A. Latar
belakang
Pembahasan ini mengenai agama dan sains-seakan akan tidak pernah habis, karena kehadirannya berada di zaman peradaban Islam sampai sekarang. Manusia dan masyarakat
merupakan objek kajian selalu menarik
dan berkembang interaksi antara manusia yang biasanya berkembang antara manusia
sehingga meninmbulkan permasalahan. Dalam upaya untuk mendidik
masyarakat Amerika yang lebih besar tentang Islam, dan ia berusaha untuk
mempromosikan dan mendorong pemahaman, empati dan kasih sayang yang diperlukan
untuk menjembatani dan memperkuat hubungan masyarakat. Pelajari lebih lanjut
tentang pekerjaan dan inisiatif, dan merasa bebas menghubungi dia dengan
berbagai pertanyaan Singkatnya,
Islam dianggap sebagai agama yang sulit hidup berdampingan secara elegan dengan
publik masyarakat modern yang bersifat multikultural. Seolah-olah tesis klasik
dan kontroversial Samuel P.Huntington tentang clash of civilization tidak lagi sebuah fantasi buruk di
alam mimpi saja, tetapi benar-benar menjadi kenyataan pahit dan membekas di
benak publik masyarakat Amerika.
Namun, di
titik tertentu situasi mencekam semacam itu justru mengundang rasa penasaran
dan ingin tahu yang amat mendalam bagi sebagian besar masyarakat Amerika
terutama kalangan akademis dan praktisi dialog antaragama tentang Islam sebagai way
of life sebagaimana dipraktikkan oleh jutaan umat manusia di planet
bumi, termasuk di Amerika. Mereka mencoba menelusuri Islam secara emik, tidak
sebatas melihat dimensi historis-faktual Amerika semata melainkan juga passing
over sampai ke ranah normatif-doktrinal dan mencoba melihat secara
“adil” aspek historis dan mutakhir masyarakat Islam secara keseluruhan. Rasa
ingin tahu secara lebih objektif itu merupakan hal yang sangat penting. Karena
sebagian besar masyarakat Amerika sesungguhnya bermental “kuper”, hanya membaca
dan menonton media cetak serta TV tertentu yang umumnya menampilkan citra buruk
dan propagandis tentang Islam.Seiring dengan
kecenderungan positif tersebut, otomatis kajian-kajian Islam semakin semarak di
Amerika: forum-forum debat seminar yang bersifat
terbuka, demokratis, dan rasional serta dialog-dialog tentang pelbagai wacana
keislaman yang bersifat kritis, terus bermunculan bagaikan jamur di tengah
gerimis hujan. Islam malah kini menjadi “primadona” baru publik Amerika. Mereka
mencoba menelaah Islam sebagai sebuah identitas sosial, budaya, dan politik
dari tokoh-tokoh Islam itu sendiri yang kebetulan tinggal di Amerika. Mereka
seolah mendapat pencerahan baru. Dalam konteks itulah sosok Imam Shamsi
Ali menjadi sangat penting.Ia “hadir” atau “dihadirkan” untuk meruntuhkan mitos
Islam sebagai sebuah ancaman global, khususnya ancaman bagi masyarakat Amerika.
Imam Shamsi Ali mencoba mendakwahkan risalah Islam yang ramah, moderat, dan
rasional kepada publik Barat, khususnya Amerika. Ia adalah pembawa risalah
Islam cinta di samudra biru yang merindukan kedamaian. Karena spirit atau ruh
dakwahnya yang nirkekerasan, kehadirannya terasa begitu bermakna. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan demikian cepat. Sementara
itu, pemahaman yang terkait dengan pengembangan teknologi yang mendasarkan pada
keimanan berjalan lebih lambat.
