Orientasi Politik Masyumi
A.
Sejarah Politik Indonesia Secara Umum
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, banyak sekali ditunggangi
berbagai macam kepentingan. Dari kepentingan-kepentingan yang ada, muncullah
beberapa organisasi masa dan organisasi politik. Masyarakat sebagai warga
negara juga berhak mendirikan organisasi politik dan ikut berpartisipasi dalam
aktifitas politik. Semua bentuk aktifitas yang menurut masyarakat memiliki
keinginan berkuasa melalui organisasi politik disebut dengan partai politik. Kehidupan
politik tentunya tidak jauh dari partai politik. Partai politik lahir sebagai
wadah partisipasi masyarakat dalam perkembangan demokrasi bangsa.
Partai politik yang ada di Indonesia pada mulanya dipengaruhi oleh
sistem politik dari negara penjajah, terutama negara-negara Eropa. Bisa diambil
contoh Belanda sebagai negara penjajah yang membawa pengaruh terhadap aktifitas
berpolitik di Indonesia. Belanda menjadikan Indonesia sebagai pergerakan
kolonialnya. Sejarah partai politik di Indonesia pertama kalinya lahir dalam
masa kolonial sebagai perwujudan bangkitnya kesadaran nasional. Ada yang
bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammaddiyah. Ada yang berazaskan
agama seperti Serikat Islam dan Partai Katholik. Hingga yang berazaskan sekuler
seperti PNI dan PKI. Semua parti politik tersebut memainkan peranan penting
dalam sejarah perjalanan politik nasional.
B.
Pandangan Politik Dalam Islam
Harus dipahami secara jelas bahwa Islam bukan hanya saja sebagai
ajaran-ajaran agama yang membingungkan, melainkan jaringan dalil-dalil yang
bersesuaian secara logis dan berkaitan dengan prinsip-prinsip dasarnya. Di
antara banyaknya prinsip-prinsip dasar, selain membahas masalah moral dan
sosial, Islam juga menjelaskan konsep berpolitik.[1]
Konsep dasar politik Islam bertolak dari al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana
Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 30, yang berbunyi sebagai berikut:
30.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Surat
di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai pemimpin untuk
mengatur kehidupan bagi sesama manusia. Hal ini juga diterapkan oleh para
Rasulullah yang selain bertugas untuk menyebarkan agama Islam, beliau juga berperan
sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di bumi).
Manusia
yang diangkat menjadi khalifah dan berfungsi sebagai khalifah di
bumi diberi wewenang dan sekaligus merupakan amanat dari Allah untuk mengelola
dan memanfaatkan bumi dan alam ini menurut hukumNya yang dibawakan oleh RasulNya,
dalam rangka mengabdi dan sekaligus mengharap keridhaanNya.[2]
Bagaimanapun
juga, Tuhan adalah penguasa yang nyata. Islam menggunakan istilah “Khilafah”
yaitu “Perwakilan Tuhan” sebagai pengganti kedaulatan. Kedaulatan untuk
menguasai bumi dan mengelola bumi yang telah dijanjikan Allah kepada kaum
beriman tanpa memandang latar belakang dari mana mereka berasal.
C.
Sejarah Politik Islam di Indonesia
Satu dasawarwa 1920-1930-an, menurut Taufik Abdullah merupakan
“dasawarsa ideologi” dalam sejarah modern Indonesia. Di masa ini pulalah
berbagai jenis ideologi, yang kemudian akan berpengaruh dalam pertumbuhan
keagamaan dan dasar ideologi perjuangan, mulai diperdebatkan di kalangan kaum
pergerakan nasional.[3]
Kalangan nasionalis Islam menghendaki agar Islamlah yang dijadikan
dasar ideologi perjuangan menghadapi kolonial saat itu, sedangkan nasionalis
sekular menghendaki dasar Nasionalisme yang lepas dari Islam. Di kalangan
nasionalis sekular terdapat keyakinan bahwa pengalaman historis (sejarah) dan
kehendak hidup bersamalah yang dapat dijadikan dasar ideologi perjuangan
bangsa. Ini artinya bahwa nasionalis sekuler berpandangan bahwa ideologi yang
tepat untuk suatu negara ialah adanya persamaan ras, suku, bangsa dan bahkan
lebih dari itu juga adanya kesamaan tujuan cita-cita bangsa.
