Minggu, 23 Juni 2013

Orientasi Politik Masyumi


Orientasi Politik Masyumi



A.       Sejarah Politik Indonesia Secara Umum
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, banyak sekali ditunggangi berbagai macam kepentingan. Dari kepentingan-kepentingan yang ada, muncullah beberapa organisasi masa dan organisasi politik. Masyarakat sebagai warga negara juga berhak mendirikan organisasi politik dan ikut berpartisipasi dalam aktifitas politik. Semua bentuk aktifitas yang menurut masyarakat memiliki keinginan berkuasa melalui organisasi politik disebut dengan partai politik. Kehidupan politik tentunya tidak jauh dari partai politik. Partai politik lahir sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam perkembangan demokrasi bangsa.
Partai politik yang ada di Indonesia pada mulanya dipengaruhi oleh sistem politik dari negara penjajah, terutama negara-negara Eropa. Bisa diambil contoh Belanda sebagai negara penjajah yang membawa pengaruh terhadap aktifitas berpolitik di Indonesia. Belanda menjadikan Indonesia sebagai pergerakan kolonialnya. Sejarah partai politik di Indonesia pertama kalinya lahir dalam masa kolonial sebagai perwujudan bangkitnya kesadaran nasional. Ada yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammaddiyah. Ada yang berazaskan agama seperti Serikat Islam dan Partai Katholik. Hingga yang berazaskan sekuler seperti PNI dan PKI. Semua parti politik tersebut memainkan peranan penting dalam sejarah perjalanan politik nasional.
B.       Pandangan Politik Dalam Islam
Harus dipahami secara jelas bahwa Islam bukan hanya saja sebagai ajaran-ajaran agama yang membingungkan, melainkan jaringan dalil-dalil yang bersesuaian secara logis dan berkaitan dengan prinsip-prinsip dasarnya. Di antara banyaknya prinsip-prinsip dasar, selain membahas masalah moral dan sosial, Islam juga menjelaskan konsep berpolitik.[1]
Konsep dasar politik Islam bertolak dari al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 30, yang berbunyi sebagai berikut:
30.  Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Surat di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai pemimpin untuk mengatur kehidupan bagi sesama manusia. Hal ini juga diterapkan oleh para Rasulullah yang selain bertugas untuk menyebarkan agama Islam, beliau juga berperan sebagai khalifah fil ardh  (pemimpin di bumi).
Manusia yang diangkat menjadi khalifah dan berfungsi sebagai khalifah di bumi diberi wewenang dan sekaligus merupakan amanat dari Allah untuk mengelola dan memanfaatkan bumi dan alam ini menurut hukumNya yang dibawakan oleh RasulNya, dalam rangka mengabdi dan sekaligus mengharap keridhaanNya.[2]
Bagaimanapun juga, Tuhan adalah penguasa yang nyata. Islam menggunakan istilah “Khilafah” yaitu “Perwakilan Tuhan” sebagai pengganti kedaulatan. Kedaulatan untuk menguasai bumi dan mengelola bumi yang telah dijanjikan Allah kepada kaum beriman tanpa memandang latar belakang dari mana mereka berasal.
C.       Sejarah Politik Islam di Indonesia
Satu dasawarwa 1920-1930-an, menurut Taufik Abdullah merupakan “dasawarsa ideologi” dalam sejarah modern Indonesia. Di masa ini pulalah berbagai jenis ideologi, yang kemudian akan berpengaruh dalam pertumbuhan keagamaan dan dasar ideologi perjuangan, mulai diperdebatkan di kalangan kaum pergerakan nasional.[3]
Kalangan nasionalis Islam menghendaki agar Islamlah yang dijadikan dasar ideologi perjuangan menghadapi kolonial saat itu, sedangkan nasionalis sekular menghendaki dasar Nasionalisme yang lepas dari Islam. Di kalangan nasionalis sekular terdapat keyakinan bahwa pengalaman historis (sejarah) dan kehendak hidup bersamalah yang dapat dijadikan dasar ideologi perjuangan bangsa. Ini artinya bahwa nasionalis sekuler berpandangan bahwa ideologi yang tepat untuk suatu negara ialah adanya persamaan ras, suku, bangsa dan bahkan lebih dari itu juga adanya kesamaan tujuan cita-cita bangsa.
Dalam kondisi demikian, berkembangnya ideologi sekular, serta meningkatnya peranan partai dan tokoh sekularis dalam melakukan agregasi dan artikulasi politik, secara mudah akan menimbulkan kepekaan keagamaan dan ideologi di kalangan umat Islam. Kenyataan ini dapat difahami mengingat sebagian tokoh Muslim, seperti Tjokroaminoto, H.Agus Salim, Ahmad Hasan, dan Moh. Natsir, adalah ideolog modernis universalis dan idealis. Meraka bukan saja meyakinin akan keabadian ajaran Islam, tetapi juga keberlakuannya yang total, asal saja manusia dibimbing oleh iman dan memenuhi fitrahnya sebagai makhluk Allah.
Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap prinsip ideologis antara kedua golongan nasionalis di atas telah menciptakan ketegangan di antara mereka. Ketegangan yang paling jelas terlihat pada retaknya hubungan tokoh-tokoh Sarekat Islam dengan tokoh-tokoh Nasionalis Sekular.
Suasana sosial politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara arus utama intelektual Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan di antara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dengan negara seperti terhenti. Paling tidak untuk sementara, kedua kelompok ini mempunyai perbedaan ideologis. Pada saat itu, tampaknya muncul kesadaran bahwa seluruh bangsa harus menumpahkan energi dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda kembali memasuki wilayah Indonesia.
Berangkat dari latar belakang Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia mencoba menerapkan Islam ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan situasi pasca-kemerdekaan yang begitu kondusif, membuat masyarakat kehilangan kendali, kepada siapa mereka berpegang. Sampai muncullah organisasi politik dan partai politik. Untuk menerapkan konsep kemasyarakatan Islam di Indonesia sangatlah sulit, karena Indonesia tidak hanya Islam, berbagai macam agama dan kepercayaan bermukin di sana.
Kesulitan menerapkan konsep itulah, yang membuat penggagas organisasi politik membuat gebrakan dengan membentuk partai Islam. Partai yang berfungsi sebagai pegangan dan sekaligus wadah untuk berkreasi serta ikut aktif dalam aktifitas politik di Indonesia.
Perkembangan politik Islam di Indonesia sangat berliku. Berbagai organisasi muncul mengatas namakan Islam sebagai penggerak organisasi, namun belum adanya pengakuan dari masyarakat, membuat organisasi ini melemah. Untuk menghindari kehanciran, dihimpunlah organisasi-organisasi masa tersebut ke dalam satu wadah yang disebut dengan Masyumi.
Menyusul diserahkannya kekuasaan oleh Belanda kepada Republik Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai menunjukkan potensinya yang besar dalam percaturan politik nasional. Melalui Masyumi, sebuah federasi organisasi Islam yang belakangan dirubah menjadi partai politik bagi ummat Islam, berhasil memobilisasi kekuatan politik yang cukup besar. Karena perkembangan yang demikian, pada awal 1946, Sutan Sjahrir, ketua umum Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang tiga kali menjabat sebagai perdana menteri semasa revolusi, memperediksikan bahwa jika pemilihan umum diselenggarakan di tahun itu maka Masyumi yang merupakan gabungan antara kalangan muslim modernis dan tradisionalis akan memenangkan pemilu dengan perkiraan 80 % suara.
D.       Orientasi Politik Masyumi dan Hubungan Relasional antara Agama dan Negara
Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau yang lebih dikenal dengan nama Masyumi adalah organisasi masa berbentuk partai politik. Dididirikan di Yogyakarta Pada tanggal 7 nopember 1945. Masyumi lahir dari kancah Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang pada zaman pendudukan Jepang dipaksa membatasi peranya menjadi majelis syuro saja. Jika dilihat dari anggaran dasarnya pada tahun 1952, Masyumi bertujuan untuk ‘terlaksanakannya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan seseorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia menuju keridhoan Illahi’: menuju ‘baldatun thoyyibatun wa rubbin ghofur’.[4]
Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.
Anggota-anggota Masyumi, antara lain, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama’ (NU), Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al Irsyad, Jam’iyatul Wasliyah, Al Ittihadiyah, dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).[5] Keputusan membentuk Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam itu tidak sekedar sebagai keputusan tokoh-tokoh tersebut, tetapi keputusan dari seluruh umat Islam melalui utusan wakil-wakil mereka.[6]
Sebagaimana diketahui bahwa Masyumi mempunyai dua jalur badan yang mengurusi keorganisasian; pertama, badan eksekutif yaitu bergerak dalam basis kekuatan politik dan kedua, jalur (badan) dewan yang bergerak dalam urusan-urusan keagamaan. [7]
Salah seorang tokoh Masyumi yang termasyur saat itu ialah Muh. Natsir yang mana merupakan lawan ideologis dengan Soekarno. Gagasan utama dari Soekarno mengenai negara dan agama ialah sangat erat dengan gagasan pemisahan agama dari begara di negara Barat (Eropa), yaitu bahwa agama dapat dan harus dipisahkan dari negara dan pemerintah, sebab agama merupakan aturan spiritual (akhirat) dan negara adalah masalah duniawi (sekular).
