Kamis, 01 Januari 2015

ANALISIS “LANGUAGE GAME” WITTGENSTEIN TERHADAP AJARAN KAUM SUFI FALSAFI



A.    Pendahuluan
Di dalam studi Islam terdapat tiga epistemologi kajiannya, yakni syariat, tarekat dan hakikat. Kesemua dimensi tersebut berjalan secara sinergis. Kalau di dalam bahasa “Islam”nya terdapat dimensi iman, islam, dan ihsan. Jika iman dan islam bertalian erat dengan aspek syariat, maka ihsan terkait erat dengan aspek tasawuf. Namun di dalam perkembangan sejarah Islam, kedua aspek tersebut tidak pernah ada kata sepakat dalam segala hal. Jika di dalam aspek syariat yang diterpenting adalah mengenai normativitas keIslaman sementara pada aspek tasawuf yang terpenting adalah mengenai makna (hakekat) dari realitas. Oleh karena dengan pendekatan yang berbeda itulah kedua aspek ini saling terjadi pertentangan.
Jika melihat sejarah perkembangan Islam, maka pada abad ke 3-5 hijriyah ini merupakan fase-fase krisis tasawuf. Dimana saat itu telah terjadi pertentangan yang hebat antara para ahli syariat (fuqaha) dengan para ahli tasawuf (sufi). masing-masing mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling benar. Namun yang terjadi saat itu adalah para fuqaha ini berafiliasi dengan pihak penguasa sehingga segala yang diinginkannya dengan mudah dapat terkabulkan. Sebagai contoh adalah penghukuman terhadap para sufi yang dianggap menyimpang dari syariat Islam. Bahkan sempat terjadi hukuman mati bagi sufi yang dianggap sesat. Dukungan penguasa terhadap para fuqaha maka akan memuluskan segala sesuatu yang dianggap sesat oleh para fuqaha.
Perlu diketahui bahwa kebanyakan sufi yang dihukum mati oleh penguasa saat itu adalah para sufi yang bercorak falsafi. Artinya ialah para sufi yang merumuskan hasil pengalaman spiritualnya menggunakan aspek kefilsafatan. Sehingga terkadang term-term yang diusung oleh sufi falsafi sangat sulit dimengerti secara tekstual. Sementara untuk mengerti tentang term-term (istilah) yang diusung oleh para sufi perlu pendekatan filosofis agar dapat mencapai maknanya. Oleh karenanya para fuqaha yang pendekatannya sangat tekstualis tersebut bertentangan dengan term-term para sufi falsafi.  
Sebagai contoh dari sufi yang dianggap sesat oleh para penguasa atas rekomendasi para fuqaha adalah Abu Yazid al-Bustami dengan  al-Hallaj. Kedua sufi tersebut dipandang sesat karena dianggap ajarannya menyimpang dari syariat Islam. Kedua sufi tersebut sama-sama mengusung ajaran yakni menyatunya Allah dengan hambanya. Atau lebih spesifiknya yakni pada Abu Yazid al-Bustami mengusung ajaran ittihad dan pada al-Hallaj mengusung ajaran hulul. Pandangan inilah yang mengakibatkan mereka dihukum mati oleh para penguasa.
Jika para fuqaha tersebut tidak menggunakan pendekatan tekstualis maka dugaan penulis adalah tidak terjadi penghakiman kesesatan atas para sufi. pendekatan yang digunakan oleh para sufi falsafi tersebut dengan segi kefilsafatan maka seyogyanya untuk mengetahui kebenaran ajarannya maka pendekatan filsafat juga harus digunakan untuk menganalisanya. Tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep dan oleh karena konsep-konsep tersebut terungkap melalui bahasa maka analisis tersebut tentunya berkaitan dengan makna bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan konsep- konsep tersebut. Jadi  filsafat dapat dijelaskan melalui analisis bahasa karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat.
Oleh karena itu maka penulis hendak menganalisa ajaran sufi falsafi yang telah disebutkan tadi dengan analisis filsafat bahasa. Namun dalam makalah ini yang hendak digunakan penulis untuk menganalisa adalah filsafat bahasa dari Wittgenstein yakni lebih tepatnya “language game” atau permainan bahasa. Pola analisis ini diambil penulis karena dianggap setiap sufi memiliki aturan-aturan tersendiri menganai ajaran yang diusungnya. Mengingat para sufi dalam mendasarakan ajarannya menggunakan pendekatan pengalaman spiritual. Maka antara pengalaman sufi satu dengan yang lain akan berbeda. Ditambah dengan dimensi rasa yang selalu diagungkan oleh para sufi.