Dalam kondisi demikian, berkembangnya ideologi sekular, serta
meningkatnya peranan partai dan tokoh sekularis dalam melakukan agregasi dan
artikulasi politik, secara mudah akan menimbulkan kepekaan keagamaan dan
ideologi di kalangan umat Islam. Kenyataan ini dapat difahami mengingat
sebagian tokoh Muslim, seperti Tjokroaminoto, H.Agus Salim, Ahmad Hasan, dan
Moh. Natsir, adalah ideolog modernis universalis dan idealis. Meraka bukan saja
meyakinin akan keabadian ajaran Islam, tetapi juga keberlakuannya yang total,
asal saja manusia dibimbing oleh iman dan memenuhi fitrahnya sebagai makhluk
Allah.
Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap prinsip ideologis
antara kedua golongan nasionalis di atas telah menciptakan ketegangan di antara
mereka. Ketegangan yang paling jelas terlihat pada retaknya hubungan
tokoh-tokoh Sarekat Islam dengan tokoh-tokoh Nasionalis Sekular.
Suasana sosial politik Indonesia pada tahun-tahun
pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi
hubungan politik antara arus utama intelektual Islam dengan kelompok
nasionalis. Perdebatan di antara mereka mengenai corak hubungan antara Islam
dengan negara seperti terhenti. Paling tidak untuk sementara, kedua kelompok
ini mempunyai perbedaan ideologis. Pada saat itu, tampaknya muncul kesadaran
bahwa seluruh bangsa harus menumpahkan energi dan kemampuan untuk
mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda kembali
memasuki wilayah Indonesia.
Berangkat dari latar belakang Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, Indonesia mencoba menerapkan Islam ke dalam kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan situasi pasca-kemerdekaan yang begitu kondusif,
membuat masyarakat kehilangan kendali, kepada siapa mereka berpegang. Sampai
muncullah organisasi politik dan partai politik. Untuk menerapkan konsep
kemasyarakatan Islam di Indonesia sangatlah sulit, karena Indonesia tidak hanya
Islam, berbagai macam agama dan kepercayaan bermukin di sana.
Kesulitan menerapkan konsep itulah, yang membuat penggagas
organisasi politik membuat gebrakan dengan membentuk partai Islam. Partai yang
berfungsi sebagai pegangan dan sekaligus wadah untuk berkreasi serta ikut aktif
dalam aktifitas politik di Indonesia.
Perkembangan politik Islam di Indonesia sangat berliku. Berbagai
organisasi muncul mengatas namakan Islam sebagai penggerak organisasi, namun
belum adanya pengakuan dari masyarakat, membuat organisasi ini melemah. Untuk
menghindari kehanciran, dihimpunlah organisasi-organisasi masa tersebut ke
dalam satu wadah yang disebut dengan Masyumi.
Menyusul diserahkannya kekuasaan oleh Belanda kepada Republik Indonesia
pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai menunjukkan potensinya
yang besar dalam percaturan politik nasional. Melalui Masyumi, sebuah federasi
organisasi Islam yang belakangan dirubah menjadi partai politik bagi ummat
Islam, berhasil memobilisasi kekuatan politik yang cukup besar. Karena
perkembangan yang demikian, pada awal 1946, Sutan Sjahrir, ketua umum Partai
Sosialis Indonesia (PSI), yang tiga kali menjabat sebagai perdana menteri
semasa revolusi, memperediksikan bahwa jika pemilihan umum diselenggarakan di
tahun itu maka Masyumi yang merupakan gabungan antara kalangan muslim modernis
dan tradisionalis akan memenangkan pemilu dengan perkiraan 80 % suara.
D.
Orientasi Politik Masyumi dan Hubungan Relasional antara Agama dan
Negara
Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau yang lebih dikenal dengan
nama Masyumi adalah organisasi masa berbentuk partai politik. Dididirikan di
Yogyakarta Pada tanggal 7 nopember 1945. Masyumi lahir dari kancah Majelis
Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang pada zaman pendudukan Jepang dipaksa
membatasi peranya menjadi majelis syuro saja. Jika dilihat dari anggaran
dasarnya pada tahun 1952, Masyumi bertujuan untuk ‘terlaksanakannya ajaran dan
hukum Islam di dalam kehidupan seseorang, masyarakat, dan negara Republik
Indonesia menuju keridhoan Illahi’: menuju ‘baldatun thoyyibatun wa rubbin
ghofur’.[4]
Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi
pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan yang
signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat itu. Tujuan
didirikannya Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi
tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan
negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam
dalam urusan kenegaraan.
Anggota-anggota Masyumi, antara lain, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama’
(NU), Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al Irsyad,
Jam’iyatul Wasliyah, Al Ittihadiyah, dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).[5]
Keputusan membentuk Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam itu tidak sekedar sebagai
keputusan tokoh-tokoh tersebut, tetapi keputusan dari seluruh umat Islam
melalui utusan wakil-wakil mereka.[6]
Sebagaimana diketahui bahwa Masyumi mempunyai dua jalur badan yang
mengurusi keorganisasian; pertama, badan eksekutif yaitu bergerak dalam
basis kekuatan politik dan kedua, jalur (badan) dewan yang bergerak
dalam urusan-urusan keagamaan. [7]
Salah seorang tokoh Masyumi yang termasyur saat itu ialah Muh.
Natsir yang mana merupakan lawan ideologis dengan Soekarno. Gagasan utama dari
Soekarno mengenai negara dan agama ialah sangat erat dengan gagasan pemisahan
agama dari begara di negara Barat (Eropa), yaitu bahwa agama dapat dan harus
dipisahkan dari negara dan pemerintah, sebab agama merupakan aturan spiritual
(akhirat) dan negara adalah masalah duniawi (sekular).
Gagasan Soekarno tersebut banyak terinspirasi oleh negara-negara
barat seperti Turki, Perancis, Jerman,
dan Inggris. Selain ia terpengaruh oleh ide-ide sekulerisasi yang ada di Mesir oleh Syeikh Ali Abdur Raziq, ia juga
terpengaruh ide-ide Sekulerisasi di
Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk. Walapun demikian pemisahan agama dari negara
menurut Soekarno tidak dengan sendirinya ajaran Islam dikesampingkan, sebab
rakyat dapat memasukkan Islam kedalam politik negara melalui Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Inilah yang disebut demokrasi
Sementara bagi Natsir, agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari
negara. Ia menganggap bahwa urusan kenagaraan pada pokoknya merupakan bagian
integral rislah Islam. Dinyatakan pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah
hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis atau komunisme.
Sebagai seorang ideolog muslim kontemporer, Natsir sangat meyakini
kebenaran Islam sebagai suatu ideologi kenegaraan. Sebagai suatu ideologi,
Islam dalam pendangan Natsir mempunyai cakupan pengertian yang sangat luas,
seluas dimensi kehidupan manusia itu sendiri. segala aspek yang terdapat dalam
kehidupan dunia dan akhirat itu diatur oleh ajaran-ajaran Islam. Oleh karena
itu Islam merupakan suatu ajaran yang serba mencakup.
Pemahaman Natsir tentang bahaya sekularisme dan Islam sebagai
ideologi perlu dikemukakan dalam hubungan ini karena pemahamannya itu mempunyai
kaitan yang erat dengan pandangannya tentang masalah persatuan agama dan
negara. karena perbedaan yang cukup tajam antara agama dan negara maka hal itu
berlanjut hingga dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
yang menyebutkan bahwa Masyumi adalah partai terlarang. Hal ini tentu merugikan
Masyumi. Dalam pembentukan DPR pada periode berikutnya, Masyumi dikesampingkan,
bahkan beberapa pemimpinnya dipenjara dengan alasan yang tidak jelas.[8]
Harus diakui bahwa selalu saja ada benturan, khususnya
di tingkat horizontal, antara kelompok Islam dan nasionalis (sekular). Akan
tetapi tokoh-tokohnya tetap mampu menyeimbangkan hubungan politik yang
harmonis. Kelompok nasionalis tetap memagang kendali kepemimpinan.
Sejarah bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyumi pada
masanya sejajar dengan Partai Jama’atul Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul
Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan hal ini, dan memang dalam pendidikan
politik nasional kebesaran Masyumi seolah tertutupi oleh arus besar lain,
Nasionalisme, dan Developmentalisme. Padahal dalam masa keberadaannya, Masyumi
sangat identik dengan gerakan politik Islam yang memperjuangkan nilai-nilai
Islam dalam konteks kenegaraan.