Gagasan Soekarno tersebut banyak terinspirasi oleh negara-negara barat seperti Turki,  Perancis, Jerman, dan Inggris. Selain ia terpengaruh oleh ide-ide sekulerisasi yang ada di  Mesir oleh Syeikh Ali Abdur Raziq, ia juga terpengaruh  ide-ide Sekulerisasi di Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk. Walapun demikian pemisahan agama dari negara menurut Soekarno tidak dengan sendirinya ajaran Islam dikesampingkan, sebab rakyat dapat memasukkan Islam kedalam politik negara melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Inilah yang disebut demokrasi
Sementara bagi Natsir, agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenagaraan pada pokoknya merupakan bagian integral rislah Islam. Dinyatakan pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, fasis atau komunisme.
Sebagai seorang ideolog muslim kontemporer, Natsir sangat meyakini kebenaran Islam sebagai suatu ideologi kenegaraan. Sebagai suatu ideologi, Islam dalam pendangan Natsir mempunyai cakupan pengertian yang sangat luas, seluas dimensi kehidupan manusia itu sendiri. segala aspek yang terdapat dalam kehidupan dunia dan akhirat itu diatur oleh ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu Islam merupakan suatu ajaran yang serba mencakup.
Pemahaman Natsir tentang bahaya sekularisme dan Islam sebagai ideologi perlu dikemukakan dalam hubungan ini karena pemahamannya itu mempunyai kaitan yang erat dengan pandangannya tentang masalah persatuan agama dan negara. karena perbedaan yang cukup tajam antara agama dan negara maka hal itu berlanjut hingga dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang menyebutkan bahwa Masyumi adalah partai terlarang. Hal ini tentu merugikan Masyumi. Dalam pembentukan DPR pada periode berikutnya, Masyumi dikesampingkan, bahkan beberapa pemimpinnya dipenjara dengan alasan yang tidak jelas.[8]
Harus diakui bahwa selalu saja ada benturan, khususnya di tingkat horizontal, antara kelompok Islam dan nasionalis (sekular). Akan tetapi tokoh-tokohnya tetap mampu menyeimbangkan hubungan politik yang harmonis. Kelompok nasionalis tetap memagang kendali kepemimpinan. 
Sejarah bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyumi pada masanya sejajar dengan Partai Jama’atul Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan hal ini, dan memang dalam pendidikan politik nasional kebesaran Masyumi seolah tertutupi oleh arus besar lain, Nasionalisme, dan Developmentalisme. Padahal dalam masa keberadaannya, Masyumi sangat identik dengan gerakan politik Islam yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks kenegaraan.
Dalam pemilihan umum yang pertama dilaksanakan pada tanggal 29 November 1955, Masyumi merupakan salah satu partai peserta terbesar yang mendapatkan 50 kursi DPR dan 112 kursi dalam konstituante lembaga DPR. Perolehan parta-partai besar lainnya adalah:
1. Partai Nasiona Indonesia (PNI) mendapatkan 56 kursi.
2. Partai Nahdhatul Ulama (PNU) mendapatkan 45 kursi.
3. Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan 39 kursi.
Sementara untuk kursi konstituante:
1. Partai Nasiona Indonesia (PNI) mendapatkan 119 kursi.
2. Partai Nahdhatul Ulama (PNU) mendapatkan 91 kursi.
3. Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan 80 kursi.
Menurut Syafi’i Ma’arif, Masyumi kendati secara ideal akan berusaha menghimpun kekuatan dan persatuan umat Islam di bawah panji politik dan garis kepartaiannya, namun dalam aplikasi realitas, masing-masing golongan yang menjadi ujung tombak partai ini ternyata gagal mewujudkan kesatuan itu. Ini terjadi lantaran masing-masing pemimpin mementingkan kekuatan golongannya. Peran-peran kaum modernis (Muhammadiyah) diterjemahkan oleh golongan tradisional (NU). Sementara kelompok modernis sudah merasa wajar kalau mereka menempati posisi-posisi strategis dalam partai, terutama yang berkaitan dengan politik.[9]
Dengan adanya ketimpangan peran inilah, pada ujung perjalanannya Masyumi tidak bisa lagi menyatukan gerak ide kepartaian, sehingga muncullah perbedaan-perbedaan pendapat. Pada tahun 1947 salah satu unsur Masyumi yaitu PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), meninggalkan Masyumi dan kembali menjadi partai independen. Begitu juga dengan NU pada tahun 1952, ia pun meninggalkan Masyumi dan kembali menjadi jami’iyyah serta menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya dua kekuatan itu, banyak sedikitnya memberi pengaruh terhadap eksistensi Masyumi dalam menghimpun suara. Sehingga pada saat pemilu tahun 1955, kekuatan Masyumi jadi berkurang dan NU yang menjadi partai politik praktis otomatis berada di urutan ke tiga.[10]
E.       Keluarnya NU dari partai Masyumi
Dalam kongres NU di Purwokerto tahun 1946 diserukan agar “warga NU membanjiri partai politik Masyumi dan diputuskan NU akan menjadi tulang punggung Masyumi.” Perbedaan kepentingan politik antar berbagai kelompok dalam Masyumi kemudian segera menyusul. Persatuan yang sejak awal kemerdekaan dengan menjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam tidak dapat dipertahankan lagi. Segara saja pengaruh politik praktis berupa distribusi kekuasaan menjadi ajang perebutan. Keputusan PSII mendirikan partai kembali partai tahun 1947 itu setelah dibekukan jepang sebelumnya dan NU keluar dari Masyumi tahun 1952 untuk sebagian juga dipengaruhi alasan-alasan ini, selain barangkali pertentangan lama ketika organisasi-organisasi Islam berselisih paham pada tahun 30-an yang muncul kembali.
Semula keterikatan NU dalam Masyumi masih dapat dipertahankan meskipun PSII telah keluar. Akan tetapi dengan demikian peristiwa ini ibarat menyulut api dalam sekam. Ketidakmampuan pemimpin Masyumi melakukan negosasi dan kompromi-kompromi antara sesama kawan, mempercepat api perpecahan.
Kondisi lemahnya persatuan Islam sebenarnya sudah terjadi sejak sebelum kemerdekaan, bahkan pada dekade-dekade sebelumya. Faktor ini tampaknya kurang diperhatikan katika mula pertama partai Masyumi didirikan. Struktur keanggotaan Masyumi yang mendua, terdiri atas anggota organisasi dan perorangan, tidak memperlancar dilakukanya negosiasi untuk mengatasi berbagai kepentingan yang timbul.[11]
Selain itu tidak kukuhnya kebijakan politik Masyumi ikut mempengaruhi perpecahan Masyumi. Ketika pada tanggal 3 Juli 1947 dibentuk kabinet Amir Syarifudin, Masyumi menolak ikut serta, tetapi PSII dibawah pimpinan Arudji Kartawinata memasuki kabinet dengan menempatkan wakilnya. Mulanya Masyumi memboikot kabinet tetapi empat bulan kemudian memasukkan wakilnya bahkan sebagai wakil perdana menteri.[12] Penolakan Masyumi terhadap kabinet Amir Syarifudin tampaknya tidak didasarkan kebijakan politik yang strategis, tetapi hanya karena adanya dua kubu didalam Masyumi, sebagian bersikap keras dan sebagian lagi bersikap lunak.[13]
NU keluar dari Masyumi diputuskan dalam kongres ke 19, April 1952 di palembang. Segera saja ucapan itu diprotes delegasi yang mewakili NU agar ditari kembali. Keputusan itu terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi antara lain hubungan antara pemimpin NU dengan Masyumi kurang serasi. Umumnya politisi dan pemimpin NU terdiri atas ulama atau tenaga lain keluaran pesantren, kalaupun ada yang berpendidikan model Barat, seperti Zainul Arifin dan Muchammad Iljas, jumlahnya tidak banyak. Sementara sebagian kalangan Masyumi memandang rendah lulusan pesantern, juga memandang rendah pemimpin NU.
Pada sisi lain NU merasa perkembangan organisasinya sendiri telah mengalami kemajuan yang pesat. Banyak ulama muda lulusan pesantren yang memperoleh kemajuan kemudian memusatkan pengembangan karir mereka dalam politik. pertumbuhan ini memerlukan ruang gerak yang cukup luas, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Ruang gerak akan terbuka luas bila NU berdiri sebagai partai politik.
Sesungguhnya perselisihan itu dapat pula dilihat dari sisi lain yaitu perbedaan prespektif keagamaan. Menurut pernyataan NU sejak lahir tahun 1949 struktur organisasi Masyumi telah diubah sedemikian rupa sehingga Majelis Syura bukan lagi tempat yang penting bagi ulama karena majelis itu tidak lagi dijadikan sebagai badan legeslatif melainkan hanya sebagai badan penasehat belakadan segala persoalan hanya dilihat dari jurusan politik saja tidak lagi mengambil pedoman agama.
Upaya yang dilakukan oleh NU untuk mengembalikan wibawa Majelis Syura tidak berhasil. Menurut NU dewan Pimpinan Partai Masyumi terlalu tenggelam dalam soal-soal politik, melupakan kepentingan Isalm yang saat itu menghadapi cobaan yang berat. Memang agak sulit peran semacam lembaga Majelis Syura Masyumi dapat efektif seperti lembaga Syuriyah NU karena perbedaan tradisi keduanya. Lemabaga Syuriah NU memang cukup efektif mengendalikan organisasi NU karena akar kelahiran NU dimotori oleh ulama-ulama dann kuatnya pengaruh pesantren di dalamya. Barangkali NU mengharapkan Majelis Syura Masyumi dapat berfungsi seperti Syuriyah NU. Tentu hal ini sulit dilaksanakan sebab di dalam Masyumi terdiri dari aneka ragam tradisi yang belum tentu sejalan dengan NU.[14] Berbagai faktor di ataslah yang menjadi penyebab NU keluar dari tubuh Masyumi.  


