Senin, 15 Desember 2014

PANDANGAN IMAM SHAMSI ALI TENTANG AGAMA DAN SAINS



A.    Latar belakang
Pembahasan  ini mengenai agama dan sains-seakan akan tidak pernah habis, karena  kehadirannya berada di zaman peradaban Islam sampai sekarang. Manusia dan masyarakat merupakan objek kajian  selalu menarik dan berkembang interaksi antara manusia yang biasanya berkembang antara manusia sehingga meninmbulkan permasalahan. Dalam upaya untuk mendidik masyarakat Amerika yang lebih besar tentang Islam, dan ia berusaha untuk mempromosikan dan mendorong pemahaman, empati dan kasih sayang yang diperlukan untuk menjembatani dan memperkuat hubungan masyarakat. Pelajari lebih lanjut tentang pekerjaan dan inisiatif, dan merasa bebas menghubungi dia dengan berbagai pertanyaan Singkatnya, Islam dianggap sebagai agama yang sulit hidup berdampingan secara elegan dengan publik masyarakat modern yang bersifat multikultural. Seolah-olah tesis klasik dan kontroversial Samuel P.Huntington tentang clash of civilization tidak lagi sebuah fantasi buruk di alam mimpi saja, tetapi benar-benar menjadi kenyataan pahit dan membekas di benak publik masyarakat Amerika.
Namun, di titik tertentu situasi mencekam semacam itu justru mengundang rasa penasaran dan ingin tahu yang amat mendalam bagi sebagian besar masyarakat Amerika terutama kalangan akademis dan praktisi dialog antaragama tentang Islam sebagai way of life sebagaimana dipraktikkan oleh jutaan umat manusia di planet bumi, termasuk di Amerika. Mereka mencoba menelusuri Islam secara emik, tidak sebatas melihat dimensi historis-faktual Amerika semata melainkan juga passing over sampai ke ranah normatif-doktrinal dan mencoba melihat secara “adil” aspek historis dan mutakhir masyarakat Islam secara keseluruhan. Rasa ingin tahu secara lebih objektif itu merupakan hal yang sangat penting. Karena sebagian besar masyarakat Amerika sesungguhnya bermental “kuper”, hanya membaca dan menonton media cetak serta TV tertentu yang umumnya menampilkan citra buruk dan propagandis tentang Islam.Seiring dengan kecenderungan positif tersebut, otomatis kajian-kajian Islam semakin semarak di Amerika: forum-forum debat seminar yang bersifat terbuka, demokratis, dan rasional serta dialog-dialog tentang pelbagai wacana keislaman yang bersifat kritis, terus bermunculan bagaikan jamur di tengah gerimis hujan. Islam malah kini menjadi “primadona” baru publik Amerika. Mereka mencoba menelaah Islam sebagai sebuah identitas sosial, budaya, dan politik dari tokoh-tokoh Islam itu sendiri yang kebetulan tinggal di Amerika. Mereka seolah mendapat pencerahan baru. Dalam konteks itulah sosok Imam Shamsi Ali menjadi sangat penting.Ia “hadir” atau “dihadirkan” untuk meruntuhkan mitos Islam sebagai sebuah ancaman global, khususnya ancaman bagi masyarakat Amerika. Imam Shamsi Ali mencoba mendakwahkan risalah Islam yang ramah, moderat, dan rasional kepada publik Barat, khususnya Amerika. Ia adalah pembawa risalah Islam cinta di samudra biru yang merindukan kedamaian. Karena spirit atau ruh dakwahnya yang nirkekerasan, kehadirannya terasa begitu bermakna. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan demikian cepat. Sementara itu, pemahaman yang terkait dengan pengembangan teknologi yang mendasarkan pada keimanan berjalan lebih lambat.