Para ilmuwan berargumentasi bahwa semua penelitian
dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan, sebaliknya para
agamawan lebih sibuk membicarakan persoalan akhirat dan pesan-pesan moral,
tidak heran jika selalu terjadi benturan antara ilmu pengetahuan dan agama.Kaum
agamawan memerlukan etika dalam arti, memakai akal budi dan daya pikirnya untuk
memecahkan masalah bagaimana harus hidup kalau ia mau menjadi baik, jangan
sampai akal budi dikesampingkan dari agama. Oleh karena itu kaum agamawan yang
diharakan betul-betul memakai rasio dan memahami ilmu pengetahuan serta
kemajuan teknologi.Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan manusia diilhami
dari tumbuhnya sikap pencerahan rasional manusia sebagai masyarakat modern, dan
dikenal sebagai sikap rasionalisme. Sains adalah sesuatu yang boleh dibuktikan
kebenarannya melalui ujian empirical (yang di ujikan).Keinginan mengetahui
secara ilmiah dan penelitian yang baik adalah merupakan sifat-sifat utama
peradaban Islam.Sebab itu, Islam bukan saja menghasilkan ahli-ahli sains yang
terkemuka tetapi membentuk juga satu bentuk sains tersendiri -satu bentuk sains
yang menyatukan sains yang objektif di dalam pandangan hidup Islam.
Sains
tentang hadits (Ilmu al-Hadits) yang mana membentuk asas-asas akhlak dan kanun
perundangan Islam juga menyediakan satu kaedah kajian yang canggih. Untuk
penulisan tafsir juga telah dikembangkan kaedah kajian yang canggih dan juga
tradisi keilmiahan. Keduanya Qur’an dan Hadith merupakan asas terhadap semua
kegiatan dalam sejarah Islam yang sesuai dengan kemampuanya. Sepanjang sejarah kehidupan umat
manusia, hubungan sains dan agama tak selalu harmonis dan beriringan.
Hubungan agama dan sains bukanlah polemik yang baru-baru saja menggulir dalam
dunia keilmuwan. Konflik ini telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Sejak
pertengahan abad ke-15 agama dan sains adalah dua esensi yang sangat berbeda
dan bertentangan. Pengetahuan saat itu sangat didominasi oleh kekuasaan Gereja
yang bertolak pengetahuan filsafat Yunani serta kitab mereka Injil. Otoritas
tertinggi adalah gereja, apabila sains atau pengetahuan tidak sejalan dengan
gereja dan ijnjil maka dianggap sesat. Dalam jangka waktu yang relatif lama
belum ada solusi yang barhasil untuk mendamaikan keduanya.
Banyak
ilmuwan yang merasa terbelenggu karena tidak dapat mengembangkan kreatifitas
mereka, mereka mencoba untuk melakukan perubahan dan membebaskan akal agar
pengetahuan dapat berkembang dan tidak stagnan.Bagaimana sekarang ini hubungan
antara agama dan sains? Kemudian bagaimana dengan Islam dalam memandang sains?
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai hubungan agama
dengan sains, khususnya Islam dalam memandang sains.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
sejarah kehidupan Imam Shamsi Ali?
2.
Bagaimana pandangan Shamsi
Ali
tentang agama dan sains?
3. Bagaimana
perbedaan antara agama dan sains yang dikembangkan oleh Shamsi Ali?
4. Jelaskan
integrasi yang dikembangkan Shamsi Ali mengenai agama dan sains?
C. Tujuan:
Tujuan penelitian ini yaitu :
1.
Untuk mengetahuai sejarah kehidupan Imam
Shamsi Ali.
2.
Untuk mengetahui dan
memahami pandangan agama dan sains menurut Imam Shamsi Ali.
3.
Untuk mengetahui perbedaan yang ada antara
agama dan sains.
4.
Untuk memahami makna integrasi yang
dikembangkan Shamsi Ali mengenai agama dan sains.
D. Manfaat penelitian :
1
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
acuan dan referensi tambahan pada
fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah Filsafat yang mana dapat digunakan sebagai bahan penelitian yang lebih lanjut.
2
Penelitian ini dapat
memberikan wawasan sebagai sarana berfikir ilmiah tentang perkembangan keagamaan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi
Imam Shamsi Ali yang biasa dipanggil Shamsi Ali,
lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Oktober 1967. Ia adalah seorang Muslim Scholar terkenal dan Imam
terkenal di New York City, Amerika Serikat. Dia adalah seorang Imam masjid terbesar di kota yang terletak di
96th street dan 3rd AV Manhattan. Dia adalah Ketua Masjid Al-Hikmah di Astoria dan Direktur Jamaica
Muslim Center di Queens. Imam Shamsi Ali sebenarnya memiliki nama
asli Utteng, semula adalah merupakan
bocah nakal, pemalas dan suka membolos bahkan pernah dipenjara selama dua
minggu karena memukul hidung temannya hingga patah. Namanya diganti menjadi
Imam Shamsi Ali oleh K.H. Abdul Jabbar Asyiri, pimpinan pondok pesantren Darul
Arqam. Pemberian nama baru tersebut dengan harapan Utteng bisa menjadi orang
yang memiliki sifat terpuji serta dapat menerangi umat dengan cahaya kemuliaan
(yang tinggi).