[1] Sayyid Abul A’la Maududi, Political Theory of Islam, (Lahore: Islamic Publicated Limited, 1960), 17-18.
[2] Ibid, 48.
[3] Taufik Abdullah,Islam dan masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987), 15.
[4]  A.G. Pringgono, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1974), 654.
[5]  Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), 3.
[6]  Ibid, 10.
[7]  Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikirian Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 231.
[8] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, (Jakarta: TERAJU, 2002), 115.
[9]  Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), 230-231.
[10] Ibid. 232.
[11] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Sidoarjo: Al-maktabah, 2011), 144.
[12] Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangan di Indonesia, (Bandung; Almaarif, 1979), 460.
[13] Noer, Deliar,  Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965,  (
[14] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia, (Sidoarjo: Al Maktabah,2011), 149.

Filosofis Historis Puasa dan Haji



 Filosofis Historis Puasa dan Haji


A.  Pengertian puasa dalam Islam
Kata puasa merupakan arti dari kata “syiam” kata bentukan masdar dari kata sama. Secara bahasa berarti menahan diri. Dalam arti yang lebih luas siyam berarti meninggalkan parbuatan, termasuk meninggalkan makan, bicara atau bergerak kesuatu tempat, seperti halnya puasa yang dilakukan oleh Maryam untuk menahan diri dari berbicara.[1]
Sacara shar’i puasa adalah meninggalkan makan, minum dan berhubungan seksual sejak terbitnya fajar sadiq sampai terbenammnya matahari dengan  disertai niat. Puasa merupakan salah satu bentuk ibadah yang bersejarah dan yang paling tua serta yang paling luas tersebar di kalangan umat manusia.[2] Bahkan sejak Nabi Adam pun telah dikenal adanya puasa, meskipun aturan dan tata caranya sedikit berbeda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu tempat ke tempat yang lain. Demikan juga motif puasa, bisa berbeda-beda. Di antaranya untuk menghormati sesembahan mereka atau musibah tertentu yang menimpa mereka.
B.  Karakteristik puasa dalam Islam
Seperti apa yang telah diulas pada bab sebelumnya bahwa puasa mempunyai sebuah karakteristik yang unik. Dalam pembahasan ini akan diulas secara singkat mengenai karakteristik puasa, antara lain:
·      Puasa pada masa pra Islam
Seperti apa yang telah diterangkan dalam Alquran dalam Surah al-Baqarah 183, dijelaskan bahwa puasa juga diwajibkan kepada umat-umat terdahulu.
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Al-baghdadi menjelasakan bahwa yang dimaksud umat terdahulu adalah umat semenjak masa Nabi Adam AS. Menurut al-Hasan dan al-Sha’bi yang dimaksud dengan agama terdahulu adalah agama Nasrani.
Terlepas dari perbedaan tersebut, secara realistis puasa telah banyak dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Menurut Encyclopedia Britanica hanya Konfusianisme yang tidak mengenal adanya puasa. Sementara Zoroastrianisme, yang sering dianggap tidak mengenal adanya puasa, ternyata juga memerintahkan puasa, paling tidak kapada pendeta-pendetanya, sekurang-kurangnya setiap lima tahun sekali.[3]
Yesus Kristus melaksanakan puasa 40 hari dan juga melaksanakan puasa pada hari penebusan dosa seperti orang Yahudi. Ia juga memerintahkan puasa kepada para pengikutnya. Dalam Kisah Para Rasul 13:2,3 dan 14: 23 diterangkan bahwa orang Kristen pertama juga melakukan puasa. Sementara itu Santa Paulus juga melakukan puasa.
Sedangkan orang-orang ahli kitab (Nasrani) diwajibkan puasa Ramadhan selama 30 hari selama 30 hari berturut-turut. Mereka tidak boleh makan, minum, dan mengumpuli istri sesudah Isya’. Puasa ini adakalanya jatuh pada musim dingin. Hal ini mereka anggap sangat memberatkan. Karenanya mereka memindahkannya pada musim-musim tertentu yang terletak di antara kedua musim tersebut, dimana suhu tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Untuk menebus kesalahan mereka ini, mereka menambahkan lagi puasa 20 hari, sehingga menjadi 50 hari. 