Para ilmuwan berargumentasi bahwa semua penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan, sebaliknya para agamawan lebih sibuk membicarakan persoalan akhirat dan pesan-pesan moral, tidak heran jika selalu terjadi benturan antara ilmu pengetahuan dan agama.Kaum agamawan memerlukan etika dalam arti, memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana harus hidup kalau ia mau menjadi baik, jangan sampai akal budi dikesampingkan dari agama. Oleh karena itu kaum agamawan yang diharakan betul-betul memakai rasio dan memahami ilmu pengetahuan serta kemajuan teknologi.Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan manusia diilhami dari tumbuhnya sikap pencerahan rasional manusia sebagai masyarakat modern, dan dikenal sebagai sikap rasionalisme. Sains adalah sesuatu yang boleh dibuktikan kebenarannya melalui ujian empirical (yang di ujikan).Keinginan mengetahui secara ilmiah dan penelitian yang baik adalah merupakan sifat-sifat utama peradaban Islam.Sebab itu, Islam bukan saja menghasilkan ahli-ahli sains yang terkemuka tetapi membentuk juga satu bentuk sains tersendiri -satu bentuk sains yang menyatukan sains yang objektif di dalam pandangan hidup Islam.
Sains tentang hadits (Ilmu al-Hadits) yang mana membentuk asas-asas akhlak dan kanun perundangan Islam juga menyediakan satu kaedah kajian yang canggih. Untuk penulisan tafsir juga telah dikembangkan kaedah kajian yang canggih dan juga tradisi keilmiahan. Keduanya Qur’an dan Hadith merupakan asas terhadap semua kegiatan dalam sejarah Islam yang sesuai dengan kemampuanya. Sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, hubungan sains dan  agama tak selalu harmonis dan beriringan. Hubungan agama dan sains bukanlah polemik yang baru-baru saja menggulir dalam dunia keilmuwan. Konflik ini telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Sejak pertengahan abad ke-15 agama dan sains adalah dua esensi yang sangat berbeda dan bertentangan. Pengetahuan saat itu sangat didominasi oleh kekuasaan Gereja yang bertolak pengetahuan filsafat Yunani serta kitab mereka Injil. Otoritas tertinggi adalah gereja, apabila sains atau pengetahuan tidak sejalan dengan gereja dan ijnjil maka dianggap sesat. Dalam jangka waktu yang relatif lama belum ada solusi yang barhasil untuk mendamaikan keduanya.
Banyak ilmuwan yang merasa terbelenggu karena tidak dapat mengembangkan kreatifitas mereka, mereka mencoba untuk melakukan perubahan dan membebaskan akal agar pengetahuan dapat berkembang dan tidak stagnan.Bagaimana sekarang ini hubungan antara agama dan sains? Kemudian bagaimana dengan Islam dalam memandang sains? Dalam makalah ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai hubungan agama dengan sains, khususnya Islam dalam memandang sains.

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah sejarah kehidupan Imam Shamsi Ali?
2.                            Bagaimana pandangan Shamsi Ali tentang agama dan sains?
3.    Bagaimana perbedaan antara agama dan sains yang dikembangkan oleh Shamsi Ali?
4.    Jelaskan integrasi yang dikembangkan Shamsi Ali mengenai agama dan sains?

C.    Tujuan:
Tujuan penelitian ini yaitu :
1.      Untuk mengetahuai sejarah kehidupan Imam Shamsi Ali.
2.      Untuk mengetahui dan memahami pandangan agama dan sains menurut Imam Shamsi Ali.
3.      Untuk mengetahui perbedaan yang ada antara agama dan sains.
4.      Untuk memahami makna integrasi yang dikembangkan Shamsi Ali mengenai agama dan sains.

D.    Manfaat penelitian :
1        Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan  dan referensi tambahan pada fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah Filsafat  yang mana dapat digunakan  sebagai bahan penelitian yang lebih lanjut.