B.     Rumusan Masalah  
1.      Bagaimana pemikiran tasawuf Abu Yazid al-Bustami?
2.      Bagaimana pemikiran tasawuf al-Hallaj?
3.      Bagaimana konsep language game dari filsafat bahasa Wittgenstein?
4.      Bagaimana analisis language game Wittgenstein terhadap pemikiran tasawuf falsafi?
C.    Pemaparan Masalah
1.      Pemikiran tasawuf Abu Yazid al-Bustami
Sufi Persia yang satu ini merupakan salah satu di antara generasi pertama kaum sufi yang berperan penting dalam membangun sistematika sejarah tasawuf. Nama lengkapnya yakni Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200H/814M di Bustam, timur laut Persia. Di Bustam pulalah ia meninggal pada tahun 216H/875M. Dan makamnya masih ada hingga saat ini. Makammya yang terletak di tengah kota menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat.
Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam menurut madzhab Hanafi. Abu Yazid adalah seorang Zahid yang terkenal. Baginya Zahid itu adalah seseorang yang menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase yaitu Zuhud terhadap dunia, Zuhud terhadap akhirat, Zuhud terhadap selain Allah.
Sebagai master mistik yang tidak ingin dipuja dan dikenal oleh banyak orang, terutama bila dilihat dari sebagian perilakunya yang masuk dalam kategori Malamatiyah (kelompok yang suka mencela diri sendiri). Abu Yazid adalah seorang sufi yang membawa ajaran berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya benyak bertentangan dengan para fuqaha sehingga berimplikasi keluar masuk penjara. Namun demikian ia mempunyai banyak pengikut yang mana para pengikutnya menamakan diri Taifur.
Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham fana’ dan Baqa’ serta sekaligus pencetus paham al-Ittihad. Dan A.J. Arberry menyebutnya sebagai first of the intoxicated sufis (Sufi pertama yang mabuk kepayang).
Pada umur 10 tahun Abi yazid mulai mengembara dalam mencari ilmu dan memilih hidup sebagai seorang sufi. Ia berkelana ke berbagai daerah selama 30 tahun. Sepanjang pengembaraannya, ia banyak belajar kepada guru-guru mistik, dan selalu selektif dalam mencari pembimbing spiritualnya. Begitu pentingnya kedudukan seorang guru bagi Abu Yazid al-Bustami.
Pada usia 40 tahun ia mulai kembali ke daerah asalnya dan mulai memberikan pengajaran spiritual kepada para pengikutnya. Banyak nama-nama sufi yang melakukan kontk dengannya, mulai dari Abu Musa al-dyabuli, Ahmad bi Khadruyah, Dhu al-Nun al- Misri, tetapi yang paling menjadi sorotan adalah ketika Abu Yazid berguru pada Abu Ali al-Sindi. Yang mana menurut salah seorang peneliti bahwa faham tentang fana’ ialah berasal dari Abu ali al-Sindi. Kejadian ini pula membuat sejumlah orientalis beranggapan bahwa ajaran Abu Yazid itu terpengaruh oleh ajaran mistik-filsafat Hinduisme India dan teks suci Vedenta-nya, sebab Abu Ali al-Sindi berasala dari kawasan yang amat kental dengan ajaran filasaf kuno tersebut.[1]
Sebagai seorang figur yang mendapat kritik dari kalangan lahiriyah-literalisme, Abu Yazid sebetulnya adalah seorang sufi yang tekun dalam menjalankan shariah bakan seprti yang dikelaskan didepan bahwa ia mempelajari fiqih bermadzab Hanafi, berdedikasi moral yang tinggi, dan mengagumi pribadi Nabi Muhammad SAW. Abu Yazid tidak meninggalkan sebuah tulisan, tetapi para pengikutnya yang mengumpulkan ucapan dan ajaran-ajarannya.[2]
Latar belakang pamikiran tasawuf falsafi Abu Yazid al-Bustami ialah adanya konsep fana’ dan baqa’. Faham ini berpendapat atau berpandangan bahwa manusia dapat bersatu dengan Allah. Faham ini merupakan peningkatan dari faham ma’rifah dan mahabbah. Irfan Abd al-Hamid Fattah mengatakan bahwa dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “ kesatuan wujud “ atau ittihad. Perkembangan ajaran Tasawuf ini digambarkan oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh sebagai berikut:
“Lalu sampailah pada abad ke-3 orang membicarakan latihan rohani, yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad ke-2 ajaran sufi merupakan kezuhudan (asketisme), dalam abad ke-3 ini orang sudah meningkat kepada wusul dan ittihad dengan Tuhan (mistisme). Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan, fana fil mahbub, brsatu dengan Tuhan, liqa’, dan menjadi satu dengan Dia, ‘ainul jama’ sebagai mana yang diucapkan oleh Abu Yazid Bustami.”[3]
Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan (ittihad), ia harus terlebih dahulu dapat melenyapkan kesadarannya melalui fana’. Pelenyapan kesadaran diri itu dalam khasanah sufi itu diiringi dengan baqa’.