Dalam pemilihan umum yang pertama dilaksanakan pada
tanggal 29 November 1955, Masyumi merupakan salah satu partai peserta terbesar
yang mendapatkan 50 kursi DPR dan 112 kursi dalam konstituante lembaga DPR.
Perolehan parta-partai besar lainnya adalah:
1. Partai Nasiona Indonesia (PNI)
mendapatkan 56 kursi.
2. Partai Nahdhatul Ulama (PNU) mendapatkan
45 kursi.
3. Partai Komunis Indonesia (PKI)
mendapatkan 39 kursi.
Sementara untuk kursi konstituante:
1. Partai
Nasiona Indonesia (PNI) mendapatkan 119 kursi.
2. Partai
Nahdhatul Ulama (PNU) mendapatkan 91 kursi.
3. Partai
Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan 80 kursi.
Menurut Syafi’i Ma’arif, Masyumi kendati secara ideal akan berusaha
menghimpun kekuatan dan persatuan umat Islam di bawah panji politik dan garis
kepartaiannya, namun dalam aplikasi realitas, masing-masing golongan yang
menjadi ujung tombak partai ini ternyata gagal mewujudkan kesatuan itu. Ini
terjadi lantaran masing-masing pemimpin mementingkan kekuatan golongannya.
Peran-peran kaum modernis (Muhammadiyah) diterjemahkan oleh golongan
tradisional (NU). Sementara kelompok modernis sudah merasa wajar kalau mereka
menempati posisi-posisi strategis dalam partai, terutama yang berkaitan dengan
politik.[9]
Dengan adanya ketimpangan peran inilah, pada ujung perjalanannya
Masyumi tidak bisa lagi menyatukan gerak ide kepartaian, sehingga muncullah
perbedaan-perbedaan pendapat. Pada tahun 1947 salah satu unsur Masyumi yaitu
PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), meninggalkan Masyumi dan kembali
menjadi partai independen. Begitu juga dengan NU pada tahun 1952, ia pun
meninggalkan Masyumi dan kembali menjadi jami’iyyah serta menjadi partai
politik yang berdiri sendiri. Keluarnya dua kekuatan itu, banyak sedikitnya
memberi pengaruh terhadap eksistensi Masyumi dalam menghimpun suara. Sehingga
pada saat pemilu tahun 1955, kekuatan Masyumi jadi berkurang dan NU yang
menjadi partai politik praktis otomatis berada di urutan ke tiga.[10]
E.
Keluarnya NU dari partai Masyumi
Dalam kongres NU di Purwokerto tahun 1946 diserukan agar “warga NU
membanjiri partai politik Masyumi dan diputuskan NU akan menjadi tulang
punggung Masyumi.” Perbedaan kepentingan politik antar berbagai kelompok dalam
Masyumi kemudian segera menyusul. Persatuan yang sejak awal kemerdekaan dengan
menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam tidak dapat dipertahankan
lagi. Segara saja pengaruh politik praktis berupa distribusi kekuasaan menjadi
ajang perebutan. Keputusan PSII mendirikan partai kembali partai tahun 1947 itu
setelah dibekukan jepang sebelumnya dan NU keluar dari Masyumi tahun 1952 untuk
sebagian juga dipengaruhi alasan-alasan ini, selain barangkali pertentangan
lama ketika organisasi-organisasi Islam berselisih paham pada tahun 30-an yang
muncul kembali.
Semula keterikatan NU dalam Masyumi masih dapat dipertahankan
meskipun PSII telah keluar. Akan tetapi dengan demikian peristiwa ini ibarat
menyulut api dalam sekam. Ketidakmampuan pemimpin Masyumi melakukan negosasi
dan kompromi-kompromi antara sesama kawan, mempercepat api perpecahan.
Kondisi lemahnya persatuan Islam sebenarnya sudah terjadi sejak
sebelum kemerdekaan, bahkan pada dekade-dekade sebelumya. Faktor ini tampaknya
kurang diperhatikan katika mula pertama partai Masyumi didirikan. Struktur
keanggotaan Masyumi yang mendua, terdiri atas anggota organisasi dan
perorangan, tidak memperlancar dilakukanya negosiasi untuk mengatasi berbagai
kepentingan yang timbul.[11]
Selain itu tidak kukuhnya kebijakan politik Masyumi ikut
mempengaruhi perpecahan Masyumi. Ketika pada tanggal 3 Juli 1947 dibentuk
kabinet Amir Syarifudin, Masyumi menolak ikut serta, tetapi PSII dibawah
pimpinan Arudji Kartawinata memasuki kabinet dengan menempatkan wakilnya.
