MUHAMMAD ABDUH
Muhammad Abduh, nama lengkapnya
adalah Muhammad Abduh Ibn hasan Khairullah, lahir di Mahallat Nashr, Ghairbah,
Mesir pada tahun 1265 H/ 1849 M. Ayahnya bernama Abdullah Khairullah, seorang
warga Mesir keturunan Turki, sementara ibunya berasal dari suku Arab, yang
nasabnya menurut sejarahwan sampai kepada Umar ibn Khathab.
Pendidikan pertamannya didapat dari
keluarganya. Ayahnya mengajarinya membaca, menulis dan menghafalkan Alquran.
Setelah belajar langsung dari ayahnya, pada usia 14 tahun Abduh dikirim ke
Thanta sebuah lembaga pendidikan milik al-Azhar. Disini Abduh mempelajari
bahasa Arab, Alquran, Fiqih. Selama kurang lebih dua tahun belajar di Thanta,
Abduh merasa kurang puas sehingga ia meninggalkan Thanta.
Kepergiannya dari Thanta, ia pergi
kerumah pamannya selama tiga bulan. Pada tahun 1865 M. Di usia yang muda belia
ia menikah. Akan tetapi, nasib calon menjadi orang besar telah merobahnya. Baru
empat puluh hari menikah, abduh disuruh ayahnya untuk kembali ke Thanta untuk
melanjutkan studinya. Setelah belajar di Thanta pada tahun 1866 M, ia
meneruskan studinya ke al-Azhar. Di perguruan ini ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang
dikaguminya, di antaranya: Pertama, Syaikh Hasan ath-Thawi yang mengajarkan
kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain
sebagainya. Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada
waktu itu; Kedua, Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak mencurahkan
perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa
melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.
Ketika Jamaluddin al-Afghani
tiba di Mesir, tahun 1871, kehadirannya disambut oleh Muhammad Abduh dengan
menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan olehnya. Hubungan ini
mengalihkan kecenderungan Muhammad Abduh dari tasawuf dalam arti yang sempit,
sebagai bentuk tata cara berpakaian dan zikir, kepada tasawuf dalam arti yang
lain, yaitu perjuangan untuk melakukan perbaikan keadaan masyarakat, membimbing
mereka untuk maju, dan membela ajaran-ajaran Islam.
Setelah dua tahun sejak
pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat
berarti pada kepribadian Abduh dan mulailah ia menulis kitab-kitab karangannya
seperti Risalah al-’Aridat (1837), disusul kemudian dengan Hasyiah Syarah
al-Jalal ad-Diwani Lil ‘Aqaid adh-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini,
Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam
tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi), dan tasawwuf, serta
mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.
Di samping itu, Abduh juga
menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar Al-Ahram, Kairo. Melalui media
ini gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di al-Azhar yang
sebagian di antaranya menimbulkan kontroversi serta pembelaan dari Syaikh
Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, di mana ketika beliau menduduki jabatan “Syaikh
al-Azhar”, Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat tertinggi di
al-Azhar, dalam usia 28 tahun (1877 M).
Abduh dikenal sebagai
peletak dasar modernisasi dalam Islam. Ia adalah seorang figur pembaharu yang
menggerakkan kebangkitan Umat. Kiprahnya di dalam gerakan pembaharuan pemikiran
Islam berakhir ketika sang Khalik memanggilnya pada tahun 1905 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar