1731 M. (selang beberapa waktu setelah ayahnya meninggal) dan kembali ke tanah kelahirannya, India pada tahun 1145 H./1733 M. Sehingga bisa dikatakan perjalanannya dilaksanakan pada umur 29 tahun.
Masa tinggalnya di Hijaz banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran al-Dihlawi dan kehidupan selanjutnya. Di tempat itu, ia belajar hadis, fikih, ajaran sufi pada sejumlah guru yang istimewa di sana, seperti Syekh Abu Thahir al-Kurdi al-Madani, Syekh Wafd Allah al-Makki al-Maliki, dan Syekh Taj al-Din al-Qala’i al-Hanafi[7]. Semua guru-gurunya memperkenalkan kepada al-Dihlawi kecenderungan meningkatnya kosmopolitanisme dalam ilmu hadis yang mulai muncul di sana pada abad ke-18 sebagai perpaduan dari tradisi kajian dan penilaian dari Afrika Barat, Suria, dan India[8]. Di Hijaz ini pula, ia banyak memperoleh pengalaman mistik, seperti mimpi bertemu Nabi Muhammad. Ia mengajukan beberapa pertanyaan pada Nabi dan dijawab dengan lugas. Kemudian diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Nabi tersebut[9].
Barangkali dari pengembaraan intelektual di Hijaz itulah al-Dihlawi terinspirasi ide pembaharuan dari kaum pembaharu yang gencar-gencarnya dicuatkan pada waktu itu. Sehingga tak ayal, slogan “Back to Qur’an and Sunna” dan menghilangkan taqlid buta menjadi inti pemikirannya[10]. Dalam hal ini, ia berpendapat bahwa orang Islam harus berpegang teguh pada al-Qur’an, sunnah, dan aqidah, serta amalan mayoritas sahabat dan tabi’in.  
            Menurut al-Dihlawi pula, “Back to Qur’an and Sunna” menjadi solusi atas problematika yang menghadang umat Islam di India, semisal para elit pemerintahan yang gemar hidup berfoya-foya, pemberontakan-pemberontakan dari dalam, serangan-serangan dari luar, bahkan tingkah laku ulama yang jumud dan para sufi yang cenderung menyia-nyiakan ketentuan syari’at.
Shah Waliyullah al-Dihlawi memiliki dua orang istri. Isteri kedua dinikahinya beberapa saat setelah kepulangannya dari Hijaz. Dari isteri pertamanya,  ia mendapatkan seorang putra  bernama Shah Muhammad (1730-1793) dan seorang putri bernama Ammatul Aziz. Sedangkan dari isteri keduanya, al-Dihlawi memperoleh empat orang putra (Shah Abdul Aziz Muhaddith Dehlavi, Shah Rafi’ al-Din,  Shah Abdul Qadir, dan  Shah Abdul Ghani) dan seorang putri. Melalui merekalah, terutama putranya, Shah Abdul Aziz, Shah Rafi’ al Din, serta cucunya, Shah Ismail Syahid ajaran beliau  tersebar ke sebagian besar wilayah India[11]. Ia wafat pada hari sabtu sore, tanggal 29 Muharram 1176 H. atau 20 Agustus 1762 dalam usia 59 tahun di tempat kelahirannya[12].
Karya-karya yang telah diukir oleh Ulama multidisipliner ini sangat banyak. Zafrul Islam Khan menyebutkan bahwa kitab karangan Shah Waliyullah al-Dihlawi berjumlah 100 buah yang mencakup berbagai varian ilmu, mulai al-Qur’an, hadis, tarikh, fikih, usul fikih, tasawwuf, filsafat, dan politik. Hasil karya tersebut ditulis dalam bahasa Arab maupun persia dan kebanyakan dibuat setelah rihlah ilmiyah selama 14 bulan di Hijaz, termasuk Ḥujjah Allah al-Bāliġah yang memuat metodologi pemahaman hadis al-Dihlawī. J.M.S. Baljon menyebutkan ada dua karya al-Dihlawi yang dikarang sebelum keberangkatannya ke Hijaz. Dua karya tersebut adalah al-Qasida al-Lamiya (lirik puisi, bahasa arab) dan al-Qawl al-Jamil fi Bayan Sawa’ al-Sabil (kualifikasi-kualifikasi sufi, bahasa arab)[13].


[1] Munawir, Tipologi Pembagian Hadis Risālah dan Ģairu Risālah; Studi Pemikiran Hadis al-Dahlawi dalam  Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 10, No. 1 Januari 2009, hlm. 114.
[2] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 27.
[3] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 33-34
[4] Ibid, hlm. 27-28
[5] Lihat J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī, 1703-1762 (Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 1.               
[6] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 29
[7] Harun nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 20
[8] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 29
[9] Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeven, 1993), hlm. 255
[10] Nur Khalik Ridwan, Perselingkuhan Wahabi dengan Agama, Bisnis, dan Kekuasaan (Yogyakarta: Tanah Air, 2009), hlm. 4-5
[11] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 2003), hlm. 297.
[12] Harun Nasution, Ensiklopedia Islam jilid 3 (Jakarta: Andi Utama, 1993), hlm. 1146
[13] J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī, 1703-1762 (Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 8

Translate