2        Penelitian ini dapat memberikan wawasan sebagai sarana berfikir ilmiah tentang  perkembangan keagamaan di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
1.    Biografi
Imam Shamsi Ali yang biasa dipanggil Shamsi Ali, lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Oktober 1967. Ia adalah seorang Muslim Scholar terkenal dan Imam terkenal di New York City, Amerika Serikat. Dia adalah seorang Imam masjid terbesar di kota yang terletak di 96th street dan 3rd AV Manhattan. Dia adalah Ketua Masjid Al-Hikmah di Astoria dan Direktur Jamaica Muslim Center di Queens. Imam Shamsi Ali sebenarnya memiliki nama asli Utteng,  semula adalah merupakan bocah nakal, pemalas dan suka membolos bahkan pernah dipenjara selama dua minggu karena memukul hidung temannya hingga patah. Namanya diganti menjadi Imam Shamsi Ali oleh K.H. Abdul Jabbar Asyiri, pimpinan pondok pesantren Darul Arqam. Pemberian nama baru tersebut dengan harapan Utteng bisa menjadi orang yang memiliki sifat terpuji serta dapat menerangi umat dengan cahaya kemuliaan (yang tinggi).
Pendidikan awal yang ditempuh Shamsi Ali adalah di SD tepatnya Desa Lembanna, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar tersebut, orang tuanya mengusulkan untuk melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Muhammadiyah “Darul Arqam” Makasar. Setelah tamat dari pesantren 1987, Shamsi Ali mengabdikan dirinya sebagai staf pengajar di almamaternya hingga akhir 1988. Ia mendapat tawaran beasiswa dari Rabithah Alam Islami untuk melanjutkan studi ke Universitas Islam Internasional, IslamabadPakistan. Jenjang S1 dalam bidang Tafsir diselesaikan tahun 1992 dan dilanjutkan pada Universitas yang sama dan menyelesaikan jenjang S2 dalam bidang Perbandingan Agama pada tahun 1994. Selama studi S2 di Pakistan, Syamsi Ali juga bekerja sebagai staf pengajar pada sekolah Saudi Red Crescent Society di Islamabad. Dari sekolah itulah kemudian mendapat tawaran untuk mengajar pada the Islamic Education Foundation, Jeddah, Arab Saudi pada awal tahun 1995.
Pada musim haji tahun 1996, Shamsi Ali mendapat amanah untuk berceramah di Konsulat Jenderal RI Jeddah di Arab Saudi. Dari sanalah bertemu dengan beberapa jamaah haji luar Negeri, termasuk Dubes RI untuk PBB, yang sekaligus menawarkan kepadanya untuk datang ke New York, Amerika Serikat. Tawaran ini kemudian diterima Shamsi Ali dan ia pindah ke New York pada awal tahun 1997.[1]
Shamsi Ali juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Penasehat untuk berbagai organisasi lintas agama, termasuk Tanenbaum Center dan Federasi untuk Perdamaian Timur Tengah. Ia juga Ketua Dewan Pembina untuk Muslim Federation Asean Amerika Utara. Shamsi Ali juga anggota Dewan Kemitraan Iman di New York, dan Co-pendiri UNCC (Universal Rohaniwan Koalisi-Internasional). Selain itu, ia juga Asisten Direktur dan anggota Dewan Yayasan Muslim Amerika, Inc, dan Ketua tahunan Muslim Day Parade di New York City. Beliau juga menjabat sebagai Wakil Presiden Asia-Amerika Koalisi USA (AAC-USA) dan Perwakilan PBB nya.  
Dalam komunitas Muslim Indonesia di Amerika Utara, Shamsi Ali adalah sosok yang terkenal. Menjabat sebagai Dewan Penasehat untuk organisasi Muslim nasional utama seperti IMSA (Masyarakat Muslim Indonesia di Amerika) dan ICMI (Indonesian Muslim Intelektual Masyarakat di Amerika).
Terkenal di komunitas lintas agama, Shamsi Ali adalah wajah terlihat Islam. Dia menjadi dosen di gereja-gereja, rumah-rumah ibadat dan lembaga lainnya baik secara nasional dan di seluruh dunia. Dia adalah salah seorang pemimpin agama beberapa yang telah diundang untuk menemani Presiden George W. Bush untuk mengunjungi Ground Zero hari setelah 11 September, dan mewakili komunitasnya selama Doa Yankee Stadium untuk acara America bersama pejabat agama dan pemerintah peringkat tinggi sisi, termasuk Mantan Presiden Bill Clinton dan kemudian Senator Hillary Clinton.