Mulanya Masyumi memboikot kabinet tetapi empat bulan kemudian memasukkan
wakilnya bahkan sebagai wakil perdana menteri.[12]
Penolakan Masyumi terhadap kabinet Amir Syarifudin tampaknya tidak didasarkan
kebijakan politik yang strategis, tetapi hanya karena adanya dua kubu didalam
Masyumi, sebagian bersikap keras dan sebagian lagi bersikap lunak.[13]
NU keluar dari Masyumi diputuskan dalam kongres ke 19, April 1952
di palembang. Segera saja ucapan itu diprotes delegasi yang mewakili NU agar
ditari kembali. Keputusan itu terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi
antara lain hubungan antara pemimpin NU dengan Masyumi kurang serasi. Umumnya
politisi dan pemimpin NU terdiri atas ulama atau tenaga lain keluaran
pesantren, kalaupun ada yang berpendidikan model Barat, seperti Zainul Arifin
dan Muchammad Iljas, jumlahnya tidak banyak. Sementara sebagian kalangan
Masyumi memandang rendah lulusan pesantern, juga memandang rendah pemimpin NU.
Pada sisi lain NU merasa perkembangan organisasinya sendiri telah
mengalami kemajuan yang pesat. Banyak ulama muda lulusan pesantren yang
memperoleh kemajuan kemudian memusatkan pengembangan karir mereka dalam
politik. pertumbuhan ini memerlukan ruang gerak yang cukup luas, baik di pusat
maupun di daerah-daerah. Ruang gerak akan terbuka luas bila NU berdiri sebagai
partai politik.
Sesungguhnya perselisihan itu dapat pula dilihat dari sisi lain
yaitu perbedaan prespektif keagamaan. Menurut pernyataan NU sejak lahir tahun
1949 struktur organisasi Masyumi telah diubah sedemikian rupa sehingga Majelis
Syura bukan lagi tempat yang penting bagi ulama karena majelis itu tidak lagi
dijadikan sebagai badan legeslatif melainkan hanya sebagai badan penasehat
belakadan segala persoalan hanya dilihat dari jurusan politik saja tidak lagi
mengambil pedoman agama.
Upaya yang dilakukan oleh NU untuk mengembalikan wibawa Majelis
Syura tidak berhasil. Menurut NU dewan Pimpinan Partai Masyumi terlalu
tenggelam dalam soal-soal politik, melupakan kepentingan Isalm yang saat itu
menghadapi cobaan yang berat. Memang agak sulit peran semacam lembaga Majelis
Syura Masyumi dapat efektif seperti lembaga Syuriyah NU karena perbedaan
tradisi keduanya. Lemabaga Syuriah NU memang cukup efektif mengendalikan
organisasi NU karena akar kelahiran NU dimotori oleh ulama-ulama dann kuatnya
pengaruh pesantren di dalamya. Barangkali NU mengharapkan Majelis Syura Masyumi
dapat berfungsi seperti Syuriyah NU. Tentu hal ini sulit dilaksanakan sebab di
dalam Masyumi terdiri dari aneka ragam tradisi yang belum tentu sejalan dengan
NU.[14] Berbagai
faktor di ataslah yang menjadi penyebab NU keluar dari tubuh Masyumi.
[1]
Sayyid Abul A’la Maududi, Political
Theory of Islam, (Lahore: Islamic Publicated Limited, 1960), 17-18.
[2]
Ibid, 48.
[3]
Taufik Abdullah,Islam dan masyarakat:
Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987), 15.
[4] A.G. Pringgono, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1974), 654.
[5] Samsuri, Politik
Islam Anti Komunis, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), 3.
[6] Ibid,
10.
[7] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikirian Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1998), 231.
[8]
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam,
(Jakarta: TERAJU, 2002), 115.
[9] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1998), 230-231.
[10]
Ibid. 232.
[11]
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam
di Indonesia, (Sidoarjo: Al-maktabah, 2011), 144.
[12]
Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangan di Indonesia, (Bandung; Almaarif, 1979), 460.
[14]
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam
Di Indonesia, (Sidoarjo: Al Maktabah,2011), 149.