Pendidikan
awal yang ditempuh Shamsi Ali adalah di SD tepatnya Desa Lembanna, Kecamatan
Kajang, Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Setelah menyelesaikan pendidikan
di sekolah dasar tersebut, orang tuanya mengusulkan untuk melanjutkan
pendidikannya di Pondok Pesantren Muhammadiyah “Darul Arqam” Makasar. Setelah tamat
dari pesantren 1987, Shamsi Ali mengabdikan dirinya sebagai staf pengajar di almamaternya
hingga akhir 1988. Ia mendapat tawaran beasiswa dari Rabithah Alam Islami untuk
melanjutkan studi ke Universitas Islam Internasional, Islamabad, Pakistan. Jenjang S1
dalam bidang Tafsir diselesaikan tahun 1992 dan dilanjutkan pada Universitas yang sama dan menyelesaikan
jenjang S2 dalam bidang Perbandingan Agama pada tahun 1994. Selama studi S2 di
Pakistan, Syamsi Ali juga bekerja sebagai staf pengajar pada sekolah Saudi
Red Crescent Society di Islamabad. Dari sekolah itulah kemudian
mendapat tawaran untuk mengajar pada the Islamic Education Foundation, Jeddah, Arab Saudi
pada awal tahun 1995.
Pada musim haji
tahun 1996, Shamsi Ali
mendapat amanah untuk berceramah di Konsulat Jenderal RI Jeddah di Arab Saudi.
Dari sanalah bertemu dengan beberapa jamaah haji luar Negeri, termasuk Dubes RI untuk PBB, yang
sekaligus menawarkan kepadanya untuk datang ke New York, Amerika Serikat. Tawaran ini kemudian diterima Shamsi Ali dan ia pindah ke New York pada
awal tahun 1997.[1]
Shamsi Ali juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Penasehat untuk
berbagai organisasi lintas agama, termasuk Tanenbaum Center dan Federasi untuk
Perdamaian Timur Tengah. Ia juga Ketua Dewan Pembina untuk Muslim
Federation Asean Amerika Utara. Shamsi Ali juga anggota Dewan Kemitraan Iman
di New York, dan Co-pendiri UNCC (Universal Rohaniwan Koalisi-Internasional). Selain itu, ia juga Asisten Direktur dan
anggota Dewan Yayasan Muslim Amerika, Inc, dan Ketua tahunan Muslim Day Parade
di New York City. Beliau juga menjabat sebagai Wakil Presiden Asia-Amerika
Koalisi USA (AAC-USA) dan Perwakilan PBB nya.
Dalam komunitas Muslim Indonesia di Amerika Utara,
Shamsi Ali adalah sosok yang terkenal. Menjabat sebagai Dewan Penasehat untuk
organisasi Muslim nasional utama seperti IMSA (Masyarakat Muslim Indonesia di
Amerika) dan ICMI (Indonesian Muslim Intelektual Masyarakat di Amerika).
Terkenal di komunitas lintas agama, Shamsi Ali
adalah wajah terlihat Islam. Dia menjadi dosen di gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat dan lembaga lainnya baik secara nasional dan di seluruh
dunia. Dia adalah salah seorang pemimpin agama
beberapa yang telah diundang untuk menemani Presiden George W. Bush untuk
mengunjungi Ground Zero hari setelah 11 September, dan mewakili komunitasnya
selama Doa Yankee Stadium untuk acara America bersama pejabat agama dan
pemerintah peringkat tinggi sisi, termasuk Mantan Presiden Bill Clinton dan
kemudian Senator Hillary Clinton.
Shamsi Ali mampu mengenalkan Islam di Amerika dengan
format yang berbeda.Penerimaan masyarakat Amerika umumnya terhadap agama Islam
dirasakan tidak seramah negara-negara Eropa. Untuk itu perlu cara tersendiri
dalam mengenalkan Islam di negeri Paman Sam tersebut. Di Amerika beliau aktif
melakukan dua
buah kegiatan yakni outreach dan interfaith. Outreach adalah menjangkau
masyarakat sekitar–yang mayoritas beragama Kristiani dan Yahudi- agar tahu
tentang aktivitas di dalam masjid, sedangkan interfaith adalah dialog antar
umat beragama yang lokasi penyelenggaraannya dilakukan secara bergiliran di
Gereja, Sinagoge, dan Masjid. Interfaith bukan bertujuan mencampur adukkan ajaran
agama tetapi untuk membangun kerja sama dalam hal kemanusiaan dan sosial, serta
mengikis prasangka yang muncul karena perbedaan agama.
Berkat kegiatannya tersebut Imam Shamsi Ali bersama
dengan enam tokoh agama lainnya dinobatkan sebagai penerima Ellis Island Medals
of Honor. Beliau dipandang sebagai salah satu tokoh agama yang dinilai mampu
memberi sumbangsih terhadap perdamaian, toleransi, dan keberagaman di Amerika.
Ellis Island Medals of Honor adalah penghargaan tertinggi non-militer dari
pemerintah Amerika, ditujukan untuk para imigran yang dianggap memiliki spirit
atau semangat untuk menjadikan Amerika sebagai negara yang lebih kuat, dan
tempat yang lebih nyaman bagi semua orang.
2.
Pandangan
Agama dan Sains Menurut Shamsi Ali
Pada
mulanya Islam di dunia-khususnya di Amerika Serikat-dilihat secara paradoks,
sebagai sosok yang sangat menakutkan sekaligus mengundang rasa penasaran.
Stigma buruk tentang Islam tersebut kerap kita jumpai dalam sebentuk
ungkapan-ungkapan yang menyakitkan: Islam sebagai agama teror yang mendukung
kekerasan, antikemanusiaan, antidemokrasi, tidak menyantuni perbedaan, dan membunuh
nilai-nilai pluralitas.
Singkatnya,
Islam dianggap sebagai agama yang sulit hidup berdampingan secara elegan dengan
publik masyarakat modern yang bersifat multikultural. Seolah-olah tesis klasik
dan kontroversial Samuel P. Huntington tentang clash of civilization tidak
lagi sebuah fantasi buruk di alam mimpi saja, tetapi benar-benar menjadi
kenyataan pahit dan membekas di benak publik masyarakat Amerika.
Namun, di titik tertentu situasi
mencekam semacam itu justru mengundang rasa penasaran dan ingin tahu yang amat
mendalam bagi sebagian besar masyarakat Amerika-terutama kalangan akademis dan
praktisi dialog antar agama-tentang Islam sebagai way of life, sebagaimana
dipraktikkan oleh jutaan umat manusia di planet bumi, termasuk di Amerika.
Mereka mencoba menelusuri Islam secara detail, tidak sebatas melihat dimensi
historis-faktual Amerika semata, melainkan juga passing over sampai
ke ranah normatif-doktrinal dan mencoba melihat secara “adil” aspek historis
dan mutakhir masyarakat Islam secara keseluruhan.
Dalam konteks itulah sosok Imam
Shamsi Ali menjadi sangat penting. Ia “hadir” atau “dihadirkan” untuk
meruntuhkan mitos Islam sebagai sebuah ancaman global, khususnya ancaman bagi
masyarakat Amerika. Imam Shamsi Ali mencoba mendakwahkan risalah Islam yang
ramah, moderat, dan rasional kepada publik Barat, khususnya Amerika. Ia adalah
pembawa risalah Islam cinta di samudra biru yang merindukan kedamaian. Karena
spirit atau ruh dakwahnya yang nirkekerasan, kehadirannya terasa begitu
bermakna.[2]
Agama (Islam) menurut Shamsi Ali memiliki arti sebagai
petunjuk hidup bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini, baik
dalam aspek ritual maupun muamalah, maupun aspek pribadi dan juga sosial
kemasyarakatan. Agama itu memiliki nilai-nilai “kesucian” dan karenanya sangat
bersentuhan dengan sensitifitas manusia. Sedangkan Shamsi Ali mengartikan sains
merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji sekumpulan pernyataan yang terbukti
atau dengan fakta-fakta yang ditinjau, dan disusun secara bersistem dan
dihimpun dalam bentuk hukum-hukum umum, dan ia termasuk kedalam kaedah-kaedah
yang boleh dipercayai untuk menghasilkan kebenaran baru di dalam teori
lapangan.