Shamsi Ali mampu mengenalkan Islam di Amerika dengan format yang berbeda.Penerimaan masyarakat Amerika umumnya terhadap agama Islam dirasakan tidak seramah negara-negara Eropa. Untuk itu perlu cara tersendiri dalam mengenalkan Islam di negeri Paman Sam tersebut. Di Amerika beliau aktif melakukan dua buah kegiatan yakni outreach dan interfaith. Outreach adalah menjangkau masyarakat sekitar–yang mayoritas beragama Kristiani dan Yahudi- agar tahu tentang aktivitas di dalam masjid, sedangkan interfaith adalah dialog antar umat beragama yang lokasi penyelenggaraannya dilakukan secara bergiliran di Gereja, Sinagoge, dan Masjid. Interfaith bukan bertujuan mencampur adukkan ajaran agama tetapi untuk membangun kerja sama dalam hal kemanusiaan dan sosial, serta mengikis prasangka yang muncul karena perbedaan agama.
Berkat kegiatannya tersebut Imam Shamsi Ali bersama dengan enam tokoh agama lainnya dinobatkan sebagai penerima Ellis Island Medals of Honor. Beliau dipandang sebagai salah satu tokoh agama yang dinilai mampu memberi sumbangsih terhadap perdamaian, toleransi, dan keberagaman di Amerika. Ellis Island Medals of Honor adalah penghargaan tertinggi non-militer dari pemerintah Amerika, ditujukan untuk para imigran yang dianggap memiliki spirit atau semangat untuk menjadikan Amerika sebagai negara yang lebih kuat, dan tempat yang lebih nyaman bagi semua orang.
2.    Pandangan Agama dan Sains Menurut Shamsi Ali
Pada mulanya Islam di dunia-khususnya di Amerika Serikat-dilihat secara paradoks, sebagai sosok yang sangat menakutkan sekaligus mengundang rasa penasaran. Stigma buruk tentang Islam tersebut kerap kita jumpai dalam sebentuk ungkapan-ungkapan yang menyakitkan: Islam sebagai agama teror yang mendukung kekerasan, antikemanusiaan, antidemokrasi, tidak menyantuni perbedaan, dan membunuh nilai-nilai pluralitas.
Singkatnya, Islam dianggap sebagai agama yang sulit hidup berdampingan secara elegan dengan publik masyarakat modern yang bersifat multikultural. Seolah-olah tesis klasik dan kontroversial Samuel P. Huntington tentang clash of civilization tidak lagi sebuah fantasi buruk di alam mimpi saja, tetapi benar-benar menjadi kenyataan pahit dan membekas di benak publik masyarakat Amerika.
Namun, di titik tertentu situasi mencekam semacam itu justru mengundang rasa penasaran dan ingin tahu yang amat mendalam bagi sebagian besar masyarakat Amerika-terutama kalangan akademis dan praktisi dialog antar agama-tentang Islam sebagai way of life, sebagaimana dipraktikkan oleh jutaan umat manusia di planet bumi, termasuk di Amerika. Mereka mencoba menelusuri Islam secara detail, tidak sebatas melihat dimensi historis-faktual Amerika semata, melainkan juga passing over sampai ke ranah normatif-doktrinal dan mencoba melihat secara “adil” aspek historis dan mutakhir masyarakat Islam secara keseluruhan.
Dalam konteks itulah sosok Imam Shamsi Ali menjadi sangat penting. Ia “hadir” atau “dihadirkan” untuk meruntuhkan mitos Islam sebagai sebuah ancaman global, khususnya ancaman bagi masyarakat Amerika. Imam Shamsi Ali mencoba mendakwahkan risalah Islam yang ramah, moderat, dan rasional kepada publik Barat, khususnya Amerika. Ia adalah pembawa risalah Islam cinta di samudra biru yang merindukan kedamaian. Karena spirit atau ruh dakwahnya yang nirkekerasan, kehadirannya terasa begitu bermakna.[2]
Agama (Islam) menurut Shamsi Ali memiliki arti sebagai petunjuk hidup bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini, baik dalam aspek ritual maupun muamalah, maupun aspek pribadi dan juga sosial kemasyarakatan. Agama itu memiliki nilai-nilai “kesucian” dan karenanya sangat bersentuhan dengan sensitifitas manusia. Sedangkan Shamsi Ali mengartikan sains merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji sekumpulan pernyataan yang terbukti atau dengan fakta-fakta yang ditinjau, dan disusun secara bersistem dan dihimpun dalam bentuk hukum-hukum umum, dan ia termasuk kedalam kaedah-kaedah yang boleh dipercayai untuk menghasilkan kebenaran baru di dalam teori lapangan.
