NASHIRUDDIN THUSI
Seorang intelektual dan filosuf
terkenal di masa Hulagu Khan Orang yang berjasa membangun observatorium sebagai
upaya penelitian astronomi, lembaga yang disejajarkan dengan baitul hikmah di
Baghdad dan di Mesir. Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibnu Muhammad
al-Hasan Nashir al-Din al-Thusi al-Muhaqqiq lahir di Thus Khurasan. Ia ahli
matematika, astronomi, optik, geografi, filsafat, musik, dan mineralogi.
Membangun observatirium di masa Hulagu Khan. Di timur ia dikenal sebagai
filosuf dan di barat di kenal sebagai ahli matematika dan astronom. Sebagai
seorang filosof tentunya ia mempunyai beberapa hal pemikiran yang mendalam.
Diantara pemikiran-pemikirannya yakni antara lain :
1.
Metafisika
Metafisikanya terdiri atas dua bagian:
a.
Ilmu
ketuhanan ( ‘Ilmi Ilahi), mencakup persoalan ketuhanan, akal, jiwa dan hal-hal
yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti kenabian (Nubuwwat), Kepemimpinan
spiritual (Imamat), dan hari pengadilan (Qiyamat).
b.
Filsafat
pertama (Falsafah ula), meliputi alam semesta dan hal-hal yng berkaitan dengan
alam semesta. Termasuk dalam hal ini ilmu pengetahuan tentang ketunggalan dan
kemajemukan, kepastian atau kemungkinan, esensi atau eksistensi, kekekalan atau
ketidakkekalan.
Bagi Thusi, Tuhan tidak perlu
dibuktikan secara logis. Eksistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai
postulat, bukannya dibuktikan. Mustahil bagi manusia yang terbatas untuk
memahami Tuhan Di dalam Keseluruhan-Nya, termasuk membuktikan eksistensi-Nya.
2.
Jiwa
Menurut
Thusi, jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa
sendiri. Keberadaan jiwa tidak memerlukan pembuktian. Jiwa mengontrol tubuh
melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat dirasa
lewat alat-alt tubuh. Berbagai ragam yang diterima oleh jiwa, seperti persoalan
logika, fisika, matematika dan lain-lain tidak terjadi campurbaur, dan dapat di
ingat dengan jelas. Tetu hal ini tidak mungkin terdapat pada suatu substansi
materil yang kepastiannya terbatas. Karena itu jiwa adalah substansi
immaterial.
Pembagian
jiwa sebagaimana dipahami para filosof sebelumnya kepada jiwa vegetatif,
hewani, dan manusia, oleh Thusi ditambahkan jiwa imajinatif yang menempati
posisi tengah di antara jiwa hewani dan jiwa manusiawi. Jiwa imanjinatif ini
berkaitan dengan persepsi-persepsi disatu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi
rasional di pihak lain, sehingga jika ia disatukan dengan jiwa hewani maka ia
akan menjadi bergantung kepadanya dan hancur bersamanya, tetapi jika ia
dihubungkan dengan jiwa manusiawi , ia jadi terlepas dari anggota-anggota tubuh
dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya.
Jiwa
manusiawi ditandai dengan adanya akal, yang menerima pengetahuan dari akal
pertama. Akal itu ada dua macam: akal teoritis dan akal praktis. Akal teoritis
merupakan suatu potensialitas yang perwujudannya mencakup empat tingkatan,
yakni akal material, akal malaikat, akal aktif, dan akal perolehan. Pada
tingkatan akal perolehan setiap bentuk konseptual yang terdapat di dalam jiwa
menjadi nyata terlihat, seperti di dalam cermin. Adapun akal praktis,
menyangkut dengan perbuatan-perbuatan sengaja dan tidak sengaja. Karena itu
potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan moral, kerumahtanggaan dan politis.
3.
Kosmologi
Dalam
hal kosmologi, Thusi mendasarkan pemikiranya pada teori emansi al-Farabi.