Ringkasnya sains adalah sesuatu yang boleh dibuktikan
kebenarannya melalui ujian empirikal. Keinginan mengetahui secara ilmiah dan
penelitian yang baik adalah merupakan sifat-sifat utama peradaban Islam. Sebab
itu, Islam bukan saja menghasilkan ahli-ahli sains yang terkemuka tetapi
membentuk juga satu bentuk sains tersendiri-satu bentuk sains yang menyatukan
sains yang objektif di dalam pandangan hidup Islam. Sains tentang hadits (Ilmu
al-Hadits) yang mana membentuk asas-asas akhlak dan kanun perundangan Islam
juga menyediakan satu kaedah kajian yang canggih. Untuk penulisan tafsir juga
telah dikembangkan kaedah kajian yang canggih dan juga tradisi keilmiahan.
Keduanya antara Al-Qur’an dan Hadits merupakan asas terhadap semua kegiatan
dalam sejarah Islam. Kaedah-kaedah yang dikembangkan untuk kupasan Hadits dan
teknik pengembangan tafsir kedua-duanya mempengaruhi sains. Bahkan sains pun
berperan penting dalam agama Islam dalam rangka:
a.
Membantu manusia mengenali Allah sebagai pencipta.
b.
Membantu manusia memahami persoalan Tauhid.
c.
Menegakkan hakikat kebenaran.
d.
Membawa manusia bersifat tafakkur.
e.
Membantu manusia memenuhi keperluan material.
f.
Membantu dalam pelaksanaan syariat.
g.Menghubungkan
nilai etika dengan sains, sains dengan agama dan sains dengan Al Quran
dan As Sunnah.
h.
Memenuhi keperluan manusia kepada konsep keindahan.
i.
Memudahkan kehidupan manusia.
3.
Perbedaan
Antara Agama dan Sains
a.
Keterlibatan personal dan iman beragama
Terdapat perbedaan antara agama dan sains, untuk itu Pak Shamsi Ali
menjelaskan melalui sub judul “Partisipasi personal dan “urusan utama”. Ada
tiga karakteriostik mengenai “urusan
utama” tersebut, yaitu pertama,
mempunyai urusan utama berarti punya komitmen terbuka, kesetiaan dan loyalitas.
Itu adalah urusan kesungguhan hidup dan mati, karena makna eksistensi diri
sendiri tengah dipertaruhkan. Seseorang mempertaruhkan hidupnya sebagai respon
terhadap janji-janji atau ancaman agama. Kedua,
urusan utama memberi-kan nilai tertinggi dalam hubungannya sebagai pembenaran
dan pengaturan nilai-nilai lain. Urusan utama adalah prioritas tertinggi.Urusan
utama adalah landasan terakhir tempat bergantungnya struktur nilai-nilai
seseorang. Ketiga, urusan utama
menuntut perspektif inklusif atau orientasi kehidupan, karena urusan utama
menghubungkan semua bidang kehidupan dan melibatkan orang tersebut secara utuh.
Jadi, urusan utama adalah pusat pandangan hidup sekaligus pusat integritas
kepribadian.
Keterlibatan personal tidak terelakkan di sini justru karena persoalan
religius utama berada di seputar objek-objek ketaatan dan loyalitas seseorang.
Bisa saja ada bahasa analitis dan bebas tentang agama seperti dalam penelitian
psikologi dan sosiologi agama, tetapi bahasa yang berhu-bungan dengan agama
tidak mungkin tidak memihak, netral, dan tidak dipengaruhi perasaan pribadi,
karena apa yang diakui di dalam agama apapun menjadi pusat loyalitas dan
komitmen.
Iman kepada Tuhan adalah salah satu aspek dalam hubungan personal. Dalam
beberapa hal, iman kepada Tuhan mirip rasa percaya kepada seorang kawan atau
dokter, atau rasa percaya seorang suami kepada istrinya. Tidak satupun
kepercayaan-kepercayaan ini yang merupakan kepercayaan buta, karena
msing-masing ada kaitannya dengan pengalaman dan respon yang ditimbulkannya.
b.