Secara lugawi atau estimologis, fana’ berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau tiada. Sementara baqa’ berarti tetap, kekal, abadi, atau hidup terus (kebalikan dari fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanya fana’ menunjukkan adanya baqa’.[4] Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujut tubuh kasarnya dan alam sekitar.
Abu Yazid al-Bustami yang dalam sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi pertama yang membawa faham fana’ dan baqa’ ini mengartikan fana’ sebagai hilangnya kesadaran aksistensi diri pribadi (al-fana an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia. Kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan wujudNya. Lebih jelas paham ini tersimpul dalam kata-katanya : “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudia aku tahu padaNya melalui dirinNya maka akupun hidup.” Dan katanya pula: “Ia membuat aku gila pada diriku  sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku gila padaNya dan akupun hidup. Aku berkata: gila pada diriku adalah kehancuran dan gila padaMu adalah kelanjutan hidup.” [5]
fana’ menurut kalangan sufi adalah karunia Allah sebagai pemberian kepada hambanya. Fana’ tersebut tidak bisa diperoleh lewat usaha atau latihan. Al-Kalabazi juga menegaskan: “ seseorang yang mengalami keadaan fana’ bukanlah disebabkan hilangnya kesadaran (pingsan), bukan karena kebodohan dan bukan pula sirnanya sifat-sifat kemanusiaan dari dirinya sehingga dia menjadi malaikat atau seorang spiritualis, tetapi fana’ dari penyaksian akal hal-hal yang berkenan dengan dirinya. “ dengan demikian, keadaan fana’ yang dialami seseorang tidaklah menyebabkannya dapat menanggalkan kewajiban agama. Karena itu dapatlah dipahami mengapa al-Thusi dalam kitabnya al-Luma’ memperingatkan bahaya yang mungkin timbul dari keadaan fana’, yaitu antara lain adanya anggapan bahwa kefanaan adalah kefanaan sifat-sifat kemanusiaan dan dia bersifatkan dengan sifat-sifat ketuhanan; padahal sifat kemanusiaan tidak dapat sirna dari manusia.
Dari konsep fana’ dan baqa’  yang diusung oleh Abu Yazid al-Bustami ini maka akan berimplikasi kapada sebuah tema sentral yang akan dibawanya nanti. Bahkan ide yang diusungnya tersebut merupakan gerbang pertama kepada konsep penyatuan wujud sesudahnya. Konsep tersebut adalah ittihad.
\Konsep ittihad ini merupakan imbas dari konsep sebelumnya yaitu fana’ dan baqa’ sebagaimana telah di uraikan di atas. Konsep ittihad merupakan konsep dalam tasawuf falsafi yang di telurkan oleh Abu Yazid al-Bustami. Ittihad merupakan konsep sentral dari ajaran tasawuf Abu Yazid al-Bustami.
Ittihad ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat sufi bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi. Atau dengan kata lain,” Aku”nya manusia itu adalah pancaran dari yang Mahasa Esa.[6] Siapapun yang bisa membebaskan diri dari alam lahiriahnya atau mampu meniadakan kepribadian dari kesadaranya, maka dia akan mendapat jalan menuju sumber yang asal.
Pengertian ittihad sendiri dalam sudut pandang etimologi yaitu persatuan. dalam kamus sufisme berarti persatuan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihad kelihatannya ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan: suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.[7]
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut: “Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Akupun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”
Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.”Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Oleh karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam. Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh Abu Yazid, tidak berarti ia sebagai Tuhan, tetapi kata-kata itu adalah suara Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs. Kalimat-kalimat ekstase tersebut menurut istilah tasawuf adalah kalimat syatahat.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses Ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan, dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
Sufi yang mengeluarkan syatahat adalah ibarat sebuah terompet yang sedang ditiup oleh nafas Tuhan; Tuhanlah yang memainkan nada-Nya sendiri. Saat Abu Yazid berteriak, Subhani; maka hal itu merupakan perkataan Tuhan melalui dirinya.[8] Sampainya rasa bersatu dengan Tuhan agaknya menjadi perhatian khusus tatkala sebagian kalangan menganggap kondisi seperti itu adalah puncak dari segala perjalanan spiritual. Lebih menakjubkan lagi bila memperhatikan maqam fana’ yang dialami Abu Yazid sehingga sanggup terbang menuju keharibaan Tuhan.[9]
Sewaktu timbulnya ucapan syatahat, di samping terjadi dalam keadaan tidak sadar (fana’), Abu Yazid pada dasarnya tidak berkenaan terhadap munculnya ucapan-ucapan eksentrik seperti itu; sebab ada juga riwayat yang menyebutkan ketika ia menyadari apa-apa yang diucapkannya itu, Abu Yazid lantas beristighfar sebanyak-banyaknya. Abu Yazid terjebak dalam situasi itu dikarenakan penyaksiannya yang kuat pada Tuhan Yang Maha Agung dan tidak ada sesuatu yang dilihatnya selain Tuhan.