Herarki penciptaan demikian dalam periodisitas makhluk dengan keinginan Allah
Maha Tinggi mencapai puncak dan kesempurnaannya pada derajat manusia dan kemampuannya menerima kesempurnaan
tersebut yang terdiri dari pemilikan sarana mental dan kemungkinan fisik yang
mencadi ciri watak manusia. Nyatalah dari sini bahwa meskipun mineral,
tumbuhan, dan hewan yang berbicara mendahului manusia dalam penciptaan, tujuan
akhir semua (pemunculan eksistensi) ini adalah manusia, sesuai sesuai dengan
ucapan: pada mulanya datang pikiran atau tindakan.
Berkenaan
dengan perbedaan dalam bentuk berbagai kategori makhluk dapt dijelaskan sebagai
dikarenakan keinginan Allah Maha Tinggi adalah untuk membuat semua yang
potensial pada jiwa individual menjadi aktual dengan pengaruh langit-langit dan
bintang-bintang. Tapi langit selalu berputar dalam gerak yang cepat. Karena itu
perbedaan dari bintang-bintang dapat menghasilkan bentuk yang berbeda pada
kategori dasar wujud.
4.
Moral
Dalam
bukunya Akhlaqi Nasiri yang mana karya tersebut dengan menyetir al-farabi dan
ibn Sina, karya tersebut juga merupakan hasil mengkritik pendapat Ibn Miskawaih
yang menurutnya kurang lengkap dalam lingkup moralitas, di situ Thusi
mengklasifikasikan pengetahuan kedalam spekulasi dan praktek. Pengetahuan
spekulasi di bagi juga kedalam metafisika dan teologi, matematika, ilmu-ilmu
alam. Sedangkan praktis termasuk etika, ekonomi domestik, dan politik.
Sebagai
bentuk moral baik dan buruk tidak luput dari perhatian Thusi. Kebaikan datang
dari Tuhan, sedangkan yang buruk lahir secara kebetulan dalam perjalanan yang
baik. Kabaikan ibarat gandum yang ditanam dan disiram sehingga tumbuh dengan
baik dan akhirnya dapat dipanen. Sedangkan keburukan, seperti busa yang muncul
diatas permukaan air sebagai akibat gerakan air bukan berasal dari air. Jadi
menurut Thusi tidak ada prisnip buruk di dunia ini, tetapi sebagai sesuatu
kebetulan yang diperlukan atau hasil dari sesuatu hal. Keburukan itu sendiri
juga dapat muncul sebagai akibat dari kebodohan atau cacat fisik, atau
kekurangan sesuatu.
Menurut
Thusi, bahwa kebaikan utama adalah tujuan moral utama, yang ditentukan oleh
tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan lewat
kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh. Athusi mendukung pemikiran Plato
sebagai dikembangkan ibn Miskawaih bahwa kebaikan-kebaikan mengacu kepada
kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan yang berasal dari tiga
kekutan jiwa yakni, akal, kemarahan, dan hasrat. Thusi juga menempatkan
kebajikan diatas keadilan, dan cinta sebagai sumber alami kesatuan, diatas
kebajikan.
Tentang
penyakit jiwa, bagi Thusi merupakan sebuah penyimpangan jiwa dari keseimbangan
, baik dari segi jumlah, maupun darin segi mutu yang dinamakan Thusi sebagai
perbuatan yang tidak wajar. Jadi penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu
dari tiga sebab, yaitu : keberlebihan, kekurangan , dan ketakwajaran akal. Atas
dasar itulah Thusi menggolongkan penyakit-penyakit fatal akal teoris menjadi
kebingungan, kebodohan sederhana, dan kebodohan fatal. Kebingungan
disebabkan oleh ketidak mampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan
kesalahan dikarenakan adanya bukti yang saling bertentangan atau kontroversian.
Kebodohan sederhana disebabkan oleh kekurangtahuan manusia akan sesuatu
hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan fatal ialah
disebabkan kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal , tetapi ia merasa
mengetahui hal itu. Menurut Thusi penyakit ini sulit untuk disembuhkan.