Wahyu dan
penafsiran
Wahyu terjadi dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan Tuhan
maupun manusia. Di pihak manusia, segala peristiwa ini menunjukkan pengalaman
seorang manusia dengan Tuhan pada masa-masa hidupnya. Di pihak Tuhan,
peristiwa-peristiwa ini menunjukkan tindakan Tuhan dalam menampakkan diri-Nya
pada manusia, mengambil inisiatif dalam kehidupan individu dan komunitas.
Pengalaman manusia dan penampakan diri Tuhan adalah dua sisi dari peristiwa
yang sama. Dalam sejarah, Tuhan menampakkan diri dalam berbagai peristiwa dan
penafsiran nabi-nabi tentang peristiwa-peristiwa itu berdasarkan pengalaman
religius sang nabi. Komunitas Kristen menemukan Tuhan ditampakkan dalam riwayat
hidup dan sosok Kristus, lagi-lagi sebagai tempat bersatunya aktivitas manusia
dan ketuhanan. (kata Bapak Shamsi Ali)
4.
Integrasi Antara Agama dan Sains
Kata integrasi (integration) berarti pencampuran, pengkombinasian
dan perpaduan. Integrasi biasanya dilakukan terhadap dua hal atau lebih, dan
masing-masing dapat saling mengisi. Integrasi ini merupakan sebuah langkah
strategis untuk mengembangkan keilmuan. Karena dengan adanya integrasi inilah
maka diharapkan tidak terjadi konflik antara agama dan sains baik pada tataran
epistemologi maupun pada tataran aksiologi.[3]
Menurut pandangan pak Shamsi Ali suatu
pendekatan integrasi akan lebih bersahabat dari pendekatan dialog yang mana
pendekatan tersebut mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan
doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren
dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui
sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang
beriman.
Hubungan
integrasi akan memberikan wawasan yang lebih besar mencakup sains dan agama
sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan
keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman
mistis. Pak Shamsi Ali mencotohkan pada tokoh Maurice Bucaille yang melukiskan
tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan deskripsi
Al-Qur’an tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang dianggap memberikan
dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif keagamaan. Terdapat
pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama atas dasar kesamaan keduanya dalam
memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.
Pemahaman yang
diperoleh melalui sains sebagai salah satu sumber pengetahuan, menyatakan
keharmonisan koordinasi penciptaan sebagai desain cerdas Ilahi. Seperti halnya
ketika memperhatikan bagian-bagian tubuh manusia dengan strukturnya yang
tersusun secara kompleks dan terkoordinasi untuk tujuan tertentu. Ada beberapa
pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama,
berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan
agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan.
Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam
relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama
diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan
sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filsafat
proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Bapak Shamsi Ali
memberikan penjelasan tentang hubungan integrasi antara agama dan sains. Ajaran
utama Islam menggariskan bahwa semua jenis pendekatan terhadap realitas pada
akhirnya dapat dipersatukan dan makna finalnya diperoleh dalam perenungan
terhadap wajah Tuhan di akhirat.
Para saintis tidak dapat mendefinisikan
kebenaran pengetahuannya secara pasti, walaupun dengan memberikan
kriteria-kriteria tertentu untuk membantu perkembangan pengetahuannya. Adalah
sebuah kepastian bahwa sains tidak dapat menjelajahi seluruh realitas karena
sifatnya yang relatif, membuat pencarian pengetahuan tak akan ada habisnya dan
fenomena baru akan muncul terus-menerus. Akhirnya mayoritas manusia akan lebih
disibukkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang dunia daripada kontemplasi
tentang Pencipta.
5.
Paralelitas
Antara Sains dan Agama
a.
Pengalaman religius
dan penafsiran teologis
Interaksi antara pengalaman religius dengan penafsiran
dalam agama, mirip dengan interaksi yang terjadi di dalam sains. Dogma-dogma
agama merupakan upaya untuk merumuskan, dengan istilah-istilah yang tepat,
kebenaran yang terungkap lewat pengalaman religius manusia. Dengan cara yang
persis sama, dogma-dogma ilmu fisika adalah upaya untuk merumuskan, dengan
istilah-istilah yang tepat, kebenaran yang terungkapkan lewat persepsi indera
manusia.