Pada hakikatnya, semua yang dialami Abu Yazid itu hanyalah sebagian dari karunia yang diberikan Allah, seperti yang tersirat dalam pengakuannya, “Aku memahami Tuhan berkat Tuhan, dan aku memahami sesuatu selain Tuhan berkat cahaya (Nur) yang dipancarkan Tuhan.
Puncak drama dari akhir kehidupan Abu Yazid adalah perubahan pola dan sikap misktik Abu Yazid yang tidak lagi bisa dikategorikan pada arus kelompok ’sufi mabuk’ (sukr); tidak juga menganggap petualang teofaniknya sebagai legenda yang paling agung.[10]
2.      Pemikiran Tasawuf al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi. Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Hallaj sebuah gelar karena kemampuannya berbicara tentang sufi. Al-Hallaj lahir pada tahun 244 H/855 M, di Tur dekat Al-Baida di Persia. Ada yang mengatakan bahwa Al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.[11] Sebelum umur 12 tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an dan menekuni pendidikan sufi antara tahun 873-897 dengan orang-orang sufi yang terkenal. Pada usia 16 tahun, ia berguru pada Sahl bin Abdullah al-Tustari merupakan tokoh sufi yang terkenal pada abad ketiga Hijriah. Pendidikan dilanjutkan ke Basra dan berguru pada Amru bin Usman al-Maliki. Di Basra ini al-Hallaj menikah dengan Ummu al-Husain, putri dari Abu Ya’qub al-Aqta’i, seorang sufi.
Setelah itu Al-Hallaj pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Al-Hallaj pernah menuaikan ibadah Haji tiga kali. Pada tahun 895 M, dia melaksanakan haji pertama dan selama setahun di Mekkah diisi dengan berbagai macam ibadah yang mana ia mencoba melakukan caranya sendiri untuk bersatu dengan Tuhan. Dalam perjalanan dan pertemuannya dengan ahli-ahli sufi, timbullah pribadi dan pandangan hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi pembicaraan ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan yang lain. Karena pahamnya itu, seorang ulama fiqh terkemuka, Ibnu Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran Al-Hallaj sesat. Atas dasar fatwa tersebut Al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah setahun di dalam penjara, dia melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya dan bersembunyi di Sus Khuzistan. Pada tahun 1913 H/301 M, dia ditangkap kembali dan dihadapkan ke pengadilan Baghdad. Pengadilan Al-Hallaj diadakan di bawah pengawasan menteri Ibnu Isa. Namun musuh Al-Hallaj tidak dapat membuktikan kezindiqannya sehingga bisa dihukum mati. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula dipukul dan dicambuk dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
Dalam riwayat lain, dikatakan Al-Hallaj digantung, kepalanya dipenggal, dipecut seribu kali tanpa mengaduh kesakitan dan menerimnya dengan senyuman. Tapi sebelum dipancung, dia sembahyang dua rakaat. Kemudian kaki dan tangannya dipotong. Badannya digulung ke dalam tikar bambu, direndamkan ke naftah dan kemudian dibakar. Abu mayatnya dihanyutkan ke sungai, sedang kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipersaksikan oleh umat islam dan sejarahnya. Banyak versi lain yang mengemukakan proses hukuman Al-Hallaj.
Konsep sentral dari al-Hallaj adalah hulul. Banyak para ulama yang berbeda pendapat tentang hakikat ajaran Hulul Al-Hallaj. Al-Taftazani telah berusaha menyimpulkan bahwa hululnya Al-Hallaj bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Paham hulul Al-Hallaj, menurut Al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid. Sebenarnya antara ittihad dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad, diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya Allah, sedang dalam hulul hanya diri Al-Hallaj yang tidak hancur.  Dalam paham ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sedang dalam paham hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Menurut Al-Hallaj Allah itu mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (Lahut) dan sifat kemanusiaan (Nasut).[12] Demikian juga dengan manusia, mempunyai sifat kemanusian (Nasut) dan mempunyai sifat ketuhanan (Lahut) dalam dirinya. Paham Al-Hallaj ini dapat dilihat dari tafsirannya mengenai kejadian Adam dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 34: Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat; sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur; dan ia termasuk golongan orang-orang kafir. (QS.2:34).
Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul) dalam diri ‘Isa a.s.[13] Allah swt menjelma dalam diri Adam, berarti Allah menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-nya. Dengan adanya paham ini dapat berpangkal pada hadits yang berpengaruh besar bagi kaum sufi: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya.” Paham ini lebih jelas kelihatan dalam gubahan syairnya tentang:  
Maha Suci Zat yang menyatakan nasutNya
Dengan lahutNya, yang cerlang seiring bersama
Lalu dalam makhlukNya pun tampak nyata
Bagai si peminum serta si pemakan tampak sosokNya
Hingga semua makhluknya melihatNya
Bagai bertemunya dua kelopak mata.[14]
Menurut paham tasawuf Al-Hallaj, dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Agar manusia dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan melalui fana’. Kalau sifat-sifat kemanusian telah hilang dari dirinya dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan, maka di situlah Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya. Antara roh Tuhan dan roh manusia dapat bersatu dalam tubuh manusia. Dalam gubahan syair Al-Hallaj mengungkapkan:
Padu sudah rohMu dengan rohKu jadi Satu
            Bagai khamar dan air bening terpadu Satu
            Dan jika sesuatu menyetuhMu, tersentuhlah aku
            Karena itu Kau, dalam segala hal, adalah aku.[15]
Dari syair-syair diatas tampak jelas bahwa Al-Hallaj membawa konsep hulul. Yang dimaksud hulul diatas ialah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusian. Adapun menurut istilah tasawuf, Hulul merupakan suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[16] Menurut Al-Hallaj, dengan cara inilah seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika Al-Hallaj berkata:Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan)  bukan roh Al-Hallaj yang mengucapkan kata tersebut melainkan roh Tuhan yang mengambil tempat pada diri Al-Hallaj. Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan, sehingga dengan ucapan atau peryataannya tidak dapat diterima oleh sufi dari aliran sunni dan ia dituduh sebagai orang yang Murtad dan dihukum mati.
3.      Konsep Language Game Wittgenstein
Setelah kurang lebih tiga dasawarsa kaum atomis logik dan juga positivisme logik menanamkan pengaruhnya dalam sejarah perkembangan filsafat bahasa. Secara perlahan namun pasti, gaung dari ajaran mereka mulai berubah. Sebab para filsuf yang muncul kemudian manyadari bahwa teknik bahasa yang melulu diarahkan kepada pencarian makna bahasa dapat menggiring mereka sendiri kepada pernyataan yang tidak bermakna. Filsuf analitik yang muncul belakangan ini mulai meragukan kemampuan bahasa logika dalam penentuan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan. Sekarang para filsuf mulai mengalihkan perhatiannya pada titik-tolak penggunaan bahasa biasa. Oleh karena itu faham yang demikian itu dikenal dengan nama filsafat ordanary language.[17]
Salah satu filsuf yang menganut faham filsafat bahasa biasa ini adalah Wittgenstein II. Yang dimaksud ke-2 adalah dimana pemikiran filsafat Wittgenstein periode I berbeda dengan periode yang ke II. Wittgenstein dalam periode yang ke dua ini tampil dengan wajah baru yang cukup berbeda dengan periode filsafat yang pertama.  Periode filsafatnya yang kedua ini terlihat melalui karyanya yang berjudul Philosophical Investigations. Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada 1953 dalam teks bahasa Inggris disamping teks aslinya berbahasa Jerman. Berbeda dengan karyanya yang pertama, Philosophical Investigations ini disusun dalam bentuk bagian yang terdiri dari banyak contoh yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ada kesan tersendiri yang tampak dari Philosophical Investigations ini, yaitu upaya menghindari penggunakan bahasa logika dalam merumuskan konsepsi filsafatnya. Dalam periode yang kedua ini, Wittgenstein mengubah alur logika bahasa kepada penggunakan bahasa biasa dengan berbagai aspek yang terkandung didalamnya.[18]
Sebagian besar isi kandungan Philosophical Investigations diarahkan untuk menjelaskan konsep mengenai Tata Permaian Bahasa (language game). Makna sebuah kata itu adalah penggunakan dalam bahasa dan bahwa makan bahasa itu adalah penggunakannya dalam hidup. Demikian menurut konsep pemikiran Wittgenstein dalam karyanya yang berjudul Philosophical Investigations.[19] Setiap bentuk permainan bahasa memiliki aturan permainan sendiri-sendiri yang tidak dapat dicampuradukkan satu sama lain. Tata aturan (ragam) ilmiah misalnya, memiliki aturan permainan sendiri dalam arti ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh masyarakat ilmiah. Penggunaan bahasa dalam konteks ilmiah tidak dapat dicampuradukkan dengan penggunaan bahasa dalam ragam santai, sebab ragam santai memiliki aturan tersendiri. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, mustahil bilamana kita menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat umum yang berlaku dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.