Ringkasnya sains adalah sesuatu yang boleh dibuktikan kebenarannya melalui ujian empirikal. Keinginan mengetahui secara ilmiah dan penelitian yang baik adalah merupakan sifat-sifat utama peradaban Islam. Sebab itu, Islam bukan saja menghasilkan ahli-ahli sains yang terkemuka tetapi membentuk juga satu bentuk sains tersendiri-satu bentuk sains yang menyatukan sains yang objektif di dalam pandangan hidup Islam. Sains tentang hadits (Ilmu al-Hadits) yang mana membentuk asas-asas akhlak dan kanun perundangan Islam juga menyediakan satu kaedah kajian yang canggih. Untuk penulisan tafsir juga telah dikembangkan kaedah kajian yang canggih dan juga tradisi keilmiahan. Keduanya antara Al-Qur’an dan Hadits merupakan asas terhadap semua kegiatan dalam sejarah Islam. Kaedah-kaedah yang dikembangkan untuk kupasan Hadits dan teknik pengembangan tafsir kedua-duanya mempengaruhi sains. Bahkan sains pun berperan penting dalam agama Islam dalam rangka:
a. Membantu manusia mengenali Allah sebagai pencipta.
b. Membantu manusia memahami persoalan Tauhid.
c. Menegakkan hakikat kebenaran.
d. Membawa manusia bersifat tafakkur.
e. Membantu manusia memenuhi keperluan material.
f. Membantu dalam pelaksanaan syariat.
g.Menghubungkan nilai etika dengan sains, sains dengan agama dan sains dengan Al Quran  dan As Sunnah.
h. Memenuhi keperluan manusia kepada konsep keindahan.
i. Memudahkan kehidupan manusia.
3.    Perbedaan Antara Agama dan Sains
a.     Keterlibatan personal dan iman beragama
Terdapat perbedaan antara agama dan sains, untuk itu Pak Shamsi Ali menjelaskan melalui sub judul “Partisipasi personal dan “urusan utama”. Ada tiga karakteriostik  mengenai “urusan utama” tersebut, yaitu pertama, mempunyai urusan utama berarti punya komitmen terbuka, kesetiaan dan loyalitas. Itu adalah urusan kesungguhan hidup dan mati, karena makna eksistensi diri sendiri tengah dipertaruhkan. Seseorang mempertaruhkan hidupnya sebagai respon terhadap janji-janji atau ancaman agama. Kedua, urusan utama memberi-kan nilai tertinggi dalam hubungannya sebagai pembenaran dan pengaturan nilai-nilai lain. Urusan utama adalah prioritas tertinggi.Urusan utama adalah landasan terakhir tempat bergantungnya struktur nilai-nilai seseorang. Ketiga, urusan utama menuntut perspektif inklusif atau orientasi kehidupan, karena urusan utama menghubungkan semua bidang kehidupan dan melibatkan orang tersebut secara utuh. Jadi, urusan utama adalah pusat pandangan hidup sekaligus pusat integritas kepribadian.
Keterlibatan personal tidak terelakkan di sini justru karena persoalan religius utama berada di seputar objek-objek ketaatan dan loyalitas seseorang. Bisa saja ada bahasa analitis dan bebas tentang agama seperti dalam penelitian psikologi dan sosiologi agama, tetapi bahasa yang berhu-bungan dengan agama tidak mungkin tidak memihak, netral, dan tidak dipengaruhi perasaan pribadi, karena apa yang diakui di dalam agama apapun menjadi pusat loyalitas dan komitmen.