Pengalaman tidak bisa dipisahkan dengan tegas dari
penafsiran. Dalam sains, data ilmiah bermuatan teori dan data-data dalam ilmu
sosial dilihat dari perspektif pengamat yang dikondisikan secara sejarah dan
budaya.Di sini manusia merupakan pencipta simbol yang aktif dan penuh daya
cipta. Ada interaksi dua arah yang berlangsung terus-menerus antara pengalaman
dan penafsiran. Melalui interaksi tersebut pengalaman dan penafsiran saling
mempengaruhi satu sama lain.
Teologi sebagai analisis agama menafsirkan pengalaman
komunitas peribadatan, tetapi tetapi
gagasan teologis pada akhirnya mempengaruhi jiwa komunitas ini. Kepercayaan
mempunyai implikasi terhadap peribadatan, etika dan semua aspek kehidupan
individu dan kelompok dan dengan begitu mempengaruhi data.
Kalau memang tidak ada pengalaman yang tidak ditafsirkan,
maka tidak mungkin ada pengetahuan religius yang sifatnya langsung dan pasti.
Ketika ada penafsiran manusia, maka selalu ada pula kemungkinan salah tafsir,
khususnya akibat harapan yang tidak terkabul.Semua teologi, seperti halnya sains,
tunduk pada proses kritik dan pengujian. Keterbatasan dan relativitas sudut
pandang manusia dan pengaruh sejarah yang tidak bisa dihindari pada prespektif
penafsiran, harus dikenali sejak awal.[4]
b.
Peranan
komunitas beragama dan sains
Sains dan agama memiliki kesamaan dalam hal dipengaruhi
oleh dinamika komunitasnya. Komunitas ilmiah mempunyai prinsip dan
karakteristik cara hidup sendiri; standar, adat istiadat, konvensi, tanda dan
simbol, bahasa dan jargon, etika profesi, sangsi dan kontrol, otoritas, institusi
dan organisasi, publikasi sendiri dan lain-lain. Baik bagi agama maupun ilmu
pengetahuan, kehidupan berkelompok meneruskan struktur ideal, standar,
kepercayaan, dan pola perilaku.
Menjadi seorang ahli fisika atau orang Kristen, kata
Pollard, merupakan proses belajar sikap khusus dengan bergabung ke dalam suatu
komunitas. Komunitas beragama juga punya paradigma-paradigmanya,
teladan-teladan utama dari masa silam yang mempengaruhi segala aktifitasnya
termasuk dalam hal menafsirkan bahasa-bahasa agama.
c.
Analogi dan
model dalam bahasa agama
Analogi adalah salah satu sumber simbol penafsiran dalam
agama seperti halnya dalam ilmu pengetahuan. Sebuah analogi adalah perluasan
pola-pola hubungan yang digambarkan dari satu area pengalaman untuk
menyelaraskan tipe-tipe pengalaman lain. Bahasa analogis seperti itu seringkali
ditemukan pada penafsiran seorang manusia akan pengalaman religius dan
simbol-simbol yang dipakainya untuk Tuhan. Analogi seperti raja, menara, terang
dan tinggi sering dipakai untuk Tuhan.
Menurut Pak Shamsi Ali Bentuk lain dari analogi adalah
perumpamaan (parable). Perumpamaan biasanya mempunyai satu titik sentral
persamaan antara kejadian yang diceritakan dan suatu aspek dalam relasi antara
manusia dan Tuhan. Adapun model, merupakan kumpulan sistematis analogi yang
diambil dari satu situasi yang lebih familiar. Dalam teologi al-Kitab, model
sentral untuk Tuhan adalah sesosok manusia. Yang sering ditanyakan adalah aspek
mana dari model tersebut yang dianggap relevan serta mana yang diyakini tidak
relevan dan tidak cocok. Apakah model manusia mengisyaratkan bahwa Tuhan punya tangan
dan kaki?. Ada manusia-manusia tertentu yang ditetapkan sebagai model: seorang
penguasa yang berdaulat, hakim yang adil, dan akhirnya ayah yang penuh kasih.
Bagi orang Kristen ada satu model tertinggi untuk Tuhan, yaitu sosok Kristus. Banyak
bahaya dalam penggunaan model pada ilmu pengetahuan juga ditemukan pada agama.