Secara ontologis konsep permainan bahasa menunjukkan hakekat kehidupan manusia dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, alam serta terhadap Tuhan. Bisa dikatakan kajian bahasa dalam hal ini untuk mendeskripsikan permainan bahasa dalam kehidupan manusia.
Secara epistemologis, setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki aturannya masing-masing yang sangat beragam serta tidak terbatas. Aturan itu sulit jika hanya ditentukan secara normatif, serta sulit ditentukan batas-batasnya secara tepat, tetapi manusia memahami bagaimana menggunakan bahasa dalam setiap aspek kehidupan yang sangat beraneka ragam tersebut.
Sedangkan pada aspek aksiologis penggunaan bahasa adalah sebagai sarana dalam berkomunikasi mengungkapkan suatu makna. Untuk mengetahui hakekat makna yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa, kita harus memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan manusia dalam hubungannya dengan penggunaan ungkapan bahasa tersebut
Wittgenstein menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:
“Suatu permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat penting, maka tentu jelas itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah kita boleh menyalahi aturan yang telah ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang sebenarnya tentang aturan permainan itu. Barangkali kita juga tidak dapat memahami dengan baik petunjuk permainan yang menggariskan agar kita berpikir tiga kali (berpikir tiga langkah ke depan) sebelum menggerakkan setiap biji catur. Jika kita melihat penerapan peraturan ini di atas papan catur, maka tentu kita akan merasa kagum dan tahu maksud atau tujuan suatu aturan permainan”[20]
Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah permainan jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada tata aturan permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan lainnya, akan kehilangan maknanya.
“Tata aturan”, begitulah poinnya, seperangkat aturan yang melingkari sebuah permainan, termasuk dalam bahasa. Bahasa pun memiliki seperangkat tata aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas tentangnya. Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan kehilangan makna terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang terang, bahasa tidak boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya. Wittgenstein mengistilahkan hal ini sebagai tata permainan bahasa (language game).
Sama halnya dengan pentingnya untuk mematuhi setiap aturan permainan dalam berbagai jenis permainan, misal bola, catur, volley, basket, dll., demikian pula dalam ragam permainan bahasa memiliki bentuk tata aturan permainan masing-masing yang tidak boleh dicampur-adukkan agar tidak memicu kekacauan bahasa dan maknanya. Misal, tata aturan permainan berbahasa dalam konteks ilmiah dan biasa atau keseharian. Kedua jenis penggunaan bahasa ini memiliki tata aturan permainannya sendiri, yang bila dicampur-adukkan, niscaya akan melahirkan kekacauan berbahasa dan pemaknaannya.[21] Apa yang menjadi tata aturan permainan ilmiah, tidak bisa dicampurkan penggunaannya dalam tata aturan permainan bahasa biasa. Demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan permainan bahasa tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein II, yang sangat bertentangan dengan pemikiran utama Wittgenstein I. Pemikiran Wittgenstein ini sangat terang muncul dalam pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah kehidupan.” “Konteks”, inilah sebenarnya padanan maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa itu. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya.[22]
Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop, berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”. Dan seterusnya.
Misal lain, kata “rumah”. Jika konteks penggunaannya menunjuk pada bangunan, maka ia berarti sebuah “tempat tinggal”. Jika digunakan dalam konteks kebudayaan, ia berarti “akar budaya”. Jika digunakan dalam konteks politik, ia berarti “partai politik”. Dan seterusnya. Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks formal atau tidak. Kata “aku”, misalnya, jika digunakan dalam konteks non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab, dan intim. Tapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas, dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan permainannya, tidak boleh dicampur-adukkan, atau diabaikan, karena akan memicu kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.
Lain lagi kasusnya bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu. Tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas Ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks Ekonomi, jelas maknanya. Tapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, bisa memicu kesalahpahaman arti. Kata “permintaan dan penawaran” tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap di rumahnya”. Konsekwensi logis dari permainan bahasa dari Wittgenstein adalah bahwa setiap kata memiliki makna yang berbeda-beda.
Makna bahasa bukan terdapat dalam bahasa atau penutur bahasa melainkan terdapat dalam kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu untuk mengkaji makna bahasa harus dilakukan pengamatan terhadap kehidupan manusia dalam hubungannya dengan aturan penggunaan bahasa tersebut. Setiap konteks penggunaan bahasa memiliki aturan masing-masing. Dalam aturan beserta penggunaannya dalam kehidupan manusia itulah akan ditemukan makna bahasa.