Bangsa-bangsa purba juga telah mengenal dan mempunyai tradisi puasa, seperti bangsa Mesir kuno, Yunani kuno, Hindu purba dan masyarakat Cina sampai kini masih mengenal puasa. Juga suku-suku bangsa primitif sampai hari ini yang terdapat di Amerika, Afrika, Asia mempunyai tradisi puasa. Bagitu juga suku –suku bersahaja yang terdapat di Indonesia seperti Toraja, Dayak, Badui Banten semuanya mengenal Puasa. [4]
Dari beberapa uraian diatas jelaslah bahwa umat terdahulu pun sudah melaksanakan puasa. Allah juga telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum Nasrani, akan tetapi mereka merubah mekanismenya, baik waktu maupun jumlahnya.
·      Puasa pada masa Islam
Pensyariatan ibadah puasa dalam Islam, sebagaimana pensyariatan hukum lain, juga melalui proses dan tahapan. Proses dan tahapan tersebut antara lain:
1.    Sebelum puasa bulan Ramadhan
Riwayat Muadz bin Jabal menyatakan bahwa “ketika Rasulllah tiba di Madinah beliau berpuasa hari Ashura dan tiga hari setiap bulan”. Kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadhan dengan turunya ayat 183 Surah al-Baqarah.
Ini menunjukkan bahwa sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, kaum muslimin telah melakukan ibadah puasa, yaitu puasa Ashura dan tiga hari setip bulan. Dalam melakukan puasa ini kaum muslimin tidak boleh makan, minum dan menggauli istri setelah waktu Isya’.
2.    Setelah wajib puasa bulan Ramadhan
Puasa Ramadhan diwajibkan bagi kaum muslimin pada tahun kedua Hijriyah, sebelum terjadinya perang Badar. Parang badar terjadi hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H. Nabi Muhammad SAW sendiri melakukan puasa Ramadhan sebanyak 9 kali selama hidupnya.[5]
Adapun masalah penetapan puasa yakni dengan menggunakan kalender hijriyah yang mana menggunakan penetapan bulan sebagai penentu awal dan akhir bulan. Seperti yang telah dijelasakan dalam hadis nabi:
حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، ذَكَرَ رَمَضَانَ، فَقَالَ: لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Artinya: Abdullah bin Umar r.a. berkata: Rasulullah ketika menyebut Ramadhan bersabda: Jangan puasa sehingga kalian melihat hilal (bulan sabit) dan jangan berhari raya sehingga melihat hilal, maka jika tertutup oleh awan maka perkirakanlah. (Bukhari, Muslim).[6]

·      Syarat sah, wajib, rukun, dan hal yang membatalkan puasa
Seperti apa yang telah di jelaskan pada bab sebelumnya. Bahwa ibadah dalam Islam mempunyai karakteristik tersendiri. Hal itu harus disandarkan oleh syariat (perundangan Ilahi) agar ibadah itu mempunyai nilai dan makna dihadapan Allah SWT. Oleh karena itu pada pembahasan ini akan di ulas secara singkat mengenai syarat sah, wajib, rukun dan hal yang membatalkan puasa[7], antara lain:
a.    Syarat sah dan wajib puasa
1.   Beragama Islam.
2.   Baligh
3.   Aqil (berakal).
4.   Kuasa menegrjakannya.
5.   Suci dari hadast dan nifas bagi perempuan
6.   Pada waktu yang diperbolehkan.
b.    Rukun (Fardhu) puasa
1.      Niat pada malam hari.
2.      Menahan diri dari segala hal yang membatalakan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
c.    Hal-hal yang membatalakan puasa
1.      Makan dan minum yang disengaja setelah terbit fajar hingga sebelum matahari terbenam.
2.      Muntah dengan cara yang disengaja.
3.      Bersetubuh pada siang hari.
4.      Gila, hilang ingatan.
5.      Keluar air mani karena bersetubuh dengan perempuan atau berbagai hal lain.
·      Hikmah puasa dalam pandangan Islam
Berpuasa bukan sekedar menghentikan makan dan minum yang jadi tujuan utama dari ibadat puasa. Akan tetapi ada makna hakiki yang tertanam pada ibadah puasa, yaitu untuk menanamkan perasaan ingat selalu kepada Allah dan tabah (sabar) didalam jiwa setiap mukmin. [8]
Atau dengan kata lain, hikmah utama puasa yakni melatih dan membiasakan seorang mukmin untuk selalu mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya, sehingga mampu mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang teramat mulia dan dimuliakan.