Iman kepada Tuhan adalah salah satu aspek dalam hubungan personal. Dalam beberapa hal, iman kepada Tuhan mirip rasa percaya kepada seorang kawan atau dokter, atau rasa percaya seorang suami kepada istrinya. Tidak satupun kepercayaan-kepercayaan ini yang merupakan kepercayaan buta, karena msing-masing ada kaitannya dengan pengalaman dan respon yang ditimbulkannya.
b.    Wahyu dan penafsiran
Wahyu terjadi dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang melibatkan Tuhan maupun manusia. Di pihak manusia, segala peristiwa ini menunjukkan pengalaman seorang manusia dengan Tuhan pada masa-masa hidupnya. Di pihak Tuhan, peristiwa-peristiwa ini menunjukkan tindakan Tuhan dalam menampakkan diri-Nya pada manusia, mengambil inisiatif dalam kehidupan individu dan komunitas. Pengalaman manusia dan penampakan diri Tuhan adalah dua sisi dari peristiwa yang sama. Dalam sejarah, Tuhan menampakkan diri dalam berbagai peristiwa dan penafsiran nabi-nabi tentang peristiwa-peristiwa itu berdasarkan pengalaman religius sang nabi. Komunitas Kristen menemukan Tuhan ditampakkan dalam riwayat hidup dan sosok Kristus, lagi-lagi sebagai tempat bersatunya aktivitas manusia dan ketuhanan. (kata Bapak Shamsi Ali)
4.    Integrasi Antara Agama dan Sains
Kata integrasi (integration) berarti pencampuran, pengkombinasian dan perpaduan. Integrasi biasanya dilakukan terhadap dua hal atau lebih, dan masing-masing dapat saling mengisi. Integrasi ini merupakan sebuah langkah strategis untuk mengembangkan keilmuan. Karena dengan adanya integrasi inilah maka diharapkan tidak terjadi konflik antara agama dan sains baik pada tataran epistemologi maupun pada tataran aksiologi.[3]
Menurut pandangan pak Shamsi Ali suatu pendekatan integrasi akan lebih bersahabat dari pendekatan dialog yang mana pendekatan tersebut mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
      Hubungan integrasi akan memberikan wawasan yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Pak Shamsi Ali mencotohkan pada tokoh Maurice Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan deskripsi Al-Qur’an tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif keagamaan. Terdapat pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama atas dasar kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.
Pemahaman yang diperoleh melalui sains sebagai salah satu sumber pengetahuan, menyatakan keharmonisan koordinasi penciptaan sebagai desain cerdas Ilahi. Seperti halnya ketika memperhatikan bagian-bagian tubuh manusia dengan strukturnya yang tersusun secara kompleks dan terkoordinasi untuk tujuan tertentu. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filsafat proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Bapak Shamsi Ali memberikan penjelasan tentang hubungan integrasi antara agama dan sains. Ajaran utama Islam menggariskan bahwa semua jenis pendekatan terhadap realitas pada akhirnya dapat dipersatukan dan makna finalnya diperoleh dalam perenungan terhadap wajah Tuhan di akhirat.
      Para saintis tidak dapat mendefinisikan kebenaran pengetahuannya secara pasti, walaupun dengan memberikan kriteria-kriteria tertentu untuk membantu perkembangan pengetahuannya. Adalah sebuah kepastian bahwa sains tidak dapat menjelajahi seluruh realitas karena sifatnya yang relatif, membuat pencarian pengetahuan tak akan ada habisnya dan fenomena baru akan muncul terus-menerus. Akhirnya mayoritas manusia akan lebih disibukkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang dunia daripada kontemplasi tentang Pencipta.

5.    Paralelitas Antara Sains dan Agama
a.    Pengalaman religius dan penafsiran teologis
Interaksi antara pengalaman religius dengan penafsiran dalam agama, mirip dengan interaksi yang terjadi di dalam sains. Dogma-dogma agama merupakan upaya untuk merumuskan, dengan istilah-istilah yang tepat, kebenaran yang terungkap lewat pengalaman religius manusia. Dengan cara yang persis sama, dogma-dogma ilmu fisika adalah upaya untuk merumuskan, dengan istilah-istilah yang tepat, kebenaran yang terungkapkan lewat persepsi indera manusia.