D.    Analisis Ajaran Sufi Falsafi Dengan Pendekatan Permainan Bahasa
Sebagaima yang telah diketahui bersama bahwa setiap sufi mendasarkan ajarannya kepada pengalaman spiritual sendiri-sendiri. Oleh karenanya maka setiap ajaran sufi yang satu dengan yang lain  akan berbeda-beda. Terlebih lagi apa yang diajarkan para sufi sebatas rasa yang mana sulit untuk didefiniskan secara jelas. Kebanyakan sufi yang berusaha menuangkan pengalaman ruhaniyahnya kepada realitas kehidupan maka bahasa-bahasa (syatahat) mereka sulit dipahami.
Di dalam makalah ini penulis mengeksplorasi pemikiran sufi falsafi yang dianggap sebagai repersentasi dari ajarannya yang dianggap “sesat” oleh para penguasa dan fuqaha. Mereka adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj. Keduanya secara konseptual sama-sama mengusung ajaran penyatuan wujud dengan Tuhan, namun secara teknis berbeda.
Latar belakang pamikiran tasawuf falsafi Abu Yazid al-Bustami ialah adanya konsep fana’ dan baqa’. Faham ini berpendapat atau berpandangan bahwa manusia dapat bersatu dengan Allah. Faham ini merupakan peningkatan dari faham ma’rifah dan mahabbah. Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan (ittihad), ia harus terlebih dahulu dapat melenyapkan kesadarannya melalui fana’. Pelenyapan kesadaran diri itu dalam khasanah sufi itu diiringi dengan baqa’.
Secara lugawi atau estimologis, fana’ berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau tiada. Sementara baqa’ berarti tetap, kekal, abadi, atau hidup terus (kebalikan dari fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanya fana’ menunjukkan adanya baqa’.[23] Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujut tubuh kasarnya dan alam sekitar.
Ittihad ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapat sufi bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi. Atau dengan kata lain,” Aku”nya manusia itu adalah pancaran dari yang Mahasa Esa.[24] Siapapun yang bisa membebaskan diri dari alam lahiriahnya atau mampu meniadakan kepribadian dari kesadaranya, maka dia akan mendapat jalan menuju sumber yang asal.
Pengertian ittihad sendiri dalam sudut pandang etimologi yaitu persatuan. dalam kamus sufisme berarti persatuan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihad kelihatannya ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan: suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.[25]
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Sementara konsep sentral dari al-Hallaj adalah hulul. Banyak para ulama yang berbeda pendapat tentang hakikat ajaran Hulul Al-Hallaj. Al-Taftazani telah berusaha menyimpulkan bahwa hululnya Al-Hallaj bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Paham hulul Al-Hallaj, menurut Al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid. Sebenarnya antara ittihad dan hulul terdapat perbedaan. Dalam ittihad, diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya Allah, sedang dalam hulul hanya diri Al-Hallaj yang tidak hancur.  Dalam paham ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sedang dalam paham hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.
Menurut Al-Hallaj Allah itu mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (Lahut) dan sifat kemanusiaan (Nasut).[26] Demikian juga dengan manusia, mempunyai sifat kemanusian (Nasut) dan mempunyai sifat ketuhanan (Lahut) dalam dirinya. Paham Al-Hallaj ini dapat dilihat dari tafsirannya mengenai kejadian Adam dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 34: Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat; sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur; dan ia termasuk golongan orang-orang kafir. (QS.2:34).
Menurut paham tasawuf Al-Hallaj, dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Agar manusia dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan melalui fana’. Kalau sifat-sifat kemanusian telah hilang dari dirinya dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan, maka di situlah Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya. Antara roh Tuhan dan roh manusia dapat bersatu dalam tubuh manusia.
Yang dimaksud hulul diatas ialah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusian. Adapun menurut istilah tasawuf, Hulul merupakan suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[27] Menurut Al-Hallaj, dengan cara inilah seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika Al-Hallaj berkata:Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan)  bukan roh Al-Hallaj yang mengucapkan kata tersebut melainkan roh Tuhan yang mengambil tempat pada diri Al-Hallaj.
Itulah tadi sedikit tentang penjelasan mengenai ajaran-ajaran yang dibawa oleh Abu Yazid dengan al-Hallaj. Kedua sufi besar tersebut dihukum mati oleh penguasa akibat dari ajarannya yang dianggap menyimpang dari syariat Islam. Para fuqaha yang dalam memahami suatu masalah secara tekstualis ini kemudian mengklaim mereka sebagai orang kafir dan wajib dihukum mati.