Bahkan dalam ajaran Islam sendiri tidak hanya puasa Ramadhan saja, akan tetapi ada juga puasa sunnah yang lain seperti puasa senin-kamis, puasa Nabi Daud dll. Yang mana hal itu semua untuk memanifestasikan rasa selalu ingat kepada Allah SWT dalam jiwa setiap orang mukmin. Adapaun puasa sunnah yang paling utama sebagai mana yang telah dijelasakan Nabi melului hadisnya ialah puasa Nabi Daud.
حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو، قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي أَقُولُ، وَاللهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ؛ فَقُلْتُ لَهُ: قَدْ قُلْتُهُ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي قَالَ: فَإِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيع ذلِكَ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، وَذلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ قَالَ: فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ قَالَ: فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا، فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَهُوَ أَفْضَلُ الصِّيَامُ فَقُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذلِكَ
Artinya: Abdullah bin Amr r.a. berkata: Nabi saw. diberitahu bahwa aku bersumpah: Demi Allah aku akan puasa tiap siang dan akan bangun tiap malam selama hidup. Maka ketika aku ditanya, aku jawab: Aku telah terlanjur sumpah sedemikian, maka sabda Nabi saw.: Anda tidak dapat berbuat itu, puasalah dan berbukalah (tidak puasa), bangun malam dan tidurlah, puasalah tiap bulan tiga hari maka sesungguhnya tiap hasanat itu berlipat sepuluh kali, dan itu menyamai puasa sepanjang masa. Aku jawab: Aku kuat lebih dari itu. Sabda Nabi saw.: Puasalah sehari dan tidak puasa dua hari. Jawabku: Aku kuat lebih dari itu. Sabda Nabi saw.: Puasalah sehari dan tidak puasa sehari, itu puasanya Nabi Dawud a.s. dan itu puasa yang paling utama. Jawabku: Aku kuat lebih dari itu. Sabda Nabi saw.: Tidak ada lebih utama dari itu. (Bukhari, Muslim).[9]
C.  Pengertian ibadah Haji dalam Islam
Secara etimologi haji berarti berziarah, mengunjungi, dan bermaksud.[10] Dalam pegertian awalnya, haji berarti berkunjung ke tempat-tempat tertentu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan yang menjadi sesembahan umat terdahulu.[11] Sampai pada saatnya Allah SWT memerintahkan Ibrahim AS untuk membanggun Bait al-Haram (Ka’bah) di Mekkah. Sejak itulah Ibrahim menyeragamkan sistem haji, sebagai ibadah yang dilakukan secara khusus di baitullah (Mekkah).
Sementara secara terminologi yang mempunyai arti khusus, yakni ziarah (berkunjung) ke tempat tertentu (Ka’bah dan Arafah), pada masa tertentu pula untuk mengerjakan amalan-amalan tertentu, seperti thawaf di Mekkah dan wukuf di Arafah. Dengan demikian makna haji yang semula setiap berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap suci oleh umat terdahulu, mengarah pada arti kunjungan ke Ka’bah (Baitullah) untuk melaksanakan ibadah haji menurut cara-cara yang telah di syariatkan oleh Allah SWT.
D.  Karakteristik ibadah Haji dalam Islam
Sebagaimana ibadah-ibadah lain dalam Islam, Haji juga mempunyai sebuah karakteristik yang mana hal itu tentunya juga disandarkan pada landasan syari yakni Alquran dan Hadis. Adapun karakteristik ibadah Haji dalam Islam, ialah antara lain sebagai berikut:
·      Haji dalam lintasan sejarah
Haji merupakan ibadah yang telah dikenal sejak lama, jauh sebelum risalah Muhammad SAW. Haji juga berbeda dengan ibadah lainya. Ia memerlukan kesanggupan yang multidimensi, baik yang berkaitan dengan spirit, fisik maupun materi.
Sejak zaman Nabi Ibrahim AS itu seluruh bangsa Arab menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dan tempat haji mereka. Ibadah haji mereka lakukan dengan tuntunan Ibrahim AS atas perintah Allah. Dalam perjalan masa yang cukup panjang, sejak masa Ibrahim AS hingga masa Muhammad SAW, telah terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem haji. Haji berdasarkan tauhid telah berubah dan bercampur dengan syirik (politeisme).[12]
Penyimpangan yang fundamental itu memunculkan paganisme yang berefek pada ketidakmurnian ibadah. Dalam realitas ibadah diliputi berhalanisme itu, Muhammad SAW diutus sebagai reformer. Dia bertugas meluruskan, mereformasi dan mempurifikasi akidah dan ibadah manusia, terutama syariat Ibrahim AS tentang ibadah haji. Sejarah haji yang di awali oleh Ibrahim AS dan dilanjutkan Muhammad SAW dengan format baru yang sedikit ada perubahan secara tekhnis menjadi tonggak sejarah penting dalam kehidupan umat Islam.