Pengalaman tidak bisa dipisahkan dengan tegas dari penafsiran. Dalam sains, data ilmiah bermuatan teori dan data-data dalam ilmu sosial dilihat dari perspektif pengamat yang dikondisikan secara sejarah dan budaya.Di sini manusia merupakan pencipta simbol yang aktif dan penuh daya cipta. Ada interaksi dua arah yang berlangsung terus-menerus antara pengalaman dan penafsiran. Melalui interaksi tersebut pengalaman dan penafsiran saling mempengaruhi satu sama lain.
Teologi sebagai analisis agama menafsirkan pengalaman komunitas peribadatan, tetapi  tetapi gagasan teologis pada akhirnya mempengaruhi jiwa komunitas ini. Kepercayaan mempunyai implikasi terhadap peribadatan, etika dan semua aspek kehidupan individu dan kelompok dan dengan begitu mempengaruhi data.
Kalau memang tidak ada pengalaman yang tidak ditafsirkan, maka tidak mungkin ada pengetahuan religius yang sifatnya langsung dan pasti. Ketika ada penafsiran manusia, maka selalu ada pula kemungkinan salah tafsir, khususnya akibat harapan yang tidak terkabul.Semua teologi, seperti halnya sains, tunduk pada proses kritik dan pengujian. Keterbatasan dan relativitas sudut pandang manusia dan pengaruh sejarah yang tidak bisa dihindari pada prespektif penafsiran, harus dikenali sejak awal.[4]

b.    Peranan komunitas beragama dan sains
Sains dan agama memiliki kesamaan dalam hal dipengaruhi oleh dinamika komunitasnya. Komunitas ilmiah mempunyai prinsip dan karakteristik cara hidup sendiri; standar, adat istiadat, konvensi, tanda dan simbol, bahasa dan jargon, etika profesi, sangsi dan kontrol, otoritas, institusi dan organisasi, publikasi sendiri dan lain-lain. Baik bagi agama maupun ilmu pengetahuan, kehidupan berkelompok meneruskan struktur ideal, standar, kepercayaan, dan pola perilaku.
Menjadi seorang ahli fisika atau orang Kristen, kata Pollard, merupakan proses belajar sikap khusus dengan bergabung ke dalam suatu komunitas. Komunitas beragama juga punya paradigma-paradigmanya, teladan-teladan utama dari masa silam yang mempengaruhi segala aktifitasnya termasuk dalam hal menafsirkan bahasa-bahasa agama.


c.    Analogi dan model dalam bahasa agama
Analogi adalah salah satu sumber simbol penafsiran dalam agama seperti halnya dalam ilmu pengetahuan. Sebuah analogi adalah perluasan pola-pola hubungan yang digambarkan dari satu area pengalaman untuk menyelaraskan tipe-tipe pengalaman lain. Bahasa analogis seperti itu seringkali ditemukan pada penafsiran seorang manusia akan pengalaman religius dan simbol-simbol yang dipakainya untuk Tuhan. Analogi seperti raja, menara, terang dan tinggi sering dipakai untuk Tuhan.
Menurut Pak Shamsi Ali Bentuk lain dari analogi adalah perumpamaan (parable). Perumpamaan biasanya mempunyai satu titik sentral persamaan antara kejadian yang diceritakan dan suatu aspek dalam relasi antara manusia dan Tuhan. Adapun model, merupakan kumpulan sistematis analogi yang diambil dari satu situasi yang lebih familiar. Dalam teologi al-Kitab, model sentral untuk Tuhan adalah sesosok manusia. Yang sering ditanyakan adalah aspek mana dari model tersebut yang dianggap relevan serta mana yang diyakini tidak relevan dan tidak cocok. Apakah model manusia mengisyaratkan bahwa Tuhan punya tangan dan kaki?. Ada manusia-manusia tertentu yang ditetapkan sebagai model: seorang penguasa yang berdaulat, hakim yang adil, dan akhirnya ayah yang penuh kasih. Bagi orang Kristen ada satu model tertinggi untuk Tuhan, yaitu sosok Kristus. Banyak bahaya dalam penggunaan model pada ilmu pengetahuan juga ditemukan pada agama. Orang mungkin berharap terlalu banyak dari sebuah model dan menyamakannya dengan realitas, seperti yang dilakukan kaum literalis yang melupakan bahwa aspek-aspek yang relevan dari sebuah model pun tidak menyediakan gambaran lengkap. Tradisi al-Kitab walaupun sudah sering menggunakan gambaran-gambaran visual, sadar sekali akan segala keterbatasannya. Tuhan tidak mungkin digambarkan dalam bentuk visual seperti apapun. Tuhan selalu berada di luar jang-kauan pemahaman manusia dan “caraNya bukan cara kita”. Tuhan mungkin saja “mirip dengan seorang bapak”, tetapi Dia juga “di luar jangkauan pemikiran kita yang terjauh”.


