Orang mungkin berharap terlalu banyak dari sebuah model dan menyamakannya
dengan realitas, seperti yang dilakukan kaum literalis yang melupakan bahwa
aspek-aspek yang relevan dari sebuah model pun tidak menyediakan gambaran
lengkap. Tradisi al-Kitab walaupun sudah sering menggunakan gambaran-gambaran
visual, sadar sekali akan segala keterbatasannya. Tuhan tidak mungkin
digambarkan dalam bentuk visual seperti apapun. Tuhan selalu berada di luar
jang-kauan pemahaman manusia dan “caraNya bukan cara kita”. Tuhan mungkin saja
“mirip dengan seorang bapak”, tetapi Dia juga “di luar jangkauan pemikiran kita
yang terjauh”.
BAB III
ANALISIS
Menurut
pandangan Imam Shamsi Ali mengenai agama dan sains yakni harus adanya integrasi
keduanya. Agama dan sains tidak ada perbedaan fundamental yang cukup berarti.
Shamsi Ali memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka kemungkinan
interaksi di antara keduanya. Melalui model posisi perbincangan tentang
hubungan sains dan agama ia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat
diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Model integrasi melahirkan
hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik
temu di antara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama
dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan
pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat
memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Pandangan Imam
Shamsi Ali ini menekankan akan terjadinya integrasi antara agama dan sains.
Konflik antara agama dan sains yang terjadi didalam masyarakat sebenarnya
merupakan sebuah perbedaan sudut pandang dalam memahami epsitemologi agama
dengan sains. Namun secara hakikatnya antara agama dan sains tidak ada sebuah
perbedaan yang cukup fundamental.
Inipun
ditegaskan oleh Imam Shamsi Ali bahwa pertentangan yang terjadi di dunia Barat
sejak abad lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap
hakikat sains dan agama. Adalah tugas manusia untuk merubah argumentasi mereka,
selama ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan
dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang
Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam
fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak belakang, karena keduanya
merupakan ungkapan kebenaran.
KESIMPULAN
Imam
Shamsi Ali yang biasa dipanggil Shamsi Ali, lahir di Bulukumba, Sulawesi
Selatan pada tanggal 5 Oktober 1967. Ia adalah seorang Muslim Scholar terkenal dan Imam terkenal di New York
City, Amerika Serikat. Dia adalah seorang Imam masjid terbesar di
kota yang terletak di 96th street dan 3rd AV Manhattan. Dia adalah Ketua Masjid Al-Hikmah di Astoria dan Direktur Jamaica
Muslim Center di Queens.
Dalam konteks itulah sosok Imam
Shamsi Ali menjadi sangat penting. Ia “hadir” atau “dihadirkan” untuk
meruntuhkan mitos Islam sebagai sebuah ancaman global, khususnya ancaman bagi
masyarakat Amerika. Imam Shamsi Ali mencoba mendakwahkan risalah Islam yang
ramah, moderat, dan rasional kepada publik Barat, khususnya Amerika. Ia adalah
pembawa risalah Islam cinta di samudra biru yang merindukan kedamaian. Karena
spirit atau ruh dakwahnya yang nirkekerasan, kehadirannya terasa begitu
bermakna.
Pandangan yang
sangat penting dari Imam Shamsi Ali terhadap agama dan sains adalah adanya integrasi
antara keduanya. Kata
integrasi (integration) berarti pencampuran, pengkombinasian dan perpaduan.
Integrasi biasanya dilakukan terhadap dua hal atau lebih, dan masing-masing
dapat saling mengisi. Integrasi ini merupakan sebuah langkah strategis untuk
mengembangkan keilmuan. Karena dengan adanya integrasi inilah maka diharapkan
tidak terjadi konflik antara agama dan sains baik pada tataran epistemologi
maupun pada tataran aksiologi.
Menurut pandangan pak Shamsi Ali suatu
pendekatan integrasi akan lebih bersahabat dari pendekatan dialog yang mana
pendekatan tersebut mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan
doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren
dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui
sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang
beriman.
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Syamsi_Ali
[2]http://nourabooks.blogspot.com/2013/11/imam-shamsi-ali-pembawa-risalah-cinta.html,
29 juni 2014, 10.07
[3]Wawancara dengan Imam Shamsi Ali, lewat email
tanggal 1 Juli 2014. Jam 13.30 WIB
[4]Wawancara dengan Imam Shamsi Ali, lewat email
tanggal 3 Juli 2014. Jam 20.05 WIB