Bagi
Thusi, masyarakat berperan menentukan kehidupan moral, sebab pada dasarnya
manusia adalah makhluk sosial, bahkan kesempurnaanya terletak pada tindakan
yang bersifat sosial. Lebih luas lagi dalam masalah moral, Thusi memasukkan
urusan rumah tangga kedalamnya. Thusi mendefinisikan rumah sebagai hubungan
istimewa natara suami, isteri, anaknya. Tujuan ilmu rumah tangga adalah
mengembangkan sistem disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik,
sosial, mental. Atau dengan kata lain melalui rumah tangga aspek moralitas
Thusi dapat tercapai dan terrealisasi.
5.
Politik
Pemikiran
politik al Tusi didasarkan atas pandangan tentang kemanusiaan sebagai
jalan tengah antara tingkatan intelektual dan spiritual yang lebih tinggi
dengan tingkatan lahir yang fana. Ini mirip dengan pemikiran Al Farabi, bahwa
setiap orang mampu mencapai kebahagiaan abadi, tergantung pada upaya pribadinya
masing-masing. Pandangan tentang kebebasan manusia ini berjalan seiring dengan
pandangan keluhuran fitrah manusia. Menurutnya manusia diciptakanoleh Tuhan
sebagai makhluk paling mulia, akan tetapi kesempurnaanya menjadi tanggung jwab
penalarannya sendiri yang merdeka. Mengenai kecenderungan moral manusia,
al Tusi menyatakan bahwa sebagian manusia menurut fitrahnya baik,
sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”.
Thusi
menggunakan istilah siyasah al-mudum untuk ilmu kemasyarakatan dan ilmu
pemerintahan. Manurut Thusi, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang
mana membutuhkan makluk lain untuk melangsungkan kehidupannya. Kata tamaddun
berasal dari kata madinah (kota) yang berarti kehidupan bersama
manusia yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda dengan tujuan saling membantu
dalam memenuhi kebutuhan manusia. Keinginan setiap manusia berbeda-beda dan
begitu juga dengan dorongan yang membuat manusia mau bekerjasama. Setiap
manusia mempunyai kepentingan masing-masing dalam hal kerjasama. Atas dasar
itulah diperlukan pemerintah yang adil untuk melindungi hak, dan menjadi
penengah kedua setelah hukum-hukum Tuhan. Pemerintah dapat membuat kebijakan
yang sesuai dengan situasi dan kondisi, tanpa manyalahi prinsip-prinsip hukum
Tuhan.
Menurut
Thusi, suatu negara ditunjang oleh empat kelompok, yaitu ilmuan, prajurit,
petani, dan pedagang. Tugas raja yang utama adalah mengukuhkan negara dengan
meningkatkan persatuan antara keempat keolmpok tersebut di samping menumbuhkan
rasa cinta di antara kawan-kawannya dan kebencian diantara musuh-musuhnya.
Untuk itu seoarang raja harus memiliki latar belakang :
· Keluarga terhormat
· Bercita-cita tinggi
· Adil dalam menilai
· Teguh pendirian
· Kukuh dalam menghadapi kesulitan
· Lapang dada
· Memiliki sahabat-sahabat yang berbudi baik.
Berkaitan juga dengan politik, Thusi
juga membicarakan tentang etika perang. Kendati pun Thusi membenarkan muslihat
lewat diplomasi dalam menghadapi musuh,
tetapi ia tidak menyatujui adanya pengkhianatan. Jika tak terelakkan terjadinya
pertentangan, maka serangan harus dilakukan atas nama Tuhan dan dengan
persetujuan seluryh anggota pasukan. Setelah kemenangan diperoleh tidak
dibenarkan membunuh tawanan.
6.
Kenabian
Menurut
Thusi, manusia mempunyai kebebasan bertindak dan kelak akan dibangkitkan
kembali tubuhnya. Pendapat ini membawa konsekwensi beragammya minat serta
dimungkinkanya terjadi kekacauan dalam kehidupan sosial. Untuk itu diperlukan
aturan suci dari Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu Tuhan
di luar batas jangkauan indera, mak Ia mengutus para Nabi untuk menuntun
manusia. Jadi kehadiran nabi sangat dibutuhkan manusia, termasuk dalam hal ini
kepemimpinan spiritual untuk melanjutkan aturan suci yang diterapkan para nabi.