BAB III
ANALISIS
Menurut pandangan Imam Shamsi Ali mengenai agama dan sains yakni harus adanya integrasi keduanya. Agama dan sains tidak ada perbedaan fundamental yang cukup berarti. Shamsi Ali memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui model posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama ia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Model integrasi melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Pandangan Imam Shamsi Ali ini menekankan akan terjadinya integrasi antara agama dan sains. Konflik antara agama dan sains yang terjadi didalam masyarakat sebenarnya merupakan sebuah perbedaan sudut pandang dalam memahami epsitemologi agama dengan sains. Namun secara hakikatnya antara agama dan sains tidak ada sebuah perbedaan yang cukup fundamental.
Inipun ditegaskan oleh Imam Shamsi Ali bahwa pertentangan yang terjadi di dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap hakikat sains dan agama. Adalah tugas manusia untuk merubah argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak belakang, karena keduanya merupakan ungkapan kebenaran.

KESIMPULAN

Imam Shamsi Ali yang biasa dipanggil Shamsi Ali, lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Oktober 1967. Ia adalah seorang Muslim Scholar terkenal dan Imam terkenal di New York City, Amerika Serikat. Dia adalah seorang Imam masjid terbesar di kota yang terletak di 96th street dan 3rd AV Manhattan. Dia adalah Ketua Masjid Al-Hikmah di Astoria dan Direktur Jamaica Muslim Center di Queens.
Dalam konteks itulah sosok Imam Shamsi Ali menjadi sangat penting. Ia “hadir” atau “dihadirkan” untuk meruntuhkan mitos Islam sebagai sebuah ancaman global, khususnya ancaman bagi masyarakat Amerika. Imam Shamsi Ali mencoba mendakwahkan risalah Islam yang ramah, moderat, dan rasional kepada publik Barat, khususnya Amerika. Ia adalah pembawa risalah Islam cinta di samudra biru yang merindukan kedamaian. Karena spirit atau ruh dakwahnya yang nirkekerasan, kehadirannya terasa begitu bermakna.
Pandangan yang sangat penting dari Imam Shamsi Ali terhadap agama dan sains adalah adanya integrasi antara keduanya. Kata integrasi (integration) berarti pencampuran, pengkombinasian dan perpaduan. Integrasi biasanya dilakukan terhadap dua hal atau lebih, dan masing-masing dapat saling mengisi. Integrasi ini merupakan sebuah langkah strategis untuk mengembangkan keilmuan. Karena dengan adanya integrasi inilah maka diharapkan tidak terjadi konflik antara agama dan sains baik pada tataran epistemologi maupun pada tataran aksiologi.
Menurut pandangan pak Shamsi Ali suatu pendekatan integrasi akan lebih bersahabat dari pendekatan dialog yang mana pendekatan tersebut mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.


[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Syamsi_Ali

[3]Wawancara dengan Imam Shamsi Ali, lewat email tanggal 1 Juli 2014. Jam 13.30 WIB
[4]Wawancara dengan Imam Shamsi Ali, lewat email tanggal 3 Juli 2014. Jam 20.05 WIB

Translate