·      Hukum Haji
Allah mewajibkan haji atas orang-orang mukmin dengan landasan Syar’i yakni seperti yang telah dijelaskan dalam Alquran surah Ali Imran: 97
97. padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke BaitullahBarangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Kewajiban haji menurut gaya bahasa Alquran berbeda dengan kewajiban ibadah lain seperti sholat, puasa, dan sebagainya. Allah menggunakan kata “wlillahi” yakni menggunakan lam li al ijab wa al-ilzam (mewajibakan dan memastikan) yang kemudian dikuatkan dengan lafal ‘ala. Ungkapan ini sebagai penguat lafal wajib yang biasa digunakan dalam dialektika orang arab.[13]
Allah mewajibkan haji dengan tujuan yang sangat penting lagi mulia. Penekanan wajib haji itu tentunya untuk menunjukkan keagaungan dan kemuliaan. Bahkan bila dicermati lebih jauh akan semakin tampak nyata bahwa di dalam ibadah haji terhimpun keempat rukun Islam yang lain, mulai syahadat, shalat, zakat  dan puasa. Maka tepatlah kalau Rasul menetapkan sebagai rukun Islam yang paling puncak. Dialah agaknya satu-satunya ibadah yang sekaligus berdimensi jasmaniah, ruhiyah, maliyah. Karena beratnya, maka ia pun hanya diwajibkan sekali seumur hidup.
Menurut al-Shafi’i, al-Thauri, al-Auzai dan Muhammad ibn Hasan, kewajiban haji tidak harus segera , yakni dapat dilakukan kapan saja. Orang yang mampu tidaklah berdosa menta’khirkan. Dasarnya adalah pengguhan ibadah haji Rasulullah sendiri yang baru dilaksanakan pada tahun 10H. Padahal haji telah diwajibkan kurang lebih tiga tahun sebelumnya.
Tentang syariat istita’ah, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan bahwa istita’ah itu adalah bekal dan kendaraan. Jika tidak memiliki keduanya (bekal dan kendaraan) atau hanya memiliki salah satunya, belumlah wajib. Hanya saja pengertian kendaraan tidak dalam pengertian yang sempit, artinya jika seseorang itu mampu ke Baitullah dengan jalan kaki, dia juga wajib haji.Jika sesorang telah mencapai istita’ah, sedang ia mempunyai tanggungan lain seperti hutang yang harus dipenuhi, ulama sepakat bahwa dia tidak wajib haji.
·      Hikmah Haji
Seperti ibadah-ibadah yang lain dalam Islam, haji tentunya juga mempunyai sebuah hikmah. Haji adalah ibadah yang mempunyai multidimensi, antara lain dimensi jasmaniyah, ruhaniyah, maliyah. Sementara dalam rukun Islam, haji merupakan puncak dari segala ibadah. Diantara hikmah ibadah haji adalah sebagai berikut:
1)   Menyempurnakan Islam seseorang dengan terlaksanakannya rukun Islam ke lima, dimana didalamnya terhimpun semua rukun yang lain, sehingga haji menjadi ibadah Ruhiyah, badaniyah dan sekaligus Maliyah. Sebab di dalam haji ada syahadat, ada shalat, ada zakat, ada puasa.
2)   Salah satu wujud syukur yang terbaik atas segala anugrah Allah, limpahan rahmat dan curahan nikmatnya.
3)   Meningatkan akan persamaan kawajiban dan hak antar umat manusia di hadapan Allah dan pentingnya solidaritas dan kepedulian sosial.
4)   Menyadarkan kita bahwa Islam adalah agama seluruh nabi dan rasul, karenanya haji juga ajaran Nabi terdahulu.



[1]  H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Historis Filosofis, (Surabaya: Al Fath Press, 2004), 77.
[2]  Mahmud Shaltut, Al-Islam Aqidah wa Shari’ah, ter. Fachrudin HS, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 113.
[3]  H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Filosofis Historis, (Surabaya: Al Fath Press, 2004), 78-79.
[4]  Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT Maarif, 1973), 259.
[5] H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Historis Filosofis, (Surabaya: Al Fath Press, 2004), 82.
[6]  Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu’ wa al-Marjan, no.653.
[7]  Munir, Dasar-Dasar Agama Islam MKDU, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 191-194.
[8]  Mahmud Shaltut, Al-Islam Aqidah wa Shari’ah, ter. Fachrudin HS, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 115.

[9]  Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu’ wa al-Marjan, no.714.
[10]  Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 256.
[11]  Mahmud Shaltut, Al-Islam Aqidah wa Shari’ah, ter. Fachrudin HS, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 121.
[12]  H.M. Roem Rowi, Rukun Islam Tinjauan Historis Filosofis, (Surabaya: Al Fath Press, 2004), 90.
[13]  Ibid, 97.

Translate