Jika kita analisis dengan pendekatan filsafat permainan bahasa, maka kedua kelompok ini antara sufi dengan fuqaha masing-masing memiliki aturan main sendiri-sendiri. Jika pada sufi pendekatan yang digunakan adalah  pengalaman rasa dan simbolis maka yang digunakan oleh para fuqaha adalah tekstualis-normatif. Oleh karena antara keduanya tidak akan ada kata sepakat karena sebagaimana dalam filsafat permainan bahasa, antara keduanya memiliki aturannya masing-masing.
Permasalahan ajaran penyatuan wujud ini jika ditarik kepada pendekatan bahasa maka setiap bentuk permainan bahasa memiliki aturan permainan sendiri-sendiri yang tidak dapat dicampuradukkan satu sama lain. Tata aturan (ragam) tasawuf misalnya, memiliki aturan permainan sendiri dalam arti ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh para sufi sendiri. Penggunaan bahasa dalam konteks tasawuf tidak dapat dicampuradukkan dengan penggunaan bahasa dalam ilmu syariat, sebab bahasa ilmu syariat memiliki aturan tersendiri. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, mustahil bilamana kita menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat umum yang berlaku dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.
Jika kedua hal ini tetap dipaksakan agar salah satunya tunduk kepada yang lain maka yang terjadi adalah penghukuman mati oleh para sufi yang tidak sejalan pandangannya dengan para fuqaha. Dimana saat itu para fuqaha berafiliasi dengan para penguasa. Tidak selayaknya para fuqaha yang sangat tektualis tersebut mengukumi kafir kepada para sufi yang notabene mereka adalah para wali-wali Allah dibumi. Kalimat-kalimat syatahat para sufi sebenarnya telah mereprenstasi dari permainan bahasa karena setiap sufi juga memiliki aturan sendiri-sendiri yang tidak bisa disifatkan secara umum general.
E.    Kesimpulan
Secara general  tentang permainan bahasa Wittgenstein ini adalah Setiap bentuk permainan bahasa memiliki aturan permainan sendiri-sendiri yang tidak dapat dicampuradukkan satu sama lain. Tata aturan (ragam) ilmiah misalnya, memiliki aturan permainan sendiri dalam arti ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh masyarakat ilmiah. Penggunaan bahasa dalam konteks ilmiah tidak dapat dicampuradukkan dengan penggunaan bahasa dalam ragam santai, sebab ragam santai memiliki aturan tersendiri. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, mustahil bilamana kita menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat umum yang berlaku dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.
Jika permainan bahasa ini digunakan sebagai analisis terhadap ajaran para sufi falsafi yakni Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj. Maka para sufi memiliki aturan main tersendiri terkait ajarannya. Pada Abu Yazid ajaran yang dibawanya adalah ittihad, sementara pada al-Hallaj yang dibawa adalah hulul. Kedua ajaran tersebut memiliki karakter sendiri-sendiri. Dan yang terjadi saat itu adalah pertentangan antara para sufi dengan fuqaha. Karena kedua kelompok tersebut memiliki “aturan main” tersendiri. Jika kedua kelompok tersebut memaksakan agar ajarannya diterima oleh kelompok lain maka yang terjadi adalah saling klaim ”kafir” dan bahkan penghukuman mati para sufi. mengingat setiap mustahil bilamana kita menentukan suatu aturan permainan bahasa yang bersifat umum yang berlaku dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.


[1] Aun Falesten. Tasawuf Falsafi Persia dimasa Islam klasik.(Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), 92-93.
[2] Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi&Tasawuf. (Solo: Ramadhani, 1984), 259.
[3] Ibid, 57.
[4] Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf. ( Jakarta:PT  Raja Grafindo Persada,1994), 152.
[5] Harun Nasution,  Filsafat dan Mistisme Dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 81.
[6] .Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf. ( Jakarta:PT  Raja Grafindo Persada,1994), 158
[7] Ibid. 158
[8] AunFalestien Faletehan, Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam, (Surabaya: Dakwah Digital Press, 2007), 105-106.
[9] . Ibid, 106.
[10] Ibid 110
[11]Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 304.
[12]Dahlan Tamarin, Tasawuf Irfani, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 77
[13]Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, 309
[14]Ibid,. 310
[15]Ibid,. 310
[16]Muhammad Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 166
[17] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik,  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 78-79.
[18] Ibid., 81.
[19] Kaelan, Filsafat Bahasa, Semiotika dan Hermeneutika, (Yogyakarta: Paradigma, 2009), 124-125.
[20] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik,  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 105-106.
[21]Kaelan, Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Paradigma,2006), 67
[22] Stephen Palmquis,  Pohon Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007),  210
[23] Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf. ( Jakarta:PT  Raja Grafindo Persada,1994), 152.
[24] Ibid., 158
[25] Ibid. 158
[26]Dahlan Tamarin, Tasawuf Irfani, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 77
[27]Muhammad Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 166

Translate